Hai hai ...
Lama ga update ya gaes
Yuk yuk baca yuk kisahnya Raga, Aita, Jundi, dan Diantri yg makin gemesin hehehe
***
"Ya, Bang!" Teriak Aita saat bel terus berbunyi. "Duh sabar kenapa sih, Bang! Tunggu!"
Ia berlari sambil menggerutu, tergopoh-gopoh dari arah dapur. Tapi lantas bersemangat saat sekilas melihat ke arah jam. Ternyata belum terlalu malam. Jundi memenuhi janji untuk pulang lebih awal, demi merayakan ulang tahunnya bersama Aita.
Klek! Aita menarik daun pintu.
"Bang Jun..." antusiasme Aita surut. Suaranya memelan, terkatung di tenggorokan. Parau. Ia salah, ternyata bukan Jundi yang datang, melainkan Raga.
Leher Aita menegang karena saliva yang kental. Degup jantungnya acak-acakan. Tersadar yang datang bukan mahromnya, ia meraba rambut yang tak berpenutup. Lalu sebisanya menutupi dengan kedua tangan.
Saat melirik sepintas ke garasi, memang benar mobil suv hitam itu yang biasa Jundi kendarai akhir-akhir ini. Lalu mengapa yang datang bukan kakaknya?
"Ini aku, Ta. Bukan Jundi. Dia akan datang lima belas menit lagi."
Aita panik. Belum menentukan sikap. Terlalu beresiko jika harus mempersilakan Raga masuk, mengingat yang terjadi terakhir kali membuatnya sangat takut. Tapi jika membiarkan Raga berdiri di luar tanpa dipersilakan terkesan sangat tidak sopan. Atau mungkin berlari saja ke kamar, memakai hijab, baru menentukan pilihan.
"Aku boleh masuk?"
Mata Aita bergerak gugup. Tangannya otomatis mendingin.
"Kamu bisa lanjutin masak," imbuh Raga sebelum nyelonong memasuki ruang tamu. Melewati si pemilik rumah yang bengong menyaksikan kelancangannya.
Usai berkeliling Jakarta setelah kabur dari interfenso ibunya, Raga memikirkan banyak tujuan, acak, dan rumah Jundi yang berulang kali muncul di benak. Berharap sahabatnya bisa meringankan sedikit beban yang ibunya hadiahkan.
Namun, lihat betapa beruntungnya. Seorang yang jauh lebih berharga dari Jundi membukakan pintu untuknya. Bahkan menyadarkannya, bahwa bukan Jundi yang ia tuju, melainkan gadis yang baru saja memutar tubuh sambil menatapnya keheranan.
Mereka bertatapan. Hingga Raga punya kesempatan untuk menamatkan tampilan Aita. Gadis itu mengenakan t-shirt mini dan celana pendek sebatas paha. Sementara rambutnya dicepol ke belakang tapi beberapa helai jatuh menjuntai, memamerkan leher putih mulus yang dua hari lalu aromanya sempat terhirup, terendus saat ia mengecup.
Raga membuang muka. Ia takut sakit jiwa. Khawatir hasratnya membuncah. Aita adalah makhluk ajaib baginya. Gadis itu mampu bisa mengubah nafsu yang menggigil dingin menjadi sepanas padang pasir. Tubuhnya seperti magnet, yang sewaktu-waktu bisa menarik kuat-kuat, agar terus mendekat dan semakin dekat. Memicunya berbuat nekat.
Ah melarikan pandangan ternyata tidak semudah itu. Lihat betapa seksi gadis dengan apron lusuh dan penampilan seadanya itu. "Aku akan tunggu Jundi di sini."
Situasi cukup terkendali. Raga duduk di sofa ruang tamu, dengan tenang melipat kakinya. Sepertinya lelaki itu cukup jinak. Aita menyemogakan. Tak punya pilihan.
Aita terkesiap saat teringat akan penampilannya. Lantas berlari ke kamar untuk melepas berganti pakaian yang lebih tertutup. Pantang lupa mengunci pintu. Lalu keluar kamar saat memastikan semua masih aman terkendali.
"Ta, aku ikut ke kamar mandi."
Aita yang sibuk menghias kue ulang tahun untuk kakaknya hanya mengangguk tanpa berani menatap. Sedikit kaget saat Raga mendekat. Ia terus menyibukkan diri menulis ucapan ulang tahun. Lalu memegang dada sendiri saat Raga hilang dari pintu kamar mandi di dekat kamar Jundi. Lega.
Bagaimanapun, yang terjadi di antara mereka sebelumnya tak mungkin mengembalikan sikap normal Aita. Ciuman bibir bukan hal sederhana. Apalagi dilakukan hingga dua kali. Mana mungkin tak membekas di memori.
Beberapa saat kemudian Raga keluar. Sayangnya tak lantas berlalu di depan Aita. Lelaki itu justru mendekat. Duduk di kursi dapur sambil mengamati gadis yang mulai gemetar karena merasa sedang terancam, padahal tak satu hal agresif pun dilakukan.
"Aku juga sudah menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Jundi."
"Oh. Terima kasih." Hanya itu sahutan Aita. Ia tak membuka peluang untuk banyak bicara. Memilih kembali fokus pada plastik segitiga berisi buttercream berwarna biru muda.
"Kamu tidak ingin tahu apa hadiahnya?" Raga berusaha ramah, membiasakan sikapnya. Membuang batas antara dirinya dan Aita.
"Apa?"
"Liburan ke luar negeri denganmu."
Tangan Aita berhenti sejenak. Hasil tulisannya sedikit keluar jalur karena ucapan Raga membuat mengaburkan isi kepalanya.
"Ta..."
Ah jantung Aita semakin kencang bersuara. Saat Raga memanggilnya selembut itu, artinya ada hal khusus yang akan diberitahu.
"Kamu menghindariku, Ta?"
Tangan gemetar Aita tetap berusaha memainkan plastik segitiga, kembali menulis ucapan di atas kue ulang tahun kakaknya. Namun pertanyaan Raga mengganggu konsentrasinya, lagi-lagi tulisannya keluar lintasan. Memaksanya berhenti sebelum hasil karyanya lebih hancur lagi.
"Sejak yang terjadi di sini beberapa hari lalu, kamu terus menghindari pertemuan denganku, bahkan enggan bicara denganku lagi. Apa perasaanmu padaku juga hilang?" Tembak Raga. Ia mendekat, tapi Aita justru mundur selangkah.
Gadis itu tak menyangka Raga akan membahas tentang perasaannya. Ia kira lelaki itu tak tahu, atau tahu tapi tak terlalu peduli. Soal ciuman, bisa saja itu hanya rekasi spontan karena keadaan.
"Jujur aku kesepian, Ta."
Kesepian? Benarkah itu? Aita bertanya-tanya. Belum usai kecamuk pikiran tentang perasaan yang dipertanyakan Raga, ia harus dihadapkan dengan pengakuan lain. Bukankah kesepian itu artinya Raga ingin selalu bersamanya, sangat ingin dekat dengannya.
Semakin maju langkah Raga, semakin mundur kaki Aita. Terus mengencang degup jantungnya. Di keningnya mulai muncul bintik keringat dingin. Ia lepas apronnya lalu berjalan cepat melewati sisi kanan Raga.
"Kita bicara di ruang tamu saja, Kak." Pinta Aita saat Raga menyusulnya tanpa diminta. Sayangnya lelaki itu duduk tepat di sampingnya. Lalu menarik tangannya yang hendak beranjak, ingin menjaga jarak.
"Mau kemana, Ta? Kita bicara di sini seperti katamu."
Aita terdiam kaku.
"Aku ingin bicara serius tentang kita," ujar Raga. "Jangan terus menghindar, jangan ketakutan."
"Apa yang ingin Kakak bicarakan? Lebih cepat lebih baik."
Sungguh Aita tak sabar. Memangnya apa yang akan Raga bicarakan? Aita kebingungan. Apa yang ingin ia katakan? Seharusnya tidak ada. Tapi sepertinya ada. Soal kedekatan hubungan mereka sebelumnya, Jundi pasti tidak menghendakinya. Ia terus membulatkan tekad untuk mengatakan alasannya menghindar, meskipun bibir masih terus dikulum lepas karena resah.
Di sela kecamuk pikiran Aita, Raga merasa punya kesempatan untuk mengamati wajah ayu gadis itu. Teringat rambut hitam yang tadi sempat menghiasi wajah putihnya. Juga kaki kecil jenjang yang mulus tanpa bulu. Tanpa sadar seringainya pun terbit diam-diam. Otaknya jadi kacau, membayangkan betapa cantik tubuh Aita saat tak berbusana. Betapa hangat jika saja bisa dipeluknya.
"Emm... Kita bicara lain kali saja, Kak. Bang Jundi sebentar lagi pasti datang."
Setiap kali Aita membuka bibirnya, sisi kelelakian Raga terpanggil. Gadis itu selalu membuat aliran darahnya ditunggangi nafsu. Tak bisa jauh dari gadis itu.
Di dekat Aita, Raga merasa menjadi lelaki seutuhnya. Merasakan getaran atas suatu kebutuhan dasar, mencintai, dicintai, dan sentuhan fisik yang berujung pada hasrat biologis.
Jika bisa mengerang, suara batin Raga mungkin akan mengagetkan orang-orang terdekatnya. Pemuda yang begitu anteng, tidak neko-neko, jarang dekat dengan wanita, tapi berusaha memiliki jiwa dan raga Aita. Logikanya jebol dirusak oleh hasrat liar yang bergerak masif setiap kali berdekatan dengan adik sahabatnya.
Ah, jika ingat Jundi. Sampai di titik berciuman saja, sudah sangat cukup untuk membuatnya dipukuli. Ia tahu betul seberapa Jundi sangat melindungi adiknya yang jelita. Anggaplah akan tamat riwayatnya.
Raga tahu kegelisahan Aita. Raga juga tahu resiko yang harus ditanggung atas perbuatan kotor yang terbesit di benaknya. Tapi ia ingin, ia mau, dan ia gila. Tergila-gila.
"Aku ingin sekarang. Aku ingin kita bicaranya sekarang." Raga mulai arogan, ia menggenggam erat pergelangan tangan Aita, hingga Aita mendelik tak menyangka.
Lalu...
"Tap--mmh!"
Aita refleks mendorong, memberontak saat Raga tiba-tiba mencium bibirnya. Kepala bagian belakangnya dikunci hingga ciuman itu terasa rapat sekali. Bahkan dalam sekejap Raga berhasil mengusai rongga mulutnya.
Air mata Aita mulai menetes saat Raga memutar tubuhnya, menariknya agar duduk lebih masuk, lebih dalam ke pangkuan. Tangan lelaki itu membungkam dari belakang. Aita memberontak, berusaha menjerit untuk menyelamatkan harga dirinya, tapi... ia kalah tenaga. Kini tangan kiri Raga bahkan sudah meremasi dadanya.
Begitu kuat tangan besar Raga membungkam hingga tangisan Aita terkamuflase. Sekuat tenaga gadis itu meronta, mencari cara untuk meloloskan diri agar terlepas dari lelaki yang sibuk mengendusi lehernya dengan sangat menjijikan.
Ini kesempatan baginya berteriak. Tapi, ia memilih mengemis belas kasihan. "Jangan, Kak. Hiks..."
Penolakan Aita tak sedikitpun menyurutkan niat Raga. Lelaki yang terlanjut tenggelam di pusaran nafsu itu justru memainkan telinga Aita dengan ujung hidung. Lalu seketika menarik lepas hijab Aita, hingga menguar rambut hitamnya. Memabukkan wanginya. Raga kembali menghirup dalam-dalam, seolah rambut Aita adalah candu menawan. Ia bahkan yang memejamkan mata sambil terus mengendusinya.
"Hiks... Jangan, Kak, jangan kotori aku..." rengek Aita dengan derai mengucur di kedua pipinya.
"Bagaimana kalau kita kotor bersama, Ta?" Bisik Raga dengan napas memburu.
Aita menggeleng pelan. Terisak-isak. Berusaha keras melepaskan tangan Raga di dadanya. Juga sapuan nafas panas Raga di telinganya.
"Aku... Kehilangan keperjakaan, dan kamu... kehilangan keperawanan. Adil bukan, Ta?"
***
Di Karyakarsa kisah ini sudah sampai bab 13, makin seru dan bikin readers naik darah w
Enaknya baca di Karyakarsa itu...
1. Bisa unlock bab scr paketan atau satuan
2. Ga harus top up koin
3. Ga harus instal aplikasi
Langsung aja klik link yg ada di beranda wattpad akuya..