4. Menembus Cakrawala [END]

By Tuankopi__

119K 13K 22.3K

[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cint... More

1- Tentang Cakrawala Yang Kesepian
2- Dua Pilar Kokoh
3- Garis Tipis Cinta Dan Benci
4- Cinta Merah Muda yang Manis
5- Perbatasan Antar Jendela
6- Aku Tak Sempurna, Tak Layak Dicinta
7- Ini Bukan Yang Pertama
8- Hati Yang Tak Pernah Kau Sanggah
9- Sesuatu Yang Tak Tampak
10- Perasan Yang Sama Waktu Yang Berbeda
11- Tenggelam Sekali Lagi
12- Antara Dua Saling Yang Asing
13- Yang Tak Pergi Kemanapun
14- Kita Bukan Siapa-Siapa
15- Jatuh Hati Di Luar Prediksi
16- Petang Bawa Kau Kepelukan
17- Rumahku Adalah Diriku
18- Kamu Yang Membuatku Tersesat
19- Aku Dan Sekotak Penyesalan
20- Tentang Dia Yang Selalu Ada
21- Fenomena Kesepian
22- Makna Sebuah Alasan
24- Menembus Batas Cakrawala
Spoiler + Info

23- Kita Hanya Perlu Bicara

4.2K 512 1.3K
By Tuankopi__

"Abang, aku sudah sedikit lebih berani menguatkan hatiku untuk mengatakan kata cinta kepadanya."

Daun berguguran kala hembus angin menerpa ranting-ranting pohon yang rapuh. musim hujan belum juga tiba, kemarau tahun ini lebih panjang dan menyiksa. Pohon-pohon kekeringan dan daun-daun mulai berjatuhan, gugur sebelum waktunya. Di depan teras, Cakra duduk seorang diri memandanginya pohon rambutan milik tetangganya, tinggi dan rimbun, daunnya gugur hingga ke halaman rumah Rendra dan menjadi sampah.

Pernah suatu hari, Cakra ingin meminta si pemilik pohon rambutan itu untuk menebang bagian pohon yang melewati pagar, sebab kesal juga kalau sudah masuk kemarau dan daun terus jatuh mengotori halaman seperti ini. Tapi waktu itu Rendra mencegahnya, Rendra bilang setiap pohon itu berbuah, ia selalu mendapat bagian, si pemilik bahkan mengatakan untuk mengambil buah rambutannya tanpa izin terlebih dahulu.

Nyatanya, kita hanya perlu saling memahami agar tidak kecewa, kita hanya perlu bicara dan membuat kesepakatan. Seperti Rendra dan pemilik pohon rambutan itu, hidup berdampingan tanpa merasa rugi, rukun tanpa menyakiti.

"Abang berangkat dulu, Kra." Rendra keluar rumah sambil menenteng sepatu kets berwarna putih kesayangannya. Tidak ketinggalan tas berukuran cukup besar, selalu penuh berbagai macam barang super lengkap, apapun ada di sana. "Tadi gue masak nasi goreng, gue sisain buat lo tuh di lemari."

"Makasih, Bang."

Sepatu sudah terpasang sempurna, Rendra berdiri dan sibuk merogoh saku celananya mencari kunci mobil.

"Tadi Jonathan nelpon gue katanya lagi otw ke sini, lo nggak siap-siap?"

Cakra menatap Rendra dengan alis bertaut, memangnya hari ini mereka mau kemana? Bukannya mereka libur?

"Mandi gih, ntar Jonathan ngamuk loh kalo lo masih koloran kaya gini."

"Hari ini kita nggak ada acara tuh." Cakra sambil mengingat-ingat. Benar, kok, tidak ada acara. "Oh paling mau ngajak gue nonton balapan."

"Paling si, yaudahlah gue duluan ya, Jinan udah nelponin terus ini haduh ..., ntar kalo pergi kuncinya jangan di bawa, kasian Luna ntar ga bisa masuk, dia nggak bawa kunci."

"Ho'oh, yaudah sana berangkat."

Rendra sudah sibuk mengeluarkan mobil dari garasi, sedangkan Cakra tak sedikitpun bergerak membantu sekedar membukakan pagar rumah. Ia tatap halaman yang penuh sampah daun kering, kemarin sore Rendra sudah menyapunya, tapi sekejap mata saja halaman itu kotor lagi.

"Woi! Bukain pager kek!"

Cakra hampir terlonjak mendengar suara Rendra. Dengan gerakan cepat turun dari teras untuk membukakan gerbang. Dasar, seperti pangeran saja minta dibukakan pagar segala.

"Pergi dulu ya, assalamualaikum. Inget pesan-pesan-

"Iya iya Bang ..., buruan udah ditunggu Jinan."

Mobil sudah meninggalkan rumah setelah Rendra terkekeh mendengar jawaban Cakra. Matahari sudah di atas kepala dan teriknya membuat tubuh terasa kehilangan tenaga, Cakra bahkan tidak bisa membayangkan keluar rumah pada jam ini menggunakan motor Jonathan, sedangkan laki-laki itu pasti ogah-ogahan naik mobil Cakra yang butut. Lagipula, jika benar Jonathan akan mengajaknya nonton balap motor seperti perbincangan tadi malam, mereka tidak mungkin datang tanpa pamer motor juga.

Cklek!

Pintu pagar yang baru Cakra tutup terbuka kembali, disusul seorang perempuan menunjukkan eksistensinya dengan wajah kesal, ia memberenggut hingga bibirnya maju satu centi, rambutnya acak-acakan, bajunya berantakan, totebag yang menyampir di pundaknya merosot hingga ke siku.

"Emang boleh sepreman ini?" kata Cakra sambil geleng-geleng. Luna benar-benar kelihatan seperti gadis yang tidak pernah di ajari bergaya seperti perempuan normal. Lihat saja celananya, ripped jeans kematian. "Manyun mulu!"

"Kesel! Gue abis berantem sama Gracia!"

"Soal?"

"Katanya gue godain pacarnya, padahal pacarnya yang liatin gue mulu, liat ni-

Luna menunjuk sesuatu di lehernya, ada luka kecil yang tak seberapa kelihatan, tapi pasti nyeri juga mengingat mengenai area sensitif.

"Dicakar?"

Luna mengangguk pasti, bibirnya makin maju saja karena mood-nya makin hilang. Harusnya Cakra langsung memeluknya setelah mendengar laporan Luna, apa-apaan sekarang hanya menatapnya tanpa suara, malah pagar yang dipeluk.

"Ish! Nyebelin banget sih lo!" Luna melangkah masuk ke dalam sambil menghentakkan kaki, kesal dengan Cakra. Memangnya ini tidak mengejutkan? Luna baru saja dituduh menggoda laki-laki lain dan diamuk sampai terluka, tapi lihatlah Cakra ini, astaga ..., Luna ingin sekali memukul kepalanya. Dia malah tersenyum.

"Awas, mau lewat!"

"Kenapa sih marah-marah? Panas loh ini, lagian kan udah gue bilang ke kampus nggak usah dandan, ntar banyak yang naksir."

"Udah ah mau lewat! Nggak peduli gue." Luna menggeser tubuh Cakra untuk tidak menghalangi jalan, ia dorong pagar lebih lebar untuk membuka akses jalan.

Masih dengan langkah yang terhentak penuh amarah, Luna berjalan masuk setelah melewati Cakra. Sedetik kemudian laki-laki itu berjalan menyusul Luna secepat yang ia bisa, pintu pagar ia biarkan tetap terbuka.

Sampai beberapa detik Cakra percepat langkah, ia hadang Luna saat baru saja naik ke teras, wajahnya masih masam dan merah padam, kedua pipinya bersemu karena teriknya mentari, meninggalkan bercak kemerahan di kedua sisinya.

"Gue harus apa biar lo nggak kesel lagi, hmm?" Cakra bertanya, satu tangannya menahan lengan Luna.

Memang dasarnya Cakra itu tidak ahli membaca situasi, Luna sudah tidak mood mengadu lagi.

"Kalo ditanyain jawab, bukan nangis."

Kedua mata Luna sudah berkaca-kaca dan kemerahan. Dadanya pun sudah bergerak naik turun sebab menahan tangis memang sesulit itu, kan?

"Luna .... " Cakra mencoba untuk meredam suaranya agar saat tersampaikan kepada Luna--tidak terdengar seperti nada-nada kekesalan yang kerap ia lontarkan. Hari ini sudah cukup panas, ia tak ingin mendengar suara tangis segala. "Mau apa?"

Luna menatap Cakra dengan kedua matanya yang sudah siap menjatuhkan hujan deras dan raungan keras. Ia temukan Cakra yang terus menatapnya teduh, ternyata laki-laki itu bisa melunak juga alih-alih terus mengeras seperti batu.

"Peluk," cicit Luna sambil membalik tubuhnya menghadap Cakra. Saat itu, hanya berjarak detik, Cakra rengkuh tubuh Luna yang sudah kelelahan setengah mati.

Ia turuti pinta itu tanpa tapi, ia peluk raga perempuan itu sekuat hati. Ia turunkan sekali lagi egonya, ia biarkan Luna menawannya dalam penjara api yang siap meluluhkan hatinya.

"Kalau ada orang yang kesel sama lo atau nuduh-nuduh lo, jangan diladenin," ucap Cakra sambil mengusap punggung Luna. "Lo udah sering babak belur, Luna. Lo itu perempuan, fisik lo nggak sekuat itu untuk dipukuli terus-terusan."

Sakitnya dipukuli memang sudah Cakra rasakan berulang kali. Tapi yang ia alami tak ada apa-apanya dengan yang Luna alami selama ini. Dibanding sakit fisik, Cakra lebih banyak merasakan sakit mental yang sangat dalam. Mungkin benar kalau sakit fisik lebih mudah sembuh ketimbang sakit yang tak kasat mata seperti yang Cakra rasakan, namun ia pun tak ingin Luna merasakannya. Tubuh ini, begitu ringkih dan berharga, tubuh yang selalu Luna sebut tak berguna jika bukan Cakra yang memilikinya.

"Denger nggak?"

"Iya," lirih Luna sambil bergusal di ceruk leher Cakra.

Tiin tiiiiin

"Woi! Kalau mesra-mesraan jangan di teras!"

Pelukan Cakra terlepas begitu saja saat sebuah suara terdengar memekakkan telinga. Adalah Jonathan, dengan motor besarnya berhenti di antara gerbang yang masih terbuka, tak terlihat wajah karena di tutupi helm tapi Cakra yakin ia sangat puas menertawakan apa yang sedang ia lihat.

Dengan helaan napas panjang, Cakra berjalan mendekati Jonathan yang juga kembali menggerakkan motornya memasuki halaman. Ia tutup gerbang terlebih dahulu sebelum diserang berbagai macam pertanyaan aneh bin ngeselin tentu saja. Kapan sih, Jonathan tidak ngeselin?

Baru saja Jonathan membuka helm, cengiran biadab langsung menyapa Cakra hingga laki-laki itu ingin melayangkan tinju ke wajah ganteng di depannya.

"Bisa nggak sih muka lo jangan ngeselin?" protes Cakra, tapi Jonathan kelihatan tidak peduli.

"Padahal ya, di dalem rumah lebih leluasa dan lebih dingin, ada AC, segala macem pelukan di teras, ntar kalo tetangga liat abis kalian berdua di grebek." Jonathan turun dari motor dan meringis kala lengannya dicubit, ia tatap Cakra yang masih sinis sedangkan ia sungguh tak sanggup untuk menahan tawanya.

Memangnya bisa ia biasa-biasa saja setelah melihat semua ini?

"Eh, Lun? Kenapa bibir lo bengkak? Abis dicium, Cakra ya? Wah ganas banget sih, Mas." Lagi-lagi Jonathan kesenangan menggoda Cakra, puas akhirnya melihat secara langsung setelah entah berapa lama hanya sibuk menduga-duga. Yah, bagaimana tidak, mereka berdua itu sudah mencurigakan sejak jaman purbakala, hanya tak tertangkap media saja.

"Abis berantem anaknya sama temen sekampus. Udah ah nggak usah godain dia mulu, itu bibir bengkak karena abis dipukul kali sama temennya. Gue nggak ada nyium."

"Emang iya, Lun?" Jonathan masih penasaran.

"Ih, sini ya urusan lo sama gue." Cakra menarik bahu Jonathan saat laki-laki itu mendekat untuk melihat bibir Luna yang memang sedikit membengkak. "Masuk, Lun! Mandi terus istirahat."

Luna menurut karena ia juga sudah tak sanggup meladeni Jonathan. Tubuhnya betulan lelah dan hatinya masih terluka, ia hanya ingin marah karena Jonathan membuat pelukan Cakra usai lebih cepat dari dugaannya, padahal ia masih butuh ditenangkan.

Matahari mulai condong dan terik mulai memasuki teras. Cakra putuskan masuk bersama Jonathan, duduk di ruang tengah saling bersisian, namun tak satupun kata terlontar sampai kini. Hening berada di tengah-tengah dalam waktu yang lama.

"Jangan alesan lagi dan sekarang jelasin yang sejelas-jelasnya sama gue. Anak-anak udah pada curiga juga sejak lama, cuma pada diem." Kalimat Jonathan membuat Cakra menatap penuh tanya.

"Kok bisa?"

"Bisalah! Cewek yang dapetin effort cowok gengsian kaya lo kan cuma Luna."

Cakra bahkan masih memanggil salah satu teman sejiwa jika terjadi sesuatu kepada Kara dahulu, sebelum perempuan itu memutuskan untuk menikah lagi dengan Zidan. Tapi jika urusan Luna, ia bahkan bergerak tanpa aba-aba. Tidak hanya sekali tapi berulang kali, Jonathan lah yang lebih dulu merasakan sesuatu yang janggal. Bermula kala Luna dibawa kabur pacarnya ke luar kota. Rendra bilang wajar jika Cakra khawatir temannya hilang dari radar, hanya saja Jonathan berpikiran lain. Cakra bukan tipekal yang seperti itu jika tak pakai hati.

"Sejak lo balik setelah hilang semaleman karena masalah Luna itu juga, Rendra bilang ke gue kalau gerak gerik lo sama Luna tuh beda, kaya-

"Kaya apa?" Cakra bertanya dengan tak sabar. Masalahnya Rendra pun sudah menaruh curiga, Cakra belum siap jika Rendra juga tahu.

"Ya ada sesuatu, hubungan yang lebih dari kata temen, yang kalau dipersingkat itu kita nyebutnya 'cinta'."

Cakra menelan ludahnya susah payah. Ia tatap Jonathan di sebelah dengan atensi penuh, tak tersirat sedikitpun candaan di sana. Cakra hapal sekali dengan Jonathan kalau sudah membual.

"Kalo Jinan, Bang Narda sama Bang Mahe?"

"Ada sih sesekali Narda bilang ke Rendra suruh jodohin Luna sama lo, tapi kayanya cuma bercanda. Bang Mahe mah tim hore doang, Jinan juga."

Lama Cakra berpikir. Sungguh ia belum sanggup jika harus mengaku di depan semua orang sedangkan hatinya masih belum juga tenang. Perasaan takut yang terkadang kerap menyelinap di tengah-tengah malam di saat ia lelap, mimpi-mimpi buruknya, juga hatinya yang belum sembuh sepenuhnya. Jika harus bicara langsung dengan Rendra, Cakra juga harus memastikan niatnya.

"Kra, kalau cinta yaudah dijalanin pake cinta juga. Kenapa lo masih banyak mikir, sih?" Jonathan seolah menangkap keraguan di mata Cakra, apakah terlihat jelas? "Lo mau nunggu apalagi?"

Apa yang Cakra tunggu sebenarnya? Bahkan Cakra pun tidak tahu, ia hanya belum siap.

"Lo ngapain ke sini sih? Kita kan lagi libur."

"Nggak usah ngalihin pembicaraan." Jonathan tampak tegas kali ini, mungkin kesal juga dengan Cakra yang bertele-tele. "Kra, kalau misalnya lo punya keraguan atas perasaan lo sendiri, percayalah itu cuma sesuatu yang nggak penting. Ada banyak penyesalan kalau lo nunda-nunda sesuatu. Kalau lo emang mau deket sama Luna lebih dari temen, bilang ke Rendra, bilang ke anak-anak. Biar kita semua juga bisa kasih kalian pengawasan. Lo udah dewasa, Kra. Kita cuma nggak mau kalian kejebak sama sesuatu yang salah, yang ngerusak masa depan. Lo ngerti, kan maksud gue?"

Jonathan mungkin tidak pantas mengatakan hal seperti ini. Ya, mungkin. Tapi Cakra tidak menganggap begitu. Sekalipun Jonathan memang dikenal sebagai laki-laki yang tak asing dengan kehidupan bebas nan tak beraturan, sekalipun Jonathan tak segan untuk menelan omongannya sendiri, Jonathan adalah Jonathan. Yang tak pernah mengatakan satupun perempuan yang pernah ia tiduri, yang tak pernah membawa mereka semua ke dalam persahabatan teman sejiwa. Seolah-olah jika dunia memiliki dua sisi, Jonathan adalah yang hidup di keduanya sekaligus. Ah, Cakra lupa. Satu-satunya perempuan yang Jonathan bawa ke hadapan Teman Sejiwa adalah Sandra, juga perempuan yang katanya pernah bermalam bersamanya entah berapa kali.

"Gue bakal coba ngomong sama Bang Rendra." Akhirnya, Cakra memutuskan. "Makasih udah ngeyakinin gue, Bang."

Jonathan tersenyum puas lalu menepuk bahu Cakra sebanyak tiga kali. Setidaknya, ia tahu bahwa Cakra sudah bebas dari belenggunya yang entah apa. Tersembunyi begitu rapi, entah di mana.

"Jadi lo ke sini mau ngapain?"

"Ngajak lo keluar."

"Kemana?"

"Makam, kangen Kala gue."

Cakra mengangguk pelan. Ia tatap ruangan dengan nuansa putih tulang yang selalu rapi meski ditinggali dua laki-laki dan satu perempuan yang mirip laki-laki juga, lebih parah karena tidak bisa memasak.

Ada satu figura di panjang di tengah ruang tamu. Gambar yang di ambil saat liburan ke Bali dengan formasi lengkap, tujuh orang. Selalu meninggalkan perasaan sesak namun tenang dalam satu waktu, Cakra sering memandanginya jika bayangan Haikala muncul di kepalanya, berputar bagai kaset lama.

Suaranya, senyumannya, tawanya, polah tingkahnya, tegas yang kadang kala luluh begitu saja, matanya yang sayu, tatapannya yang teduh, rambutnya yang kecoklatan. Semua tentang Haikala, adalah rindu.

"Sekarang gue yang mau nanya sama lo." Cakra menatap Jonathan beberapa detik, lalu kembali menatap figura dan menjatuhkan tubuhnya untuk bersandar. "Apa yang ganggu lo beberapa hari belakangan ini?"

Dan saat pertanyaan itu terlontar, Jonathan terkekeh sarkastik. Dia, benar-benar menyimpan sesuatu ternyata.

Partner ngapain aja.

Hai, aku kembali lagi.

Gimana bab ini? Suka?

Maaf ya baru bisa update, aku sibuk skripsian.

Terima kasih udah ngeramein lagi.

Selamat membaca, jangan lupa disayang.

Continue Reading

You'll Also Like

53.9M 1.6M 63
[#1 Teen Fiction | #1 in Romance] Bad boy Luke Dawson is stuck living with clumsy nobody Millie Ripley for the summer. When she ran over his most p...
92.7M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...
205K 11.5K 55
- KEKASIH IMPIAN - Mencari seorang hero untuk seorang gadis bernama Liyyan Lashira yang keras kepala, tidak menyabar dan suka bertindak sendiri. Enta...