5 Oktober, kediaman Jendral Besar AH Nasution.
“Astaga Kirana, kamu cantik sekali nduk!” ujar Bu Nas memuji.
Kirana nampak tersipu mendengar pujian istri jendral besar itu, Kirana kini sudah bersiap, ia menggunakan kebaya berwarna putih, tak lupa menyanggul rambut panjang nya yang lebat, gadis itu tampak cantik dengan polesan make up yang memberikan kesan natural.
Keluarga pak Nas sudah bersiap, kedua ajudan pak Nas telah menunggu di luar, terdapat dua mobil yang akan berangkat, mobil pertama diisi oleh Hamdan yang akan mengemudikan mobil, Pak Nas serta Bu Nas, sementara mobil kedua diisi oleh Pierre sebagai pengemudi, Yanti, Kirana dan Ade.
Perjalanan menuju Gelora Bung Karno terasa sangat canggung, hanya suara Ade yang mengisi perjalanan ini, tak ada yang bersuara.
“Kak Kirana, kakak dari belanda kan? itu artinya kakak bisa berbahasa Belanda bukan?” tanya gadis kecil yang tengah duduk di samping nya.
Kirana mengangguk menanggapi pertanyaan Ade, gadis itu termenung untuk beberapa saat, terlihat tengah memikirkan sesuatu.
“Apa kakak bisa berbahasa jawa?”
“Bisa dong, masa orang Jawa ga bisa bahasa Jawa.” jawab Kirana bersemangat.
“Wah! Keren ya, Ade kira kakak tidak bisa berbahasa jawa!” Mendengar pertanyaan itu Kirana lantas tertawa kecil.
Mobil yang mereka tumpangi sempat terjebak macet, Pierre yang melihat hal itu tak tinggal diam, ia segera bertindak dengan berganti profesi menjadi petugas lalu lintas dadakan, tak lama setelah Pierre turun ke jalan, mobil kembali melaju menuju Gelora Bung Karno dimana HUT ABRI dirayakan.
“Om Pierre hebat sekali!” puji Ade seraya mengacungkan jempol mungil nya.
Sementara Pierre yang melihat hal itu hanya terkekeh pelan.
Mobil kembali melaju ditengah keramaian kota Jakarta, suasana kembali sunyi, tak ada yang berbicara.
Kirana sesekali melirik keluar jendela, menatap pemandangan kota Jakarta tempo dulu yang sangat berbeda dengan kota Jakarta dimana ia tinggal, penuh polusi dan kemacetan.
Kota Jakarta yang disaksikan nya sekarang terlihat sangat lenggang, gedung gedung tua menyapa pengelihatannya.
“Mbak Kirana sama seperti om Pierre ya, penampilan nya saja londo, tapi fasih berbahasa Jawa.” celetuk Yanti.
Pierre yang mendengar nama nya disebut sontak melirik Yanti.
Emang muka gue mirip londo? perasaan juga masih muka muka orang lokal.
“Tidak juga, mbak bukan londo.”
“Benar? Tapi mbak bisa berbahasa Belanda?” Yanti mulai mengeluarkan rentetan pertanyaan.
“Benar, tentu bisa, Mbak dulu tinggal di belanda selama beberapa tahun.” Kirana menjelaskan.
Tak terasa perjalanan mereka telah usai, percakapan mereka terputus ketika mobil yang mereka tumpangi telah memasuki Gelora Bung Karno.
Ketika Kirana berhasil menemukan Pak Nasution, beliau terlihat tengah berbicara dengan beberapa rekannya, Kirana juga dapat mengenali beberapa dari mereka, salah satunya adalah Jendral Ahmad Yani, salah satu korban dari peristiwa kelam tahun 65.
Gue masih ga nyangka bisa liat para pahlawan revolusi dari deket.
“Pierre! lama tak berjumpa, siapa gadis cantik di samping mu itu? Apa kau sudah memiliki kekasih sekarang?” sahabat karib pak Nas menyapa Pierre, sedangkan Pierre yang tengah di bombardir pertanyaan nampak sedikit terkejut sebelum mengubah raut wajahnya seperti semula.
“Tidak pak, gadis ini adalah asisten rumah tangga yang baru, nama nya Kirana.” Pierre menjelaskan sembari tersenyum kikuk.
Pak Yani hanya mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan nya menuju Kirana, Kirana yang mendadak ditatap oleh pria berpangkat Jendral itu seketika tersenyum kikuk.
Setelah berbincang-bincang untuk beberapa saat, Acara perayaan hari ulang tahun ABRI akhirnya dimulai, acara berjalan lancar dan hikmat dengan berbagai pertunjukan mengesankan, serta parade dari masing masing angkatan, mulai dari laut, darat hingga udara yang ditampilkan secara bergiliran, tak lupa pidato yang membakar semangat dari presiden pertama Indonesia.
Kirana sempat mengambil beberapa foto menggunakan handphone miliknya, tentu nya tak secara terang terangan.
Bagus nih, buat kenang-kenangan.
Kirana sempat terpisah dengan Yanti, ia segera bergegas mencari Keluarga Nasution, ketika ia sedang mencari mereka, ia tak sengaja menabrak seorang pria, ketika Kirana hendak meminta maaf, ia mengenali wajah itu.
Dia Aidit. Sang ketua partai PKI sekaligus dalang dari segala perencanaan gerakan 30 September yang merenggut nyawa enam Jendral dan satu Perwira angkatan darat.
Hadeh, gue kok bisa sih tabrakan sama dia, sial banget anjir.
“Maafkan aku nona, apakah nona baik baik saja?” pertanyaan pria didepannya mampu membuyarkan lamunan nya.
“Oh, aku baik baik saja, maaf aku tak sengaja menabrak mu.” seketika Kirana menggunakan bahasa Indonesia formal, Kirana merasa gugup.
“Aku juga tak sengaja menabrak mu, nona, maafkan aku.” Kirana yang mendengar permintaan maaf darinya hanya mengangguk sembari tersenyum kaku.
“Aku harus segera pergi, selamat tinggal.” pamit gadis itu sebelum berlari secepat kilat meninggalkan Aidit yang masih menatap kepergian nya.
“Gadis aneh.”
TBC
Author's note:
Hola! gimana nih kabarnya? maaf ya zee baru update sekarang, soalnya kemarin bener bener lagi buntu ide, sama lagi sibuk juga, mohon dimaklumi ya.
#Jasmerah
1. Pierre pernah jadi petugas lalu lintas dadakan waktu mobil pak Nas kejebak macet, ini artikel nya.
2. Hut Abri 1964 dilaksanakan di GBK/ Gelora bung Karno, ada juga video nya di youtube, silahkan dicari.
Segitu dulu ya chapter ini, see you in the next chapter!
Jangan lupa vote and comment dan jangan jadi siders! have a nice day!