Fading Away (Thomas Sangster...

By may-faith

12.9K 1.2K 116

"To the boy on the end of my arm, come meet me somewhere halfway. Cause I've heard everything that you had to... More

1: Caught
2: Sparkling Night
3: How do I describe this?
5: Drawning
6: The Truth
7: Falling
8: Remedy
9: Pieces
10: Clarity

4: My Fault

1K 127 2
By may-faith

Setelah selesai mengucapkannya, Renee berlalu untuk membantu May di dapur, meninggalkanku yang hanya bisa menarik nafas dan menghembuskannya secara kasar lantaran bosan. Andai saja aku bekerja disini setiap hari. Namun saat aku melamar kerja kemari di kala itu, hanya tersedia jadwal kerja yang kuambil saat ini yaitu Senin, Rabu, Kamis, Ju'mat, dan Sabtu. Memang hanya selang dua hari aku harus bersantai-santai tanpa bekerja, tapi kau tahu betapa membosankannya itu? Terlebih, aku tak suka shopping ataupun hang out bersama teman-temanku di sekolah.

Tiba-tiba sesuatu seakan-akan menyentakku, memberiku dorongan untuk merogoh saku ripped jeans-ku yang berwarna biru luntur. Dan kudapatkan sepucuk kertas berisikan beberapa digit nomor seorang pria yang baru saja merebut first kiss-ku tadi malam. Lantas kutekan beberapa tombol pada ponselku yang butut, maklum lah, aku belum mampu membeli produk yang berlambangkan apel di gigit di belakangnya. Kuberi nama kontaknya sebagai Mr. Confusing lantas kutekan tombol dial.

"The number you're calling is currently busy. Please try again in a few minutes."

Oh, sial. Aku pikir dia akan bebas di hari Minggu. Tapi oops, kenyataannya nomornya pun tidak bisa di hubungi. Tunggu, atau aku salah mengetik nomor teleponnya? Aku kembali mengecek ulang nomor di dalam kontak bernama Mr. Confusing dan menyadari tidak ada kesalahan disana. Mungkin ia sedang sibuk. Lagi pula, Thomas itu pria yang memiliki karir, bukan anak yang tidak jelas seperti aku. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Memeluk tubuhnya yang agak kurus namun berotot dan merasakan sensasi hangat yang menggelenyar di tubuhku. Ya Tuhan, aku merindukannya. Kupaksakan diriku untuk turun dari kursi di meja pastry dan dengan langkah gontai berjalan keluar kafe berharap ia berdiri di luar, menyandarkan punggung pada mobilnya sembari melipat kedua tangan di depan dada. Sial, apa yang terjadi padaku?

Tiba-tiba ponsel di dalam saku celanaku bergetar spontan membuatku merogohnya dengan cepat dan langsung mengangkat telepon tanpa melihat nama dilayar. "Thomas? Kau kemana saja? Aku merindukanmu." Ucapku bersemangat dan sedikit berteriak. Namun suara di seberang sana terdengengar ribut sekali, seperti sedang diantara kerumunan orang-orang. "Thomas? Hey, katakan sesuatu! Aku ingin mendengar suaramu." Lanjutku tak kalah bersemangat.

"Apa? Thomas? Kau ini mabuk atau apa?" Suaranya terdengar menjengkelkan, bukan suara berat yang nadanya terdengar karismatik dan seksi. Kulihat ponselku dan melihat nama kontak Jeff Bastard tertulis disana. Oh, ya ampun, apa yang baru saja kukatakan? Benar-benar bodoh dan ceroboh! Aku mengutuk diriku sendiri. "Terserah kau dalam keadaan mabuk atau apa, tapi kau masih bisa mengerti apa yang aku ucapkan?" Jeff terdengar seperti mengolok-olokku.

"Hey, sialan, aku tidak mabuk. Aku hanya berpikir jika panggilan tadi itu dari seorang yang... ah sudahlah, tidak penting, apa maumu?" Tanyaku to the point. Jeff menarik nafasnya dalam, terdengar seperti bersiap-siap untuk menyatakan cinta kepada seseorang. Hingga setelah ia membiarkan jeda selama beberapa saat, ia kembali bersuara.

"Temui aku di Seven Eleven yang tak jauh dari flat-mu." Nada suaranya terdengar serius. Kemudian ia menutup sambungan telepon secara sepihak. Aku memaki-makinya kesal dan berjalan ke atas trotoar. Menyegat taksi dan bergerak menuju Seven Eleven untuk menemui Jeff si pria yang penuh teka-teki.

Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam Seven Eleven yang terlihat sepi. Kupikir akan ramai mendengar suara di belakang Jeff saat menelepon terdengar sangat ribut. Atau mungkin sebelumnya ia di tempat lain? Entahlah, itu bukan hal yang penting untuk di pikirkan. Kulihat Jeff menduduki kursi yang paling pojok di ruangan ini. Aku berjalan mendekatinya lantas duduk menghadap Jeff yang sudah menantiku sebelum aku sampai disini. "Sudah lama menunggu?" Tanyaku basa-basi. Ia menggeleng kemudian berdeham, membuatku menaruh kedua tanganku diatas meja dan menyeruput coke yang sudah di pesan Jeff.

"Aku yakin kau tak akan setuju mendengar ini." Sahutnya sok misterius. Kunaikkan satu halisku tanpa mengucapkan apapun, masih menyeruput coke yang terasa segar di kerongkonganku. "Ayah menyuruhmu untuk berhenti melakukan ini semua. Dengar Cailin, kau harus memikirkannya dengan baik, kau bekerja susah payah dengan gaji yang pas-pasan untuk membiayai hidupmu selama ini namun sebenarnya masih ada yang bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu." Ucapnya panjang lebar, seperti sudah di susun dengan matang jauh sebelum aku dapat mendengarnya. Aku tersedak dan sedikit terbatuk-batuk.

"Kau gila, Jeff? Kau sudah tahu alasannya kenapa aku ingin hidup seperti ini. Karena aku ingin terbebas dari sikap Ayah yang mirip seperti bajingan kelas kakap! Menyakiti Ibu sampai meninggal dan tak menghadiri pemakamannya. Kau pikir akan ada yang lebih brengsek di bandingkan itu?" Nada suaraku terdengar begitu keras hingga beberapa pelanggan yang sedang menyantap makan siangnya terganggu dan menoleh pada meja yang di duduki aku dan Jeff untuk sesaat. "Jeff, aku senang dengan hidupku yang pas-pasan. Aku bahagia tanpa kemewahan." Lanjutku lantas menghembuskan nafas panjang, merasa sesak dan amarah selalu menyulut disaat harus membicarakan topik seperti ini bersama Jeff.

"Aku tahu kau membenci Ayah. Tapi, bagaimana pun kau mencoba untuk lari, dia adalah Ayahmu. Kau mungkin selalu melihat kesalahannya, tapi apakah kau pernah berpikir mengenai kesalahan yang pernah kau perbuat padanya? Ia ingin kau kembali Cailin, ia menyayangimu." Entah mengapa perkataan Jeff membuat emosiku semakin meluap. Seperti bom di kepalaku siap meledak kapan saja. Kedua tanganku terkepal.

"Kesalahanku? Mungkin kesalahanku tertutup oleh semua yang telah ia lakukan padaku! Mengabaikanku, memperlakukanku seakan-akan aku tidak pernah ada dalam hidupnya. Jeff, kau seorang anak laki-laki yang tidak terlalu sering berada di rumah. Kau tak merasakan semua itu, sialan! Kau sama bajingannya seperti Adam James Russo! Oh, betapa aku benci mewarisi nama belakangnya." Aku bangkit, berjalan keluar Seven Eleven dengan hati yang terbakar. Aku benar-benar marah hingga tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak ingin hidup bersama Adam dan istrinya yang memuakkan. Dan kurasakan sebuah tangan mencengkram pergelangan tanganku. Menahanku di tengah-tengah tempat parkir Seven Eleven.

"Cailin, dengarkan aku, aku belum selesai." Suara Jeff yang memuakkan seakan-akan membuat gendang telingaku sakit. Aku berhenti untuk memberikan tatapan tajam padanya. Namun ia membalas tatapanku dengan lembut, seperti mengharapkan aku kembali berkumpul bersama dengannya. "Kau tak pernah mendapatkan kasih sayang. Jauh sebelum kau seperti ini, kau dulu seorang gadis yang cantik. Berbicara pun, tak pernah keras. Sifatmu sangat lembut hingga aku tak berani menyakitimu walaupun sampai sekarang aku tak akan pernah bisa melakukannya." Tutur kata yang diucapkan Jeff membuat sesuatu seakan mengiris hatiku. Kurasakan kedua mataku memanas dan sesuatu terasa meleleh meluncur dengan deras melewati pipiku. "Ayah menceraikan Rose, hanya kau wanita yang ia sayangi dalam hidupnya sekarang. Pulanglah, Cailin. Kami merindukan tawamu di rumah yang sepi itu." Jeff menarik tubuhku ke dalam pelukannya, menghujani puncak kepalaku dengan kecupan. Aku mengeratkan pelukanku pada tubuh Jeff, meyakini diriku sendiri bahwa aku memang membutuhkan kasih sayang. Aku berubah menjadi anak yang suka berbicara keras, mengatai orang lain sembarangan, bahkan tak tanggung-tanggung menghina Ayahku sendiri dan menyebut nama lengkapnya dengan lantang. Aku anak tak tahu diri.

"Bawa aku pulang, Jeff, aku lelah. Aku ingin beristirahat tanpa harus berdebat denganmu."

***

Kutatap langit-langit kamarku. Sama sekali tak ada yang berubah disini. Masih sama seperti dulu. Bayangan-bayangan masa laluku berkelebatan, memenuhi setiap ruang di dalam otakku. Membuatku kembali meneteskan air mata untuk yang kesekian kalinya.

"Selamat ulangtahun, Sayang. Kau putriku yang paling cantik." Ibuku yang begitu anggun dengan suaranya yang lembut tersenyum padaku. Memegang sebuah kue dengan lilin-lilin yang menyala diatasnya. Ayah tersenyum di belakang Ibu, menyanyikan lagu selamat ulangtahun bersama Jeff. Saat itu tengah malam, tepat tanggal 16 Mei dan aku di kagetkan oleh kejutan dari semua anggota keluargaku di rumah. Aku tersenyum riang, meniup lilin dan semua bertepuk tangan. Usiaku menginjak umur 15 saat itu. Semua bertepuk tangan, memeluk dan menciumku secara bergantian. Mengucapkan beberapa patah kata sebagai ucapan selamat.

Aku tersenyum pahit mengingatnya. Membayangkan Ibuku masuk ke dalam kamarku, membangunkanku dengan lembut untuk bergegas mandi dan pergi ke sekolah. Menyiapkan sarapan favoritku dan memelukku sebelum aku pergi. Air mataku kian deras mengalir dan tersentak saat mendengar suara pintu terbuka. "Ayah?" Kuusap pipiku lantas bangkit, berjalan mendekatinya yang tengah menatapku tidak percaya. "Aku pulang." Lanjutku. Ia masih mematung. Wajahnya sudah terlihat tua dengan kerutan-kerutan tipis di setiap permukaan kulit wajahnya.

"Putriku," ia memelukku erat, mengelus rambutku. "Kau pulang, Sayang, kau pulang." Ucapnya terdengar mengharukan. Aku mengangguk di dalam pelukannya. "Ayah janji akan memperlakukanmu seperti yang kau inginkan. Ayah janji untuk tak menyakitimu seperti Ayah menyakiti Mary. Kau benar-benar pantulan diri seorang Ibumu. Cantik." Kulepaskan pelukanku agar bisa melihat wajah Ayah yang lebih mirip Jeff, aku hanya mewarisi matanya yang berwarna hijau. Sementara Jeff seakan-akan mewarisi setiap inci dari wajah Ayah.

"Maafkan aku. Aku sudah kelewatan, aku benar-benar anak yang tidak tahu diri. Ayah, aku mengecewakan Ayah. Aku-"

Ayah kembali memelukku erat sebelum aku sempat selesai menyelesaikan kalimatku. "Kesalahanmu tak ada bandingannya dengan semua yang telah kulakukan. Sekarang mandi, bersihkan tubuhmu. Baju lamamu di dalam lemari itu masih muat, kan?" Ia mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk kemudian ia tersenyum, meninggalkanku di dalam kamar. Tanpa basa-basi, aku langsung berjalan menuju kamar mandi.

Kutatap pantulan diriku di depan cermin yang besarnya sama dengan ukuran tubuhku. Aku mengenakan baju terusan rok selutut berwarna pink blossom dengan satu pita di depan pinggang. Aku tersenyum geli mengingat sosok diriku yang benar-benar seperti perempuan dahulu kala. Lantas kupakai sandal berwarna putih yang terlihat manis sekali. Tak lupa sebuah kalung berliontin berlian kecil menggantung di leherku yang jenjang. Oh astaga, aku seakan-akan berubah dari sosok Upik Abu menjadi Cinderella yang anggun. Tapi entahlah, aku merasa kurang nyaman dengan pakaian seperti ini, aku harus segera meminta uang kepada Ayah untuk membeli beberapa pasang pakaian baru untuk menyeimbangkan koleksi bajuku yang super girly di dalam lemari disana.

"Wow," aku berbalik dan melihat Jeff membawa dua tas di ambang pintu. "Kau kembali cantik." Ucapnya menghina. Aku mendengus membuatnya terkekeh lantas berjalan menuju kasurku. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas tadi dan menyadari semua barang di dalam tas itu merupakan alat elektronik. MacBook dan ponsel baru! Astaga. Aku meloncat-loncat kegirangan dan mengelus iPhone baruku yang berwarna silver. Aku tertawa dan kembali merogoh tas belanja tersebut, sebuah ear phone berwarna hitam.

"Terimakasih Jeff." Kupeluk tubuhnya yang jauh lebih besar dariku.

"Ini semua pemberian Ayah, berterimakasihlah padanya nanti saat makan malam. Semua baju di flat-mu termasuk barang-barang penting seperti seragam sekolah dan lain-lain sudah di angkut kemari. Semuanya ada di bawah, kau tinggal membereskannya. Ayo, aku akan membantu." Ucapnya panjang lebar. Aku mengangguk dan bangkit, berjalan mengikutinya, menuruni anak tangga untuk sampai di ruang tengah. Beberapa kardus tertumpuk disana dan aku bergegas membongkar semua isinya.

Saat aku sedang merapikan seragamku, menatanya diatas kursi. Aku menemukan sebuah jaket yang tak asing bagiku. Aroma Aftershave menyeruak masuk melalui indera penciumanku. Thomas. Nama itu langsung memenuhi pikiranku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Jeff, kau taruh dimana ponsel lamaku?" Tanyaku. Jeff menoleh saat ia sedang membantuku mengeluarkan beberapa barang lain.

"Ponsel butut itu sudah kujual. Hanya laku beberapa dollar saja. Sudahlah, kau sudah punya yang lebih baik." Aku tersentak kaget. Nomor ponselku yang lama juga kontak telepon Thomas ada disana! Aku tiba-tiba berdiri kemudian berlari kecil ke belakang rumah melihat Anna yang sedang menjemur pakaianku. Aku menghampirinya dan mencoba mencari jeans lunturku dan dapat, kurogoh saku celananya dan menemukan sepucuk kertas yang basah. Saat aku membukanya, tulisan disana sudah luntur dan berantakan terkena air. Aku menangis. Mengingat tak tahu lagi bagaimana caranya untuk menghubungi Thomas. Aku sangat merindukannya. "Cailin? Astaga. Apa yang sudah kulakukan? Maafkan aku. Kau mau aku mengambil kembali ponsel lamamu?" Jeff tiba-tiba datang, mengusap air mataku. Aku menggeleng, berjalan gontai dan duduk diatas kursi taman yang menghadap kolam renang. "Maafkan aku. Sungguh, aku akan mengambil kembali ponsel lamamu ya, tunggu disini."

"Tak usah, Jeff. Bukan itu yang kutangisi." Ucapku parau seraya mengusap pipiku yang basah. Astaga. Aku cengeng sekali hari ini. Mataku terasa sakit dan kepalaku pusing lantaran terlalu sering menangis. "Aku merindukan seseorang." Aku menaruh kepalaku di bahu Jeff yang tegap.

"Thomas?" Ia berseru. Aku tersentak kaget dan memasang tatapan, darimana-kau-tahu. "Kau baru mengucapkannya dua kali tadi siang saat aku menghubungimu untuk datang ke Seven Eleven. Apakah dia kekasihmu?" Pertanyaan Jeff membuatku tersenyum malu. Aku menggigit bibir bawahku. Bingung menjawabnya lantaran belum ada hubungan apa-apa diantara aku dan Thomas.

"Hanya orang biasa yang menurutku spesial."

Continue Reading

You'll Also Like

36.6K 1.7K 18
Nikolai seorang pelajar yang terobsesi pada kehidupan mafia dan mulai menerapkan dalam kehidupan di sekolahnya, tindakan kriminal yang dilakukan mula...
173K 15.4K 50
FIKSI
539K 30.9K 28
"I'll do everything for you." -Lian ⚠️ mengandung kata kata kasar. Entah kesialan apa yang membuat Lilian Celista terlempar ke dalam novel yang baru...
8.7M 527K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...