Sebelum baca, jangan lupa tekan bintang vote-nya dulu ya~ selamat membaca💜
✿‧˚✧ᵔ ᵕ ᵔ✧˚‧✿
JEVI sampai di depan komplek Vila Hijau secepat yang ia bisa. Ia segera turun dari motor dan mengeluarkan dompet lalu mengambil semua lembar di dalamnya dan menyerahkan kepada sang driver asli yang melongo melihat nominalnya, bahkan ada dollar-nya juga.
Sang penjaga tampak keheranan karena Jevi balik lagi tapi tidak berkomentar banyak ketika Jevi bilang meninggalkan motornya di tempat Ginan. Emang kelakuan orang kaya suka aneh. Tadi naik mobil mewah, ternyata motornya ketinggalan.
Jevi berlari menuju rumah Gita, ah—atau rumah omnya yang Jevi tangkap dari obrolan tadi. Di teras depan terlihat Uday yang lagi main gitar. Jevi segera menghampiri.
"Hai," sapa Jevi tersenyum dan menyugar rambutnya.
Uday segera menghentikan petikannya. "Mau ketemu Gita atau Ginan?"
"Ketemu elo boleh?"
Uday tertawa. "Sini mari duduk sini."
Jevi segera duduk di samping Uday. Tatapannya ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar.
"Penampilan elo tadi siang boleh juga."
"Keren kan gue?"
"Iya Jev, iya." Uday balas mengangguk-angguk. "Sana masuk aja, Gitanya belum tidur kok."
Jevi mengerjap. "Gita okay?"
"Dia keliatan kedinginan sih kata Ginan tadi, tapi disuruh tidur di tempat Gala nggak mau. Kan bisa dikelonin Bunda Ndari. Tadi udah dibikinin teh manis sama Gala."
Jevi mengangguk-angguk. Tadi juga Gita mengeluh dingin. "Apa Gita alergi dingin?"
"Nggak kayaknya. Badannya Gita anget kok nggak dingin, cuma sedikit merah."
"Kalo gitu apa alergi sesuatu?" tanya Jevi lagi. "Tadi pagi dia juga bilang dingin."
"Jelasnya elo tanya Gala sana, tadi dia juga ngecek."
"Oke." Jevi segera ngeloyor masuk ke dalam membuat Uday geleng-geleng kemudian menghampiri Kang Ujang yang melambai-lambai di seberang minta tolong sesuatu.
Ginan yang lagi masak mie bareng Gala terperangah melihat sosok Jevi yang balik lagi.
"Saudara Jevi mau ambil motor? Bukannya besok?"
"Gue mau ketemu Gita."
"Eh? Gita kayaknya udah tidur."
"Gue mau ketemu aja nggak bakal ganggu tidurnya."
"Emm..." Ginan bergumam bingung. Ditatapnya Gala dan Jevi bergantian.
"Belum puas ketemunya?" tanya Gala tenang menatap Jevi datar.
"Jawabannya jelas kan? Tentu aja belum. Makanya gue balik lagi mau peluk dia lagi."
Ginan melongo. Segera berbalik arah dan mematikan kompor. Mau nonton drama dulu.
"Gita baik aja kalo elo penasaran keadaan dia." Gala memberi pernyataan tanpa diminta.
"Apa dia alergi sesuatu?"
"Gita nggak punya alergi kok saudara Jevi. Dia kan pemakan segala." Ginan yang menjawab pertanyaan Jevi sambil melirik Gala yang tetap tenang seperti biasa.
Jevi terdiam, ditatapnya lekat Ginan. "Tadi nggak cuma sama Om gue makan malemnya, tapi sama mamanya Gita juga."
Ginan sontak menjatuhkan garpu yang dipegangnya, membuat Jevi menaikkan alisnya. Apa Ginan juga tahu keadaan Gita sebenarnya. Sementara Gala menatap Ginan dengan pandangan tanya.
"Wow! Hubungan kalian benar-benar semakin jauh rupanya." Ginan berkata takjub dan tepuk tangan. "Kemajuan pesat karena Gita dari dulu nggak pernah makan semeja sama mamanya."
Jevi tersenyum miris. "Mamanya Gita sepertinya alergi ke anaknya sendiri."
"Ya begitulah."
Gala mengernyit bingung, sekarang dia merasa asing di sini karena nggak tahu apa-apa.
"Mau nemuin Gita kan?" tanya Ginan akhirnya. "Ke atas aja."
"Boleh, Gin?"
"Boleh kok saudara Jevi, sekalian kelonin sampai pagi juga boleh."
Jevi tertawa dan menuju tangga. "Dengan senang hati."
Gala menaikkan alisnya dan buru-buru menyusul ke atas, membuat Ginan geleng-geleng. Eh—tunggu, nanti sepupunya jadi rebutan gimana. Buru-buru Ginan ikut menyusul ke atas.
Sampai di depan kamar Gita, semua mendadak mengheningkan cipta. Nggak ada yang mau duluan masuk. Di sisi Jevi, nggak mau diganggu Gala. Di sisi Gala, dia nggak mau Jevi meluk Gita. Di sisi Ginan, takut terjadi keributan.
"Gue cuma mau mastiin, sebentar aja."
"Oke." Ginan buru-buru membuka pintu kamar Gita dan mempersilakan Jevi masuk.
Bisa Jevi lihat kamar Gita yang hanya diterangi lampu tidur, sementara Gita bergelung di selimutnya. Kali ini berbeda selimut dari yang pagi, yang sekarang lebih tebal. Jevi melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Jevi membayangkan apa yang terjadi ketika Gita kecil yang menghadapi sakit sendirian. Trauma apa yang dialami Gita juga.
Jevi mengusap puncak kepala Gita yang terasa hangat. Nafas Gita terdengar berat dan pelan. Jevi ingin sekali memberikan kehangatan dan perlindungan sebagai seorang... teman atau sepupu nantinya.
Jevi nggak bodoh dengan pancingan Om Davi tadi. Dari matanya, Jevi tahu Om Davi menginginkan mamanya Gita. Selalu. Begitupun yang Jevi lihat dari mamanya Gita yang juga mencintai Omnya. Meski mamanya Gita punya trauma terhadap laki-laki dan menjalin hubungan dengan banyak laki-laki. Tapi mata tidak bisa berbohong. Jevi terbiasa melihat binar cinta dari kedua orang tuanya. Lalu alasannya tidak bisa bersama Gita adalah peraturan keluarganya yang melarang hubungan antara sepupu meski tidak sedarah. Meski diperbolehkan agama tetapi hal ini merupakan wasiat turun temurun dari keluarganya.
Di keluarganya tidak ada yang boleh menikah dengan kerabat dekat, semuanya jauh. Kalau sampai melanggar, siap-siap dicoret jadi ahli waris dan diusir dari keluarga. Karena itu sama artinya tidak menurut apa kata leluhur. Jevi tidak sampai hati melanggarnya. Bukan karena takut nggak dapat warisan, tapi karena dia anak tunggal dan kedua orang tuanya menaruh harapan besar padanya. Kalau dia sampai diusir, gimana dengan mamanya. Begitupun dengan Om Davi, Om Davi mungkin sangat mencintai mamanya Gita, tapi omnya juga sangat menyayangi ibunya yang merupakan omanya Jevi. Omanya sudah pasti merestui hubungan Om Davi dengan mamanya Gita tak peduli latar belakang dan masa lalu. Karena yang terpenting, hubungan kekeluargaannya jauh. Makanya Om Davi selama ini tidak pernah dijodohkan karena pasti omanya tahu jika anaknya hanya mencintai satu wanita di hidupnya.
Jevi tahu omnya sangat patuh terhadap ibunya, sudah pasti omnya yang mengalah jika Jevi yang bersama Gita. Dan Jevi nggak mungkin setega itu merebut kebahagiaan omnya.
"Gue nyerah ngejar Gita, Gal. Gue melepaskan Gita sekarang dan selamanya."
Gala terhenyak begitupun dengan Ginan yang memperhatikan di depan pintu. Bisa dilihat gerakan kecil dari Gita yang memicingkan matanya menatap Jevi.
"Sori Ta, gue ganggu elo tidur ya?"
Gita menggeleng dan membuka selimutnya lalu bangun duduk sambil memegangi perutnya.
"Mau peluk boleh, Jev?" tanya Gita pelan pada Jevi, membuat Jevi menaikkan alisnya dan langsung memeluk Gita. Saat ini yang Jevi tunggu, Gita yang memandang dirinya.
Gala mematung melihat tingkah Gita sekarang. Yang diinginkan Gita ternyata Jevi. Karena tadi Gita mengusirnya secara halus, bilang ingin istirahat dan ingin cepat-cepat tidur. Gala segera berbalik pergi. Ia kalah telak. Tapi apa maksud Jevi yang bilang menyerah.
Ginan memperhatikan semuanya dengan bingung. Sepupunya mendadak manja ke Jevi, padahal selama ini boro-boro minta peluk. Minta apa juga Gita nggak pernah.
"Pelet elo mantep saudara Jevi," puji Ginan berjalan mendekat. "Gue juga mau dong dipeluk elo."
Jevi terkekeh geli tanpa melepaskan pelukannya pada Gita yang memejamkan matanya. Diusapnya punggung Gita dengan sayang. Namun bisa dirasakannya tubuh Gita yang semakin menggigil.
"Ta..."
Gita tiba-tiba membungkam mulutnya dan segera bangkit berdiri sambil memegangi perutnya. Gita terhuyung menuju kamar mandi. Jevi dan Ginan kompak saling pandang dan buru-buru menyusul. Dilihatnya Gita yang muntah-muntah.
"Mas Jevi nggak ngehamilin Gita kan?" tanya Ginan panik.
Jevi menoyor Ginan dan segera masuk ke kamar mandi, dipijatnya tengkuk Gita. "Ta, ke dokter ya? Atau gue panggilin dokter aja?"
Gita tidak menjawab karena sedang membasuh mulutnya di wastafel. Badannya gemeteran. Jevi segera merangkulnya dan membawanya kembali ke tempat tidur.
Ginan mengerjap, sepupunya sakit dan dia nggak tahu.
"Bawa ke tempat Mas Gala aja, di sana ada Bunda Ndari."
Gita menggeleng pelan. Dirasakan perutnya semakin sakit, Gita sudah tidak bisa memuntahkan apa-apa lagi. "Gue udah minum obat, cuma perlu tidur."
"Obat apa yang elo minum? Elo diare?" tanya Ginan mengecek kotak obat. "Tadi dicek sama Mas Gala?"
Gita kembali menggeleng pelan sambil menarik nafas panjang. Gala tidak memberinya obat apa pun karena Gita bilang dia baik-baik saja dan menolak diperiksa lebih jauh. Lagipula Gita sudah lebih dulu minum obat alerginya sampai dua butir. Dan dia hanya perlu tidur tanpa diganggu. Gita pikir obatnya bereaksi, tapi ia malah semakin mual dan lemas.
"Gue nggak apa. Cuma butuh tidur."
"Bentar, gue mau cek dulu Ta." Jevi berujar sambil menarik Gita berdiri dan seketika Gita limbung lalu jatuh pingsan.
"GITAAAA!" teriak Ginan memanggil Gita yang tak sadarkan diri di pelukan Jevi. Bahkan Gita mimisan.
"Gin, rumah sakit."
"Bawa ke rumah Bunda Ndari dulu. Gue panggil sekarang." Ginan buru-buru keluar kamar dan langsung berlari menuju rumah Gala di seberang tanpa beralas kaki.
Uday yang lagi di depan teras rumah Gala bareng Kang Ujang bingung dan terkejut ketika Jevi menyusul dengan menggendong Gita. Uday segera menghampiri.
"Gita kenapa?"
Jevi menggeleng. Tak berapa lama Bunda Ndari datang bersama Gala dan Ginan. Dilihatnya Gita yang tak sadarkan diri dan mimisan. Bunda Ndari mendekat dan memeriksa kondisi Gita lalu menyuruh Jevi membawa Gita masuk ke dalam mobil Jeep Rubicon merahnya. Jevi segera masuk setelah dibukakan oleh Kang Ujang. Uday ikut duduk di sebelah Jevi yang memangku Gita. Di depan ada Bunda Ndari dan Gala juga Ginan yang nyempil. Bunda Ndari segera melajukan mobilnya ngebut sampai Jevi memegangi Gita kuat karena Bunda Ndari ugal-ugalan.
***
Di IGD tampak Gita dipasang infus dan dikerubutin Bunda Ndari, Gala, Uday, Jevi, dan Ginan.
Setelah diperiksa, ternyata Gita keracunan obat alergi. Efeknya untung tidak terlalu parah karena cepat dibawa ke rumah sakit dan segera ditangani. Setelah disuntik antibiotik, keadaan Gita sudah stabil dan saat ini tengah tertidur. Jevi setia menunggui Gita tanpa melepaskan genggaman tangannya. Gala menyingkir dan keluar, Uday pun ikut menyusul.
Di halaman rumah sakit, Gala memandang langit malam.
"Apa gue nggak sepeka itu? Gue berkali-kali ngecek Gita, Day."
Uday hanya diam, dia tahu pasti Gala sekarang lebih merasa bersalah.
"Gue bilang Gita baik aja, tapi ternyata enggak. Coba kalo Jevi nggak ngecek lagi, Gita pasti bakal kenapa-kenapa. Gue emang nggak pantes buat Gita."
"Emang. Elo nggak peka. Elo nggak tau apa-apa. Elo emang nggak pantes buat Gita. Elo bahkan nggak coba cari tau."
Gala tertunduk dan menghela nafas.
"Gita nggak bisa terbuka sama elo alasannya cuma satu Gal."
"Apa?"
"Dari awal Gita tau hubungan elo sama Jana. Sampe sini pikir sendiri." Uday berkata lugas dan segera meninggalkan Gala untuk kembali masuk ke dalam.
Gala terdiam dan memikirkan perkataan Uday. Jadi, karena Jana. Tapi dari awal memang dirinya tidak peka bukan karena Jana. Gala tidak mencoba mencari tahu sendiri apa yang membuat Gita sungkan terhadap dirinya. Gala kembali menghela nafas dan duduk termenung di pelataran memandangi lalu lalang orang-orang.
Entah berapa lama, Gala duduk terdiam sampai bahunya ditepuk Ginan yang menyerahkan sebuah kunci mobil.
"Gita minta balik Mas Gal, elo disuruh ambil mobil bawa ke sini."
"Udah sadar?"
"Udah."
"Boleh balik?"
"Boleh."
Gala segera mengambil kunci dan menuju parkiran. Dipindahkannya mobil menuju pintu keluar IGD, lalu ditunggu sampai bundanya keluar bersama Jevi yang menggendong Gita. Gala keluar dan beralih ke kursi penumpang di depan setelah Gita, Jevi, dan Ginan masuk ke kursi penumpang di tengah. Uday mengungsi di bagian paling belakang. Setelah itu Bunda Ndari melajukan kembali mobilnya pulang ke rumah sendiri.
***
Gita disuruh istirahat di kamarnya Gala. Jevi pun segera mengantarkan dan membaringkan Gita di sana.
"Bunda tinggal sebentar ya Ta, mau sidang."
Gita bangun duduk dengan lemah. "Bunda jangan usir Gala lagi ya. Gal—"
"Iya-iya, paling Bunda sleding aja entar." Bunda Ndari memotong dan segera membaringkan Gita kembali. "Sudah tidurlah cantik."
Jevi yang masih di situ mengerutkan kening, Gala pernah diusir karena Gita.
"Yuk ganteng, mari kita keluar." Bunda Ndari segera menggandeng Jevi keluar dan bergabung dengan Gala, Uday, dan Ginan di ruang keluarga. Jevi diberi kode untuk duduk berkumpul. Sementara Bunda Ndari duduk di sofa single dengan kaki menyilang seperti seorang ratu. Tatapannya tajam siap menghunus.
"Oke, langsung aja. Gala!"
Gala segera bangkit berdiri. "Maaf, Bunda."
"Ginan!"
Ginan ikut bangkit berdiri. "Maaf, Bunda."
Uday langsung ikutan bangkit berdiri tanpa diminta. "Maaf, Bunda."
Jevi mengerutkan kening namun ikut bangkit berdiri.
"Kamu nggak perlu berdiri. Duduk!"
Jevi langsung menurut dan kembali duduk.
"Jadi Gita sakit nggak ada yang bilang ke Bunda? Baru setelah—" Bunda Ndari menatap Jevi di hadapannya.
"Saya Jevier Tante."
"Oh, yang anak basket itu?"
"Iya, Tante." Jevi balas tersenyum, sepertinya dia cukup populer.
"Panggil Bunda Ndari seperti bidadari."
"Bunda Ndari seperti bidadari?" ulang Jevi masih dengan senyumnya. Bunda Ndari manggut-manggut. Mbak Ifah dan Bu Yati yang menyimak menahan tawa.
"Oke. Dari mana kamu tau Gita sakit?"
"Feeling Tan—eh Bunda Ndari seperti bidadari."
"Feeling?"
"Tadi pagi sebenarnya Gita ngeluh dingin, saya suruh istirahat di rumah tapi Gita tetep pengen kondangan jadi ya udah saya temani. Sampai selesai kondangan, saya bawa Gita istirahat di kamar hotel."
"Kamu bawa dia ke kamar hotel?" tanya Bunda Ndari tajam.
Jevi mengangkat tangannya. "Saya nggak apa-apain Gita."
"Kamu pikir laki-laki berduaan di kamar bisa dipercaya, ketika ada perempuan cantik yang polos?"
Jevi bangkit berdiri. "Beneran saya nggak berani apa-apain Gita, takut dipenggal my mother."
Ginan dan Uday menahan tawa. Bunda Ndari memicing tak percaya, mengamati Jevi dari atas ke bawah.
"Bunda nggak perlu khawatir, tadi Mas Jevi makan malam bareng pamannya sama mamanya Gita di hotel." Ginan buka suara membela Jevi. "Tadi juga Gita diantar pulang sama pamannya Mas Jevi."
Bunda Ndari terlihat terkejut karena tahu hubungan Gita dan mamanya itu jauh. "Oke, kalau gitu sit down please Jevier."
Jevi kembali duduk dengan kikuk.
"Apa yang Gita makan? Terus tadi pagi selain dingin gejala apa?"
"Bubur ayam sama tutut terakhir dia makan. Tadi pagi Gita bilang kram perut sama tadi juga Gita pegangin perut aja."
Bunda Ndari mengangguk. "Ginan, apa Gita minum obat?"
"Eh? Iya Bunda, kata Gita dia udah minum obat."
"Cepat ambil bawa sini!"
Ginan buru-buru ngacir keluar.
"Gala!"
"Kemungkinan besar Gita alergi keong Bunda. Dilihat dari kulit Gita yang kering kemerahan, kedinginan, sama sakit perut. Gala tebak, Gita muntah-muntah juga sebelumnya."
Jevi cepat-cepat mengangguk. "Tadi Gita muntah."
"Bunda tau. Dokter juga bilang gitu tadi kalau Gita alergi sesuatu. Jadi karena keong." Bunda Ndari menatap ketiga pemuda tampan di depannya. "Nggak ada yang tau Gita punya alergi?"
Kompak semuanya menggeleng.
"Bunda juga nggak tau. Bunda macam apa yang anak gadisnya punya alergi sampai nggak tau." Bunda Ndari mengomeli dirinya sendiri dan tepat setelah mengatakan itu Ginan kembali sambil ngos-ngosan lalu segera menyerahkan kotak obat pada Bunda Ndari. Bunda Ndari segera meneliti satu botol obat alergi yang diyakini sebagai biang keladinya. Diperiksanya tanggal expired-nya dan sontak matanya melotot kaget.
Dua tahun yang lalu.
Bunda Ndari memijat pelipisnya. "Gal, tadi Gita minta biar Bunda nggak usir kamu. Menurut kamu baiknya gimana?"
Gala meneguk ludah. "Baiknya Bunda nurutin apa kata Gita."
"Nggak semudah itu sayangku."
"Bunda boleh hukum Gala. Bahkan kalau dikirim ke Nyonya Besar juga Gala terima. Atau terserah Bunda aja."
"Oke kalau begitu, Jevier tolong tonjok anak Bunda yang ganteng satu ini dong. Kalau Uday cukup ditampar aja kali ya. Kalau Ginan—"
"Bundaaa, aku rela juga ditonjok, bahkan sama Bunda." Ginan berucap sambil bersimpuh di lantai.
"Tangan Bunda berharga, nggak mau nabokin."
"Bunda Ndari seperti bidadari bolehin saya nonjok Gala?" tanya Jevi tidak menyangka.
"Tentu sa—"
Bugh!
Secepat kilat Jevi bangkit berdiri dan melayangkan bogeman di pelipis Gala. Keras dan telak sampai Gala tersungkur di lantai.
Uday menganga begitupun dengan Ginan. Tapi mereka berdua tidak berani menolong.
"Gal, kalo gue nggak dateng tadi, elo bisa bayangin kan apa yang bakal terjadi sama Gita. Elo bilang baik?"
Ginan mengatupkan bibirnya mulai menangis. "I-ini salah gue Mas Jev."
Jevi menghela nafas. "Salah gue juga nggak langsung bawa Gita ke rumah sakit tadi pagi. Gue yang tau dari awal kalo Gita sakit, tapi nggak bilang ke elo. Jadi elo bisa nonjok gue Gin atau elo Day atau elo Gal."
Ginan menggeleng. Mbak Ifah dan Bu Yati melongo, ingin membantu Gala tapi nggak berani juga. Gala hanya duduk dan tertunduk.
Bunda Ndari tersenyum lalu menatap Jevi. "Telepon your mother dan bilang kamu menginap di sini."
Jevi mengerjap.
"Uday bangun tenda di halaman. Kalian berempat tidur di sana. Satu yang berani keluar rumah atau tidur di pinggiran, Bunda kirim ke Nyonya Besar!"
Uday buru-buru ke gudang perlengkapan disusul Ginan yang menyeret Jevi untuk mengikuti. Gala ditinggalkan begitu saja bersama Bunda Ndari.
"Tanpa Bunda bilang, tau kan kesalahan kamu?"
Gala mengangguk. "Gala juga tau, Gita sakit tadi pagi Bunda. Bahkan mungkin kemarin malam Gita juga udah sakit."
"Kamu bahkan biarin dia tadi malam, luar biasa memang anak Bunda. Hebaaat!" sindir Bunda Ndari sarkas. "Kalau begitu jangan dekati Gita sampai kamu siap jagain dia. Awas berani deketin, Bunda kirim langsung ke Nyonya Besar!"
Setelah mengatakan itu Bunda Ndari menatap Mbak Ifah dan Bu Yati.
"Jangan bantuin obatin. Biarin aja, biar tau rasa. Biar tambah ganteng!" ujar Bunda Ndari lalu melenggang masuk ke kamar Gala.
Mbak Ifah yang sudah mengambil air minum untuk Gala jadi urung, buru-buru diminum sendiri. Baru dilihatnya Bunda Ndari yang murka seperti ini. Anaknya sendiri benar-benar dicampakkan. Bahkan ketiga yang lain, yang saat ini bahu membahu memasang tenda berukuran super besar di luar.
Gala bangkit berdiri dan berjalan lunglai ke kamar mandi di luar kamar. Ini memang salahnya, salahnya tidak bertanya Gita mau makan apa. Ini pasti gara-gara Gala memesankan escargot untuk Gita.
Gita yang kedinginan malam itu.
Gita yang memeluknya erat tapi kemudian ia yang melepaskan.
Kenapa Gala merasa seperti orang bodoh jika menyangkut tentang Gita.
***
Di dalam tenda, suasana sangat hening. Hanya terdengar desisan angin dari luar. Ginan tidur di ujung sebelah kanan sambil memeluk Jevi, di samping Jevi ada Uday, dan di ujung kirinya ada Gala.
Uday tiduran menyamping menghadap Gala yang udah merem sambil ditatapinya luka Gala di pinggir matanya kemudian tertawa geli lalu kembali terlentang. Mereka benar-benar seadanya tidur di dalam tenda. Tanpa bantal dan hanya ada dua sleeping bag yang dijadikan bantal. Untungnya tendanya luas jadi nggak gerah dan matrasnya empuk. Masih untung banget nggak dikirim ke Nyonya Besar.
"Day..." panggil Jevi pelan.
"Hm."
"Nyonya Besar siapa?"
"Nyokap gue."
"Oh."
"Untung kita nggak dikirim ke sana Jev."
"Nyokap elo nyeremin?"
"Enggak. Nyokap gue baek banget. Saking baeknya kalo sampe anaknya nyakitin cewek bakal dikirim langsung ke pangkalan militer."
Jevi tertawa. "Day, gue boleh minta saran?"
"Saran apa?"
"Gue suka seseorang Day, dia juga tau perasaan gue. Bahkan dia bersedia jadi pacar gue tapi gue nggak mau jadiin dia pacar saat itu. Gue nunggu dia mandang gue sebagai Jevier dan setelah itu terjadi ternyata ada hal yang bikin gue nggak bisa sama dia. Menurut elo gue harus gimana?"
"Setelah elo berhasil bikin Gita tertarik, elo tinggalin gitu aja? Cih, dasar buaya!"
Jevi kembali tertawa. "Kalo gue sama Gita bakal ada hati yang kecewa dan terluka."
"Soal cinta, waktu yang utama. Terlambat sedetik aja disambar serigala."
"Kalo gue tembak sekarang, abis lulus mau gue nikahin. Nggak akan gue lepas."
"Heh?" Uday terkekeh geli. "Kebelet?"
"Apa cinta boleh egois?"
"Menurut elo sendiri?" tanya Uday balik.
"Cinta itu timbal balik. Gue nggak bisa maksa Gita buat nikah sama gue nantinya kalo dia belum siap, tapi gue punya alasan buat nggak ngelepas dia. Dan Gita pasti nggak akan nolak. Gue yakin karena dia udah nerima gue sekarang. Tapi gue merasa egois kalo nurutin keinginan gue buat kebahagiaan gue sendiri."
Uday mengerjap mulai mencerna, sepertinya ada masalah internal antara Jevi dan perasaan orang lain yang Jevi kenal. Yang pasti itu bukan Gala, entah siapa.
"Tanya hati elo, Jev. Cinta bisa aja pengorbanan. Entah elo yang harus berkorban atau orang lain. Pikirin impact-nya ke depan. Apalagi mutusin nikah muda."
"Tunangan dulu kali ya, jangan langsung nikah? Gue juga perlu training dulu sama father gue buat jadi suami idaman."
"Sekalian training sama nyokap gue nggak? Ntar gue bilangin."
"My father gue cukup Day. Terima kasih."
Uday tertawa kecil. "Ya udah pertahankan jangan dilepas. Bahagiain Gita."
Jevi tersenyum. "Temen elo nggak apa?"
"Siapa? Oh, Gala?" tanya Uday lalu menyikut Gala. "Gal, ditanya tuh."
Gala yang diam-diam menyimak membuka matanya pelan. "Gue nggak apa. Elo nggak perlu minta maaf karena udah nonjok gue. Gue pantes dapet itu."
"Gue juga nggak berniat minta maaf Gal." Jevi berkata santai. "Gue udah bilang cinta ke Gita dan gue harus tanggung jawab sama ucapan gue. Gue ralat omongan gue tadi, gue nggak jadi ngelepas Gita sekarang dan selamanya."
"Hm."
"Tapi nanti kalo gue bikin Gita nangis karena gue, elo boleh ganti tonjok gue Gal."
"Elo mau main-main?"
"Iya." 'Tapi boong. Gue cuma mau manas-manasin elo aja,' batin Jevi tersenyum dalam hati.
Hening. Gala tidak membalas. Uday yang di tengah-tengah hanya menghela nafas.
"Day, elo bener. Cinta bisa aja pengorbanan dan gue memilih egois."
Uday tersenyum. "Iya Jev, terserah elo. Gala siap nonjok elo kapan pun kok, kalo sampe macem-macemin anak gadisnya Bunda Ndari."
Jevi ikut tersenyum. Iya, dia akan egois untuk saat ini dan mungkin untuk ke depannya.
Sementara Gala beneran pengen nonjok Jevi sekarang. Terang-terangan bilang mau mainin Gita. Lihat aja besok mau dia aduin ke Gita. Eh, tapi mana bisa kalau dia disuruh jangan dekat-dekat dulu.
***
Tbc.
Song Ji-hyo as Bunda Ndari seperti bidadari.
500 KOMEN EMOJI KESUKAAN KALIAN DI SINI UNTUK LANJUT.
Yang belum tekan bintang vote, tekan dulu yuk sekarang~terima kasih💜