"Justin please," rengek Alea. Tubuh gadis itu menggeliat di atas kasur, bulir keringat menghiasi wajahnya yang cantik, kedua matanya menyayup melihat ke arah pria tampan yang bertelanjang dada yang duduk tak jauh darinya.
"Ini hukuman kamu, mi amor." Justin menghisap rokok, lalu menghembus asapnya di udara, pria itu duduk di kursi samping jendela kaca yang sengaja terbuka, menatap tajam ke arah gadisnya yang nampak seperti cacing kepanasan.
"Aahh." Alea menggigit bibirnya tak kuasa, ini benar-benar hukuman baginya. Bagaimana tidak? Saat ini sebuah benda kecil berbentuk seperti kacang sedang bergetar dengan kecepatan sedang di dalam kewanitaannya. Alea tak dapat menjangkau benda itu, pasalnya Justin telah memborgol kedua tangannya di sisi ranjang.
Justin masih menikmati pemandangan erotis itu sembari menghisap rokok yang kini tinggal setengah. Kejantanannya sudah sangat sesak di bawah sana, tapi dia harus bisa menahan diri supaya Alea merasakan hukuman sesungguhnya.
"Justin.. ahh, aku udah gak kuat." Wajah Alea memerah, kedua pahanya mengangkang, bahkan pantatnya kini terangkat kala menjemput pelepasan yang kesekian kalinya.
"Masih belum, sayang," geram Justin tak tahan, napasnya kini sudah memburu.
"Justin.. aku mau penis kamu sekarang."
"Shit!" Mendengar itu membuat Justin mengumpat, gairahnya memuncak dengan gila, membuatnya segera menekan puntung rokok di asbak, lantas menghampiri Alea dengan tatapan lapar.
Justin mengeluarkan benda kecil itu yang sempat ia beli dari Lucas si keparat yang kini beralih profesi menjadi menjual online, Justin langsung saja menyambar milik Alea dengan lidah panasnya, membuat gadis itu menjerit-jerit.
Tak bisa menahan lagi, Justin pun segera menghantam kewanitaan Alea dengan rudal gagahnya, memacu bak kuda liar menyebabkan ruangan kedap suara itu di penuhi oleh suara-suara erotis.
"Just.. ahh, l-epasinn borgolnya." Alea berkata terbata akibat hujaman tak terkendali dari pria bule di atas tubuhnya itu, rasanya Alea tak leluasa, ia ingin meraba wajah tampan yang penuh keringat itu.
"Ini masih hukuman kamu, sayang. Kamu nikmati aja ya." Justin memompa dengan cepat, namun pada saat ia rasakan milik Alea mengetat, gerakan Justin malah berhenti, membuat kedua mata Alea melotot tak suka.
"Just.. aku gak bakal maafin kamu kalo kamu main-main lagi."
Justin menggeram rendah. "Jadi kamu mau apa, sayang, hm?"
Wajah Alea memerah malu, dia menggigit bibir bawahnya dan berkata. "Mau lebih cepat."
"As you wish, Angel."
Usai mengatakan itu, Justin kembali memompa tubuh Alea dengan kuat, dalam dan bertenaga, Alea pun menjerit dan mendesah-desah hebat di buatnya, kepala Alea sesekali menyentuh kepala ranjang sanking kuatnya pompaan Justin.
"Ahh." Napas Justin memburu, lagi-lagi pria itu mengeluarkan di dalam. Dan Justin sangat sadar, dia hanya berpikir satu atau dua kali pasti tidak masalah, dan ternyata jika membuang di dalam terasa lebih nikmat.
Napas Alea memburu, berbeda yang di pikirkan oleh Justin, Alea malah berharap jika dia segera hamil. Alea ingin membuat hubungan serius dengan pria itu, dan sepertinya itu jalan satu-satunya agar Briana merestui hubungan mereka. Dan lagi, jika Alea mengandung, Justin tidak akan meninggalkan Alea.
Tanpa sepatah kata, Justin bangkit lalu mengusap milik Alea dengan tisu, setelahnya membuka borgol di tangan Alea.
"Maafin aku ya." Justin mengusap pergelangan tangan gadisnya yang nampak memerah.
"Gak apa-apa kok, sekarang kamu udah tenang kan? Udah gak cemburu buta lagi?" goda Alea membuat Justin cemberut.
"Jangan coba-coba bikin aku cemburu, nanti hukuman kamu aku tambahin."
"Kalo hukumannya gitu sih aku mau." Alea terkekeh.
"Alea.."
"Iya-iya. Lagian aku cuma cinta sama kamu, aku hanya milik kamu seorang, sampe-sampe punya aku udah longgar kayak sumur, aku gak bakal lirik cowok lainlah.. Udah gila aja aku kalo gitu."
Justin meledakkan tawanya, memeluk Alea sembari melumat bibir gadis itu dalam-dalam. "Gak apa-apa kayak sumur, yang penting itu cuma buat aku."
"Iya semuanya buat kamu." Alea tersenyum mengecup pipi Justin dengan manja.
"Eh, astaga.. aku lupa nanti malam kita harus pergi ke acara."
"Acara siapa?" Kening Alea mengerut.
"Alex, nanti malam dia nikah."
Alea terkejut. "Nikah? Trus gimana sama Carla? Bukannya dia udah hamilin Carla? Kok Alex brengsek banget jadi cowok?!" Alea geram sendiri, dia tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Carla saat ini, pasti sangat hancur.
"Gak tau, sayang. Itu urusan dia, Alex dan Carla sama-sama salah, seharusnya mereka jangan sampe ceroboh gitu."
"Tapi Carla hamil. Gimana pun ceritanya, Alex harus tanggung jawab, mereka harus sama-sama bertanggung jawab buat masa depan bayi yang di kandung Carla sekarang."
"Alex udah nyuruh Carla aborsi, tapi Carla gak mau. Jadi mau gimana lagi?"
Alea benar-benar tidak suka mendengar kalimat Justin. "Anjing banget ya, abis nanam benih sembarangan, malah gak mau bertanggung jawab."
"Udah, Al. Itu bukan urusan kita. Sekarang kamu tidur ya, nanti kita harus sampe di sana jam 8."
Justin memeluk Alea, memejamkan kedua matanya.
"Just.. kalo misalnya aku yang hamil, apa kamu juga nyuruh aku aborsi?" Alea bertanya, namun tak ada jawaban dari Justin.. karena pria itu sudah tertidur.
...
Pikiran Justin kini di penuhi oleh kalimat yang Alea tanyakan tadi sore, sebenarnya Justin tidak sepenuhnya tidur, suara Alea sangat jelas, namun Justin tidak dapat menjawabnya, karena Justin memang tidak ingin Alea hamil. Justin tidak mau seseorang hadir di antaranya, terutama anak. Justin tidak pernah memikirkan sejauh itu.
Justin membenci keluarga, ikatan, dan anak.
Justin hanya menginginkan Alea tetap di sampingnya, tanpa ada ikatan serius, namun selalu ada untuk Alea, hanya berdua tidak dengan yang lain.
"Just.. gimana gaun nya cocok gak?"
Justin tersenyum kini melihat penampilan Alea, dres maroon selutut, tanpa lengan, yah.. lumayan tidak terlalu terbuka menurutnya.
"Kamu cantik," gumam Justin bangkit menghampiri Alea, melumat bibir gadis itu dalam-dalam. Justin pun sudah selesai dengan stelan casualnya, Alea mengatakan jika dia tidak boleh terlalu cakep-cakep.
"Justin! Lipstik aku berantakan!" Alea segera mendorong dada pria itu, langsung saja dia lari memasuki kamarnya melihat noda merah yang cukup belepotan di sekitar bibir.
Sementara Justin terkekeh, mengusap bibirnya yang di tempeli oleh lipstik Alea.
"Angel, udah belum? Nanti kita terlambat."
Alea pun keluar dari kamar dengan terburu-buru membuat Justin mengulum senyum geli, keduanya lantas melangkah hingga kini berada di dalam mobil, wajah Justin mendatar, pertanyaan Alea tadi sore berhasil mengganggu pikirannya.
Bagaimana jika nantinya Alea benar-benar hamil? Pasalnya dia sudah mengeluarkan di dalam sebanyak dua kali. Justin menggeleng, tidak mungkin.. hanya dua kali jadi kemungkinan tidak akan berhasil.
"Kamu udah datang bulan?" tanya Justin tiba-tiba.
"Eh? Gak kok, belum waktunya. Emangnya kenapa?" Alea bingung.
"Gak, aku pikir aku udah ceroboh karna udah ngeluarin di dalam."
"Sebegitu takutnya kamu kalo aku bener-bener hamil?" Nada suara Alea terdengar sedikit kecewa.
Justin mengabaikan ucapan Alea, lalu menjawab. "Gimana kalo kamu pake alat kontrasespsi aja? Aku gak mau ambil resiko, aku juga gak mau pake pengaman terus."
Kedua mata Alea membelalak. "Kamu sadar apa yang kamu omongin barusan? Kita aja baru pacaran kamu udah nyuruh aku pake alat kontrasepsi, kamu tau gak kalo pake alat itu nantinya aku bakal susah hamil, pokonya aku gak mau pake itu!"
Justin mendesah kasar, wajahnya semakin datar, rasanya kepalanya terasa panas kini.
"Kamu kenapa, Just? Kamu gak mau aku hamil? Padahal itu jalan satu-satunya agar hubungan kita di restui sama Mommy aku."
"Kamu masih kuliah.."
"Jangan pake alasan kuliah, aku bisa kuliah bahkan kalo udah nikah sekalipun, apalagi hamil. Itu mudah, Just... Sekarang aku tanya kenapa kamu gak mau aku hamil?!" tuntut Alea.
"Udah cukup, Al. Aku gak mau berdebat sama kamu."
"Kamu gak mau jawab?" Amarah Alea mulai berkobar.
"Sayang, come on. Bentar lagi kita sampe, masa kita berdebat terus sih?"
Alea mendesah kasar, mendadak moodnya tiba-tiba hancur, kini hanyalah pikiran-pikiran buruk yang melintas di dalam benaknya. Bagaimana jika Justin tidak benar-benar mencintainya? Apakah Justin hanya menginginkan tubuhnya saja? Atau dia hanya sebagai pemuas nafsu pria itu? Dan yang lebih mengerikannya lagi, apakah Justin tidak mau menikah?
Ya Tuhan, Alea segera menepis pikiran sialan itu. Dia yakin Justin pasti mencintainya dengan tulus.
"Just, buruan. Akadnya udah berlangsung," seru Jack. Pria itu berdiri di samping pintu rumah besar Alex, dia segera mengajak Justin dan Alea memasuki rumah.
Mengambil tempat di sebuah kursi berjejer, Justin menatap Alea yang sedang memperlihatkan wajah datar, gadis itu mungkin masih marah padanya. Lebih baik Justin diam dan membiarkannya terlebih dahulu, Justin tidak mau merusak acara sahabatnya.
"Alea kenapa tuh?" tanya Jack yang duduk di sebelah kiri Justin.
"Tadi dia minta jatah, tapi gak gue turutin," jawab Justin kesal, membuat Alea menajamkan matanya.
"Dasar maniak," cibir Jack kesal.
"SAH!"
"Saahhh!" Jack juga ikut berteriak saat ijab kabul terlaksana. Ya, di antara mereka berlima, hanya Alex yang beragama Islam, wajar saja Alex dan Carla tidak mudah bersatu.
"Gak nyangka di antara kita berlima, Alex yang nikah duluan. Padahal gue pikir yang nikah duluan itu lo," ejek Jack, padahal dia tahu jika sahabat satunya ini sangat membenci ikatan pernikahan.
"Mending lo diam." Justin menggeram.
"Kasian Carla, dia sekarang udah gak punya siapa-siapa. Sekarang dia juga udah mulai kerja di cafe."
"Kalo lo kasian, kenapa gak lo nikahin aja?" sambar Justin dengan datar.
"Gak lah, cinta gak boleh di paksakan. Soalnya gue sekarang udah punya Ayang."
"Dih anjing." Justin muak sudah, lebih baik tadi dia tidak bertanya tentang masalah datang bulan Alea. Mungkin saja sekarang gadis itu tengah tersenyum manis padanya, lihatlah sekarang di wajah cantik itu tidak ada lagi tatapan lembut, apalagi senyuman. Justin yakin jika pulang nanti, Alea akan mencercanya dengan pertanyaan seputar pernikahan dan perhamilan.
"Al, lo laper gak? Makan bareng yuk?" ajak Jack, melihat Alea yang sedari tadi terdiam.
"Boleh."
"Eh, apa-apaan?!" Justin bangkit berdiri, mengikuti langkah kekasihnya dan si keparat Jack di tempat makanan yang telah tersaji.
"Apaan sih, orang yang gue ajak cuma Alea." Jack cemberut melihat kedatangan Justin.
"Udah bosan hidup lo?"
"Udah deh, bisa diam gak?"
Suara Alea membuat kedua pria yang saling melempar tatapan tajam itu mendadak bungkam. Ketiganya pun makan dalam diam, tidak ada yang berbicara di antara mereka hingga selesai. Alea bangkit berdiri, dan Justin pun langsung mencekal tangannya.
"Kamu mau kemana?"
"Lepasin tangan aku."
"Al, aku tanya kamu mau kemana."
"Aku mau pulang, puas?!" bentak Alea, dan menepis cekalan Justin.
Jack hanya diam menyimak, sembari mengigit buah semangka.
"Kok cepet banget, kita belum ketemu sama Alex.."
"Yaudah kamu disini aja, aku mau pulang, ngantuk." Alea dengan cepat memotong ucapan Justin.
Membuat Justin menelan ludahnya.
"Yaudah kita pulang aja, tapi tunggu sebentar ya, sayang."
"Aku duluan aja."
"Eh, oke oke. Kita pulang." Justin mendesah kasar, lalu menatap ke arah Jack yang tampak sedang menahan tawa.
"Lucu banget, entah kapan ya gue punya drama kayak kalian." Jack mendesah panjang.
"Bacot." Justin bangkit berdiri, kembali menggenggam tangan Alea, namun kali ini gadis itu tidak memberontak. "Jack, gue duluan ya, sampaikan sama Alex kalo gue gak bisa lama-lama."
"Oke aman." Jack mengangkat jempolnya. "Moga lo selamat ya bro." Dia tertawa ngakak, apalagi melihat wajah garang milik Alea, Jack yakin pasti akan tercipta kegaduhan rumah tangga.
...