"Untuk laporan penjualan yang diminta Pak Jung tempo hari, sudah ada?"
"Sudah, Pak. Aku sudah mengirimnya hari Senin kemarin," jawab gadis berkalungnamakan 'Jung Chaeyeon', salah satu rekan Jiwoong.
"Bagus," sang atasan tersenyum, lantas menoleh pada anggota lainnya, "Kalau permintaan perusahaan Gravition sudah dilengkapi?"
"Sudah, Pak," kali ini Kim Umji yang menjawab, "Permintaannya sudah dipenuhi, dan dokumennya sudah saya serahkan ke Bu Gong."
"Kerja bagus," pria Jeon itu tersenyum bangga. Ia kembali membaca kertasnya, "Ah, lalu Yujin, bagaimana pertemuan tadi?"
"Semuanya aman, dan kerja sama sudah terjalin. Arsip-arsipnya sudah ada pada Tuan Doyoung," jawab Yujin dengan yakin.
"Baiklah. Tugas kita sejauh ini selesai, ya," final sang pemimpin dengan bahagia, "Kita tinggal menunggu perintah lanjutan dari atasan sembari menyelesaikan tugas lainnya."
"Wonwoo," undang seorang pria dengan co-card bertuliskan 'Kim Younghoon', "Siang tadi aku bertemu Sakura. Ia bilang ada beberapa laporan yang perlu kita ambil tentang timbal balik dari atasan."
"Ah, baiklah. Jiwoong, bisa tolong kau ambilkan setelah selesai nanti?" tanya Wonwoo.
Yang diajak bicara masih tenggelam dalam lamunannya. Ia menghela napas berat, tak menyadari bahwa arah pandang seisi ruangan tertuju padanya.
"Kim Jiwoong," undang Wonwoo sekali lagi.
Jiwoong pun tersadar. Ia menoleh pada sang pemanggil, "M-Maaf. Ada apa?"
Wonwoo menghela napasnya, "Younghoon bilang ada beberapa dokumen yang harus di ambil di ruangan tim statistik."
"E-Eh?" Jiwoong kelabakan. Pasalnya, bukankah itu ruangan tim Sakura? Apa yang harus Ia lakukan jika bertemu nanti?
"Bagaimana? Kau bisa?"
"A-Aku... A-Aku..." Jiwoong bergumam tidak jelas.
Yujin pun menghela napasnya dan tersenyum pada Wonwoo, "Jangan khawatir, Woo. Aku akan mengambilnya bersama Jiwoong nanti."
"Ya sudah," angguk Wonwoo menyetujuinya.
Jiwoong yang masih kebingungan pun hanya terdiam. Ia melirik ke samping, menatap Yujin yang sedang terkekeh padanya. Sepertinya, Ia harus berterima kasih pada gadis itu nanti.
Wonwoo membubarkan timnya, dan segera masing-masing dari mereka beranjak untuk kembali ke rumah. Terkecuali Jiwoong dan Yujin tentunya, keduanya harus melaksanakan tugas yang sudah mereka terima tadi.
"Ada apa? Kau tidak fokus hari ini," tanya Yujin di tengah langkah keduanya.
Jiwoong menggeleng, "Aku tidak apa-apa."
"Sungguh?" Yujin kembali memastikan. Jiwoong hanya mengangguk, membuat Yujin mau tidak mau berhenti menanyakan lebih lanjut soal ini.
Keduanya melangkah ke ruang statistik, mengambil dokumen yang dimaksud Younghoon sebelumnya. Setelah sampai di tangan mereka, Yujin berniat kembali ke ruangan mereka.
"Hei, apa yang kau lakukan?" langkahnya terhenti melihat tingkah laku aneh Jiwoong. Pria itu terlihat mengamati sesuatu dengan sangat amat fokus.
Jiwoong tersentak, lantas menggeleng yakin, "T-Tidak ada. Ayo kembali."
Yujin semakin heran. Keningnya kembali berkerut ketika mendapati Jiwoong berjaga-jaga saat keluar dari ruangan.
"Kau benar-benar aneh," lirih Yujin.
Gadis itu berjalan mendahului Jiwoong yang masih sibuk dengan kegiatannya yang tidak beralasan tersebut. Sadar bahwa Ia sudah ditinggal, Jiwoong langsung berlari mengejar kepergian Yujin.
"Ah, Yujin. Selamat malam."
Undangan tersebut sukses menghentikan langkah mereka berdua. Yujin tersenyum dan menunduk sopan, diikuti Jiwoong yang melakukan hal serupa.
"Selamat malam, Tuan Doyoung," Yujin membalas dengan ramah. Menyadari ada eksistensi wanita lain di sebelahnya, Yujin menyapa lagi, "Ah, selamat malam juga, Nona Sooyoung."
"Malam," balas Sooyoung tak lupa membalas senyumannya.
"Kau Jiwoong, 'kan? Laporanmu terakhir kali sangat bagus," puji Doyoung sembari menepuk pundak Jiwoong.
Jiwoong terkekeh dan mengangguk, "Benar, Tuan. Terima kasih banyak."
"Kalian belum pulang?" tanya Sooyoung.
"Ah, kami hanya mengambil berkas dari tim statistik. Setelah ini kami akan pulang," jawab Yujin sembari menunjukkan map yang Ia pegang.
"Kalau begitu pulanglah. Hati-hati di jalan, ya," ujar Doyoung.
"Tentu. Terima kasih banyak, Tuan, Nona. Hati-hati juga," Yujin menundukkan badannya dengan sopan. Jiwoong melakukan hal serupa, lengkap dengan senyum manisnya.
Setelah kepergian Doyoung dan Sooyoung, mereka melanjutkan langkah ke ruangan asal mereka. Keduanya mengambil barang-barang masing-masing, dan berjalan keluar untuk kembali ke rumah.
"Kau bawa mobil? Aku tidak melihat milikmu di parkiran sejak tadi," tanya Jiwoong.
Yujin menggeleng, "Mobilku sedang ada di bengkel. Aku pulang dengan bis sepertinya."
"Denganku saja," tawar pria Kim itu sembari menenteng tas kerjanya.
Si gadis menggeleng, "Tidak perlu repot."
"Itu tidak seperti rumah kita berjarak puluhan kilometer," bantah Jiwoong, "Rumah kita berseberangan."
"Dan itu tidak seperti aku tidak bisa pulang sendiri, Woong. Aku tak mau Sakura marah padaku," Yujin tersenyum dan menggeleng.
Jiwoong menghela napasnya. Mendengar nama gadis tersebut membuat hatinya kembali terasa berlubang. Pria itu menatap Yujin dan tersenyum, sebelum akhirnya berucap.
"Aku putus," dua kata pun terucap dari mulut Jiwoong. Yujin terbelalak, matanya membulat sempurna.
"Jadi, ayo pulang bersama," ajak Jiwoong, "Dan dengarkan ceritaku."
:—•—:
"Kau mau bir? Dan daging? Mau ke restoran?"
"Jadi, kau banyak melamun karena putus?"
Jiwoong menghela napas. Bukan jawaban dari pertanyaannya yang Ia dapatkan, justru Yujin terus bertanya balik soal masalahnya.
"Iya, benar," jawab Jiwoong, berusaha memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan Yujin, "Jadi, apakah kau mau ke restoran dulu?"
Yujin menghela napas, lantas mengangguk, "Ayo ke restoran milik Bu Moon. Di dekat bank."
Jiwoong pun menyetujuinya, mengetahui restoran milik orang tua dari salah satu rekan kerja mereka tersebut. Segera Ia memutar stirnya, mengarahkan mobil tersebut ke restoran yang Yujin maksud.
Kurang lebih sepuluh menit, mobilnya sudah terparkir rapih di sana, di antara mobil-mobil para pengunjung yang mulai kembali pulang akibat datangnya malam.
"Untuk ukuran pukul sepuluh malam, sebenarnya ini masih tergolong ramai. Bu Moon benar-benar sukses memikat hati pelanggan, ya," puji Yujin sembari turun dari mobil Jiwoong.
Jiwoong hanya tersenyum sembari menutup pintu mobilnya, "Ayo masuk."
Keduanya melangkah ke arah pintu utama. Yujin mendorong daun pintu, dan nampaklah suasana ramai di restoran tersebut.
"Yujin, Jiwoong, kalian datang?"
Mendengar sambutan dari teman mereka, keduanya menaikkan sudut bibir masing-masing. Langsung saja dihampirinya gadis tersebut.
"Benar," angguk Yujin, "Kau masih membantu ibumu, Gayoung?"
Gayoung mengangguk, "Tentu saja. Aku tidak membantunya sejak berangkat kerja, aku harus membantu setelah pulang."
"Kau pekerja keras," puji gadis Choi tersebut.
"Terima kasih," balas Gayoung dengan anggukan, "Duduklah. Apa yang kalian inginkan? Aku akan menyiapkan pesanan kalian."
"Kami pesan bir dan daging sapi, ya," pinta Yujin. Ia menoleh sekilas pasa pria di sebelahnya, "Kau mau sesuatu yang lain?"
"Selada, lobak, dan acar," jawab Jiwoong dengan polos.
"Ah, tambah yang itu, ya," Yujin menghantarkan pesannya pada Gayoung.
"Baiklah, segera datang!" ucapnya sembari tertawa kecil. Gadis itu segera pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan temannya. Sedangkan Yujin dan Jiwoong langsung memilih tempat ternyaman untuk mereka dudukki.
Setelah mengamankan tempat duduk, Yujin meraih ponselnya. Ia menekan layar benda pipih tersebut, lantas menempelkannya di telinga sebelah kanan.
"Shiro, aku mungkin akan pulang sedikit terlambat. Tidak perlu ditunggu, ya, kalian tidur saja. Nanti aku akan mengunci pintu," ucapnya sembari tersenyum, "Baiklah. Aku matikan, ya."
"Kau selalu berpamitan dengan orang rumahmu jika pulang terlambat?" tanya Jiwoong setelah Yujin mengakhiri panggilan.
"Tentu saja," angguk Yujin, "Aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Jadi, aku mengabari mereka, supaya mereka tidak menunggu juga, sih."
"Memangnya kau tidak begitu?" kali ini Yujin yang balik bertanya.
Jiwoong mengulum bibirnya dan menatap langit-langit restoran, "Entahlah. Sepertinya tidak. Terakhir kali aku pulang malam karena pergi dengan Sakura, aku tidak mengabari siapapun."
"Lalu, bagaimana anggota rumahmu?"
"Sepertinya, beberapa sudah tidur, karena aku pulang sangat larut, pukul satu malam," jawab pria Kim itu, "Tapi, Hanbin dan Hao menunggu di meja dapur."
"Itulah maksudku," kekeh Yujin, "Jika aku tidak mengabari, mungkin Mashiro dan Chaehyun akan melakukan hal serupa."
"Sungguh? Itu merepotkan, ya?" Jiwoong bertanya lirih, "Apa aku harus mengabari juga?"
"Tentu saja."
"Tapi, itu terasa aneh. Akan terasa canggung dan tidak nyaman. Untuk apa aku izin kepada mereka?" bantah Jiwoong yakin.
"Tak masalah. Itu memang karena kalian belum lama tinggal bersama. Tapi, kau harus tahu bahwa kunci keakraban adalah komunikasi," balas Yujin sembari terkekeh, "Sekarang, cobalah hubungi Hanbin, dan katakan padanya kau akan pulang terlambat."
Jiwoong menghela napas. Ia meraih ponselnya, dan segera mencari kontak pria yang tiga tahun lebih muda darinya tersebut. Ia tekan tombol telepon, dan nada sambung pun berbunyi.
"Halo, Kak? Ada apa?"
"Ah, Bin..." gagap Jiwoong, sedikit bingung, "A-Aku..."
"Ada apa, Kak? Kau tidak apa-apa? Terjadi sesuatu?"
"Tidak, tidak," Jiwoong menggeleng, "A-Aku hanya ingin bilang..."
"Aku akan pulang terlambat. Aku makan malam di luar dengan Yujin," ucapnya setelah melalui perjuangan besar, "Jadi... jangan tunggu aku, ya. Beristirahat saja."
Hening tercipta dalam hubungan melalui jaringan internet tersebut beberapa saat, sebelum akhirnya Hanbin tertawa dari ujung sana. Jiwoong berdecak, sudah pasti Ia mempermalukan diri sendiri.
"Astaga, Kak, kau membuatku khawatir. Baiklah, baiklah, nikmati makan malammu. Hati-hati di jalan pulang, ya."
"Ah! Dan terima kasih telah mengabariku."
Senyuman simpul muncul di air wajah Jiwoong. Ia tertawa kecil, "Tak masalah. Beristirahatlah sekarang."
"Baiklah. Aku tutup, yaa!"
"Oke," angguk Jiwoong, sebelum akhirnya Ia menjauhkan ponselnya dari telinga kanannya.
Yujin yang memandangi pemandangan tersebut hanya bisa tertawa gemas sejak tadi. Ia menatap pria dihadapannya yang masih tersenyum itu, "Bagaimana? Lebih baik, 'kan?"
"Kau benar. Itu terasa jauh lebih baik," Jiwoong terkekeh sebagai jawaban.
"Kalian sekarang bukan orang asing lagi, tapi keluarga di rumah yang sudah kalian tempati. Jangan abaikan komunikasi, sekecil apapun bentuknya," ujar Yujin memberi nasihat, "Kalian harus bisa menjalin hubungan yang baik."
"Baiklah, baiklah, Bu Choi," balas si pria dengan nada menggoda.
"Pesanan datang!" setelah menunggu beberapa saat, Gayoung menghampiri keduanya dengan nampan yang penuh dengan pesanan mereka, "Selamat menikmati!"
"Terima kasih, Young," Yujin tersenyum pada gadis Moon tersebut. Gayoung memberikan gestur hormat sebagai candaan, lantas berjalan menjauh.
Yujin langsung menuangkan bir pada gelas Jiwoong, "Jadi, apa yang ingin kau ceritakan padaku? Tentang kau dan Sakura?"
Jiwoong mengangkat gelasnya, bersulang dengan Yujin, lantas menenggaknya. Pria itu menghela napas dan menatap sendu pada Yujin, "Ia memutuskanku tanpa alasan kemarin."
"Ah, sungguh?" Yujin terkejut, "Aku ikut sedih mendengarnya."
"Aku sungguh tidak paham, mengapa Ia mengakhiri hubungan kita," keluhnya frustasi, "Aku sudah bertanya pada Chaehyun, dan dia memberikan beberapa jawaban."
"Orang tua, tidak mungkin. Kami sama-sama merantau. Perasaan yang tidak jelas juga tidak mungkin, aku sangat yakin kami saling mencintai."
"Aku juga berani bersumpah aku tidak punya kekasih lain. Aku setia pada Sakura!" yakin Jiwoong. Ia menggigit bibirnya dan menyenderkan kembali punggungnya pada kursi, "Tapi.."
"Apa mungkin... Ia yang memiliki kekasih lain?"
"Jiwoong, aku ingin bertanya, tapi kau harus berjanji untuk mengatur emosimu, oke?"
Ucapan Yujin membuat Jiwoong terkejut. Dengan ragu, Ia mengangguk perlahan, membuat Yujin berdesis sesaat sebelum berujar.
"Apa kau pergi bersama Sakura pada hari Jumat lalu di Lotte World?"
Rahang Jiwoong terjatuh sempurna. Tangannya mengepal erat, hatinya terasa terkoyak. Yujin sudah dapat memprediksi bahwa ucapannya akan sukses memicu amarah pada dirinya.
"Aku kira itu memang bukan dirimu. Postur dan bentuk wajahnya memang mirip, tapi aku yakin itu bukan dirimu," jelaa Yujin, "Namun, aku tidak ingin menimbulkan masalah dan membuat kalian bertengkar."
"Jadi.. selama ini hanya aku yang mencintainya..? Dia... tidak mencintaiku..?"
"Bukan begitu, Woong. Jangan—"
"Lalu apa!? Ia bilang bahwa aku adalah kekasihnya! Ia bilang bahwa aku adalah orang yang dicintainya! Bahkan, Jumat lalu Ia bilang Ia tidak bisa makan malam bersama karena Ia ada tugas kantor yang harus diselesaikan! Lalu, apa artinya—"
Kalimat Jiwoong sukses ditahan oleh sebuah daging yang dibalut selada yang tiba-tiba masuk ke dalam. Yujin, yang tentu saja pelakunya, tertawa melihat ekspresi kesal Jiwoong.
"Kau sudah berjanji untuk tidak marah," peringat Yujin. Jiwoong terdiam, lantas mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutnya tadi.
"Kau harusnya bersyukur, Woong," gadis itu kembali berujar.
Mata Jiwoong membulat, tidak terima dengan apa yang baru saja Yujin katakan. Apa yang harus disyukuri dari mengetahui fakta bahwa kekasihmu telah berselingkuh darimu?
"Jika benar seperti itu, setidaknya kau tidak harus melanjutkan hubunganmu dengan Sakura," ujarnya, "Kau harus bersyukur karena kau sudah berhenti."
"Mungkin memang bukan Sakura yang terbaik untukmu," Yujin mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.
Pria Kim itu terdiam, merenungkan apa yang Yujin katakan. Gadis itu ada benarnya. Ia memilih untuk membolak-balikan daging, dan langsung memakannya setelah matang.
"Lalu.. aku harus bagaimana?"
Yujin menoleh padanya, kemudian melipat tangan di depan dada, "Kau harus bisa menerima semuanya dulu. Damaikan dirimu sendiri."
"Damaikan... diriku?" Jiwoong bertanya memastikan, dan Yujin mengangguk sebagai jawaban.
"Jika kau masih memiliki rasa marah dan kecewa dalam hatimu, kau tidak akan bisa menyelesaikan apapun," jelasnya sembari membungkus daging dengan selada, lantas memberikannya pada Jiwoong.
"Kau yang putuskan, bagaimana caramu untuk menyelesaikan masalahmu dengan Sakura," final gadis itu.
Jiwoong memainkan daging di panggangan dengan sumpitnya, "Jika memang aku dan Sakura tidak bisa bersama, setidaknya aku ingin tetap bisa berteman dengannya. Walaupun mungkin terasa sakit, tapi.. bukan berarti hubungan kita harus terputus, 'kan?"
Yujin mengangguk dengan senyuman, "Tentu. Kau bisa terus berhubungan baik dengannya. Apalagi kalian tetaplah rekan kerja."
"Tapi, kau tidak boleh mengharapkan sesuatu yang lebih," timpal gadis itu, membuat Jiwoong sedikit tertohok. Yah, bagaimanapun tidak mudah melupakan seseorang yang kalian cintai selama beberapa bulan terakhir, 'kan?
"Mungkin tidak mudah, tapi, kau pasti bisa melakukannya," Yujin berucap sebelum akhirnya mengepalkan tangannya, "Bersemangatlah, Kim Jiwoong!"
Jiwoong membuang napas berat, lantas menjatuhkan kepalanya di meja makan, "Entahlah. Aku sangat bingung. Aku masih tidak paham, apa salahku sampai Sakura berpaling dariku dan mencari orang lain."
"Hei, sudahlah. Berhenti membebankan dirimu sendiri dengan pemikiran tak berujung," balas Yujin, "Apapun yang terjadi, percayalah, ini semua adalah yang terbaik."
"Dan jika memang Sakura adalah orang yang tepat untukmu..." sambungan Yujin sukses membuat Jiwoong menaikkan pandangannya, lantas menatap penuh harap pada Yujin.
Yang ditatap hanya tersenyum tipis, "Suatu saat, dia akan kembali lagi padamu. Dalam versi yang lebih baik, tentunya."
"Sungguh?" tanya Jiwoong penuh harap.
Yujin mengangguk, "Namun, jika tidak, artinya ada orang lain yang lebih baik untukmu."
"Percayalah. Yang terbaik akan datang padamu, pada saat yang tepat."
Jiwoong memutar bibirnya, terlalu kesal dengan kenyataan. Namun, hatinya menjadi sedikit lebih tenang. Bertemu Yujin adalah hal yang tepat sepertinya.
:—•—:
"Kita sampai," ujar Jiwoong setelah mematikan mesin mobilnya, tepat di depan rumah pria itu bersama delapan orang lainnya.
Yujin melepas sabuk pengamannya, lantas membuka pintu mobil, disusul oleh Jiwoong yang melakukan hal serupa juga tentunya.
"Kenapa kau malah menraktirku, sih? Padahal aku yang mengajakmu makan," kesal Jiwoong, teringat akan dirinya yang dilarang untuk membayar makanan di kedai Bu Moon tadi.
Gadis Choi itu hanya terkikik, "Hei, kawanku sudah memberi tumpangan, terlebih Ia juga dalam keadaan sedih. Tentu aku harus mentraktirnya."
"Sialan," umpat Jiwoong, diikuti dengan kekehan tipis.
Pria itu dikejutkan dengan Yujin yang tiba-tiba meraih tangannya. Ia berbalik, lantas membiarkan Yujin membuka telapak tangannya. Gadis itu menaruh tiga buah permen herbal, membuat Jiwoong kebingungan.
"Makanlah. Itu bagus untuk membuatmu tidur," ucap Yujin, "Kantung matamu sangat terlihat."
"A-Ah, baiklah. Terima kasih," Jiwoong sedikit terperangah. Apakah kantung matanya terlalu kentara?
"Ingat. Kau yang harus mengatur emosimu, bukan emosimu yang mengatur dirimu," nasihat Yujin, "Akan sangat merugikan jika kau kalah dengan emosimu sendiri."
"Cukup fokusmu yang diambil oleh emosimu hari ini," Yujin maju selangkah untuk menepuk bahu Jiwoong, "Jangan sampai kesehatanmu juga."
Jiwoong kembali menghela napasnya. Ia tersenyum dan mengangguk, "Terima kasih banyak untuk hari ini, Kak Yujin."
"Wah, jarang sekali kau memanggilku dengan panggilan 'Kak'," kekeh gadis itu, "Terima kasih kembali, Tuan Kim."
Ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauh dengan lambaian tangan, "Selamat beristirahat, Jiwoong. Jangan tidur larut."
"Baiklah. Selamat malam," balas Jiwoong dengan lambaian serupa. Ia memperhatikan kepergian Yujin, sampai pada waktu di mana punggungnya menghilang ditelan pintu rumah.
Dari belakang, terdengar suara pintu yang dibuka juga. Jiwoong menoleh, dan nampaklah Hanbin yang muncul di muka pintu.
"Bin, kau tidak tidur?" tanya Jiwoong, "Kau tidak menungguku, 'kan?"
Hanbin menggeleng, "Tidak, tidak. Kebetulan saja aku juga sedang menyelesaikan tugas kuliah."
"Ah, begitu, ya."
Pria Sung itu melangkah mendekat, "Hei, apa terjadi sesuatu di antara kalian?"
"Apa maksudmu? Kami memang rekan kerja. Kebetulan saja Ia tidak membawa mobil. Aku berniat mengantarnya pulang, tapi kami mampir untuk makan malam sejenak. Itu saja," jelas Jiwoong panjang lebar.
Hanbin tertawa dan membulatkan mulutnya, "Kupikir kau sudah melupakan mantan kekasihmu."
Dahi Jiwoong mengernyit, "Kau tahu soal aku yang baru saja putus?"
"Tentu saja," Hanbin bergaya ala-ala detektif, "Jangan meremehkan kemampuan analisaku."
"Dasar," kekeh si sulung sembari menjatuhkan tangannya pada bahu Hanbin, "Ayo, masuk."
"Baiklah," angguk Hanbin setuju.
Keduanya pun berjalan masuk ke dalam rumah dengan candaan satu sama lain. Jiwoong tak bisa melunturkan senyumannya, perasaannya sudah ditata rapih oleh Yujin selama pertemuan tadi.
Sepertinya Chaehyun benar, gadis itu memang luar biasa. Ketika Ia hanya bertanya sebuah persoalan, Yujin malah memberinya tiga jawaban. Sangat amat luar biasa.
"Dia memang gadis ajaib," batinnya.
———————————————————
—𝑩𝒐𝒏 𝑽𝒐𝒚𝒂𝒈𝒆—
𝓥𝓸𝓽𝓮 𝓪𝓷𝓭 𝓒𝓸𝓶𝓶𝓮𝓷𝓽
Thanks For Reading