Ternyata hari itu Hanbin tak salah dengar. Yujin benar-benar memintanya untuk membawa pulang Jeonghan ke rumah. Saat dijemput ke hotel oleh Hanbin saja, Jeonghan menolak percaya. Ya... Siapa juga yang akan percaya? Pasalnya kemarin saja kedatangannya ke rumah ditolak. Dan sekarang Hanbin berkata Yujin sudah memperbolehkannya untuk pulang. Jeonghan jadi mengira bahwa Hanbin berbohong.
"Tunggu, bagaimana bisa?"
Hanbin mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu? Tapi Yujin sepertinya mencoba memaafkan Kakak dan membuka hati," paparnya.
Lagi-lagi, Jeonghan menggeleng. "Tapi baru berapa hari, Hanbin? Semudah itu?"
Ditatapnya Jeonghan takut-takut. "Ya... Sebenarnya aku menceritakan banyak hal soal Kak Jeonghan padanya. Semua yang kita lalui saat orangtua kita tiada dan Yujin koma. Semuanya ku ceritakan," kata Hanbin jujur.
Jeonghan termangu sejenak. Pandangannya turun, menatap kakinya yang terbalut sepatu. "Kau juga menceritakan soal keegoisanku?"
"Sebenarnya, iya. Aku juga menceritakan tentang sakit hatiku padamu dan caraku memaafkanmu. Mungkin setelah aku bercerita hati Yujin terbuka," ujar Hanbin. "Dan menurutku Kak Jeonghan harus tahu ini."
Jeonghan mengangkat pandangan. "Apa?"
"Kemarin Yujin menggambar sesuatu di buku sketsanya. Kak Jeonghan tahu apa yang dia katakan?"
"Tidak." Jeonghan menggeleng.
Senyum lebar terlukis pada bibir Hanbin. "Dia akan memberitahu apa yang digambar olehnya saat Kak Jeonghan pulang ke rumah."
--✨---✨--
Tidak bisa. Rasanya lidah Yujin kelu untuk sekadar mengeluarkan kata sambutan bagi Jeonghan. Bibirnya pun terasa kaku, tidak bisa melukiskan senyum seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Jadi disinilah Yujin sekarang. Berdiri di teras sembari meremat ujung blazer rajut miliknya dengan mata menatap Hanbin dan Jeonghan yang sibuk mengeluarkan koper dari bagasi.
Bahkan setelah kedua kakaknya selesai mengeluarkan koper dan menutup bagasi, Yujin tak bergerak barang seinci pun. Pandangannya terpaku pada Jeonghan. Sang kakak yang selalu muncul dalam mimpinya itu kini berdiri tepat di depan matanya.
"Selamat datang kembali di rumah, Kak Jeonghan," sambut Hanbin.
Harusnya Yujin yang mengatakan itu. Tapi yang ia lakukan malah terdiam dengan pandangan terpaku pada Jeonghan. Mata Jeonghan spontan berkaca-kaca dan bibirnya melukiskan sebuah senyum tulus. Sulung keluarga Sung itu kemudian merengkuh Yujin ke dalam pelukannya.
"Maaf... Maafkan Kak Jeonghan, Yujin...."
Dengan gerakan tangan yang kaku, Yujin melingkarkan tangannya pada punggung sang kakak. "Maaf juga... Karena Yujin membentak... Kakak?"
Tawa kecil Jeonghan terdengar di sela isak tangisnya. "Yujin tidak salah, kok. Yujin juga berhak marah saat Kak Jeonghan salah," katanya.
Jeonghan tidak menyangka bahwa hari ini akan tiba, hari dimana mereka kembali berkumpul sebagai saudara, sebagai satu keluarga. Keegoisannya dulu seakan membutakan mata Jeonghan. Membuatnya lari dari masalah dan beranggapan bahwa apa yang dilakukannya benar tanpa memikirkan perasaan saudaranya. Dan kini Jeonghan baru sadar bahwa seharusnya ia tak perlu lari bagai seorang pengecut, lantaran tidak ada yang menyalahkannya. Semuanya murni karena takdir. Dirinyalah yang tak mau menerima takdir itu dan malah menyalahkan diri sendiri.
"Kalian berpelukan, dan tak mengajakku?"
Suara Hanbin membuat Yujin dan Jeonghan melepaskan pelukan mereka. Lantas menatap Hanbin yang memajukan bibir, cemberut sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Jeonghan menggeleng heran, kemudian merentangkan tangannya. "Ayo, sini. Kakak akan memberi kalian berdua pelukan."
Yujin dan Hanbin menghambur ke dalam pelukan hangat Jeonghan. Menyalurkan kerinduan mereka masing-masing.
--✨---✨--
"Yujin mau makan apa? Kakak bisa memasakkan suān là làn yóuyú jika Yujin mau. Atau nasi goreng ala hokkian? "
Yujin memiringkan kepala. "Apa tadi? Suan la apa?"
Jeonghan terkekeh geli. "Suān là làn yóuyú, cumi asam manis. Masakan khas China. Kau mau mencobanya?"
"Boleh!" sahut Yujin antusias. Mencoba rasa baru sepertinya tidak masalah. Lagipula, kalau boleh jujur, Yujin agak bosan dengan masakan Hanbin.
"Atau jika terlalu sulit, buat nasi goreng saja, Kak," sela Hanbin. "Aku tidak tahu apakah ada cumi-cumi di dalam kulkas."
Sulung keluarga Sung itu kelihatan berpikir sejenak. "Hmm, baiklah. Kakak akan memasak nasi goreng saja, dan memasak cumi asam manisnya besok."
Jeonghan dan Hanbin membiarkan Yujin duduk, sementara keduanya menyiapkan bahan untuk memasak. Setelah sekian tahun, kehangatan rumah ini mulai terasa kembali. Dari meja makan, Yujin bisa melihat Jeonghan melipat lengan bajunya sebatas siku sementara Hanbin hanya melipatnya sampai sedikit di atas pergelangan tangan. Keduanya membagi tugas. Hanbin yang menyiapkan bahannya sementara Jeonghan yang akan memasak. Sekitar dua puluh menit kemudian, masakan Jeonghan matang.
Dibantu oleh Hanbin, Jeonghan meletakkan tiga piring berisi nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas beraroma gurih ke atas meja. Dengan senyum teduh terlukis, Jeonghan mengulurkan sendok pada Yujin. "Cobalah."
Yujin menerima sendok pemberian Jeonghan. Lantas berdoa dan mulai makan. Di suapan pertama --- sekalipun panas, Yujin nekat menyuapkan sesendok nasi goreng karena penasaran dengan rasanya --- dan setelahnya ia memejamkan mata. Masakan ini memberi ledakan rasa fantastis di dalam mulut Yujin. Nasi goreng dengan campuran antara nasi, potongan jamur, wortel, kubis, telur, ayam, udang, dan guyuran saus tiram membuat rasanya sangat lezat. Rasa yang beragam ini membuat Yujin sampai tak bisa berkata-kata saking lezatnya.
"Bagaimana?" tanya Jeonghan.
Yujin mengacungkan jempol. Karena mulutnya terlalu penuh untuk menjawab.
Jeonghan tersenyum melihat itu. "Syukurlah jika kau menyukainya."
--✨---✨--
"Kamarmu belum sempat dibersihkan. Untuk malam ini, Kak Jeonghan bisa memilih untuk tidur di kamarku atau kamarnya Yujin," ujar Hanbin.
Namun, sepertinya Jeonghan punya pikiran lain. "Bagaimana kalau kita tidur bersama?"
Alis Hanbin menukik tajam. "Bagaimana caranya? Kasurku dan Yujin sama-sama berukuran queen size, apa muat untuk kita bertiga?"
"Bukankah kita punya futon?" tanya Jeonghan. Kemudian melirik Yujin. "Kita bisa tidur bersama di atas futon, dan agar hangat, kita bisa menghidupkan penghangat ruangan. Ide bagus, bukan?"
Sebenarnya bukan ide bagus. Hanbin lebih terbiasa tidur di atas ranjang. Tapi melihat raut wajah kakaknya membuat Hanbin tidak tega. "Baiklah. Aku akan mengeluarkan futon dari lemari nanti."
Dan malam harinya, Hanbin benar-benar mengeluarkan futon dari lemari dan menggelarnya di ruang keluarga. Jeonghan dan Yujin sudah berganti memakai piama, begitupun dengan Hanbin. Yujin menyalakan televisi, baru setelahnya bergabung di tengah-tengah, antara kedua kakaknya dan masuk ke dalam selimut. Udara belakangan ini jadi lebih dingin karena musim gugur hampir berakhir.
"Kita menonton ini saja, ya?" tanya Yujin. Menunjuk televisi yang menayangkan film berdurasi dua jam tentang romansa anak sekolah. "Kak Hanbin pernah berkata ingin menonton ini."
Hanbin serta-merta menoyor kepala Yujin. "Siapa bilang? Kapan aku mengatakannya?"
Mata Yujin memicing. "Tempo hari Kakak berkata mau menonton ini saat melihat iklannya. Masih tidak mau mengaku?"
Dan mari kita tinggalkan mereka yang asyik berdebat, dengan Jeonghan yang hanya mampu terkekeh geli melihat tingkah kedua adiknya. Rumah keluarga Sung yang dingin kini kembali hangat seperti sediakala.
--✨---✨--
[A/N]
Mungkin sekitar empat atau lima chapter lagi, cerita ini bakalan selesai :')
selamat membaca dan terima kasih buat vote sama komennya 🥰
see you next chapter~