Kaus Kaki yang Hilang

Por aileum

53.6K 9.1K 4.5K

Bagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya an... Más

Prolog
Tuduhan
Sekilas Tentang Dia
Secuil Kilas Balik
Masih Kisah Lama
Nomor Dua
Versi Mini
Cerita Dulu Kala
Masa Itu, Tidak Mudah
Masa Itu, Tidak Buruk
Ada yang Sadar, Ada yang Terluka
Menderita
Bukan untuk Dikenang
Kenangan Retak
Angin Segar
Kalau Ternyata Bukan Jodoh
Gelap di Masa Itu
Titik Balik
Teman Qwin
Si Panah Runcing
Nyaris
Prasangka
Akuarium (1)
Akuarium (2)
Investor
Mengejar Setoran
Tanpa Restu
Amarah
Demi Kau dan si Buah Hati
Perubahan
Gadis yang Mengulurkan Tangan
Mau Dua, Boy and Girl
Pertanyaan Dadakan
Semoga Bahagia
Ada yang Hilang
Titik Baru
Yang Paling Mungkin
Saling Tuduh
Dua Butir
Untuk Para Anak Perempuan
Kaus Kaki yang Hilang
Epilog

Berbeda

950 184 70
Por aileum

"Sudah Chelsea bilang dari kapan hari, putusin saja! Malah denial terus. Bodoh memang!"

"Gue diam, ah. Kagak ikut-ikutan."

"Nasihatin dulu, Bang Kay. Biar si susu mikir. Bucin sih bucin, tapi jangan tolol."

Obrolan malam itu berlangsung seru. One Way ——tanpa Sagan—— sedang berbincang di salah satu meja. Ketiganya membahas masalah romansa sang bassist yang katanya di ujung tanduk. Berbeda dari dua personil yang nyapnyap tanpa henti, pihak yang jadi bulan-bulanan hanya cemberut sambil memangku dagu.

Malvi duduk di meja sebelah, sibuk memeriksa jumlah pesanan hari ini. Meski kelihatannya fokus, kupingnya tetap bisa menerima informasi dengan baik. Dan begitu Chelsea bilang soal putus, Malvi merasa tergoda untuk menyimak lebih dalam.

"Gue sayang sama dia. Nggak mau putus, Chel."

Malvi cukup mengerti perasaan Mylo. Orang mungkin hanya bisa menghakimi, bahwa buciners adalah manusia tolol selain oknum DPR. Bagi pelaku budak cinta, lepas dari orang yang disayangi sama sulitnya dengan berenang di lumpur isap.

Malvi juga begitu terhadap Sagan. Dengan segala aiueo-nya, ia tidak bisa berpisah begitu saja. Teman-temannya bilang ia pantas mendapat yang lebih baik. Tapi Malvi merasa tidak mungkin.

Hatinya berdenyut nyeri ketika Malvi sadar ini hari ketiga sejak kejadian nonton film. Setelah meminta maaf berkali-kali, Sagan izin pulang. Malvi mencoba membesarkan hatinya dengan bilang ini salahnya juga. Tapi kekasihnya itu tetap menggeleng frustrasi.

Lebih buruk lagi, setelah itu Sagan seperti menghindar. Tidak membalas pesan maupun panggilan. Di kafe juga sama. Sagan menghindari kontak mata,  juga mencari cara agar mereka tidak ngobrol langsung. Orang tua Malvi belum sadar bahwa anak mereka galau karena romansa. Mereka tahunya Sagan sibuk makanya tidak mengantar Malvi pulang.

Malvi berpikir jauh soal kejadian hari itu. Jangan-jangan Sagan jadi jijik padanya, menganggap dirinya terlalu agresif. Oh, sial! Harusnya Malvi tetap di zona nyaman. Bukan malah mancing-mancing hanya karena penasaran. Malvi malu sendiri atas tindakannya. Ia semakin terperosok dalam penyesalan lantaran justru Sagan yang meminta maaf duluan.

"Iya nggak, Mbak?"

Malvi mengangkat wajah dari tab ketika tiba-tiba ditanya. "Gimana?"

"Ini, Mbak. Si susu bodoh banget. Ceweknya selingkuh tapi dia nggak mau putus." Chelsea mengusap wajah frustrasi. Gadis paling muda itu geleng-geleng kepala kemudian melanjutkan, "Entah apa yang ada di otaknya. Heran. Pertama, beda agama. Kedua, selingkuh. Tapi masih saja dipertahanin."

"Chel, bisa direm dulu ngocehnya?" Kayas bersuara. "Kasihan si susu. Sudah diselingkuhi, sekarang mesti dengar omelan lu. Gue takut dia jadi gila habis dari sini."

"Bodo, ah. Chelsea gini karena sayang." Menyadari salah satu katanya memancing kernyitan dahi, cewek sipit itu langsung menambahkan. "Sayang sebagai rekan satu band. Iya, gitu maksudnya. Eh, Bang Kay nggak usah mikir macam-macam lo, ya!"

Kayas menaikturunkan alis. "Kayaknya ada yang salah tingkah."

"Apa, sih? Chelsea nggak salah tingkah. Eh, Mylo! Nggak usah gitu mukanya. Chelsea nggak mungkin naksir sama lo, ya. Jangan ke-GR-an."

Kekusutan di wajah Mylo berkurang. Terlebih tampang Chelsea agak memerah sekarang. Walau sekuat tenaga menukas tuduhan, Malvi merasa yang dibilang Kayas ada benarnya. Dua sejoli itu memang ribut terus sejak pertama kenal, tapi di balik itu kelihatan sekali dua-duanya saling peduli.

"Sudah jam segini, Chelsea balik duluan, ya." Belia itu beringsut.

"Waduh, ada yang salting."

"Sotoy lo, Bangkai!" Chelsea memelotot. Tangannya terkepal. "Mbak Milan sudah ribut, nih. Bisa kena amuk."

"Gue juga cabut sekarang, deh," sela Mylo yang ikut berdiri.

"Cie cie mau pulang bareng."

"Bang Kay, bisa diam nggak?" Chelsea menyahut. "Sudah, ah. Bye semuaaa."

Chelsea meninggalkan lokasi, Mylo mengikuti. Malvi dan Kayas melihat ke arah pintu masuk sampai keduanya lenyap. Kemudian mereka saling menoleh dan mengangguk. Mylo dan Chelsea akan pulang bersama, dijamin.

"Masih banyak kerjaan?" tanya Kayas sambil pindah ke meja Malvi.

"Nggak. Mas Kayas cabut sekarang?"

Kayas memeriksa ponsel sambil berkata, "Bentar lagi."

Malvi mengangguk. Gadis itu mematikan tab, lalu memasukkannya ke dalam case. Tanpa diduga, Kayas tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

"Kalian kenapa lagi?"

"Hm?"

"Lo sama Sagan lagi marahan, kan?"

Malvi menggeleng. Tidak ada yang marah. Justru ia dan Sagan saling menyesal. Perasaan itu menimbulkan kecanggungan untuk sekadar bicara.

"Nggak usah ngelak. Kelihatan kalian lagi nggak akur. Sagan ngehindar terus kalau gue sebut nama lo."

Segitunya? Tanya Malvi dalam hati. Perasaannya terusik. Pikiran buruk yang menghantuinya makin besar. Sagan benar-benar membencinya sekarang. Jangan-jangan mau minta putus juga. Aduh, bagaimana ini?

"Mas, aku boleh tanya sesuatu?"

Kayas mengangguk.

"Adakah perbedaan pas Mas Sagan pacaran sama aku dengan Mbak Letta?"

Kayas tidak langsung menjawab. Cowok berambut sebahu itu berdehem. Matanya melirik ke beberapa arah.

"Mas Kayas sudah sahabatan sama dia dari lama. Pasti tahu banyak hal, kan."

Kayas masih belum bersuara. Ia seperti menyesal telah membahas Sagan. Tidak terbayangkan Malvi akan menanyainya soal ini.

"Gimana, Mas?"

"Kalau perbedaan pasti ada," kata Kayas, berusaha mencari pembendaharaan kata terbaik. Tidak mungkin dia bilang sekarang otak Sagan tidak ke ranjang mulu, kan? "Satu contoh saja, ya. Kalau sama yang lama, dia susah dikasih tahu. Tapi kalau sama lo, kelihatannya lebih nurut."

"Susah dikasih tahu itu gimana maksudnya?"

"Misal dia mau ngelakuin sesuatu. Gue sudah tahu roman-romannya bakal nggak benar, gue kasih tahu, dong. Nah, dulu dia nggak bakal nurut."

"Ada contohnya?"

"Alasan dia sempat dipenjara. Pernah diceritain, kan?"

"Gara-gara berantem sama rentenir."

"Iya. Sebelumnya gue sudah ngasih tahu jangan berurusan sama Bang Joni. Tapi si goblok itu nggak mau dengar."

Malvi diam sejenak, mengingat-ingat. Sagan memang cukup terbuka untuk masa lalunya. Tapi kalau dipikir-pikir, Malvi tidak pernah mengulik secara dalam. Soal berkelahi dengan lintah darat misalnya. Memang seperti yang dibilang tadi, bahwa Sagan adu jotos ketika ditagih utang. Tapi apakah ada alasan lain sampai lelaki itu memilih baku hantam? Dilihat dari gerak-geriknya, dia bukan orang yang akan menyelesaikan masalah dengan adu fisik.

"Kalau bisa jangan lama-lama musuhannya, ya," kata Kayas. "Sekarang cuma lo yang bisa bahagiain dia. Si Bocil Qwin bisa juga, sih, tapi lagi agak susah ketemu."

Malvi mengangguk singkat.

"Jadi, gimana? Cabut sekarang? Gue anterin sekalian, deh," kata Kayas sambil beringsut.

"Nggak usah, Mas. Aku tunggu Pak Budi saja."

Kayas berkomentar lagi. Ia pamit, juga meninggalkan meja. Sebelum mendorong pintu, cowok berambut gondrong itu mendongak ke tempat Malvi. Ditatapnya gadis itu dengan perasaan getir.

*
*
*

Sementara itu di lain tempat.

"Coba kamu yang kasih tahu. Mami sudah capek nyuruh dia berhenti."

Nadin tampak frustrasi ketika Arletta baru sampai rumah. Katanya, sudah dua jam Qwin berendam di kamar mandi. Main air dan my little pony karet. Sampai berbusa sang nenek menyuruhnya beringsut, bocah itu anteng saja mengguyur badan.

"Makin hari makin nggak bisa diatur. Heran Mami. Nyontoh siapa, sih, dia?"

Arletta tidak menjawab. Ia melepas blazzer hitamnya kemudian menggulung kemeja biru mudanya sampai siku. Dengan langkah tenang ia menapaki anak tangga menuju lantai dua. Napasnya diatur sedemikian rupa supaya tetap terkontrol.

Begitu membuka pintu, Qwin seperti yang sedang diceritakan Nadin. Berendam dengan mainan karet. Tidak ada busa maupun sabun saking lamanya dia main air. Badannya menggigil dan ujung jemari-jemarinya keriput. Lantai di sekitar bathub basah oleh tetesan air sebab anak itu mengecipakkan kaki dan tangannya beberapa kali.

Arletta mendekati bathub. Tangannya terlipat di dada."Qwin, it's time to get up there."

"Oh, hai, Mommy!" Qwin membasuh muka, memainkan kembali mainan karetnya.

Arletta menghela napas. Meskipun seharian ini tenaganya terkuras oleh pekerjaan, kesabarannya masih bertahta. Tapi seperti sengaja ingin menguras perasaannya, bocah di dalam bathub itu tetap bermain air.

"Qwin, Mommy nggak mau marah. Naik sekarang!"

"Sebentar lagi. Masih seru."

"No. Berhenti mandi dan segera pakai baju!"

Qwin menggeleng sambil menaikturunkan Fluttershy dan Pinkie Pie di air. Kesabaran Arletta mulai menipis. Darah perlahan menggelegak. Benar kata ibunya, makin hari Qwin kian sulit diatur. Setiap hari ada saja keluhan yang terlontar. Tidak mau mau tidur siang, susah disuruh makan sayur, belajar malas-malasan, dan maunya main gadget terus.

Arletta belum punya waktu untuk menasihati anaknya itu. Akhir-akhir ini kerjaannya memang menumpuk. Bisa dihitung jari perjumpaan mereka dalam saru hari.

"Qwin, Mommy hitung sampai lima," Arletta menekankan omongan. "One ... Two ... Three ... "

"Four. Five. Six. Seven."

"Queenzy Sitra Kanara, naik sekarang!"

Qwin melempar mainan karetnya, mendongak kemudian menatap Arletta dengan jengkel.

Seperti dua produk beda versi, gestur mereka bena-benar persis. Berkacak pinggang dengan memelotot saling tatap. Napas keduanya memburu. Mulut mereka ditekuk.

Arletta tidak bisa sabar lagi. Ia merangsek ke arah putrinya, meraih bathrobe yang menggantung, kemudian menarik paksa tangan Qwin. Anak itu berontak sambil menjerit-jerit. Air di dalam bak berguncang dan menyiprat ke wajah Arletta. Marah membuat tenaganya terisi kembali. Ia membungkus Qwin dengan bathrobe kemudian menggendongnya.

Anak kecil di pelukannya menangis dan menendang-nendang udara. Arletta kewalahan bahkan nyaris terpeleset. Tapi jangan pernah ragukan Arbaletta Sitra Kanara. Dengan segala jeritan dan pemberontakan Qwin, ia tetap berhasil membawa anaknya ke kamar. Sesampainya di ruangan tiga kali tiga bernuansa merah muda, Arletta langsung mengempas Qwin ke kasur. Napasnya terengah-engah bahkan keringatnya turun dari pelipis.

"I hate Mommy! Benci, benci, benci!" Qwin menyahut di tengah napasnya yang sesengukan. Mukanya merah muda. Becek belepotan air mata dan ingus.

"Semua akan lebih mudah kalau kamu dengerin Mommy!"

"Semua akan lebih mudah kalau aku nggak punya ibu kayak Mommy!"

Arletta tertegun. Tidak menyangka akan mendapat kalimat barusan. Dadanya tertohok, sakit tanpa bisa dicegah. Nyeri itu membuatnya alfa bahwa Qwin ikut terdiam——seperti menyesal telah bicara keterlaluan.

Arletta tidak mau meneruskan debat. Tanpa bicara lagi, ia langsung menghampiri lemari dan mengambil piyama serta dalaman milik Qwin. Tidak ketinggalan minyak telon, bedak, body lotion, parfum, vitamin rambut, dan sisir. Ia menarik Qwin dari ranjang, memposisikan anak itu agar berdiri menghadapnya.

Tidak ada suara di kamar itu. Arletta merapatkan bibir di sepanjang kegiatan membenahi Qwin. Anak itu juga pasrah meski ingin menangis lagi. Ketika sang ibu menyusurhnya langsung tidur, ia tidak berani melawan. Padahal ia ingin sekali dibacakan buku cerita.

-bersambung

4 Desember 2023

Seguir leyendo

También te gustarán

62.9K 10.9K 28
Selepas kematian ayahnya yang mendadak, Artemia Mudita memilih menerima pinangan Harris Teguh Prawira. Menjadi istri Harris membuat Mia bisa mem...
14.5K 1.3K 40
Kisah cinta Denis Anggraisa tidak berjalan lancar. Menjelang pernikahannya dengan Andra Yudhiantara, ia harus melewati berbagai masalah yang berdatan...
948K 72.3K 50
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...
82.4K 7.6K 10
Cinta ataupun pernikahan tidak pernah masuk ke dalam daftar prioritas hidup Selova. Baginya sukses di karir adalah nomor satu. Hingga suatu hari dia...