Hari berlalu sangat cepat dan tanpa terasa, setelah menghabiskan waktu di Jogja untuk menyambut kelahiran keponakan kami yaitu putra pertama Mas Ferdy dan Mbak Fika yang diberi nama Raditya Ferdika Yusuf alias Radit, kami harus bertolak ke Columbia untuk berbulan madu. Meski sudah 2 tahun menikah dan ini bisa dibilang adalah bulan madu yang tertunda, namun kami bahagia karena kami memang sudah lama menginginkan honeymoon trip tanpa diganggu kesibukan kami akan pekerjaan masing-masing. Belum lagi, rangkaian proses pengobatanku yang masih berlangsung memang membutuhkan fokus tersendiri. Kalau sekarang, meski aku memang harus mengkonsumsi beberapa obat seumur hidup, tapi kondisi kesehatan jantungku memang makin membaik. Secara finansial pun, aku dan Dini makin mapan. Terbukti, dari hasil usaha dan kerja kami, kami bisa membeli 1 ruko di daerah Bandung untuk dijadikan tempat usaha distro milikku. Ini menjadi usaha sampinganku selain musisi dan kalau istriku, selain sibuk dengan klinik, ia juga mulai ekspansi untuk menjadikan klinik miliknya di Jakarta dan Jogja sebagai RS khusus untuk penyakit dalam dan itu memang tinggal menunggu ijin operasional saja karena segalanya sudah diurus. "Mas. Kamu tahu gak. AKu tuh ngerasa kalau.....aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia ini," ujar Dini saat kami di pesawat business class menuju Columbia. Istriku itu juga menyandarkan kepalanya ke bahuku. Tangan kami malah saling genggam. "Kenapa gitu, sayang?," tanyaku. Kutatap wajah menenangkan milik istri cantikku itu. "Karena kamu tuh kekuatan aku. Kamu selalu....bisa nenangin kalau aku panik dan marah. Mas. Kamu juga segalanya buat aku," jawab Dini dan ia mengeratkan genggaman tangannya padaku. "Iya. Aku juga beruntung dan ngerasa jadi pria terbahagia saat bersama kamu. Itu karena kamu selalu ada di sisiku dalam kondisi apapun. Makasih, Bunda. Ayah sayang sama bunda," sahutku. Kudaratkan 1 kecupan ke kening Dini. "Sayang. Kamu tahu, ini kita transit sekitar 9 jam di Paris. Aku udah siapin short trip. Jadi, gitu kita sampai ke bandara, udah ada mobil yang jemput dan kita sarapan di sekitar Menara Eiffel. Udah ada juga fotografer yang akan fotoin kita. Aku siapkan ini semuanya untuk kamu," lanjutku. "Mas.....Kamu tuh ya....Well. Semoga someday, kita bisa ke Paris lagi dan....eksplore beberapa kawasan Eropa deh. Tapi, bulan madu kita lumayan anti mainstream. Jarang yang ke Kolombia untuk bulan madu dan kita kesana. Hehehe. Jadi gak sabar deh, mau kesana," balas Dini. Ia memang sangat bahagia dan aku juga merasakan hal yang sama. Tak lama, kami tiba di Paris juga. Kami segera turun dengan penumpang lainnya.
Setelah mengurus administrasi untuk penerbangan lanjutan kurang lebih 9 jam lagi, kami langsung ke pintu keluar bandara dan disana, sudah siap tour guide agar kami bisa short trip keliling kota Paris. Mereka menawarkan agar kami sarapan di sebuah restoran tak jauh dari Menara Eiffel dan kami setuju. "Mas. Finally. Bisa breakfast ala Prancis juga," komentar Dini padaku. "Iya istriku sayang. Ini memang buat kamu. Aku pengen lebih bisa bahagiain kamu. Aku juga makasih karena sejak awal kita kenal, jadian sampai 2 tahun pernikahan, kamu tuh udah sabar banget nemenin aku, apapun kondisiku," sahutku. Kurangkul pundak Dini dan kugenggam tangan istri cantikku. "Mas. Aku juga makasih karena kamu udah pilih aku. Aku tahu, kamu diidolakan banyak orang dan.....ya....kamu menjatuhkan hatimu ke aku. Insya Allah, I will keep it, Mas," balas Dini dan ia bersandar dalam pelukku. Usai sarapan, kami lanjut trip sekaligus sesi foto post wedding di Menara Eiffel. Kami sempatkan juga untuk ke Notre Dame danMusse du Louvre yang tak jauh dari area Eiffel. Tentu, kami berpose ria disana. Avenue des Champs-Elysees menjadi destinasi selanjutnya. Kami juga sempat mengelilingi area Sungai Seine dengan kapal selama setengah jam plus sempat membeli beberapa pernak pernik khas Paris untuk oleh-oleh. "Yah. Ini, bunda liat sepatu nih, buat ayah. Beli ya," ujar Dini dan jujur, ia memang paling paham dengan seleraku. Ia bahkan membeli 2 sepatu untukku. Itu karena kami sempat pisah arah sebentar untuk mencari keperluan masing-masing. "Bunda. Look. Ini untuk bunda," balasku seraya memperlihatkan kalung cantik bermata berlian dengan brand terkenal asli Paris untuk istriku itu. Kukenakan kalung itu ke leher jenjang Dini dan itu semakin menambah pesona istriku. "Yah. Makasih banyak loh, kalungnya. I Love it," balas Dini. Ia lingkarkan tangannya ke pundakku dan aksi ini dipotret oleh fotografer kami. Sebelum kembali ke bandara, fotografer tersebut memberikan soft file foto kami lewat google drive yang bisa kami download sendiri di tablet maupun smartphone masing-masing. Sore selepas Ashar, kami menuju Bogota, Ibukota Columbia.
Sudah jam setengah 8 malam saat kami tiba di Bogota. Kami langsung menuju hotel Hilton Bogota untuk segera istirahat dan makan malam. "Sayang. Abis mandi, kita dinner di area outdoor hotelnya yuk. Aku udah booking," ajakku pada Dini. "Iya, sayangku...Bentar. Aku lagi make up dikit. Tunggu ya sayang," balas Dini dan aku mengangguk. Aku menunggu istriku dengan sabar dan tak lama, kami turun untuk makan malam berdua dengan suasana romantis area outdoor hotel yang menghadap gunung. "Sayang. Besok kita keliling Bogota dulu sebelum ke Monserrate ya.... Dari Monserrate, kita ada trip ke Pulas San Andreas juga. Ya...kita puasin di Bogota dan Monserrate dulu," ajakku. "Iya sayang. Sesuai sama trip yang kita rencanakan," balas Dini dan kami masih foto berdua sambil menikmati romantisnya suasana area outdoor Hilton Bogota. Setelah puas, kami lanjut ke kamar untuk tidur dan keesokan harinya, kami ke Monserrate dulu dengan subway. Ya. Disana, kami juga menaiki cable car serta menelusuri jalan setapak untuk makin menikmati kawasan ini. "Mas. Udaranya segar banget. Udah lama gak ke gunung," komentar Dini. "Iya sayang. Seger banget udaranya," balasku dan kurangkul pinggang istriku itu. Puas menikmati Monserrate, kami mengeksplore Maupela Flora and Fauna Sanctuary dan sempat keliling dengan kano untuk menikmati pantainya. Kami juga menikmati sunset indah disana. Beberapa tempat kami kunjungi selama di Bogota dan San Andreas. Kami menghabiskan 2 minggu di Bogota dan 1 minggu di San Andreas. Lalu, kami kembali ke Jakarta dengan transit di Intanbul, Turki. Saat di Istanbul, ternyata sudah pukul 16.45 waktu setempat. Kami langsung mencari hotel dan langsung menuju Grand Bazaar sesuai arahan dari Tour Guide karena kami ingin membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga besar serta sahabat dekat kami. "Sayang. Katanya ada pemandian dan pijat tradisional disini. Yuk coba," ajakku pada Dini dan istriku itu mengiyakan ajakanku. Usai menikmati pemandian tradisional dan pijat ala Turki, kami kembali ke hotel dan istirahat sejenak setelah sebelumnya dinner duluuu.....Baru keesokan harinya, jam 8 pagi, kami check out dan langsung sarapan dulu di area hotel. Pukul 9 pagi, kami sudah berada di Blue Moeque. Kami sempat sholat Dhuha disana dan mengeksplore indahnya masjid cantik tersebut. Gak lupa foto dunk yaaaaa. Kami juga mengunjungi Haghia Sophia, sebuah masjid terkenal di Istanbul plus ke Istana Topkapi. Saat makan siang, kami menikmati lunch di sebuah restoran cantik yang menghadap ke Selat Bosphorus. Seusai foto sejenak setelah makan, kami lanjut ke bandara untuk kemudian kembali ke Jakarta.
Setiba di Jakarta, sejumlah pekerjaan sudah menantiku, begitu juga Dini. Ya. Sebulan ditinggal, pekerjaan sudah memanggil saja. Jadwal show, reading naskah series dan lainnya juga sudah menantiku meskipun tetap saja, kesehatanku menjadi prioritas sebelum mengambil job. Itu sesuai saran istri tercintaku. Namun, ada yang berbeda dariku. Sejak kembali dari Kolombia, aku malah sering merasa sesak lagi meski aku tahu, itu kadang terjadi padaku, yang sejak lahir memang memiliki penyakit jantung bawaan karena menurut mamaku, aku terlahir prematur. Seperti pagi itu. Usai mengantar Dini ke rumah sakit karena hari itu mobilnya di service, aku kembali ke studio untuk penyelesaian albumku yang paling baru. "Ta. Lu kenapa? Pucat banget," tegur Komeng padaku. "Nggak. Gue gak apa-apa. Tadi, gue juga udah bisa nyetir agak jauh. Ya....Gue gak mau selamanya nyusahin istri gue dan orang lain di sekitar gue. Meng. Gue pengen mandiri kayak dulu, gak kehambat dengan kondisi jantung gue," jawabku seraya curhat. "Iya sih, lu bener. Tapi.....tuh kan....lu gak pernah pucet banget gini selama lu pengobatan deh," tegur Ichan. "Udah. Gue gak apa-apa," balasku lagi walau jujur, aku juga merasa ada yang tak biasa dengan kondisi badanku sekarang. Terlebih, tak lama kemudian, kepalaku pusing dan dadaku sangat sakit seperti ditindih banyak bebatuan besar. "Ta....Ya Allah...lu sesak?," tegur Komeng dan ia serta beberapa kru membaringkanku ke sofa serta mencarikan oksigen spray. Itu memang sejenak menolong, tapi tak berhasil sepenuhnya karena rasa sakit itu datang lagi dan aku langsung tak sadar apa yang terjadi. "Meng! Mas Ta pingsan," seru Ichan. "Ya Allah..Udah. Telepon ambulance dan..gue call Dini sekarang," sahut Komeng. Beruntung, tak lama ambulance dari RS Medistra datang. Komeng sendiri sedang menghubungi Dini dan belum diangkat. Itu karena yang aku tahu, istriku ada operasi dan beberapa jadwal.
Tiba di RS, aku langsung ditangani oleh dokter Tris dan crew. "Finally..Din.....nyambung juga," ujar Komeng. "Iya, Mas. Kenapa? Gue baruuuuu kelar operasi nih," sahut Dini saat Komeng menelepon. "Din. Lu ke Medistra sekarang. Mas Ta pingsan tadi, dan kondisinya lemah banget," ujar Komeng. "Astaga. Trus sekarang Mas Ta dimana?," sahut Dini. "Dia di Medistra, Din. Apa...kemungkinan anfall lagi?," tanya Komeng pada istriku. "Gue gak ngerti, Mas. Itu harus gue sendiri yang cek," jawab Dini. "Mas. Gue kesana sekarang," sahut Dini lagi. Ia tutup telepon dan bergegas ke Medistra. "Din. Mau kemana? Bentar lagi lu ada schedule meeting sama Menkes dan Presiden di Istana negara loh," tegur Hanna. "Na. Plis. Lu handle. Ini emergency. Suami gue anfall," jawabku. "Ya udah. Gue sama Mey aja yang beresin deh. Lu fokus ke suami lu," sahut Hanna. "Iya, Din. Gue dan Hanna paham. Setelah nikah, keluarga memang prioritas kita," timpal Mey, yang sudah memiliki 2 anak. "Thank you, girls. Doain semoga suami gue gak apa-apa. Gue ke RS pake taksi aja biar cepet," sahut Dini dan ia segera menyetop taksi yang ada di parkiran RS untuk segera ke Medistra. "Mas. Untukku, gak ada yang lebih penting selain kondisimu," batin Dini. Ia lantas meminta agar supir taksi sedikit menambah kecepatan demi bisa lebih cepat tiba di RS Medistra tempatku dirawat. Ia juga menghubungi mamaku, juga bundanya di Jogja. Kedua ibunda kami ini memutuskan untuk segera berangkat ke Jakarta.
Di Medistra. Dini tiba bersamaan dengan keluarnya dokter Tris usai memeriksaku. "Dokter Dini. Ada yang harus dibicarakan terkait kondisi suami anda," ucap Dokter Tris pada Dini. "Iya, Dokter," sahut Dini dan ia mengikuti dokter Tris. Di ruang kerja dokter Tris. "Dokter Dini. Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat penyempitan pada pembuluh darah arteri koroner pada jantung suami Anda. Karena itu, suplai darah ke otot jantung berkurang dan ini yang menyebabkan penurunan kondisi tubuhnya secara signifikan. Tadi beliau mengalami serangan lagi dan......ini lebih parah dari perkiraan. Selain itu, dari hasil laboratorium, ya.....ditemukan hal lain yaitu suami Anda sudah resisten dengan obat-obatan yang harus dia minum selama seumur hidup. Ini fatal, Dokter Dini. Well. Kita gak punya pilihan lain. Kita harus lakukan bypass, dan itu opsi terbaik dari semuanya," jelas dokter Tris. "Iya, saya paham, dokter. Jadi.....lakukan yang terbaik," sahut Dini. "Tapi, untuk pemulihan, itu tergantung kondisi suami anda dan operasi akan dilakukan segera begitu kondisi suami Anda lebih stabil," jelas dokter Tris. "Iya, dan setelah bypass, untuk obat rutinnya gimana, dokter?," tanya Dini. "Itu akan kita berikan sesuai dengan perkembangan pasien dan harapannya, ini bisa membuat pasien tidak perlu seumur hidup tergantung sama obat," jawab dokter Tris. Lalu, Dini segera menuju ruang ICU untuk menjengukku.
"Mas....," sapa Dini. "Sayang...," panggilku. Dini mendekat dan ia pegang bahuku. Kondisiku saat ini memang sudah dipenuhi banyak alat untuk bisa mendeteksi kondisiku serta terutama kondisi jantungku. "Gimana kondisi kamu, sayang?," tanya Dini. "Aku gak apa-apa, Sayang. Cuma lemes dan..nafasku berat banget. Kalau lepas oksigen, rasanya sesak dan dadaku sakit," jawabku, berusaha jujur dengan kondisiku. "Iya sayang. Itu karena kondisi kamu agak beda dan itu artinya, kamu di bypass supaya bisa sehat lagi, Mas," jelas Dini. "Iya. Aku mau, supaya bisa sembuh dan..aku mau liat kamu senyum. Tapi...kalau operasinya gagal, aku cuma mau bilang makasih sama kamu, Bunda, karena selalu ada untukku. Well. Semua yang menjadi milikku, akan jadi punya kamu kalau aku harus menyelesaikan tugasku di dunia ini," sahutku dan kupandang lekat wajah istriku. "Mas....Kamu jangan bilang gitu, Sayang. Kamu pasti sembuh dan bisa lewatin semuanya. Malah, dengan bypass, Insya Allah kamu bisa lepas obat seumur hidup," balas Dini. Kuusap sayang pipi istriku dan kutatap ia dengan cinta. "Din. Kondisiku udah kayak gini. Apa....kamu yakin, kalau aku bisa sembuh?," tanyaku. "Iya. Aku yakin, Mas. Jadi, Insya Allah besok operasinya, sayang," jawab Dini. Ia kecup sayang tanganku. Kemudian, Dini mengusap tanganku hingga aku tidur sembari memegang erat tangan istriku.
Keesokan harinya. Keluargaku dan istriku sudah berkumpul minus Mas Ferdy dan Mbak Fika yang hanya videocall karena mereka tak bisa meninggalkan Radit yang masih bayi. Kondisiku sendiri memang agak lemah, namun masih memungkinkan untuk segera operasi. Bahkan, ada Dini yang menemani saat aku akan dibius atas pilihanku karena dengan melihat ada Dini bersamaku, aku bisa sangat tenang. "Mas. Kamu janji, buka mata kamu lagi setelah ini," bisik Dini padaku saat aku akan dibius. "Iya, sayangku. Insya Allah," bisikku lagi dan kemudian, obat bius mulai bereaksi. "Dokter Dini. Tetaplah disini. Atau kalau Anda gak tega, bisa lihat operasi dari monitor," tawar dokter Tris. "Iya, saya disini untuk suami saya," jawab Dini dan ia mendampingiku menjalani serangkaian tindakan bypass yang memakan waktu 6 jam.
Gaes....kita-kira gimana kondisku nanti? Apakah janji setia kami berdua bisa ditepati?