"Kamu tidur di ruang tamu."
Zara tertegun sejenak. Pria berusia akhir dua puluhan itu adalah suaminya. Acara pernikahan baru selesai diadakan. Semua hiruk-pikuk kekerabatan, penyambutan tamu, perkenalan, dan tea time kecil-kecilan, bahkan belum sepenuhnya hilang dari kepala, dan Zara sudah dihadiahi kalimat aneh dari suaminya, di malam pertama mereka.
Dia adalah Erwin, anak kedua dari keluarga Sanders. Laki-laki yang cukup sukses di usianya yang terbilang masih muda. Erwin sudah menjadi Managing Director di perusahaan ayahnya tepat setelah lulus kuliah dengan gelar Magna Cum Laude di usia 18 tahun. Mengambil kelas aksel di setiap jenjang sekolah yang diselaminya.
Wajahnya sering muncul di majalah-majalah ternama dan koran pagi. Tampangnya memang jauh dari kata jelek. Meski sering tidak punya waktu untuk bercukur dan membiarkan dagunya ditumbuhi rambut yang kini mulai merambah ke pipi belakang, pesonanya tidak berkurang. Sedikitpun, tidak ada kesan tua. Yang ada malah terlihat semakin dewasa.
Zara dijodohkan dengannya oleh ayahnya yang dulu merupakan rekan kerja ayah Erwin. Beberapa bulan setelah Zara lulus kuliah, mereka langsung bertunangan dan menikah.
Tentu, mereka belum sempat mengenal satu sama lain. Bahkan, bertemu saja baru beberapa kali.
"Kenapa aku tidur di kamar tamu?" bukankah mereka harusnya tidur satu kamar, satu ranjang, karena mereka sudah sah menjadi suami-istri?
Erwin memalingkan wajah, melewati Zara yang berdiri di depan kaki ranjang dengan gaun putih berhias kalung dan cincin emas. Dia bahkan belum sempat membersihkan diri.
"Karena aku tidak ingin tidur denganmu," ujar Erwin. Membelakangi Zara sembari mencopot dasi dan kancing kemejanya.
"Apa karena pernikahan ini hasil dari kesepakatan bisnis?" pertanyaan Zara membuat Erwin berbalik. "Apa sebenarnya Mas Erwin tidak menginginkan pernikahan ini?"
Wajah tampan itu mengeras. Kembali, dia memalingkan wajah. "Turuti saja perkataanku, atau tidur di lantai jika kau tidak mau pergi. Yang pasti, aku tidak mau melihatmu menyentuh ranjangku."
Bibir Zara terbuka dengan rona tidak percaya.
"Aku tidak mau tidur di kamar tamu atau pun di lantai. Menurutmu apa yang akan keluargamu katakan kalau aku keluar dari kamar ini dan tidur di kamar lain? Bukan hanya aku, tapi, kau juga akan mendapat masalah, bukan begitu?" Zara mendekat pada pria yang sekarang telah resmi menjadi suaminya itu. "Dan aku tidak sudi tidur di lantai. Jadi, silakan cari tempat lain jika kau tidak mau seranjang denganku."
Kaki yang masih terbalut sepatu hak tinggi itu melangkah memasuki kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun. Membuat Erwin melempar dasinya, dan mengumpat penuh amarah.
Penampilan Zara yang selalu terlihat polos dan tertutup menyebabkan Erwin beranggapan kalau Zara adalah gadis penakut. Tidak dia sangka bahwa Zara bisa mengatakan hal seperti itu.
Erwin jelas tidak bisa menerimanya. Erwin tidak mau mempertahankan perempuan tidak berguna seperti Zara dalam hidupnya. Tapi, dia harus melakukannya hanya karena kesepakatan bisnis.
Sial!
Sayup suara air terdengar dari dalam kamar mandi. Zara membasuh wajahnya di depan wastafel. Melihat pantulan dirinya di depan cermin.
Apa dia seburuk itu sampai ditolak mentah-mentah di malam pertamanya?
Zara tahu pernikahan atas dasar perjodohan memang tidak selamanya menghadirkan cinta. Tapi, bukankah seharusnya mereka berusaha saling mengenal terlebih dahulu? Baiklah, lupakan hubungan atau kegiatan lain, setidaknya mereka bisa saling mengobrol atau mencoba saling menghargai, 'kan?
Apa-apaan Erwin tadi?
Haruskah Zara benar-benar tidur di kamar tamu? Tapi, bagaimana kalau ada anggota keluarga Erwin yang melihatnya pergi dari kamar pengantin? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?
Zara tidak bisa melakukannya. Dia tidak mungkin merusak kebahagiaan yang baru saja semua orang rasakan. Pesta yang penuh canda tawa pasti masih membawa euphoria dalam pikiran semua orang. Zara tidak mau menghancurkan kebahagiaan mereka dengan fakta kalau Erwin tidak mau menyentuhnya.
Keluar dari kamar mandi, Zara tidak menemukan keberadaan sosok Erwin. Apa laki-laki itu benar akan tidur di tempat lain?
Ya Tuhan, Zara bahkan tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Setidaknya, jika Erwin memang tidak menyukainya, dia bisa menghindari Zara dengan cara yang lebih baik. Mencari alasan yang tidak menyakiti hati untuk menunda hubungan mereka.
Bukan mengusirnya atau kabur dari rumah.
Zara menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Zara menghampiri koper yang berada di samping ranjang. Barang-barangnya memang belum dibongkar karena acara yang begitu menyibukkan. Dia juga baru diboyong ke wastu ini sore tadi, setelah acara dengan keluarga, sahabat, dan para kolega Erwin selesai.
Sepertinya, Zara akan mempertimbangkan kembali untuk membongkar isi kopernya.
Setelah mengganti bathrobe-nya dengan piyama, Zara memutuskan untuk tidur. Berbaring di kasur Erwin. Tidak buruk menguasai kasur mahal ini sendirian. Zara langsung terlelap begitu kepalanya bersandar ke bantal dengan nyaman dan tubuhnya tertutup selimut yang hangat.
Aroma khas pria dewasa menguar indera penciumannya. Membuat Zara merasakan sensasi aneh. Namun, rasa kantuk lebih menguasainya.
Menyesuaikan diri dengan kehidupan orang lain, dengan seluruh anggota keluarganya sebagai bonus, memang melelahkan.
Zara butuh tidur yang normal.
***
Sampai pagi menjelang, Erwin belum kembali. Zara mengabaikannya dan segera membersihkan badan. Setelah memakai gaun sederhana, dia turun ke lantai dasar.
Ruang makan sudah penuh dengan anggota keluarga yang selalu mengadakan jamuan makan bersama. Di antara wajah-wajah yang baru Zara kenal itu, Erwin tampak duduk di salah satu kursi. Sudah berpakaian rapi. Sepertinya sudah mandi.
"Duduk di sini, Zara." Roselyyn, ibu kandung Erwin, menepuk kursi kosong di sebelah anak keduanya itu. Membuat Zara mau tidak mau harus duduk di sana. "Bagaimana tidurmu? Apa kau tidur nyenyak?" tanya wanita usia pertengahan kepala tiga itu. Kekehan darinya membuat anggota keluarga yang lain ikut menyembunyikan tawa. Membuat Zara ingin menangis dalam hati.
"Nyenyak sekali," sahut Zara. Melirik Erwin. Laki-laki itu bahkan tidak mau menatapnya. Ke mana Erwin sampai keluarganya tidak sadar kalau semalam dia tidak berada di kamar?
"Baguslah, kuharap Erwin tidak merepotkanmu dengan tingkahnya yang kadang menyebalkan." Roselyyn mangkir dari belakang kursi Zara, duduk di kursinya sendiri.
"Aku yakin kau sudah tidak betah tinggal bersamanya semalam saja," sahut Deviandra, istri dari Gio, kakak tertua Erwin yang berprofesi sebagai dokter bedah. Kakak ipar Erwin itu tersenyum ke arah Zara. "Tendang saja pantatnya kalau dia berbuat buruk padamu," bisiknya, disertai tawa.
Gio menaruh sendoknya ke atas piring. "Jangan mengajari gadis polos seperti Zara untuk berbuat keji seperti itu. Zara berbeda denganmu," ucapnya. Dia mengambil napkin dan menyeka bibir. "Aku sudah selesai. Aku akan berangkat lebih dulu," pamitnya, menyambar tas kerja di samping kursi, dan beranjak keluar rumah.
Keluarga ini cuma punya empat ahli waris. Gio sebagai anak pertama yang menjadi direktur rumah sakit menggantikan kakeknya yang memilih pensiun untuk pindah dan tinggal di daerah lain yang lebih tenang guna menghabiskan masa tua dengan lebih santai, Erwin yang menjadi penerus di perusahaan Josef, ayahnya, dan Gaara, juga Evelyn, yang sedang berkuliah di luar negeri.
Zara belum pernah bertemu dengan dua adik Erwin itu. Mereka terlalu sibuk berkuliah sampai tidak sempat datang pada acara pernikahan kakaknya sendiri. Lagi pula, pernikahan Zara dan Erwin dilakukan mendadak. Banyak orang yang jadi tidak diundang. Erwin dan Zara hanya mengundang saudara yang benar-benar dekat saja.
Sarapan berlalu, Zara kembali ke kamarnya. Pagi ini dia akan pergi ke panti asuhan yang sudah biasa dia datangi setiap akhir pekan. Sudah beberapa minggu dia jadi tidak punya waktu untuk datang.
Zara juga memutuskan untuk kembali bekerja setelah sempat mengambil cuti selama beberapa minggu.
Saat Zara selesai memakai baju dan celana formal, pintu kamar terbuka. Erwin masuk, langsung melenggang ke walk in closet. Mengambil setelan untuk dikenakannya ke kantor pagi ini.
"Mau ke mana kamu?"
Zara yang sedang memakai cincin pernikahan yang semalam sengaja dilepaskannya, menoleh. Menatap Erwin yang sedang memakai jas kerja. "Sudah beberapa hari aku tidak mengunjungi panti. Aku juga ingin bekerja lagi."
"Bekerja?" Erwin tersenyum mendengkus. "Setelah menjadi menantu dari keluarga Sanders, kau ingin bekerja?" tawa yang keluar dari mulut pria itu membuat Zara bergidik. "Kau ingin mempermalukanku? Apa yang akan orang lain katakan kalau kau bekerja setelah menjadi istriku?" Erwin menutup pintu walk in closet. "Aku tidak mengizinkanmu bekerja," katanya, sambil berlalu keluar kamar.
Memang apa yang begitu istimewa dari menjadi menantu keluarga Sanders? Zara tidak mengerti. Keluarga ini toh sama saja dengan kaum borjuis lain. Rasanya, tidak ada yang spesial.
Zara menghela napas. Mengelus dada. Menata pikiran agar tidak hilang kendali dan mengatakan hal-hal yang bisa menimbulkan masalah. Tugas seorang istri adalah untuk mematuhi perintah suaminya. Jadi, mau tidak mau, Zara harus melakukannya. Zara harus membuang jauh-jauh keinginannya untuk kembali bekerja.
Turun dari lantai dua, Zara langsung disambut oleh Sanji, tangan kiri Erwin. Pria yang usianya sebaya dengan Erwin itu membungkukkan badan, menunggu Zara di bawah tangga.
"Saya akan mengantar Anda ke panti," ucapnya.
"Apa Mas Erwin yang menyuruhmu?"
Sanji mengiakan pertanyaan Zara. Dia mempersilakan Zara untuk jalan lebih dulu.
Di depan rumah, Mustang hitam sudah terparkir rapi. Sanji membukakan pintu untuk Zara. Pintu itu ditutup setelah Zara masuk dan duduk di jok belakang. Zara tidak terbiasa dengan pelayanan seperti ini. Rasanya seperti dikutuk oleh penyihir jahat untuk menjadi istri dari pengusaha kaya yang sama sekali tidak menginginkannya.
Sangat ironis. Mengingat Zara harus meninggalkan segalanya setelah pernikahan ini. Pekerjaan, teman-teman, keluarga. Untung saja Erwin tidak melarangnya pergi ke panti. Coba kalau Zara dikurung di rumah seharian, dia tidak akan betah.
Setidaknya, pergi keluar akan membuat pikirannya menjadi lebih tenang.
***