Aksel terkejut, seorang pemuda berseragam SMA yang merupakan saudara Mahija, ternyata adalah orang yang dikenalinya. "Kamu!" tunjuk Aksel.
Pemuda itu segera merih pergelangan tangan Mahija, lalu pamit pergi meninggalkan mereka begitu saja. Aksel mengejarnya.
"Tunggu!" Aksel reflek menarik lengan pemuda itu, yang justru malah membuat ponsel di genggamannya terjatuh.
"Anda tidak apa-apa, Pak?" tanya Jimmy, memeriksa keadaan tuannya.
Aksel dapat melihat pemuda bernama Gaharu menyeringai sinis sembari mengambil ponselnya yang terbelah menjadi dua.
"Apa benda murahan ini melukai anda, Tuan?" sindir Gaharu.
"I, itu."
"Kita sudah tidak ada urusan apa-apa, jadi tolong biarkan kami pergi."
Aksel masih tertegun saat pemuda itu menggandeng tangan Mahija dan membawanya menjauh.
"Apa bocah bernama Mahija itu, anak dari perempuan amor fati yang pernah kita temui?" Aksel menoleh pada Jimmy saat bertanya.
"Mbak Sarah?" tebak Jimmy.
Aksel terkejut. "Kenapa kamu tau namanya?"
Hal itu membuat Jimmy mengernyit geli. "Apa mengetahu namanya sepenting itu untuk anda, Pak?"
"Ya, ya nggak juga." Aksel berdehem, menetralkan raut wajahnya yang mudah terbaca pria itu. "Kenapa kamu bisa tau, kamu bilang tidak ingin mencari tau."
"Saya tidak mencari tahu," balas Jimmy. "Saya berkenalan di kantor polisi waktu itu, dia perempuan yang sesuai dengan tipe saya," imbuhnya sembari melangkah ke arah mobil.
Aksel ingin marah, tapi tidak tahu alasannya apa, dia menyimpan rasa jengkel itu dalam tenggorokan saja.
"Non Marcella sudah lama menunggu anda, Pak. Cepatlah," perintah Jimmy dari balik kemudi.
Aksel reflek bergegas masuk ke dalam mobil. Sialan, siapa bosnya di sini sebenarnya.
***
"Temenku ini rumahnya kan kecil, jadi pengen keliatan luas dan mewah." Indri menceritakan tentang temannya yang ingin memakai jasa Sarah untuk mendekor rumahnya. "Tapi budget dia minim, makanya suruh aku buat cari kenalan home decor. Kebetulan aku kenal kamu."
Sarah mengangguk mengerti. "Jadi nanti bahan-bahan semua dari dia?"
"Iya. Tinggal kamu kasitau aja apa yang perlu dibeli. Buat pengerjaannya nanti dia suruh kamu."
"Yang penting cat temboknya warna cerah."
"Bentar-bentar aku catet." Indri mengeluarkan buku dari dalam tasnya, mereka tengah duduk di Kafe dekat kampus seperti biasa.
"Pake konsep pantulan juga bagus, bisa manfaatin cermin. Kalo mau pake karpet, jangan gede-gede, sedeng aja." Sarah sedikit berpikir, apalagi yang ingin dia sampaikan pada temannya itu. "Terus, hindarin terlalu banyak hiasan dinding. Kalo bisa gunakan perabotan yang pake kaki. Bilangin, kalo butuh meja atau kursi, ditempat bapakku ada," tambahnya promosi.
Indri mengangguk mengerti. "Nanti kamu ketemu aja deh sama temenku itu, biar bisa diomongin langsung."
"Yaudah entar kurangnya aku pikirin lagi." Bersamaan dengan kalimat itu, makanan pesanan mereka kemudian diantarkan oleh pelayan di Kafe tersebut. Sarah hanya membeli minuman saja, karena sudah makan di rumah.
"Lo nggak janjian sama Janu?" tanya Hary yang kali ini datang bersama Awan, mereka bersalaman.
Sarah yang menyadari tatapan pria itu tertuju kepadanya kemudian menjawab. "Ngapain gue janjian sama Janu, orang gue mau ketemu Indri," balasnya.
"Diamah orang sibuk lah, nggak kaya kita." Indri menanggapi, sembari menyendok pasta yang dia beli.
"Lagi kerja kayaknya," imbuh Sarah.
"Tumben sama Awan, biasanya Ayu mulu dibawa-bawa," sindir Indri, menyinggung nama kekasih pria itu yang juga teman baiknya.
"Ayu masih di kelas, tadi kebetulan ketemu Awan di perpus, sekalian aja ajak ke sini," balas Hary yang sempat sibuk dengan ponselnya.
"Tugas bikin novel lo udah selesai, Wan?" tanya Sarah saat pria yang disebutkan namanya itu tampak asik membaca buku menu. Awan mengambil jurusan Sastra Indonesia. Untuk tugas akhir, pria itu menulis novel tentang sejarah.
"Belum," balas Awan setelah mendongak. "Masih sibuk riset sana sini," imbuh pria itu. "Ntar kalo selesai, lo jadi orang pertama yang baca ya."
Sarah pura-pura mencibir. "Ogah," tolaknya.
Awan berdecak. "Dikasih hati malah nolak."
"Kemarin kamu bilang aku yang bakal jadi pembaca pertama, gimana sih, Wan," protes Indri, pura-pura keki. Sebagai mahasiswa sastra, Awan memang pintar sekali merayu wanita.
"Jangan mau kalo disuruh jadi pembaca pertama, palingan disuruh bantuin revisi," tuduh Sarah, yang kemudian diiyakan dengan tawa dari pria tersebut.
Meski berbeda jurusan, tapi mereka berteman cukup lama. Awal pertemuan mereka adalah saat Sarah ikut demo ke gedung Dpr. Perempuan itu ikut-ikutan saja karena dijanjikan uang jajan dan makan siang juga, disitulah dia bertemu Indri, Janu dan pasangan Ayu-Hary. Dari Hary, Sarah lalu berkenalan dengan Awan yang pernah satu SMA dengan pria itu.
Selain Janu, mereka sebenarnya satu angkatan. Tapi Sarah berhasil lulus duluan dan lebih awal menjadi pengangguran.
"Janu nawarin lo kerjaan, Ra?" tanya Awan.
Sarah mengangguk. "Masih dipikir-pikir," balasnya. Dia memang masih menikmati liburan dulu sebelum masuk ke dunia kerja.
"Terima aja sih. Kan nggak seru, whatsapp-nya bisnis masa orangnya nganggur," sindir Awan.
Sarah melempar pria itu dengan sedotan. "Enak aja, gue kerja tau. Ini aja nyamperin Indri karena ada kerjaan," belanya.
"Lumayan tau gajinya, apalagi lo dibawa sama Janu." Awan menyebutkan perkiraan gaji yang akan Sarah terima jika mau bekerja di sana. Hal itu membuat Sarah sedikit goyah.
"Gimana entar lah," balas Sarah.
Di tengah percakapan, Awan lalu mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan pada teman-temannya.
Sarah tentu saja menolak, sebagai perempuan baik-baik yang takut dikutuk ibunya, dia tidak pernah belajar menyentuh benda itu.
"Sebagian besar perokok merasakan efek peningkatan dopamin berlebih sebagai rasa ketenangan, bahagia, atau kesenangan saat merokok. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi kesulitan menenangkan pikirannya sendiri jika tidak merokok," celoteh Indri saat Awan menawarkan benda itu kepadanya. "Maaf ya aku nggak mau ketergantungan," balasnya di sela makan.
"Gue udah nggak ngerokok." Kalimat Hary cukup mencengangkan.
"Tumben?"
"Ayu marah-marah mulu kalo gue ngerokok, jadi gue memutuskan buat berhenti." Dengan tersenyum bangga, Hary menjelaskan.
"Hallah," cibir Awan. "Sama cewek lo aja takut banget, giliran emak lo yang nyuruh nggak pernah nurut. Sebenernya su'su siapa si yang lo hisap duluan, Haryy!"
"Sialan!" omel Hary, reflek menabok lengan pria di sebelahnya.
Sarah ikut tertawa. Awan memang kerap ceplas-ceplos dalam ucapannya. Di sela obrolan mereka yang selalu ramai sendiri dibandingkan pengunjung lain, Sarah mencoba menghubungi adiknya, suara operator mengabarkan bahwa nomor yang dia tuju tidak dapat dihubungi. Dia lalu beralih menghubungi keponakannya.
"Bentar ya." Sarah menjauh dari mereka saat teleponnya tersambung pada Mahija, dia bertanya kenapa nomor Gaharu sulit sekali dihubungi.
"Rusak? Kok bisa?" Sarah tahu ponsel adiknya memang sudah di tahap mengkhawatirkan, tapi sepertinya tadi pagi masih baik-baik saja. "Yaudah, bilangin Cing Ntong nggak usah jemput Cing Sarah ya."
Setelah mematikan sambungan dengan Mahija, Sarah sedikit merenung. Uang tabungannya dan juga simpanan sang ayah sudah habis untuk merapikan lantai atas rumah mereka, pasti akan lama mengumpulkan uang untuk membeli ponsel adiknya. Penghasilkan sang ayah akhir-akhir ini hanya cukup untuk membayar hutang Bank saja.
"Apa gue terima aja ya tawaran Janu, gaji sebulan aja udah cukup deh buat beli hp Aru." Setelah turun dari angkutan umum yang membawanya untuk pulang, Sarah masih harus berjalan kaki masuk ke dalam gang menuju rumahnya.
Setelah urusannya dengan Indri sudah selesai, Sarah memang langsung pamit pulang pada teman-temannya. Di sepanjang jalan, dia terus memikirkan bagaimana cara membeli ponsel untuk sang adik.
"Ampun, Bang! Ampun, Bang!"
"Kali ini mati lo ama gua. Bilangnya mau dibagi dua, berani lo bohongin gua!"
"Iya, ampun, Bang!"
Langkah Sarah terhenti saat di gang yang lumayan sepi itu, satu orang laki-laki remaja dikeroyok oleh tiga pemuda yang tampak sebaya. Sarah ingin mengabaikan mereka, tapi dia kenal dengan pemuda yang disudutkan pada tembok dan dicekik batang lehernya. Itu Aep, teman SMP Gaharu yang putus sekolah.
"Hey!" teriak Sarah yang seketika membuat mereka kompak menoleh. "Lo Aep, kan?" tanyanya.
Pemuda bernama Aep terlihat lega saat cekikan di lehernya itu terlepas, raut wajahnya tampak berterimakasih. Tapi Sarah mengabaikan hal itu, karena niatnya menegur mereka bukan untuk menolong pemuda tersebut.
Sarah mendekat, tanpa aba-aba dia memukul kepala Aep dan membuat pemuda itu mengaduh kesakitan. Ketiga pemuda yang semula melakukan pengeroyokan kompak terlongo.
"Balikin duit adek gue, lo jambret hp orang terus dijual ke Aru. Sialan banget lo." Sarah mengomel kesal.
Aep kelabakan. "A, ampun, Mbak. Gue nggak ngerti maksudnya apa."
"Nggak usah pura-pura nggak ngerti. Lo kenal sama gue, kenal sama Aru. Cepet balikin duit dia," todong Sarah tidak mau tahu.
"Maaf ya, Mbak. Urusan ni anak curut sama kita aja belum selesai, kalo mau temuin besok aja." Salah satu dari pemuda yang tampak berandalan itu menghardik Sarah.
Sarah berdecih sinis. "Penting banget lo gue harus ngatur jadwal," tolaknya. Aep sulit sekali ditemui, keberadaannya yang kerap dikecam warga, membuat Aep jarang terlihat di wilayah mereka.
Di tengah perdebatan -pada siapa duluan Aep harus bertanggung jawab-, sebuah sepeda motor tiba-tiba lewat di dekat mereka. Namun bukan hanya pengendara motor yang mengalihkan perhatian semua yang berada di sana, melainkan Aep yang tiba-tiba naik ke jok motor tersebut dan kabur dengan cepatnya.
"Anji*ng!" umpat bocah berandal yang sempat mengejar namun gagal, mereka lalu beralih pada Sarah dengan penuh amarah.
"Gara-gara lo! Buruan gue akhirnya kabur. Tanggung jawab lo sekarang!" bentak salah satu dari berandalan itu.
Ketiganya mendekati Sarah dengan garang, tatapannya mengarah pada wajah Sarah kemudian menyeringai. "Kalo diliat-liat, lo cantik juga, Mbak."
"Iya bener."
"Boleh juga buat mainan," ucap kurangajar si pemimpin berandalan itu dengan menoleh pada anak buahnya meminta dukungan.
"Pergi kalian semua!" Belum sempat Sarah menanggapi, suara seorang pria mengalihkan perhatian mereka.
Sarah kenal dengan pria itu, laki-laki yang dia temui di kantor polisi tempo hari.
***
Author: maapin telat gess, tapi akoh sudah berusahaaaa lope lope buat yg sabar.