Setelah membaringkan Lembayung di kamar tamu, Adhisti menghela napas lelah. Lantaran, saat Lembayung sedang mabuk dan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, gadis itu seperti dirasuki. Tidak seperti saat Lembayung masih memiliki kendali atas gerak tubuhnya.
"Hhh, masalah satu aja belum kelar, nambah lagi masalah baru. Miris banget," keluh Adhisti menatap Lembayung yang saat tidur pun masih mengigau.
Tatapan Adhisti kosong. Gadis itu merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa untuk tidak peduli kepada Lembayung? Padahal Adhisti sangat membenci Lembayung. Gadis itu memijat pelipisnya yang kembali berdenyut nyeri.
Nalurinya tiba-tiba saja ingin melindungi gadis yang satu tahun lebih muda darinya. Sama seperti saat ia pertama kali bertemu dengan Agha. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa perasaannya terhadap Lembayung tidak bisa sesayang ia dalam menyayangi Agha, yang bahkan tidak sedarah.
Terdapat kebencian yang mendalam dan dendam yang berkecamuk di dadanya. Ada rasa marah kepada Tuhan. Mengapa ia ditakdirkan terlahir dari keluarga yang memiliki ayah seperti Cakra? Apa yang baik dari ayahnya hingga Tuhan menakdirkan Adhisti seperti itu? Yang ada hidupnya semakin berantakan dan penuh luka.
"Hhh, pusing njir. Kenapa gak adil banget." Adhisti kembali mengeluh. Banyak yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan Hamba-Nya, dan dibalik ujian yang berat, Tuhan sedang menyiapkan hadiah bagi setiap Hamba-Nya yang mau bersabar. Ia bertanya-tanya, hadiah apa yang akan ia terima dari jalan takdirnya yang begitu perih?
"Ayah jahat...!"
Lamunannya buyar ketika Lembayung kembali mengigau dengan air mata yang mengalir. Hal itu membuat Adhisti menghela napas.
"Bangun, heh. Ganti baju sana pakai baju tidur. Kasian baju lo kurang bahan banget," tegur Adhisti mengguncangkan tubuh Lembayung.
Gadis yang tengah mabuk itu membuka mata dan mengoceh tidak jelas.
"Apa lo?! Mau ngancurin hidup gue lagi hah?" tanya Lembayung dengan gerak tangan yang tak menentu.
Adhisti menatapnya datar. "Ganti baju lo sana. Gue ke luar dulu, ngantuk. Habis lo sadar, cepet minggat dari rumah gue."
"Rumah?" Lembayung tertawa kecil dan mengubah posisinya berhadapan dengan Adhisti. "Apa itu rumah? Gue minggat sekarang pun gak tahu harus pulang ke mana."
Adhisti terpaku. Terlintas pikiran yang agak licik di kepalanya. Bukankah orang mabuk tidak memiliki kendali atas tubuhnya? Dan kebanyakan pengguna alkohol tidak akan mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Ini menjadi kesempatan emas bagi Adhisti untuk mengorek informasi dari sudut pandang Lembayung.
"Kenapa lo bilang kayak gitu?" tanya Adhisti mulai memancing Lembayung untuk bicara jujur.
Pertanyaan Adhisti membuat Lembayung tertawa. Gadis itu menatap langit-langit kamar sambil tersenyum miris. "Lo pernah denger cemara di mata orang? Sampai mereka iri dan pengen punya keluarga kayak apa yang ada di postingan?"
Adhisti mengangguk. Sementara Lembayung mulai terisak. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menepuk kedua pundak Adhisti yang membuatnya terkesiap.
"Itu yang gue rasain, sialan! Gue ... Dari usia gue 4 tahun, gue gak pernah ngerasain yang bener bener kasih sayang orang tua! Gue ngasih liat hasil gambar gue sama orang tua aja mereka fokus sama kerjaan masing-masing! Mungkin bagi lo, atap rumah gue cuman bocor, dan rumah lo udah hancur karena ibu lo meninggal... Dan ayah lo nikah lagi sama ibu gue..! Tapi lo masih ada sahabat-sahabat yang ngertiin lo...!! Gue iri sama lo, Dara!!"
Adhisti terdiam lama. Tatapan mata Lembayung yang memerah dan berkaca-kaca menjelaskan semuanya. Sesaat kemudian, Lembayung merebahkan dirinya ke kasur dan tidur terlentang.
"Ya, begitulah. Hidup gue dipenuhi oleh dendam dan rasa iri hati. Orang-orang di kelas gue bilang mereka iri sama hidup gue yang mewah, penuh fasilitas yang nyaman, tanpa tahu kalau gue harus membayar semua itu dengan nilai sempurna yang bahkan nilai sempurna itu gak pernah diapresiasi sedikit pun oleh keluarga...!!"
"Lucu, kan? Ketika lo berpura-pura kuat didepan orang lain, dan mereka seenaknya bilang 'enak, ya, jadi elo' padahal lo ngerasa kesel sama omongan enteng mereka. Gue capek, Dara!! Yang gue punya cuman Arsen, dia yang selalu ada buat gue...!! Sejak dulu gue cuman bisa mendem masalah sendirian!! Masa kecil gue juga harus dikorbankan demi nilai!!"
Oke, Adhisti sepertinya mulai tidak bisa memberi pertanyaan lain lagi kepada Lembayung. Karena jujur saja, dari lubuk hatinya, Adhisti berharap Cakra bisa memperlakukan Lembayung sebagaimana Lembayung ingin diperlakukan.
Ternyata hasilnya sama saja. Baik Lembayung maupun dirinya, mereka berdua merasakan luka hebat dari seseorang yang seharusnya bisa menjadi cinta pertama bagi seorang anak perempuan.
"Tapi kan gak seharusnya dia cium pipi lo di keramaian, Lembayung. Masalahnya waktu itu di sekolah, banyak yang lihat. Dia bukan orang yang baik buat lo, Lembayung. Masih ada laki-laki yang lebih baik, yang bisa jadi rumah buat lo."
Lembayung menatap kesal. Gadis itu kembali mengubah posisinya berhadapan dengan Adhisti. Ia menghela napas, membuat Adhisti menutup hidungnya.
"Lo minum berapa gelas alkohol, sih?" tanya Adhisti.
"Hm? Berapa gelas, ya?" Lembayung berusaha mengingat ketika ia meminum alkohol bersama pacarnya. "Mungkin dua, atau enggak empat gelas? Sekitaran segitu, sih. Rasanya tenang, ya. Mabuk gak ngebuat gue ngerasain sakit."
Adhisti menghela napas, sedikit merasa iba dengan gadis di depannya ini.
"Lo gak boleh membiasakan diri minum alkohol, karena itu gak baik buat kesehatan fisik. Alkohol cuman ngasih sensasi ketenangan sementara. Kalau lo lagi ada masalah, jangan dilampiasin ke alkohol. Lo masih punya Tuhan, kan?"
Mendengar hal tersebut, tatapan Lembayung kosong. Gadis itu murung, air mata mulai mengalir deras tanpa bisa Lembayung tahan.
"Tuhan, ya? Gue punya Tuhan, kok. Tapi apa Tuhan bakal maafin Hamba-Nya yang terlampau batas ini? Rasanya Tuhan juga marah besar sama gue. Atau mungkin Dia gak mau maafin kesalahan fatal gue? Gue tahu, kok, alkohol itu gak baik buat kesehatan. Tapi kalau gue gak lari ke alkohol, bukan fisik aja yang kena, tapi mental gue juga kena, Dara!!"
Ungkapan Lembayung sukses membuat Adhisti tidak bisa berkata-kata. Sebenarnya posisi mereka berada dalam masalah yang rumit. Terlebih lagi Adhisti harus terus mengawasi Lembayung. Karena jika bukan dia, siapa lagi yang mau memperhatikannya? Cakra saja tidak becus menjadi seorang ayah untuk Adhisti, apalagi untuk Lembayung.
Gadis itu terdiam cukup lama, membiarkan Lembayung menangis sampai ia merasa tenang. Sementara dirinya membuka lemari, mencoba mencari baju tidur yang masih layak untuk dipakai Lembayung.
"Habis nangis langsung ganti baju, sana. Udah tengah malem, gue ngantuk. Duluan, ya," pamit Adhisti menutup pintu kamar Lembayung.
~Harapan di Tahun Baru~
Mengingat semua yang terjadi kemarin malam, membuat kepala Adhisti terasa sakit. Rumit sekali masalahnya. Ditambah lagi, Adhisti tidak bisa menceritakan ini ke teman-temannya. Ia memegang kepalanya dan mendengus samar.
"Dara, lo gapapa?" tanya Kivandra merasa cemas.
"Iya, gue gapapa. Cuman kurang tidur aja kemarin malam. Semua saran yang lo bilang ke gue gak berhasil, jadinya gue main HP sampai habis baterai," jawab Adhisti.
"Sampai jam berapa?"
"Jam setengah tiga subuh."
Melihat wajah Adhisti yang pucat dan kantung mata yang terlihat, membuat Kivandra semakin merasa cemas.
"Kalian berdua yang di belakang. Ngapain ngobrol di pelajaran saya? Kalau ingin mengobrol, silakan pergi ke luar, atau saya yang akan ke luar dari kelas ini!!" tegur guru sosiologi.
Adhisti menatap tajam guru tersebut tanpa rasa takut, sementara Kivandra berusaha menengahi.
"Maaf, Pak. Bukan gitu yang terjadi. Sahabat saya sepertinya sedang kurang sehat. Apa boleh saya menemaninya di UKS?" tanya Kivandra dengan nada bicara yang lembut.
Guru sosiologi itu memejamkan matanya, sebelum ia menganggukkan kepala memberi izin. "Ya, silakan."
Setelah mendapatkan izin, Kivandra mengangguk dan mengantar Adhisti.
"Permisi, Pak." Kivandra dan Adhisti sedikit membungkuk ketika mereka berjalan melewati guru itu, kemudian menutup pintu kelas dan berjalan lesu ke UKS.
Setelah mereka berada di luar kelas, Adhisti mendengus kesal.
"Gak usah sampai dianter ke UKS, gue gapapa."
Raut wajah yang Kivandra tunjukkan begitu tegas. Jika sudah seperti ini, maka sudah dipastikan bahwa Adhisti tidak bisa mendebatnya.
"Udah, diem. Jangan banyak bantah. Lo jalan sempoyongan, artinya lo gak baik-baik aja. Di UKS juga gak akan di suntik mati kali, santai aja. Nanti paling lo dikasih teh manis sama roti. Lo belum makan juga, kan, dari pagi?" tebak Kivandra melirik Adhisti sekilas.
Adhisti membuang muka. "Itu karena gue bangun kesiangan."
"Nah, ya udah. Risikonya itu. Lo harus berbaring di UKS, minimal tidur. Tiga puluh menit lagi istirahat, seenggaknya lo punya waktu tiga puluh menit buat ngembaliin tenaga lo," ucapnya tegas.
Adhisti menghela napas dan menganggukkan kepala. Jika dia terus berdebat dengan Kivandra di saat seperti ini, masalah tidak akan selesai.
"Iya, deh, iya. Tapi nanti pulang sekolah kita bareng ngejenguk Masha, ya?"
"Good girl. Iya, sekarang pentingin dulu kesehatan lo. Masha gak suka lo ngejenguk dirinya yang lagi sakit disaat kondisi tubuh lo aja lagi kurang baik."
Gadis itu hanya diam mendengarkan ocehan penuh kekhawatiran dari Kivandra. Rasanya nyaman berada di dekat pemuda itu.
Bawel, dih. Tapi dia lucu kalau lagi khawatir. Batin Adhisti tersenyum simpul dibalik bibir pucatnya.