Aisfa (Cinta dalam Doa)

By _Aishfaaa

1.4M 96.1K 3.9K

Seperti kata pepatah, berharap kepada manusia adalah patah hati paling disengaja. Hal itu pulalah yang diras... More

BLURB
ACDD 01# HUKUMAN
ACDD 02# PESANTREN DARUL-QUR'AN
ACDD 03# BENCANA
ACDD 04# PERMINTAAN MAAF
ACDD 05# MASALALU KELAM
ACDD 06# PEDULI
ACDD 07# APRIL
ACDD 08# HADIAH UNTUK PEMUDA BERSORBAN
ACDD 09# KABUR
ACDD 10# MUSIBAH
ACDD 11# BERDAMAI
ACDD 12# INSECURE
ACDD 13# MENGHINDAR
ACDD 14# TERTAMPAR
ACDD 15# UST. ASYRAF
ACDD 16# RASA YANG PATAH
ACDD 17# HIJRAH CINTA
ACDD 18# PESANTREN AT-TAQWA
ACDD 19# IZZAH SYAHIRAH
ACDD 20# STALKING
ACDD 21# PERTARUNGAN DOA
ACDD 22# RENCANA YANG TERTUNDA
ACDD 23# BERTEMU
ACCD 24# CINCIN YANG HILANG
ACDD 25# IMAN DAN CINTA
ACDD 26# CINTA DAN NAFSU
ACDD 27# HATI YANG PATAH
ACDD 28# PERASAAN YANG SAMA
ACDD 29# SAKIT YANG DISEMBUNYIKAN
ACDD 30# KEPULANGAN
ACDD 31# MENEPATI JANJI
ACDD 32# SAMA-SAMA TERLUKA
ACDD 33# BERJUANG UNTUK CINTA
ACDD 34# AISFA NAZIYA ALMAHYRA
ACDD 35# JAWABAN DOA
ACDD 36# DIPAKSA IKHLAS
ACDD 37# KHITBAH
ACDD 38# IJAB KABUL
ACDD 39# UNGKAPAN CINTA
ACDD 40# CINTA HALAL
ACDD 41# TRAUMA
ACDD 42# KETIDAKSEMPURNAAN
ACDD 43# CEMBURU
ACDD 44# ISTRI SEUTUHNYA
ACDD 45# BUAH CINTA
ACDD 46# MENGAGUMI LAKI-LAKI YANG SAMA
ACDD 47# KEMBAR
ACDD 48# MUSIBAH IRI
ACDD 49# PUTRI YANG GUGUR
ACDD 50# KEJANGGALAN
ACDD 51# TASYAKURAN KHATMIL QUR'AN
ACDD 52# POLIGAMI ATAU PENJARA?
ACDD 53# TAWARAN MENJADI YANG KEDUA
ACDD 54# KADAR CINTA
SPESIAL PART 1
SPESIAL PART 2
SPESIAL PART 3

ACDD 55# GUGURNYA SANG PELITA

16.4K 1.1K 211
By _Aishfaaa

ACDD 55# GUGURNYA SANG PELITA

"Tidak perlu pergi jalan-jalan untuk mendapatkan ketenangan. Tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan ketenangan, jika pada kenyataannya tengah menjauhi Allah. Jawabannya hanya satu agar hidup bisa tenang, Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub. Yaitu hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tenang."

~Aisfa (Cinta dalam Doa)~

🕊🕊🕊

"Gak papa ya saya tinggal sebentar?" pamit Gus Alfatih sembari menangkup wajah istrinya.

Aisfa menganggukkan kepala dengan wajah sedih. Hatinya seolah tidak rela LDR-an dengan suaminya yang hendak pergi berdakwah selama seminggu di beberapa kota.

"Ikut, Kak," rengek Aisfa pada akhirnya. Air matanya turun tanpa bisa dicegah.

"Bukannya saya gak mau ajak kamu, Habibati. Tapi saya khawatir nanti kamu kecapean dan berujung sakit. Kasian Ali juga kalau harus ikut. Saya janji setelah saya pulang nanti, saya bakalan ajak kamu dan Ali jalan-jalan. Katanya pengen pergi umrah, hm?"

Aisfa menaik turunkan kepalanya dengan isakan pelan. "Ya udah kalau gitu. Janji ya?"

"Insya Allah." Gus Alfatih mengecup kening istrinya cukup lama.

Ali melebur, memeluk lutut Gus Alfatih. "Abi mau pergi?" tanyanya.

Gus Alfatih mengangkat putranya. "Iya, Sayang. Abi harus pergi menunaikan perintah Allah. Ali jangan nakal ya, Nak. Abi titip Umi sama Ali. Jagain Umi dengan baik, oke?"

Anak kecil itu mengangguk serius. "Oke, Bi."

Ali merentangkan tangan pada Aisfa yang sedang membuang wajah, tak ingin air matanya terlihat. Melihat itu, Gus Alfatih pun menyerahkan Ali kepada istrinya. Hatinya tidak tega melihatnya menangis begini. Selalu saja hal itu terjadi ketika dirinya harus meninggalkannya karena keperluan berdakwah atau karena masalah pekerjaan dengan kurun waktu lama.

"Umi, jangan nangis." Anak kecil itu menghapus air mata Aisfa dengan tangan mungilnya. Matanya ikut memanas melihat Aisfa menangis.

"Oke, Umi gak nangis deh." Aisfa berusaha tersenyum tegar.

Gus Alfatih melirik arloji di pergelangan tangannya. "Jadwal penerbangan saya sebentar lagi. Saya harus segera pergi."

"Fii amanillah, Kak."

Tin tin

Suara klakson mobil itu pertanda jemputan Gus Alfatih sudah datang. Ia akan pergi ke luar kota bersama managernya.

Aisfa dengan perasaan rapuh mencium punggung tangan suaminya. Ali pun demikian. Bahkan Ali yang semula terlihat kuat, menangis ketika Gus Alfatih menyeret koper meninggalkan rumah.

Dengan langkah gemetar Gus Alfatih pergi. Sejujurnya ia juga merasakan sakit ketika harus berpisah dari istri dan anaknya. Terlebih melihat air mata mereka. Namun, Gus Alfatih bahagia mengetahui pahala dari pengorbanannya ini sangat besar. Karena ia telah mengikuti jejak Rasulullah untuk berdakwah.

🕊🕊🕊

"Umi, Ali mau berenang," kata Ali menarik ujung Khimar Aisfa.

"Baiklah, ayo. Kita ambil pelampungnya dulu," ucap Aisfa disertai senyuman.

Anaknya ini memang sangat aktif sekali.

Aisfa memakaikan pelampung di tubuh kecil Ali lalu menemaninya berenang di kolam pribadi mereka. Anak kecil itu tidak berhenti tertawa ketika bermain siram-siraman dengan Aisfa yang berusaha hati-hati agar tidak membahayakannya.

Tiba-tiba tangan Aisfa melemah. Pandangannya memburam. Kepalanya pun terasa pusing menyebabkan penglihatannya berkunang-kunang.

Ali mendekati Aisfa ketika melihatnya memegangi kepalanya "Umi, kenapa?"

Aisfa tak menjawab. Perempuan itu menarik tangan Ali untuk ketepian. Setelah berhasil naik dari kolam, Aisfa pingsan.

"Bik Ira!" teriak Ali cemas. Anak kecil itu menggoyangkan lengan Aisfa tapi Uminya tak merespon apa pun.

Ira datang dengan tergopoh-gopoh. Netranya membulat melihat Aisfa pingsan.

"Astaghfirullah, Ning Aisfa kenapa?"

"Ali juga tidak tahu, Bik."

Ira pun memapah tubuh Aisfa ke dalam rumah dan menggantikan pakaiannya karena tak ada Gus Alfatih. Setelahnya wanita paruh baya itu menghubungi dokter lalu Ning Naya.

Beberapa menit kemudian dokter datang dan segera memeriksa keadaan Aisfa. Di susul Ning Naya bersama Gus Afnan.

"Aisfa kenapa, Bik Ira?" tanya Ning Naya.

"Tadi Ning Aisfa berenang sama Nak Ali. Terus tiba-tiba pingsan," jelas Ira.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Mbak Aisfa. Sepertinya dia hanya kecapean saja," kata dokter yang terlihat masih muda sembari tersenyum.

Aisfa mulai membuka matanya. Ia menatap Ning Naya yang berada di rumahnya. "Umi?"

Ning Naya memeluknya. "Kenapa bisa pingsan, Nak?"

"Tadi Aisfa nemenin Ali berenang dan tiba-tiba kepala Aisfa terasa pusing."

Aisfa merasakan isi perutnya naik. Perempuan itu berlari ke kamar mandi dan terdengar suara muntah dari sana.

Ning Naya ikut masuk ke kamar mandi dan membantunya memijit pelipisnya. "Kamu sudah makan, Nak?"

Aisfa mengangguk lemah. Setelah dirasa baikan, Ning Naya membantu Aisfa keluar dari kamar mandi dan membaringkannya.

"Kalau boleh tahu, kapan terakhir kali Mbak Aisfa mentruasi?" tanya dokter menatap Aisfa.

Aisfa mengecek kalender, melihat siklus haidnya dan ternyata dia sudah telat selama dua bulan.

"Saya telat dua bulan, Dokter."

Tersenyum dokter itu dan berkata, "Saya sarankan Mbak melakukan testpack ya, Mbak. Siapa tahu Mbak sedang hamil."

Aisfa menganguk. "Baik kalau begitu."

"Kalau begitu, saya permisi. Assalamualaikum," pamit dokter itu.

"Wa'alaikumussalam."

Ira mengantar Dokter itu ke bawah. Ning Naya duduk di sebelah menantunya dan memijitnya. Sedang Gus Afnan menenangkan Ali yang menangis dengan mengajaknya jalan-jalan ke luar.

"Kalau memang kamu sedang hamil, Umi sangat senang, Nak. Ali memang sudah waktunya punya adik."

"Aamiin. Semoga saja ya, Umi. Kak Al juga pasti seneng kalau Aisfa beneran hamil karena katanya dia udah pengen nimang lagi."

Aisfa terkekeh kecil. Ia masih ingat saat suaminya itu mengatakan rindu menggendong Ali yang masih bayi sembari membayangkan dirinya hamil lagi.

Namun, bukan berarti Gus Alfatih memaksa istrinya untuk hamil kembali. Pemuda itu menyerahkan keputusan itu secara penuh kepada istrinya karena tak mau menyulitkannya.

🕊🕊🕊

Aisfa keluar dari kamar mandi dengan wajah datar. Ning Naya bangkit dari duduknya dan segera menghampirinya dengan perasaan penasaran.

"Bagaimana hasilnya, Nak?"

Aisfa menatap Ning Naha yang tak sabaran. Kemudian memperlihatkan sebuah testpack yang menunjukkan garis dua. Bibirnya menyunggingkan senyum.

"Masya Allah, Allahu Akbar!" Ning Naya berseru senang.

"Umi sangat bahagia, Nak."

"Aisfa juga, Umi. Nanti Aisfa bakal kasih kejutan ini untuk Kak Al."

Tok tok tok

"Masuk."

Gus Afnan masuk ke dalam kamar Aisfa dalam keadaan Ali sudah tertidur dalam gendongannya.

"Apa perlu kita membawa Mbak Ais ke rumah sakit, Umi?" tanya Gus Afnan setelah menidurkan Ali.

"Tidak perlu, Nan. Nanti saja. Mbakmu ternyata hamil."

Tampak raut wajah kebahagiaan di wajah Gus Afnan. "Serius? Selamat ya, Mbak. Akhirnya Ali akan punya adik."

Aisfa tersenyum pada adik iparnya. "Makasih, Nan. Oh, iya kamu jangan kasih tahu Kak Al dulu. Biar aku yang kasih tahu sendiri nanti ya."

Gus Afnan mengacungkan jari jempolnya. "Oke, tenang."

🕊🕊🕊

Di hari keenam dalam perjalanannya, Gus Alfatih jatuh sakit. Riyan, managernya membawanya ke rumah sakit untuk diperiksakan.

Kata dokter, Gus Alfatih demam yang mengharuskan pemuda itu beristirahat.

"Apa tidak sebaiknya Gus membatalkan acara yang ada di sini? Kondisi Gus tidak memungkinkan untuk hadir."

Saat ini mereka tangah ada di kabupaten Sleman, Jogja usai tadi pagi melakukan penerbangan dari Jateng karena sempat mengisi acara di sana.

Gus Alfatih menggeleng pelan. "Insya Allah, saya akan segera baikan, Riyan. Tidak enak kalau membatalkan di hari H. Lagipula acaranya masih sekitar empat jam-an lagi jadi saya masih bisa beristirahat."

Riyan hanya dapat mengangguk pasrah.

Ketika Gus Alfatih hendak memejamkan matanya, handphone-nya yang dipegang Riyan berbunyi.

"Siapa, Yan?"

"Ning Aisfa, Gus."

Gus Alfatih tersenyum. Tubuh lemahnya seolah bertenaga kembali. "Kemarikan! Saya sudah sangat merindukannya. Kamu boleh keluar."

Riyan menyerahkan handphone Gusnya lalu ke luar, membiarkan sepasang suami-istri itu melebur rindu. Terkadang, ia iri dengan keluarga mereka yang sangat sempurna.

Gus Alfatih mematikan panggilan video dari istrinya dan menggantinya dengan panggilan suara karena tak mau dia tahu kalau dirinya tengah dirawat di rumah sakit.

"Assalamualaikum, Habibati."

"Wa'alaikumussalam. Ih, Kakak kok panggilan video aku dimatiin?" protesnya.

"Maaf, ya. Saya sedang ada di luar untuk makan bersama Riyan. Nanti boleh video call-an kalau saya sudah ada di apartement," ucapnya berbohong.

Ia tak mau istrinya khawatir jika berkata jujur bahwa ia tengah sakit.

"Kakak sekarang udah di mana?"

"Kakak ada di Jogja, Sayang. Hari ini jadwal terakhir kakak mengisi kajian. Besok siang setelah mengadakan rapat kakak langsung pulang."

Di Jogja, selain menghadiri undangan kajian, Gus Alfatih memang sudah membuat jadwal pelaksanaan rapat penting dengan staff cabang kafenya yang ada di sana.

"Beneran?"

"Insya Allah."

"Kakak, aku tadi video call karena gak sabar pengen ngasih kejutan ke kakak."

"Kejutan apa? Bisa tidak saya mengetahuinya sekarang? Kamu sudah membuatku penasaran." Gus Alfatih terkekeh kecil.

"Coba lihat pesan aku."

Gus Alfatih mengecek satu pesan yang baru masuk di WhatsAppnya. Netranya langsung berkaca-kaca melihat gambar yang menampilkan testpack bergaris dua di sana.

Satu pesan belum dibaca.

Aisfa : Sebentar lagi Ali akan mempunyai adik, Kak.

"Kakak kok diem sih? Udah diliat, kan?"

Gus Alfatih tersadar seketika bahwa masih terhubung dengan sang istri.

"Iya, iya, Habibati saya melihatnya, tapi kamu tidak sedang mengerjai kakak, kan?"

"Ish, Kakak. Ngapain aku ngerjain kakak? Masa iya aku gak hamil mau bilang hamil."

Terdengar dengusan kesal dari telepon.
Gus Alfatih tertawa.

"Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya hati saya saat ini, Habibati." Diam-diam Gus Alfatih meneteskan air mata.

"Akhirnya ya, Kak. Keinginan kakak terkabul. Bentar lagi kita bisa nimang bayi lagi."

"Benar, Zaujati. Kakak jadi tidak sabar ingin segera pulang. Mau oleh-oleh apa, hm?"

"Cuma mau liat kakak pulang dengan selamat."

"Doakan ya. Oh iya, Ali di mana? Kakak merindukan dia juga."

Tak lama kemudian muncul suara anak kecil dari balik telpon. Senyuman Gus Alfatih semakin merekah.

"Assalamualaikum, Abi."

"Wa'alaikumussalam, Nak. Apakabar dengan Ali?"

"Ali, baik, Bi. Cuma Ali kasian lihat Umi muntah terus. Abi cepat pulang ya, jagain Umi."

Gus Alfatih mengusap air matanya. "Secepatnya Abi pulang ya, Nak."

"Jangan lupa beliin Ali buku sejarah para nabi ya, Bi."

Ketimbang membeli mainan, Ali memang lebih suka mengoleksi buku. Sebelum tidur, Aisfa tidak pernah absen menceritakan kisah islami dan para nabi sehingga pengetahuan Ali sudah lumayan banyak.

"Baik, Sayang. Abi akan membelikannya untukmu. Apa ada lagi? Camilan? Mainan?"

"Tidak, Abi."

"Udah udah sayang. Abi katanya mau makan, habis itu harus istirahat. Besok ngobrol lagi oke?" kata Aisfa di seberang, mengambil alih handphone.

"Yaudah, kakak katanya mau makan. Aku matiin ya. Jaga kesehatan oke, Habibi?Wassalamu'alaikum."

"Na'am Habibati. Kamu juga, Wa'alaikumussalam."

Gus Alfatih menatap prihatin dirinya sendiri yang terbaring di atas brankar. Ia sudah menjaga kesehatannya semaksimal mungkin, tapi kalau Allah berkehendak membuatnya sakit, ia bisa apa? Namun, setidaknya kabar membahagiakan dari istrinya membuatnya merasa lebih baikan.

🕊🕊🕊

Dengan sisa tenaga, Gus Alfatih mengisi kajian. Bibirnya senantiasa tersenyum di depan kamera dan orang-orang. Jika diperhatikan, kondisinya terlihat baik-baik saja. Namun, dibalik itu semua, ia berusaha menyembunyikan rasa sakit yang menderanya.

"Rukun Islam yang kedua adalah perintah salat lima waktu yang diturunkan oleh Allah kepada nabi kita. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk melaksanakannya. Nahasnya dianggap remeh sekarang. Padahal Allah menciptakannya agar kita bersimpuh dihadapan-Nya. Mengeluh tentang lelahnya dunia."

"Tidak perlu pergi jalan-jalan untuk mendapatkan ketenangan. Tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan ketenangan, jika pada kenyataannya tengah menjauhi Allah. Jawabannya hanya satu. Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub, yaitu hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tenang. Salatlah, berdzikirlah dan berdoalah agar kita bisa berpikir jernih dan hati kita menjadi tentram."

"Boleh kita mengejar dunia, tapi jangan sampai meninggalkan salat, karena salat adalah perbuatan yang pertama kali akan dihisab."

"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Taala berfirman, 'Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.' Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya." (HR Tirmidzi)."

"Terkadang kita terlalu angkuh hidup di dunia. Bersikap seolah dunia ini kekal, nyatanya fana. Harta yang kita kumpulkan nanti tidak akan dibawa mati. Makanya sayang sekali jika sampai rela menukar waktu salat untuk mengejar waktu agar bisa segera menyelesaikan pekerjaan."

Usai memberikan ceramah, Gus Alfatih membuka sesi tanya-jawab. Pemuda itu masih menyempatkan dirinya menjawab semua pertanyaan yang diberikan jama'ah tanpa menghiraukan kondisinya. Ia sangat berterima kasih kepada Allah karena telah menguatkannya.

Selesai menjawab semua pertanyaan, Gus Alfatih meninggalkan majelis. Riyan segera menghampirinya hendak memapahnya, tapi Gus Alfatih menolak.

"Sudah saya bilang, saya baik-baik saja, Yan."

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Terdengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari lokasi acara. Gus Alfatih mengajak Riyan untuk pergi ke masjid tersebut guna menunaikan kewajiban mereka sebagai muslim. Sesampai di sana kebetulan imam masjid berhalangan mengimami sehingga Gus Alfatih ditunjuk menjadi imam.

"Allahu akbar Allahu akbar, asyhadu an laailaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, hayya 'alash shalaah, hayya 'alal falaah, qad qaamatish shalaatu qad qaamatish shalaah. Allahu akbar Allahu akbar, laailaha illallah."

Usai Bilal mengumandangkan Iqamah, Gus Alfatih maju ke depan sebagai imam. Para makmum merapatkan shaf dan mereka mulai menunaikan salat Ashar berjama'ah.

Di tengah kekhusyukan mereka, seorang berpakaian serba hitam serta memakai penutup kepala menyelundup masuk ke dalam masjid. Sebelum itu, ia sudah berhasil melumpuhkan satpam masjid.

Tatkala semua orang sujud, ia mengeluarkan sebuah pistol dan mengarahkannya terhadap sasarannya. Di balik kain penutup wajahnya, bibirnya mengeluarkan smirk jahatnya sebelum akhirnya menembakkan peluru tepat di dada mangsanya.

Dor!

"Akh!"

🕊🕊🕊

"Kak Alfatih!" teriak Aisfa terbangun dari tidurnya. Napas perempuan itu tersenggal-senggal. Wajahnya sudah dipenuhi keringat.

Ali yang tidur di sampingnya terkejut mendengar teriakannya "Umi, kenapa?"

Aisfa langsung memeluk putranya. "Umi gak papa, Nak."

"Umi pasti mimpi buruk ya?" Anak kecil itu menangkup wajah Aisfa. "Kalau iya, ayo baca doa mimpi buruk, Umi."

Aisfa pun mengikuti instruksi putranya.
Karena sudah memasuki waktu ashar, keduanya pun beranjak dari kasur untuk segera menunaikan kewajiban mereka sebagai umat muslim. Ali pergi ke kamarnya dan bersih-bersih di sana.

Aisfa menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Bayangan dalam mimpinya seketika terlintas di kepalanya. Di sana ia melihat dirinya dan suaminya berada di sebuah taman yang sangat indah. Tak pernah Aisfa lihat taman seindah itu sebelumnya.

Ia melihat suaminya memakai jubah putih. Wajahnya berseri-seri. Dia tersenyum ke arah dirinya seraya melambaikan tangannya. Perlahan Aisfa memangkas jarak dengannya.

"Kakak, kita ada di mana?"

"Tempat yang indah, Habibati."

Aisfa tersenyum. Namun, senyuman itu tak bertahan lama ketika Gus Alfatih menyuruhnya berhenti di tempatnya. Padahal tinggal sejengkal lagi, ia bisa menggapai suaminya.

"Kenapa, Kak? Aku mau di situ sama kakak."

"Belum saatnya, Sayang."

"Kalau begitu kakak yang ke sini sama aku. Ali dan dedek bayi menunggu kita."

"Maaf, saya tidak bisa."

Aisfa sedih mendengarnya. "Kenapa?"

"Kakak harus pergi."

"Kakak mau tinggalin aku?"

"Nanti kita berjumpa lagi, Habibati. Ini hanya perpisahan sementara."

"Caranya."

"Bersabarlah hidup di dunia. Taati perintahkan-Nya dan jauhi larangan-Nya."

"Sampai berjumpa lagi."

Secepat kilat suaminya itu menghilang dari pandangannya. Aisfa yang ketakutan berteriak memanggil namanya. Namun, Gus Alfatih tidak memunculkan batang hidungnya. Dia benar-benar hilang.

Aisfa terus mencarinya ke mana-mana sampai kakinya terasa pegal hingga membuatnya tergelincir dan akhirnya terjatuh yang menyebabkan perempuan itu terluka. Saat itulah baru ia sadar bahwa semua itu hanyalah mimpi.

🕊🕊🕊

Usai melaksanakan salat berjamaah dengan Ali dan Ira, Aisfa berusaha menghubungi Gus Alfatih sampai berkali-kali, tapi tak diangkat olehnya. Tak biasanya dia seperti ini membuat Aisfa cemas saja.

"Jadwal kajian kak Al yang terakhir jam satu siang. Harusnya sekarang udah selesai dan Kak Al udah ada di apartementnya. Kenapa dia gak angkat telepon aku ya? Apa dia lagi tidur?" monolognya.

Tak mau otaknya dipenuhi pikiran negatif, ia mengambil Al-Qur'an lalu membacanya. Selepas itu, ia berdoa untuk keselamatan suaminya.

Di pagi harinya, Aisfa menyibukkan diri dengan membereskan rumah bersama Ira. Suaminya akan pulang nanti siang. Jadi, ia harus memberikan pemandangan yang baik untuknya.

Aisfa kemarin juga sudah berbelanja untuk memasakkan makanan kesukaannya. Aisfa sungguh sangat merindukannya. Ia tak sabar menunggu kepulangannya.

"Masa ya, Ning kemarin malam Bibik nonton berita di sosial media, kalau ada seorang pemuda yang ditembak sampai meninggal saat mengimami salat asar. Katanya ya, Ning pelakunya ini salah sasaran, karena mengira yang sedang mengimami itu musuhnya. Ternyata musuhnya lagi berhalangan mengimami, tapi tetap aja itu tindakan kriminal ya, Ning? Bibik gak bisa membayangkan gimana sedihnya keluarga korban. Untung pelakunya langsung ditangkap," terang Ira, bercerita sembari mengganti gorden jendela.

Pergerakan tangan Aisfa yang sedang membersihkan meja terhenti seketika. Perasaannya mendadak tidak enak mendengar cerita Ira.

"Bibik tahu nggak siapa nama korbannya?"

Ira menyengir. "Lupa, Ning. Soalnya cuma pake inisial."

"Tapi setidaknya tempat korban di sisi Allah sudah jelas, kan, Ning? Dia meninggal dalam sebaik-baiknya keadaan yaitu tengah mengimami salat."

Aisfa tersenyum. "Benar, Bik. Makanya kita jangan lupa berdoa agar dimatikan dalam keadaan husnul khatimah."

Huek

Aisfa berlari menuju wastafel dan memuntahkan isi perutnya. Percuma ia makan, jika terus dimuntahkan, pikirnya.

Ira mendekatinya dan memijit pelipisnya. "Lebih baik Ning Aisfa istirahat, biar masalah beres-beres, Bibik yang kerjakan. Ini kan sudah tugasnya Bibik."

Merasa badannya sudah lemas, Aisfa menuruti perkataan Ira. Ia pun pergi ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
Saat ingin memejamkan matanya, ia selalu dihantui bayang-bayang suaminya. Aisfa mencemaskannya karena dia tidak memberikan kabar sejak kemarin.

Aisfa pun berinisiatif meneleponnya lagi. Saat nomor Gus Alfatih tidak bisa dihubungi, ia mendesah kesal. Ia pun menghubungi nomer Riyan. Beruntung dirinya punya nomor manager suaminya itu.

Panggilan pertama langsung tersambung. Aisfa bernapas lega ketika mendengar suara sapa Riyan.

"Assalamualaikum, iya, Ning?"

"Wa'alaikumussalam, Kak Riyan. Nomor kak Alfatih kenapa nggak bisa dihubungi? Dia baik-baik aja, kan?"

Tak ada sahutan.

"Halo kak Riyan? Semuanya baik-baik aja, kan?"

"Iya, baik, Ning. Ini saya dan Gus Alfatih sedang dalam perjalanan pulang."

Mata Aisfa berbinar. Tubuhnya seolah sehat kembali. "Beneran? Kenapa Kak Alfatih gak kabarin aku kalau mau pulang pagi? Kemarin dia bilang mau pulang siang. Dan kenapa juga ponsel kak Al gak bisa dihubungi? Tolong kasih ponsel kamu ke dia, aku mau bicara," ucap Aisfa bertubi-tubi.

"Maaf, Ning. Gus Alfatih tengah mengemudi."

Aisfa menyipitkan matanya ketika rungunya mendengar suara sirine ambulans.

"Eh, itu kayaknya suara ambulans ya? Kalian lagi di mana?"

"Oh, ini lagi di jalan raya, Ning. Biasa berisik dengan suara kendaraan. Sebentar lagi kami sampai di ndalem."

"Kok ndalem sih?"

Riyan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Aisfa ingin kesal, tapi suaminya akan pulang, jadi ia harus menyambutnya dengan hati senang.

Aisfa beranjak dari kasur ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia pun membuka pintu kamarnya. Nampak sosok adik iparnya di sana dengan wajah datarnya.

"Lho, Afnan? Pasti kamu mau jemput aku, kan karena kak Al mau pulang ke ndalem?"

Tampak keterkejutan di wajah Gus Afnan. Pemuda itu tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Katanya Bang Al sedang dalam perjalanan ke rumah. Makanya Afnan jemput mbak.

Aisfa menganguk-angguk. Ia pun segera bersiap-siap bersama Ali untuk bertemu Gus Alfatih di ndalem.

🕊🕊🕊

Aisfa turun dari mobil dengan wajah kebingungan. Di luar gerbang, ia melihat ada mobil ambulans dan polisi. Tak berhenti dari situ, ia melihat banyak orang di ndalem membuat kepalanya hampir pecah.

"Nan, ini kenapa banyak orang ya?"

Gus Afnan membisu.

Aisfa menatap adik iparnya yang hari ini banyak diam tidak seperti biasanya. "Nan, Mbak perhatikan kamu daritadi cuman diam. Sebenarnya di ndalem ada apa?"

Tetap tak ada jawaban yang keluar dari sang empu membuat Aisfa menghela napas berat.
Aisfa yang penasaran merobos kerumunan setelah memberikan Ali kepada Ira. Semua mata kini tertuju padanya.

Tatapan Aisfa terkunci sepenuhnya pada jenazah yang saat ini tengah dibacakan Al-Qur'an. Otaknya menebak-nebak siapa yang gerangan yang meninggal.

Ning Naya menghampirinya dan langsung mendekapnya. Aisfa tertegun mendengar ibu mertuanya itu menangis.

"Umi, dia siapa? Kenapa jenazahnya bisa ada di sini? Dan Umi kenapa menangis?"

Aisfa mengabsen keluarganya masih berkumpul utuh di sana. Jadi mustahil jenazah itu bagian dari keluarganya.

"Kamu harus tabah, Nak." Kening Aisfa mengernyit.

"Tabah? Kenapa harus tabah? Dia memangnya siapa?"

Di samping jenazah ada Riyan yang menunduk dengan mata memerah.

"Itu Kak Riyan." Aisfa mendekati Riyan. "Kak Riyan udah pulang? Berarti kak Alfatih juga pulang dong. Dia di mana, Kak? Aku udah kangen."

Dengan tangan gemetar, Riyan menunjuk jenazah yang ternyata Gus Alfatih. Tubuh Aisfa membeku. Kepalanya menggeleng tidak percaya.

"Gak mungkin?" lirihnya.

"Maaf, saya tidak bisa melindunginya, Ning. Maaf. Dia ditembak oleh orang tidak dikenal sewaktu mengimami salat ashar kemarin."

Tubuh Aisfa luruh ke lantai. Ingatannya tertuju pada cerita Ira tadi tentang seseorang yang meninggal karena ditembak ketika mengimami salat. Tangisnya tak terelakkan lagi.

Perempuan itu menyingkap kain yang menutupi jenazah di hadapannya lalu mendekapnya dengan erat ketika melihat itu benar suaminya.

"Kak, jangan buat aku takut. Kak buka mata kamu. Aku belum siap untuk kehilangan kamu."

Aisfa mengguncang tubuh Gus Alfatih berharap pemuda itu terbangun.

Semua orang menatap Aisfa tidak tega. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memilih keluar karena tidak kuat merasakan sedih.

"Kak Alfatih ayo buka mata kakak. Kakak udah janji ingin bawa aku sama Ali umrah. Kakak, gak boleh ingkar, nanti Allah marah sama Kakak. Dan kalau kakak gak buka mata kakak, gimana kakak bisa lihat anak kita lahir nanti? Bukankah kakak sudah lama menantikan dia?"

"Kak Al, aku mohon. Bangunlah, Kak. Setidaknya untuk anak kita." Suara Aisfa melemah pada akhirnya ia ikut memejamkan mata sembari memeluk jenazah Gus Alfatih.

-END-

Continue Reading

You'll Also Like

434K 36.2K 47
Re-Upload! [FOLLOW SEBELUM BACA YAA!!] "Maaf kalau saya lancang, saya mempunyai perasaan padamu. Dan saya ingin mengkhitbahmu." Ucap Gus Ibrahim "Ken...
1.8M 265K 57
⚠Squel KEDUA dari CERITA Eh Gus Adnan! FIKSI! TIDAK NYATA. MAU SUKSES? JANGAN PLAGIAT⚔ Kisah Alya Soraya. Gadis Cantik, tidak sempurna fisik, namun...
1.3K 122 10
Tahun 2021 masa dimana banyaknya quotes tentang; "Tanpa disadari, sebenarnya kita sudah bertemu dengan jodoh kita sejak tahun 2016." Pada awalnya, Ay...
23.5K 1.9K 20
bagaimana jika renjun terjebak di keluarga yang protektif