The Flower of Aster[END]

By affinthelay

28.4K 1.8K 32

Saat mengetahui kembarannya dirundung, Jeha memutuskan untuk bertukar posisi dengan Jihan. Menggantikan posis... More

Prolog
TFOA-1
TFOA-2
TFOA-3
TFOA-4
TFOA-5
TFOA-6
TFOA-7
TFOA-8
TFOA-9
Mau nanya...
TFOA-10
TFOA-11
TFOA-12
TFOA-13
TFOA-14
TFOA-15
TFOA-16
TFOA-17
TFOA-18
TFOA-19
TFOA-20
TFOA-21
TFOA-22
TFOA-23
TFOA-24
TFOA-25
TFOA-26
-CAST-
TFOA-27
TFOA-28
TFOA-29
TFOA-30
TFOA-31
TFOA-32
TFOA-33
TFOA-34
TFOA-35
Yuhu~

Epilog

950 44 5
By affinthelay

"Kamu mau sampai kapan meluk aku kayak gini?"

"Selamanya" lirih pria itu yang malah semakin mengeratkan pelukannya. "Gue takut... begitu gue lepas pelukannya, lo bakal ninggalin gue lagi"

"Aku nggak ninggalin kamu, Yasa... aku selalu di sini, nungguin kamu. Nggak pergi kemana-mana"

"Yaudah, sekarang gue udah dateng. Jadi lo nggak perlu nunggu-nunggu lagi dan kita bisa bareng terus"

"Enggak bisa, Yasa... kamu harus kembali. Ini belum saatnya"

"Nggak, Hilda. Gue nggak mau kembali. Gue mau di sini aja. Bareng lo" Yasa tak mau melepaskan pelukannya pada Hilda.

Hilda menggelengkan kepalanya pelan, melepaskan pelukan Yasa, mengambil sedikit jarak dari pria itu untuk menatap wajahnya.

"Kita akan bertemu lagi. Dan saat itu tiba, kita bisa kembali bersama. Tapi bukan sekarang, Yasa... tapi nanti. Sekarang kamu kembali ya... ini belum waktunya. Jadi, kembalilah... mereka sudah menunggu kamu di sana"

Yasa menggelengkan kepalanya ribut. "Nggak! Gue nggak mau! Mereka jahat Hilda. Mereka udah buat lo pergi dari gue. Gara-gara mereka, lo di sini sendirian. Jadi, jangan usir gue. Please... gue mau di sini aja nemenin lo" Yasa tak kuasa menahan air matanya. Pria itu mulai menangis.

Hilda membantu mengusap air mata di pipi Yasa, menyunggingkan senyum manisnya seraya berkata, "Mereka nggak jahat, Yasa. Jangan membenci mereka. Terlebih Hara. Dia adik kamu. Di sini dia tidak bersalah sedikit pun. Tolong, jangan membencinya ya"

Yasa tidak menjawab malah semakin sesenggukan.

"Gunakan kesempatan ini untuk hidup yang lebih baik ya, Yasa... dan berjanjilah padaku, setelah ini kamu harus hidup dengan bahagia. Jangan sesali apa pun yang sudah terjadi. Kamu tidak memiliki salah apa pun padaku. Jadi, berhentilah menyalahkan diri. Aku pergi bukan karena salah mereka, atau pun kamu. Takdir. Ini sudah takdirku, Yasa. Mengerti?" Hilda mengusap puncak kepala Yasa seraya tersenyum manis.

Yasa hanya bisa menganggukkan kepalanya seperti anak kecil.

"Sekarang, ikutilah cahaya di depan sana. Jangan menengok ke belakang dan teruslah berjalan. Oke?"

Yasa menangis lagi, memeluk Hilda sekali lagi. "Gue cinta sama lo, Hilda... gue sayang sama lo"

"Hiduplah dengan baik Yasa. Kamu pantas bahagia. Aku juga mencintaimu"

.

.

.

Perlahan Yasa membuka matanya. Secercah cahaya mulai menghampiri indera penglihatannya.

"Bang Yasa"

Bahkan Yasa mendengar samar suara seseorang memanggil namanya. Namun tubuhnya masih terasa lemas, menggerakkan jemarinya saja seakan tidak bertenaga. Yang hanya bisa Yasa lakukan hanya membuka matanya, dan atap putih di ruangan itu adalah hal pertama yang Yasa lihat.

Belum sempat mencerna situasi yang terjadi, Yasa mendengar suara lain... seperti langkah kaki yang terdengar terburu-buru. Kemudian datang seorang pria berjas putih dengan beberapa orang lainnya dan melakukan serangkaian pemeriksaan pada tubuhnya.

"Terimakasih, Bang... terimakasih sudah mau kembali"

Lagi-lagi Yasa mendengar suara dari orang yang sama. Belum sempat melihat wajahnya dengan jelas, kedua mata Yasa terasa berat dan perlahan kembali menutup.

°°°°°°

Kurang lebih tiga bulan Yasa menjalani terapi pemulihan setelah terbangun dari koma tiga tahun lamanya. Menjalani berbagai terapi seperti fisioterapi juga psikoterapi.

Setiap pulang sekolah, Hara menyempatkan diri untuk menemani Yasa melakukan terapi. Meski Yasa selalu mengusirnya, memperlakukannya dengan buruk, bahkan mengatakan kalimat kasar, Hara tetap datang dan terus menemani Abang tirinya itu menjalani terapi. Sesekali membantu Yasa jika laki-laki itu hampir terjatuh saat melakukan terapi berjalan. Hingga Yasa sendiri yang kelelahan dan menyerah saja, membiarkan Hara berbuat sesuka hatinya.

Mendapat perawatan serta dukungan yang tepat, kondisi Yasa menunjukkan kemajuan yang signifikan. Bahkan laki-laki itu kini sudah bisa berjalan sendiri tanpa alat bantu. Dan dalam waktu dekat, mungkin Yasa sudah bisa menjalani kehidupan sehari-harinya dengan normal.

Merasa lelah, Yasa memutuskan untuk singgah, duduk di kursi kayu memanjang yang ada di taman rumah sakit itu. Dan tentu saja dengan Hara yang mengikutinya dari belakang, ikut mendudukkan dirinya di sebelah Yasa.

"Lo mungkin bosen denger ini, tapi gue tetep mau bilang. Gue beneran minta maaf, Bang... maaf udah buat lo kesulitan selama ini. Setelah kesehatan lo pulih, lo boleh hajar gue. Sepuas lo. Bahkan sampai gue mampus juga nggak papa"

Yasa menoleh, mendapati Hara yang ternyata sedang menatapnya.

"Maunya sih gitu. Tapi nggak jadi" ucapan Yasa membuat Hara bingung.

Yasa mendongakkan wajahnya, menyandarkan belakang kepalanya pada sandaran kursi kemudian menghela napas.

"Sebenarnya di sini yang salah gue. Bukan lo. Harusnya yang gue hajar di sini juga bukan lo. Tapi diri gue sendiri.

Kayaknya, gue emang nggak bisa nerima lo jadi adik tiri gue. Nggak tau kenapa tiap lihat wajah lo bawaannya gue emosi mulu. Mungkin karena lo anak dari wanita itu. Wanita yang udah rebut Papa gue dari Mama. Itu yang ada di pikiran gue...

Selama ini gue emang seegois itu. Apa yang menurut gue salah ya salah. Cuma gue doang yang bener, yang lain enggak. Bahkan gara-gara keegoisan gue juga, gue kehilangan perempuan sebaik Hilda. Rascal bener. Gue emang sebrengsek itu"

Hara hanya menyimak. Tidak menginterupsi atau pun menyela. Membiarkan Yasa mengeluarkan keluh kesahnya.

"Gue masih inget, waktu SD gue pernah dorong lo sampai ketabrak mobil dan sekarang telinga lo jadi nggak fungsi" Yasa terkekeh pelan, tanpa menoleh ke Hara laki-laki itu meneruskan kalimatnya. "Gue nggak mau minta maaf. Terserah lo mau benci gue silakan. Gue emang brengsek, dan seharusnya gue nggak pantes nerima kesempatan buat hidup lagi. Harusnya Hilda. Dia lebih pantas dapat kesempatan itu. Tapi kenapa? Kenapa bukan dia aja...

Yasa menyeka air matanya, kali ini dia tidak mau menahannya. Biar saja Hara mengejeknya setelah ini. Yasa tidak peduli.

Dari kondisi fisiknya, Yasa memang sudah membaik dan berangsur pulih. Tapi tidak dengan hati laki-laki itu. Yasa malah semakin merasa sakit sekarang.

"Setelah ini jangan nunjukin wajah lo depan gue lagi! Lo nggak pantes punya Abang kayak gue. Tiri sekali pun" tutur Yasa seraya menoleh ke Hara sekilas.

"Oke, lo boleh pergi sekarang" lanjut Yasa lalu kembali menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kemudian menutup kedua matanya, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya.

Hara tak berniat beranjak. Laki-laki itu malah menatap wajah Yasa, melihat lelehan air mata yang terus keluar dari sudut mata Abang tirinya yang masih terpejam.

"Kalau gue nggak mau, apa lo bakalan ngehajar gue... Bang Yasa?"

Yasa membuka matanya, sedikit terkejut dengan panggilan tadi, lalu ia mendengus saat mendapati Hara yang kini malah menyeringai. Seakan menantangnya.

°°°°°°

Setelah kondisinya benar-benar pulih, juga hatinya sudah merasa siap Yasa memutuskan pergi ke suatu tempat.

"Hai, Hilda..." sapa Yasa di depan sebuah makam yang nampak terawat.

"Maaf, gue baru bisa datang sekarang. Bukannya gue nggak mau. Tapi nggak bisa. Bahkan sekarang aja gue masih nggak sanggup, Hilda... gue masih belum bisa terima kenyataan. Oke, gue emang payah"

Yasa tertunduk kemudian menyeka air matanya. Sekuat apa pun ia menahannya, tetap saja ia tidak bisa. Air matanya keluar begitu saja.

Waktu. Mungkin Yasa membutuhkan lebih banyak waktu lagi untuk itu.

Lama Yasa menangis di depan makam Hilda. Begitu merasa tenang, ia malah dikejutkan oleh suara isakan tangis lain dari sebelahnya.

Yasa menoleh ke kirinya, mendapati seorang laki-laki yang entah sejak kapan ada di sana---mengenakan hoodie hitam dan celana dengan warna yang sama---tengah terisak.

'Ternyata bukan cuma gue yang sedang patah hati...' batin Yasa memperhatikan laki-laki di sebelahnya yang nampak memiliki nasib sama seperti dirinya.

Hari sudah mulai sore, mungkin sebentar lagi akan turun hujan karena langit terlihat semakin mendung. Akhirnya Yasa memutuskan untuk pulang.

Saat melewati makam di sebelah Hilda, Yasa menoleh, kedua netranya menangkap ukiran yang ada di batu nisan makam itu.

"Jeha Isvara... " gumam Yasa.

'Jeha?? Kok kayak nggak asing ya? Tapi siapa...?'

.

.

.

•End•

--------------

Sampai jumpa di book baru, lebih tepatnya Season 2😉

Continue Reading

You'll Also Like

9.2K 816 37
Kasih sayang dan cinta tak lagi melimpah ruah. Eisha tidak lebih dari seorang anak bungsu yang tak seberuntung bungsu lainnya. Hanya ada sosok kakak...
2.4K 252 49
WARNING ⚠ MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN Nama gue bintang. Lebih tepatnya bintang azhara geovania. Gue anak tunggal dari pasangan suami istri yaitu ca...
14.2K 694 11
[Cerita 1] LAGI PROSES REVISI SIH. Fangirl? Baca yuk, Gak semua fangirl itu Halu, kok. Halu berujung Berkah ada gak? Jika ada, inilah yang dirasakan...
31.4K 2.6K 42
Bersaing dengan orang lain ❌ Bersaing dengan sepupu sendiri βœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KELUARGA GILA. Maka sesuai dengan judulnya...