Saat tiga alpha berusaha menjinakkan satu omega ...
Suara didihan air dalam panci, masakan yang ditumis di wajan juga denting timer microwave mengiringi kesibukan Minjae pagi itu. Sejak pukul enam dia sudah berkutat di dapur. Dengan apron kelinci warna ungu kesukaannya, Minjae bergerak ke sana kemari. Mencuci beras sudah, sebentar lagi nasi akan matang. Memasak sayur bening juga sudah, tinggal menunggu tumis dagingnya. Minjae naik ke sebuah tangga kecil untuk membuka lemari kabinet dan mengeluarkan setoples kopi. Tubuh pemuda itu memang terlalu mungil hingga tempat-tempat tinggi tidak bisa dijangkaunya dengan mudah. Minjae mulai membuat kopi dalam teko beling. Dia juga siapkan cremaer cair dan brown sugar di wadah poci kecil.
Semua kegiatan itu merupakan hal baru yang dijalani Minjae beberapa bulan belakangan. Sebelumnya ia bebas bangun siang, hanya memikirkan keadaannya sendiri. Kadang sarapan, kadang tidak. Dia juga lebih sering membeli sarapan di luar ketimbang repot-repot memasak. Namun sekarang, Minjae punya kewajiban lain. Dia punya seorang Nicholas Wang untuk diurus segala keperluannya. Mulai dari baju yang harus sudah rapih disetrika, sepatu yang sudah dibersihkan dan diletakkan tepat di depan pintu, makanan yang sudah harus siap sebelum pukul tujuh, dan jaket yang sudah harus tersedia di bahu kursi sebelum pemuda itu duduk di sana.
Semua keadaan yang tiba-tiba berubah itu berawal dari kedatangan seorang wanita asing ke rumah Minjae beberapa waktu lalu. Wanita itu mengaku sebagai teman ibunya. Ada sedikit cerita tentang mereka yang membuat dia mendatangi Minjae setelah bertahun lamanya terlupakan. Tentang jasa sang ibu saat dulu menyelamatkannya dari musibah kebakaran. Lalu mereka berdua menjadi teman baik, sebelum ibunya merantau pergi ke London tapi sampai sekarang Minjae tidak pernah mendengar kabar apapun lagi.
"Makan dulu, Kak, " kata Minjae saat melihat Nicholas yang sudah bersiap pergi ke kampus. Pemuda itu tidak tersenyum seperti biasa. Tidak masalah. Lama-lama Minjae memaklumi sikap Nicholas yang selalu ketus dan tidak bersahabat karena tiba-tiba rumahnya harus ditumpangi oleh Minjae.
Nicholas duduk di kursi. Dia menyalakan iPad, mengeluarkan sebuah buku lalu mulai makan sambil belajar materi ujian. Minjae ikut duduk, dia baru saja hendak menyendokkan nasi ke mangkuk ketika Nicholas menatap pemuda itu dengan delikan tajam.
"Siapa yang suruh lo makan di sini?"
"Ya?" Minjae menatap kaget.
"Banyak cucian numpuk di kamar gue, kasurnya juga belum diberesin. Lo pikir lo masih pantes makan sebelum ngelakuin kerjaan lo?"
Minjae melipat bibir. Mangkuk nasipun dia letakkan kembali. Perlahan dia bangkit dari duduk, bermaksud pergi ke kamar Nicholas.
"Sepatu gue udah lo sikat?"
"Udah, Kak."
"Yang mana yang lo siapin?"
"Sneakers cokelat, udah disimpen di depan," jawab Minjae pelan.
Nicholas mengangguk samar. "Kamar mandi gue bersihin sekalian. Tirainya juga lo ganti deh, udah lusuh nggak jelas."
"Ta- tapi kan tirainya tinggi Kak," protes Minjae keberatan.
"Lo pake tangga lah, bego. Ada di gudang tuh. Lo bawa ke laundry bawah, itu nggak bisa dicuci sembarangan di mesin. Kopi gue mana ini?"
Minjae teringat dengan kopi yang belum disajikannya. Dia buru-buru mengambil gelas dan menuangkan kopi dari teko lalu disodorkan ke dekat Nicholas. Pemuda itu masih belum mau menatap Minjae. Dia menginteruksikan semua perintah sambil membaca-baca modulnya.
"Minja ke kamar dulu."
"Hm."
Si mungil di hadapan Nicholas menghela nafas kasar sambil berlalu. Minjae berkacak pinggang melihat kamar tuan rumah yang berantakan. Handuk basah di atas kasur, baju kotor meluap dari keranjang, sampah-sampah kudapan, seprei dan selimut yang tidak beraturan. Semua itu sama seperti puing-puing bekas peperangan yang pernah Minjae lihat di google. Dia kembali keluar, mengambil kantung plastik besar di ruang perkakas untuk dipakai menampung semua sampah. Minjae tengah mengelap dan membereskan meja belajar Nicholas ketika sebuah benda ringan tiba-tiba jatuh ke lantai. Dia memungutnya dan mengamati benda terbungkus plastik warna merah itu.
Durex, Cherry Flavour.
"Apaan nih?" gumam Minjae sambil membolak balik bungkusnya. Dia bahkan mengendus untuk memastikan apakah itu sesuatu yang bisa dimakan atau tidak.
"Gue pulang jam enam_"
Minjae kaget bukan main. Benda itu refleks ia masukkan dalam kantong apron sebelum sosok Nicholas muncul di ambang pintu kamar. Dia berlagak membereskan buku dan mengatur foto berpigura kecil dekat komputer.
"Heh, lo denger nggak?" tanya Nicholas sambil bersadar ke kusen pintu.
Pemuda itu berbalik dan mengangguk. " Iya , Kak."
"Lo harus ada di rumah sebelum jam tujuh, siapin makan malam."
"Iya."
Nicholas menatapi Minjae sesaat. Anak itu kelihatan seperti baru melihat hantu. Namun Nicholas memilih acuh. Dia bergedik samar dan segera pergi ke kampus. Bagi Nicholas, keberadaan Minjae tetap saja asing. Dia tidak terbiasa dengan keberadaannya wara - wiri di dalam rumah sambil mengerjakan ini itu. Karena Minjae jugalah, sekarang mamanya berhenti mempekerjakan bibi asisten. Nicholas tidak punya pilihan selain menyuruh Minjae mengerjakan pekerjaan rumah dengan sedikit sikap arogan yang sebenarnya tidak perlu.
Seperginya Nicholas, Minjae sibuk membereskan kamar anak itu meski dalam keadaan perut sudah perih menahan lapar. Dia baru selesai pukul sembilan dan langsung mengambil jatah makannya. Dilirik oleh Minjae mangkuk nasi dan sayur yang ludes tak bersisa. Padahal hanya menu sederhana tapi Nicholas selalu makan seperti kuli proyek yang habis membangun ratusan piramid setiap harinya. Minjae sampai berpikir, apa iya bibi asisten atau sang ibu tidak pernah membuatkan masakan rumah?
Bel pintu berbunyi ketika Minjae selesai mencuci piring-piring kotor. Dia mengintip di layar ruang tengah dan melihat sosok yang tidak asing. Buru-buru dia buka pintu depan sampai terlihat sosok di hadapannya tersenyum lebar.
"Jae."
"Kak Nicho udah berangkat loh," beritahu Minjae.
"Gue nggak nyari Nicho," katanya sambil melengos masuk dalam rumah.
Minjae menatap bingung. Dia buru-buru tutup lagi pintunya, mengekor si tamu yang sekarang dengan santai menghempaskan tubuh di sofa ruang keluarga.
"Terus Kak Euijoo ada keperluan apa? Sama mama?"
"Enggak juga, gue malah disuruh mama buat ketemu sama lo."
"Hah?"
Ekspresi bingung Minjae membuat Euijoo tidak bisa menyembunyikan senyum gemasnya atas anak itu.
"Ada apa ya, Kak, sama Minjae?"
"Coba duduk dulu sini, gue mau ngobrol penting," Euijoo menepuk area kosong di sebelahnya.
Minjae menurut. Dia masih memerhatikan gerak gerik Euijoo yang sekarang tengah membuka tas ransel lalu mengeluarkan sebuah berkas. Amplop besar berwarna cokelat itu pun diserahkan pada Minjae.
" Apaan ini, Kak? "
"Buka aja."
Dengan hati-hati Minjae membuka tali simpul yang melilit di belakang amplop. Dia lalu mengeluarkan berkas dari dalamnya. Ada beberapa lembar surat pernyataan yang tidak Minjae pahami. Kening pemuda itu berkerut dalam. Dia hanya membaca bagian depan berkas itu.
"Surat kepemilikan properti?" gumam Minjae pelan. "Gimana sih, Kak, maksudnya?"
Euijoo meraih berkas itu dan membuka lembar-lembar pertama.
"Surat kepemilikan atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Toko bunga punya mama lo itu kemaren-kemaren kan nggak jelas jual beli sama sertifikatnya. Mama Nicho urusin deh sampai beres, sampai balik nama ke lo dan lo jadi ahli waris buat toko itu. Nih lo baca. Nanti lo tanda tangan akta jual beli dari pemilik lama, tapi itu juga diwakilin sama anaknya karena dia udah meninggal. Kebetulan papa gue yang punya kantor notaris, dan mama Nicho minta tolong buat beresin sampai selesai. Jadi ... ini lo simpen baik-baik. Toko itu satu-satunya warisan yang lo punya karena rumah lo yang di kampung udah disita sama bank."
"Hah?" Minjae terkejut. "Kok bisa, Kak?"
"Mama lo punya banyak hutang ternyata, dan yang paling besar ada di bank. Sampai seratus lima puluh juta. Sebagian udah mama Nicho bayar tapi rumah itu nggak bisa diselamatkan karena dibeli orang pas acara lelang. Mungkin mama juga mikir kalau lo kan udah tinggal di sini, nggak butuh rumah di kampung lagi. Lagian lo emang masih punya keluarga di sana? Kerabat lo, mungkin?"
Minjae menggeleng lemah. Dia menerima berkas itu dari Euijoo dan mendekapnya di dada.
"Mama Minjae kemana ya, Kak? Kalau Minjae ketemu mama lagi, masih kenal nggak sih sama Minjae?"
"Pasti masih kenal, masa sama anak sendiri lupa."
"Mungkin inget tapi bisa aja kan pura-pura nggak kenal," murungnya sambil merunduk menatapi berkas di atas pangkuannya. Tiba-tiba saja ingatan masa lalu tentang sang ibu ingin dia kubur. Hubungan mereka sejak dulu memang tidak pernah baik. Ibunya sering bekerja sampai larut tanpa Minjae tahu apa yang jadi urusan di luar sana. Ibunya mengaku bekerja tapi setiap hari selalu ada saja rentenir menagih hutang ke rumah. Membuat Minjae kadang selama beberapa malam lebih memilih tidur di perpustakaan sekolah karena takut.
"Hey, you alright?"
Tahu-tahu tangan Euijoo sudah membelai rambut Minjae lembut. Dia melakukannya begitu natural seolah memang terbiasa dengan kontak fisik pada anak itu.
Minjae mengangguk lemah. Sudah tidak ada air mata yang sanggup keluar lagi karena meratapi kepergian sang ibu. Dia hanya bisa berharap semoga perempuan itu menjalani kehidupan barunya dengan baik dimana pun dia berada.
"Jangan sedih, dong. Lo mau ke toko, nggak? "
"Mau Kak," angguk Minjae.
"Ya udah siap-siap sana, gue tungguin."
Minjae memasukkan lagi berkas itu dalam amplop. Dia lalu melepas apronnya dan sebuah benda pun terlempar jatuh dekat kaki Euijoo. Minjae tidak sadar sampai Euijoo yang memungut dan mengangkatnya lalu tersenyum geli.
"Ini punya lo?" tanya Euijoo sambil mengacungkan benda itu dekat wajah Minjae.
Si mungil terbeliak. Segera saja dia rebut dari tangan Euijoo.
"Ih, kok bisa jatuh segala."
"Lo tahu itu apa?"
Pipi Minjae mengembung. "Jimat. Ini suka Minjae bawa kemana-mana."
"What?" Euijoo menatap takjub.
"Ya gitu lah pokoknya, Minjae ganti baju dulu, Kak."
Dengkusan sinis setengah tertawa langsung terdengar dari bibir Euijoo. Dia memandangi tubuh Minjae yang berjalan menjauh dan hilang masuk dalam kamar. Ponsel di jaket Euijoo berbunyi. Dia tersenyum melihat siapa yang muncul di layar.
"Oyy."
"Lo dimana, Nyet? Gue cariin keliling kampus dari tadi."
Terdengar suara sewot Nicholas dari ujung sana.
"Rumah lo."
"Hah?"
"Ngurusin yang kemaren."
"Yang kemaren apaan sih?"
"Itu toko si Minjae, udah beres surat-suratnya jadi gue kasihin ke dia langsung ini," jelas Euijoo santai sambil merebahkan tubuh ke sofa.
"Si anjing, nggak sabaran banget lo. Kan udah gue bilang kalau mau ke rumah lo tunggu gue pulang," ketus Nicholas.
"Chill out , Bro. Gue kan cuma ikutin intruksi nyokap lo aja supaya 'segera' kasihin suratnya ke Minjae. Gue nggak ngapa-ngapain, loh."
"Halah, gue tahu otak busuk lo ya, Njing."
Euijoo terkekeh. "Lo kenapa sih? Lagian peduli apa lo sama anak itu? Selama ini juga lo cuma demen marahin dia. Kalau sama gue kan dia disayang-sayang, dimanjain. Kasian loh, anak orang."
"Bodo amat bangsat, gue nggak peduli. Mending lo buruan ke kampus, tugas kelompok gimana?"
"Gue kirim filenya ke lo, ntar lo pelajarin dulu aja bagian lo. Tenang, gue tetep dateng kok buat presentasi tapi sekarang gue mau nemenin Minjae."
"Nemenin kemana si anjing?"
"Kepo banget, si babi. Bye."
Euijoo menatap ke arah Minjae yang sudah bersiap. Pemuda itu menghampirinya dengan setelan jumper yang menggemaskan.
"Ayo Kak."
Euijoo bangkit menghampiri Minjae. "Jaketnya mana? Di luar dingin."
"Jaket Minjae belum kering, yang Kak Nicho ... " dia melirik ragu ke arah kamar Nicholas.
Euijoo lantas melepas jaket di tubuhnya lalu dia pakaikan pada tubuh anak itu.
"Eh, nanti Kak Euijoo gimana? Katanya dingin."
"Its okay, gue udah biasa. Gue pernah tinggal sepuluh tahun di Alaska."
"Hah? Ngapain Kak, lama amat?" kejut Minjae.
"Nyari kepiting."
"Hah?" pemuda itu makin takjub. "Nyari kepiting deket rumah Minjae dulu juga banyak kali Kak, jauh banget ya di Alaska."
"Kepiting di sana mahal, " terang Euijoo sambil menarik ke atas risleting jaketnya. "Bisa seharga mobil kalau dikumpulin."
"Serius?" Minjae makin heboh.
Seketika Euijoo merasa lontaran jawabannya tadi merupakan kesalahan tapi dia hanya tersenyum.
"Eh, lo nggak lupa kan, bawa jimat lo tadi?"
Euijoo maksudnya hanya bercanda tapi Minjae malah mengangguk serius.
"Ada nih," katanya sambil merogoh saku celana. "Kan Minjae udah bilang ini jimat keberuntungan."
Kalimat polos itu sontak membuat Euijoo tergelak. Dia merangkul tubuh Minjae keluar dari rumah.
"Okay then, we'll see how lucky you are today."
***
Hari itu setelah Nicholas pergi ke kampus, Minjae pergi ke toko bunga miliknya yang belum beroperasi penuh karena dia sendiri tidak tahu harus mulai darimana membangun semua itu. Seharian Minjae cuma melamun. Dia pesen makan dari kafe sebelah, nonton youtube sambil nguyah, habis itu melamun lagi sampai sore tiba saking bingung harus diapakan tokonya. Kemarin Euijoo sempat membantu Minjae mencari rekomendasi perkebunan yang bagus untuk dijadikan partner tapi Minjae sendiri kebingungan mengatur anggaran serta modal yang harus ia miliki untuk kerjasama seperti itu. Ditambah Minjae tidak sedikit pun paham soal bunga. Sekali lagi dia keluar toko tapi akhirnya dia hanya diam tercenung di depan sambil berkacak pinggang menatap ke arah jendela polos yang kalau dibandingkan toko di kiri kanan atau seberang sana sungguh sangat tidak menarik.
Dari pantulan jendela etalase depan , Minjae melihat sosok pemuda menyebrang dan berjalan ke arahnya. Dia lekas berbalik, memastikan kalau memang dia yang akan dihampiri. Belum apa-apa, pemuda itu tersenyum lebar.
"Hai, lo pemilik baru toko ini?" tanyanya dengan nada ramah.
Minjae tertegun dulu baru mengangguk. " Ini punya mama Minjae, tapi baru sempet Minjae lihat lagi."
"Oh, pantesan. Gue kira toko ini dijual terus emang belum mau dipake sama pemilik barunya."
"Kamu- jualan di sekitar sini juga?"
"Iya," angguknya. "Mama gue yang punya butik di seberang itu."
Minjae menengok ke arah butik berlantai tiga dengan bentukan modern minimalis yang keren.
"Wah bagus banget, pasti bajunya mahal-mahal tuh," celetuk Minjae polos.
Pemuda di hadapan Minjae menyeringai. Dia lalu mengulurkan tangan.
"Gue Jinsik Lee, lo siapa?"
"Minjae Kim, Kak."
"Kak? Kayaknya lo lebih tuaan dari gue deh."
"Emang iya? Umur kamu berapa gitu?"
"19."
"Oh beda setaun doang, Minjae 20."
"Nah kalau gitu gue yang manggil Kak berarti."
"Hmmm... agak aneh tapi nggak apa-apalah."
Jinsik terkekeh. "Gue lihat lo sama Kak Euijoo kemarin, lo kenal dia?"
"Iyalah, itu kan temennya Kak Nicho. Eh, kamu juga kenal?"
"Satu kampus kebetulan. "
"Wah, dunia sempit banget," gumam Minjae. Dia mengerucutkan bibirnya. "Tapi Kak Euijoo nggak bilang kalau kamu yang punya butik itu."
"Emang nggak terlalu deket, ya cuma tahu-tahu sekilas. Mereka kan senior."
"Oh, iya ya," Minjae manggut-manggut.
"Terus ini toko mau lo apain, Kak?"
"Aduh nggak tahu deh, Minjae aja masih pusing banget."
Minjae menggaruk keningnya.
"Gue boleh liat ke dalem? Kali aja gue bisa kasih lo saran begitu liat isi toko ini?"
"Boleh dong, ayo deh."
Jinsik tersenyum mengikuti si mungil masuk dalam toko. Hampir kosong bahkan masih berantakan karena sisa perabotan yang tidak terpakai dan terbengkalai.
"Berapa lantai sih, Kak?"
"Dua kayaknya, tapi Minjae nggak berani naik ke atas."
"Loh, kenapa?" tanya Jinsik sambil tetap berjalan ke arah belakang toko.
"Takut, takut ada hantu."
Pemuda itu mentertawakan Minjae , membuat bahunya kena sasaran pukul.
"Emang bener, kan? Coba aja kamu ke atas, serem banget tauk."
Jinsik sudah gemas melihat Minjae yang cemberut begitu tapi dia berusaha menahan diri untuk tidak menggigit pipinya yang memerah.
"Ya udah sekarang kita lihat ke atas, siapa tahu ternyata banyak spot menarik."
"Spot menarik apaan, toko sempit gini."
Tapi toh keduanya tetap naik ke lantai dua dan memeriksa apa yang ada di sana. Ternyata hanya ruangan kosong tempat menyimpan barang-barang perkakas. Di bagian belakangnya ada teras cukup luas menyatu dengan atap.
"Ini bagus sih kalau kata gue.Lebih luas dari yang gue bayangin malah."
Minjae melihat sekeliling dan mengibaskan sarang laba-laba yang menjuntai dekat kepalanya. Bau hapak langsung menyergap. Jinsik mencoba membuka pintu geser balkon hingga udara yang lebih segar pun bisa masuk. Minjae mengintip ke sebuah toilet dia menjerit kaget waktu melihat dua ekor kecoa merayap panik di dalam wastafel.
"Astaga, harus gimana bersihinnya ini," erang Minjae putus asa.
"Dikit-dikit aja, mulai dari bagian atas baru ke bawah. Sebenernya lo juga nggak perlu buru-buru buat jualan, yang penting tempat lo nyaman dulu dipake, Kak."
"Iya sih." Minjae lekas menutup lagi pintu toilet. Dia melompat ke belakang tubuh Jinsik waktu seekor kecoa berhasil kabur lewat bawah pintu.
"AAAAGHHH !! YA AMPUN JINSIK PUKUL CEPETAN, KECOANYA TERBANG!!!"
Jinsik sampai mengernyit waktu teriakan Minjae yang ternyata stereo itu membuatnya kaget. Dia menginjak kecoak yang terus bergerak di bawah kaki Minjae hingga anak itu ribut menghindar.
"Udah mati, Kak."
"Aduh , turun lagi aja yuk. Minjae nggak mau ah, banyak kecoa," diguncangnya lengan Jinsik panik.
"Ya udah bentar, gue tutup lagi pintunya."
Minjae menjawil belakang baju Jinsik sambil melihat sekeliling takut ada kecoa terbang lainnya. Dia buru-buru turun bahkan sampai melewati dua anak tangga sekaligus.
"Astaga."
Hampir aja Minjae kejengkang waktu di ujung tangga sosok Nicholas muncul. Untung Jinsik yang berada di belakang tubuh anak itu langsung menahan Minjae.
"Kak Nicho! ngapain di sini?" tanya Minjae masih tidak percaya kalau dia melihat sosok Nicholas yang menjulang bak gunung es itu.
Nicholas tidak langsung menjawab, dia menatap ke arah Jinsik.
"Kenapa lo ada di sini?" tanya Nicholas dengan nada dingin.
Jinsik cuma senyum tipis. "Gue lagi bantu tetangga baru liat-liat kondisi tokonya. Dari kemarin dia sendirian nggak ada yang bantu, tadi gue liat dia bingung dan ternyata bener aja dia bahkan belum sempet liat-liat lantai atas jadi yah... gue temenin."
Nicholas beralih pada Minjae, dia melirik sarang laba-laba yang menyangkut di rambutnya.
"Balik lo, udah jam berapa ini?"
"Iya Kak," angguk Minjae patuh.
Pemuda itu lekas melipir, menghindari sorot intimidatif Nicholas saat ini. Dia mengambil tas dari bawah meja konter. Jeritan Minjae membuat Nicholas dan Jinsik langsung menoleh pada anak itu.
"Kenapa, Kak?"
"Ada kecoak di laci," seru Minjae panik.
Jinsik meraih sebuah sapu lidi dari pojokan. Dia pukul sekali sampai kecoanya gepeng, membuat isi perut binatang itu keluar. Nicholas hanya mendelik menyaksikan aksi heroik menyebalkan Jinsik. Dia bergegas keluar dari toko terlebih dahulu.
"Aduh, Minjae nggak tahu gimana deh bersihin toko ini kalau banyak kecoanya."
"Tenang aja Kak, nanti gue bantu. Beli obat semprot sama sabun pembersih aja dulu. Kalau bersih kecoa pasti nggak akan dateng. Lo mau mulai kapan, kontak gue aja ya? Mana handphone lo?" Jinsik menengadahkan tangan.
Minjae menggeleng. "Minjae belum punya hp," katanya.
"Hah? Kok bisa?"
"Emang nggak punya. Hp Minjae dijual buat bayar hutang, sekarang belum kebeli lagi."
"Ya udah. Gue ada di butik tiap hari kok buat bantu mama. Gue beres kuliah siang, jadi gue bisa bantu lo bersihin tempat ini nanti."
"Kamu serius nggak, sih? Kok ngerepotin ya?"
"Nggak apa-apa kali, Kak. Namanya juga tetanggaan. Kasian juga kalau lo kerjain semua sendiri walaupun tokonya nggak gede-gede amat."
Jinsik menyingkirkan sarang laba-laba di rambut Minjae.
"Ya udah sana, ditungguin tuh."
Minjae melirik ke arah Nicholas yang berdiri membelakangi jendela toko. Anak itu memejam pasrah. Nicholas terlihat sama menyeramkannya dengan kecoa-kecoa yang ada di sana.
Selesai mengunci toko, Minjae mengekor tubuh Nicholas berjalan sepanjang blok kawasan pertokoan itu.
"Kak Nicho nggak bawa mobil?" tanya Minjae akhirnya setelah sekian lama mereka saling diam. Nicholas asyik berjalan sambil menghisapi rokok.
"Males, naek bis aja."
"Ya udah."
Minjae memasukkan tangan ke saku. Meremat-remat bungkus bertuliskan Durex yang ia yakini sebagai jimat itu. Dia tidak mau Nicholas memarahinya gara-gara telat pulang ke rumah malam ini. Menyebabkan Minjae tidak sempat memasak makan malam kalau mereka sampai nanti.
"Halah, bangsat," umpat Nicholas tiba-tiba.
Nah, kan?
Minjae kaget dan langsung menghindar selangkah begitu Nicholas memutar tubuh ke arah pemuda itu.
"Gara-gara lo, gue terancam telat makan malam. Kalau udah gini, lo mau tanggung jawab?"
Tubuh Minjae tersentak. Dia tidak berani menatap ke arah Nicholas saat ini. Kelihatannya Nicholas sudah siap menerkam Minjae dan menelan otak pemuda itu bulat-bulat.
"Laper banget perut gue," sungut Nicholas.
Minjae melihat sekeliling. "Ma- mau beli makan dulu nggak, Kak?"
Padahal kan Nicholas bisa saja makan di luar. Kafe atau restoran mewah sekali pun pasti bukan masalah. Minjae jadi tidak habis pikir sama kelakukan pemuda itu.
"Males, makan apaan? Emang lo punya duit buat jajanin gue?"
"Kok Minjae, Kak?" kaget Minjae ditodong soal duit.
Mamanya Nicholas memang memberi Minjae uang saku juga perbulan tapi Minjae simpan baik-baik hanya untuk keperluan mendesak. Minjae bergeser lagi waktu Nicholas merapatkan tubuhnya.
"Lagi lo ngapain sih lama-lama diem di toko bobrok kayak gitu? Nggak sekalian lo jual aja? Gue yakin lama-lama juga tuh toko bakalan kegusur. Emang lo mau jualan apa coba, gue tanya? Hah?"
Minjae menguatkan diri membalas sorot mata Nicholas yang selalu menusuk sampai ke relung dadanya.
"Kok dijual, Kak? Minjae sekarang punya toko itu. Minjae juga belum tentu mau jualan. Mungkin Minjae jadiin tempat tinggal aja, takutnya Kak Nicho nggak suka Minjae tinggal di rumah sama Kak Nicho, jadi Minjae bisa pindah ke sana."
Kepala Nicholas sampai miring ke kiri mencoba mencerna kalimat Minjae barusan.
"Atas dasar apa gue nggak suka lo tinggal sama gue? Selama lo berguna, gue nggak akan mempermasalahkan keberadaan lo di sana. Cuma kali ini gue tekankan sama lo, lo harus pikir mana yang lebih penting. Berapa kali harus gue bilang? Balik ke rumah sebelum jam tujuh, makan malam harus udah ada. Paham nggak lo?"
Minjae mengangguk-angguk cepat dengan mata memejam. Dia berusaha untuk tidak tersinggung atau ikutan marah karena omongan Nicholas barusan.
"Ya udah buruan jalan lagi, mau ketinggalan bis, lo? "
Langkah kaki Minjae berderap cepat di belakang tubuh Nicholas. Mereka menunggu bis sebentar lalu naik ke dan menempati kursi paling belakang. Nicholas memasang earbuds di telinganya sementara Minjae memandangi jalan raya yang masih terlihat ramai. Karena tidak punya hal untuk dilakukan, lama-lama pemuda itu mengantuk. Berulang kali kepalanya membentur jendela, atau kadang terkulai ke belakang kursi. Nicholas yang tengah bermain game melirik anak itu jengah. Dia dorong kepala Minjae yang terjatuh di pundaknya.
"Bangun! Ngapain lo tidur di sini? "
Minjae tersentak saat merasakan cubitan keras di pipi. Dia mengelus-elus wajahnya sambil meringis.
"Bentar lagi nyampe, jangan nyusahin. "
Perlahan tubuh Mungil itu menegak. Dia berusaha tetap sabar. Dilirik ponsel Nicholas sambil dicondongkan sedikit tubuhnya.
"Maen game apa, Kak? Kayaknya seru. "
"Nggak usah tahu. "
"Nanti kalau uang tabungan Minjae kekumpul buat beli hp, kan mau download game kayak gitu. "
Nicholas mencebik. Layar poselnya tiba-tiba mati, membuatMinjae ikut kaget saat pria itu berdiri dan menekan bel. Dia bergegas ikut bangkit agar tidak ketinggalan turun dari bis. Mereka berjalan lagi sebentar sampai ke depan gerbang rumah.
"Masakin ramen buat gue, pake telor sama keju, " titah Nicholas sebelum melengos ke kamarnya.
"Iya, Kak, " sahut Minjae yang terbirit pergi ke dapur dan langsung memasakkan ramen untuk Nicholas. Minjae bahkan mengabaikan rasa laparnya sendiri. Dia hanya sesekali memasukkan potongan tumis daging yang dia hangatkan lagi di microwave ke dalam mulut.
"Kak_" panggil Minjae sambil membawa nampan berisi mie dan minum ke atas meja belajar Nicholas. Pemuda itu tidak ada dimana pun. Mungkin sedang mandi.
Minjae memungut jaket dan tas yang tergeletak begitu saja. Jaketnya ia gantung lagi dekat pintu dan tas Nicholas diletakkan di pinggir ranjang.
"Mau kemana?"
Langkah kaki Minjae terhenti waktu Nicholas tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Pemuda itu hanya mengenakan handuk dan sibuk mengeringkan rambutnya.
"Kamar, Kak, " jawab Minjae sambil berusaha untuk tidak menatapi tubuh Nicholas yang setengah telanjang.
Pemuda itu menarik tangan Minjae sampai terduduk di kursi belajar. Dia lalu membuka sebuah modul.
"Lo bisa ngetik? Lo bisa ngetik di macbook? "
"Nghh... "
Minjae menggaruk kepala sambil memandangi laptop canggih Nicholas. Dia mundur sedikit ketika Nicholas tiba-tiba condong untuk membuka aplikasi word. Aroma sabun dan sampo pemuda itu membuat Minjae seketika gelisah.
"Lo ketik semua yang udah gue stabiloin di situ. Jangan ada yang kelewat, jangan banyakan typo. Gue mau makan dulu."
Minjae menghembuskan nafas yang sedari tadi ia tahan saat Nicholas menjauh. Dia lekas meraih buku di hadapannya dan mulai mengetik.
"Kak, ukurannya gimana ini? "
"Yang standar aja. "
"Standar gimana sih, " keluh Minjae pelan.
Sementara dia sibuk mencari format aturan kertas dan huruf, di belakangnya Nicholas mulai makan sambil memainkan ponsel. Terdengar suara panggilan telepon beberapa saat kemudian.
"Iya Ma. Iya Nicho udah di rumah kok, Minjae juga ada. Tadi ke toko dia seharian. Ada tuh lagi maenin laptop aku. Mama kapan pulang? Oh gitu, ya udah deh. Minjae udah dikasih uang belanja belom? Kulkas kosong tuh. Kagak lah ngapain juga. Dia bisa ke pasar sendiri, aku kan kuliah. Banyak seminar. "
Minjae memajukan bibirnya mendengar Nicholas bicara dengan nada manis sambil mengarang cerita pada mamanya. Laki-laki itu memang brengsek.
Suara game kembali menyelang keheningan. Nicholas menyimpan mangkuknya yang sudah kosong. Telepon lain masuk ke ponsel pemuda itu.
"Karin? "
Nicholas mencoba mendengar suara yang bising di seberang sana.
"Kamu dimana? Ya? Oke aku ke situ sekarang. Heh, jangan nangis dulu. "
Sambil mencapit ponsel dengan bahu, dia mengambil jaket dan lekas memakainya.
"Rin, tenang dulu dong, nggak boleh gitu. Ini aku berangkat. Tungguin, ya? "
Minjae kaget waktu pundaknya dicolek.
"Gue harus jemput Karina, lo beresin ini. Gue pulang semua udah kudu kelar. "
Nicholas bahkan tidak memberi Minjae kesempatan menyahut. Dia langsung keluar dari kamar itu dengan tergesa. Meninggalkan Minjae yang cemberut sambil memukuli permukaan meja kesal.
Sebenarnya Minjae bisa saja kan, melawan. Tapi taruhan dia untuk saat ini jelas keberlangsungan hidupnya. Nicholas juga kelihatan tidak segan untuk mengusir Minjae kapan saja kalau anak itu tidak menjaga sikap. Jadilah meskipun sebenarnya Minjae mengantuk dan lapar, dia tetap berusaha mengerjakan tugas Nicholas sampai selesai. Sampai Minjae tidak sadar kalau dia tertidur dengan kepala menelungkup di atas meja saat Nicholas kembali entah darimana.
Pemuda itu memeriksa hasil kerjaan Minjae. Dia tersenyum sinis. Tubuh Minjae diguncangnya keras hingga anak itu tersentak.
"Iy-iya Kak, ini Minjae kerjain. "
Dia kelihatan bingung ketika bukunya tidak ada di hadapan dan lebih kaget saat melihat Nicholas.
"Beres kerjaan lo? "
"Ud- udah kok. Eh, bukunya mana ya? " mata Minjae yang masih rapat berusaha mencari modul yang ia salin tadi.
"Udah sana, balik kamar lo. Udah beres , kan? "
Anak itu mengangguk. "Minjae boleh ke kamar?"
"Ya udah sana gih. Bawa tuh mangkuk kosong sekalian. "
Minjae perlahan bangkit dari duduk. Kepalanya terasa pening karena dibangunkan seperti tadi. Sambil berjalan menuju pintu, dia berusaha mengumpulkan kesadaran karena di matanya semua terlihat buram.
"Heh, Minjae. "
Baru saja Minjae sampai ambang pintu, dia dipanggil lagi. Tubuh mungilnya berbalik malas.
"Kenapa, Kak? "
"Besok gue sarapan jam tujuh, mau ada acara di kampus. Nanti lo setrikain baju yang itu, " tunjuk Nicholas pada sepasang baju yang masih terbungkus plastik di atas meja konsol.
"Iya."
"Awas lo, jangan sampe kesiangan. "
"Iya."
***
"Kak Euijoo nggak ke kampus? " tanya Minjae heran saat siang itu Euijoo muncul lagi di ambang pintu kediaman Nicholas.
Seperti biasa, Euijoo akan tersenyum lembut dulu sebelum menanggapi setiap pertanyaan Minjae.
"Enggak, gue disuruh sama mamanya Nicholas buat anter lo belanja. "
"Hah? Oh_"
Minjae lantas teringat sama omongan Nicholas yang menyuruh ibunya memberi uang belanja pada anak itu untuk mengisi kulkas yang kosong.
"Bentar deh ya, Minjae catet dulu mau belanja apaan. "
Euijoo mengikuti Minjae pergi ke dapur. Dia melirik ke arah celana pendek yang digunakan anak itu serta kaus kebesaran di tubuhnya. Pasti milik Nicholas. Dan memang Minjae tidak membawa baju terlalu banyak saat pindah kesana. Lagipula baju dia lusuh semua, beberapa tidak layak pakai.
Sementara Minjae membuka isi kulkas dan memerhatikan isinya sambil mencatat, Euijoo bersandar di meja kabinet dekat kompor. Kedua lengan pemuda itu tersilang di dada, menyaksikan Minjae yang sesekali menungging untuk mengintip nama wadah bumbu mana yang kosong dan apa yang harus diganti.
"Fuck, " gumam Euijoo pelan. Dia mengeluarkan ponsel, berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri atas tubuh Minjae.
"Ayo, Kak. "
Tahu-tahu anak itu sudah menghampirinya.
"Nggak mau ganti baju dulu? "
Minjae memerhatikan pakaian yang dia kenakan.
"Kenapa emang? Ke pasar doang kan? "
"Jangan pake celana pendek gitu, ganti sana. "
Minjae manyun tapi akhirnya mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di kawasan supermarket besar. Sekarang Minjae tahu kenapa Euijoo menyuruhnya berganti pakaian.
"Kenapa nggak ke pasar aja, Kak? Lebih murah, " kata Minjae saat melihat harga daging yang lumayan itu.
"Di sini lebih nyaman, nggak desek-desekan juga. Jangan mikirin harga, ambil aja apa yang lo catet tadi."
Minjae mengangguk. Dia lalu mengambil beberapa jenis daging dan berjalan lebih dulu ke bagian bumbu sementara Euijoo mendorong troli di belakangnya.
Minjae menengadah membaca nama jejeran bumbu instan dalam kaleng. Dia berjinjit untuk meraih salah satu bumbu itu tapi tangannya tidak sampai.
"Ini sengaja disusun buat raksasa apa gimana, "keluh Minje kesal.
Euijoo tahu-tahu mengambilkan bumbu itu untuknya. Dia tersenyum.
"Ngomong kek, minta diambilin. Sok-sok an banget lo boncel. "
Minjae berdecih. Dia jalan lagi lebih dulu meninggalkan Euijoo. Selesai berbelanja, Euijoo membawanya ke sebuah plaza. Selama tinggal di rumah Nicholas, Minjae belum pernah pergi ke tempat seluas dan semenakjubkan itu. Dia tidak henti merasa kagum pada semua hal yang di sana. Hiasan lampu, eskalator, lift kapsul. Bahkan kerumunan orang di lantai dua yang bisa dilihatnya dari balkon yang melingkar.
"Itu apaan, Kak, rame-rame? " tanya Minjae.
Euijoo ikut mengintip ke sebuah event yang sedang dihelat.
"Oh acara fanmeeting kayaknya. Aktor drama sih itu kalau nggak salah. "
Minjae menghampiri banner yang dipasang dibeberapa titik.
"Lee-Soo-Hyuk, "bacanya pelan. Dia lalu melihat ke arah si aktor yang dimaksud Euijoo sedang bicara di panggung. "Weh, ganteng banget. Itu beneran orang?"
"Udah ke sini dulu yuk, " Euijoo merangkul pundak Minjae untuk menjauhi kerumunan itu. Mereka lalu masuk ke sebuah toko.
"Kak Euijoo mau beli baju? Minjae duduk di sini aja, ya? " tunjuknya pada sofa kulit di tengah toko.
"Bukan gue, lo yang milih mau baju apa. "
"Hah? "
"Disuruh mama Nicho. Udah buruan sana, pilih abis itu cobain. "
Disuruh milih, Minjae malah garuk kepala karena bingung. Baju disana bagus semua. Liat tag harga malah membuat perut Minjae mules.
"Ayo, kok malah bengong, " kata Euijoo di belakang tubuhnya.
"Ih, ini beneran mama kak Nicho yang suruh? Jangan belanja di sini deh Kak, mahal banget liat. "
Euijoo meraih tangan Minjae yang memegangi tag harga.
"Udah gue bilang, kalau jalan sama gue lo nggak usah mikir mahal atau murah. Gue suruh lo milih jadi lo tinggal ambil mau yang mana. Tuh kaos-kaos keren sebelah sana, itu bagian celana jins. Ada yang pendek ada yang panjang, tapi lo nggak usah pake celana pendek deh nggak pantes juga kaki lo kecil. Terus yang itu jaket sama mantel, lo wajib punya soalnya ini udah mau masuk winter. Buruan ambil terserah mau berapa yang penting lo jangan pake-pake lagi baju Nicho. "
Minjae akhirnya mengangguk. Didampingi Euijoo dia memilih baju- baju yang dia suka. Di kasir, Minjae kembali tertegun melihat lebih dari lima kantung baju hasil pembeliannya. Euijoo dengan santai melakukan transaksi. Dia tap black cardnya dan pembayaran pun selesai. Euijoo ikut membawa tiga dari lima kantung belanjaan.
"Mau beli apa lagi? Oh, lo nggak punya hp kan? Ya udah, mau hp apaan? Samsung atau iPhone?"
Ditanya begitu, Minjae makin senewen. Mata boobanya membola.
"Minjae lagi nabung kok, Kak, kalau buat hp. "
Euijoo berdecak malas. "Yaelah lo nabung gue udah ubanan baru kebeli tuh hp. Ayo masuk deh, kita milih-milih. Iphone aja ya. "
Tubuh mungil Minjae didorong masuk ke sebuah galeri ponsel. Pegawai toko berpakaian serba hitam langsung menyambut ramah.
"Tolong kasih series terbaru aja," ucap Euijoo enteng.
"Baik, Kak, sebelah sini. "
Minjae mengikuti dengan langkah canggung. Dia melihat beberapa ponsel yang disodorkan padanya.
"Mau yang mana? " tanya Euijoo.
"Ini boleh? "
"Ya udah, " angguk Euijoo setuju. "Tolong aktifin semua fitur aplikasinya ya? "
"Baik, ditunggu sebentar. "
"Kak, bisa main game kan? Kayak yang di hp Kak Euijoo itu? "
Euijoo tertawa pelan, mencubit pipi Minjae.
"Bisa lah, lo mau maen game apa juga bisa.. Nanti gue bantu download semua game buat lo."
Jawaban Euijoo membuat Minjae menyeringai. Jadilah anak itu selama perjalanan pulang, fokus sama hp di tangannya.
"Nomor gue udah ada di sana. Jadi kalau ada apa-apa lo telepon atau chat gue aja, ya? "
"Iya Kak. Yang ini ya? Coba tes. "
Minjae mengirimkan sebuah stiker lucu. Layar lcd di dashboard langsung memunculkan notifikasi pesan Minjae untuk Euijoo.
Mobil Euijoo berhenti di depan rumah Nicholas. Saat mereka tengah menurunkan barang-barang belanjaan, mobil Nicholas pun datang. Minjae bergegas masuk sambil membawa kantung-kantung itu sebelum diinterogasi.
"Si anjing, pantesan nggak ada di kampus, " kata Nicholas sambil mencak pinggang.
"Biasalah on duty. Lagian kenapa nyokap lo nyuruhnya ke gue mulu dah, emang lo nggak mau anter dia? "
"Ogah, gue. "
"Katanya si Karina masuk rumah sakit? "
"Iya tadi malem, tapi pulang sih nggak harus opname. Abis ngapain lo sama anak monyet? "
Euijoo menyeringai sinis. "Jalan-jalan, makan. Lo coba deh ajak dia kapan-kapan anaknya asik tau. "
Nicholas memutar bola matanya malas.
"Masuk dulu, nggak? "
"Gue balik aja, nyokap minta dianter. "
"Ya udah, hati-hati lo. "
Nicholas melambai pada Euijoo dan mobilnya yang menjauh. Dia segera masuk dalam rumah. Dilihatnya Minjae tidak ada dimana pun. Pemuda itu lalu menuju ke arah kamar. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Nicholas membuka pintu kamar Minjae. Jelas saja anak itu memekik kaget sambil menutupi bagian atas tubuhnya yang masih telanjang karena dia sedang berganti pakaian.
"Kak, Nicho! Ngapain sih? " pekik Minjae kesal.
Nicholas hanya mendelik. Dia menghampiri Minjae sambil melihat ke arah kantung belanjaan di atas kasur.
"Kayaknya abis have fun lo sama Euijoo. "
"Dia yang ngajak belanja, bukan Minjae. "
Pemuda itu berdecih. Diambilnya ponsel baru Minjae dari atas meja belajar. Nicholas memencet ini itu.
"Berhubung lo udah punya hp, berarti sekarang nggak ada alasan buat lo susah dihubungi. Zenly lo gue aktifin, gue bisa tahu lo ada dimana jadi jangan coba-coba bohong sama gue. "
Ponsel itu ia letakkan kembali lalu melengos keluar dari kamar meninggalkan Minjae yang menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Brengsek. Brengseeekkk... "
****
"AAAGGHH JINSIK , ITU SATU LAGI DI SITUUU!!!"
Jinsik melihat ke arah yang ditunjuk Minjae. Seekor kecoa berjalan merayap tembok dan langsung dia semprot menggunakan cairan pembunuh serangga. Seharian ini mereka membersihkan lantai dua toko. Minjae mengepel bagian dalam sementara Jinsik membersihkan bagian balkon.
"Ih banyak banget, hiiii... " Minjae bergedik malas melihat sekumpulan mayat kecoak dalam kantung plastik.
Dia menatap puas sekeliling melihat ruangan itu sudah bersih dan layak pakai.
"Gue ambil makanan dulu di bawah, " kata Jinsik.
Minjae mengangguk. Dia baru selesai membersihkan kamar mandi. Tubuhnya yang letih kemudian terduduk di sudut ruangan. Jinsik datang tidak lama kemudian. Dia membawa dua kantung berisi makanan kesukaan Minjae. Ramyeon dan bimbap.
"Awas panas, tiupin dulu kek, maen lelepin aja lo, Kak. "
"Laher, " sahut Minjae dengan mulut penuh makanan.
Jinsik membukakan botol air mineral untuknya. Dia tidak banyak makan. Melihat Minjae menyuapkan bimbap dalam mulut saja rasanya sudah kenyang. Minjae mencoba menurunkan gumpalan makanan di tenggorokannya dengan air tapi malah tersedak.
"Ya ampun Kak, pelan-pelan dong. "
Jinsik menepuk-nepuk tengkuk Minjae. Memerhatikan dan memastikan dia baik-baik saja.
"Uhuk.. Uhukkk.. "
Mata Minjae berair. Dia membekap mulutnya agar tidak ada makanan yang berhamburan..
"Kak_" panggil Jinsik cemas.
Jinsik membantu Minjae supaya menegakkan tubuhnya. Dia ambil beberapa lembar tisu, disekanya bibir serta telapak tangan Minjae yang kotor.
"You okay? "
Minjae mengangguk.
"Minum lagi. "
Jemari Jinsik mengusap air mata di pipi Minjae. Dia tersenyum geli melihat wajah pemuda itu yang memerah sampai ke leher.
"Rehat dulu jangan makan apa-apa. "
Minjae bersandar ke tembok. Kakinya diluruskan.
"Lo tuh bener-bener, bikin orang panik. Belum makan berapa hari sih? "
"Dari kemaren. "
"Kenapa dah? "
"Nggak sempet aja, banyak kerjaan, " jawab Minjae acuh.
"Gue kok nggak percaya ya, kalau lo orang sibuk. Eh tapi kok lo bisa kenal Kak Nicho juga? Kalian deket? Kayak lo sama kak Euijoo gitu?"
"Oh dia- gimana ya gue jelasinnya? Dia anak temen nyokap gue, dan sekarang gue tinggal bareng sama dia."
"Mmm... " Jinsik ngangguk-ngangguk.
"Emang rumah lo dimana Kak?"
"Gunsan."
"Wah, jauh juga."
"Tapi udah lama Minjae nggak pulang ke sana.Lagian Minjae udah nggak punya apa-apa dan siapa-siapa. Rumah Minjae dijual sama bank sebagai harta sitaan. Minjae cuma punya toko ini aja deh."
Jinsik manggut-manggut, menatap Minjae serius sambil sesekali menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Terus lo udah kepikiran mau jualan apa di sini?"
Minjae menggeleng lemah. "Cape Minjae ngebrowsing, tetep aja nggak nemu ide. "
"Kalau kata gue sih mending lo sewain tempatnya, Kak. Nyokap gue kebetulan lagi butuh studio buat fotoin model-model katalog butik dia. Selama ini kita cuma pake ruang kosong atau basement yang nggak layak gitu deh. Kadang ambil foto juga di ruang kerjanya mama. Gue sempet cerita sih soal toko ini, cuma nggak yakin bakal disewain. Eh, karena kebetulan lo yang punya ya udah. Terus lo juga nggak usah pusing ngurusnya. Lo tinggal nerima uang sewa aja kan per bulan atau pertahun."
Minjae kelihatan berpikir. Ide bagus juga. Lagipula sekarang dia memang belum punya inspirasi buat dagang apa.
"Nanti trial tiga bulan dulu aja. Kalau mama cocok, dan lo setuju, tinggal diperpanjang kontraknya. "
"Hmm.. boleh deh. Cuma Minjae nggak tahu harga pasaran sewa tempat di sini."
"Nanti gue tanya-tanya, lo nggak perlu kasih tarif langsung tinggi. Harga sedang aja dulu, kalau prospeknya bagus baru deh tiap tahun lo naekin sedikit demi sedikit."
"Mama kamu udah liat keadaan di sini?"
"Belum, gue nanti ijin ambil foto ya?"
Minjae mengangguk.
"Lanjut makan lagi nggak?"
"Nanti aja, tenggorokan Minjae masih sakit."
Jinsik membuka tutup botol mineral. "Minum nih."
Sambil minum, Minjae berpikir. Melihat ke dinding polos di hadapan mereka.
"Ini kalau didekor dulu pasti bagus ya nggak, sih?"
"Bagus kok, lo beli aja cat atau wallpaper. Pake warna-warna cerah terus dihias ornamen, lukisan atau apapun."
"Nanti deh, Minjae kumpulin dulu uangnya."
Jinsik tersenyum. Dia menyeka dagu Minjae yang basah oleh tetesan air.
"Rambut lo banyak sarang laba-labanya, Kak." kekeh Jinsik seraya menyingkirkan kotoran dari helai rambut Minjae.
"Iyakah? Rambut kamu juga kali."
Minjae ikut membersihkan rambut dan baju Jinsik. Tiba-tiba Jinsik meraih kedua pergelangan tangannya.
"Udah sih Kak, biarin. "
Minjae sejurus kemudian mencondongkan tubuh, mencapit remah nasi di bibir bawah Jinsik dengan bibirnya.
"Kak-"
"Makan kamu belepotan banget. Mau Minjae bersihin tangannya malah kamu tahan kayak gini," Minjae memberengut. Dia berlagak polos penuh penyesalan padahal di hadapannya Jinsik kebat kebit tidak karuan.
"Harus pake cara gitu?"
"Kamu keberatan? Sorry deh."
Mana ada Jinsik keberatan. Dari awal dia melihat Minjae dari dalam butik mamanya, dia sudah sangat tertarik pada pemuda itu. Lalu hari ini kalau bibir mereka tetiba saja bersentuhan entah disengaja atau tidak, itu jelas sebuah keberuntungan yang tidak pernah terbayangkan oleh Jinsik sebelumnya. Jadilah Jinsik mengambil alih keadaan secepat mungkin sebelum Minjae menyadari apa kesalahannya. Dia menarik tengkuk pemuda itu dan melumat bibir Minjae layaknya amatiran. Agak tergesa, kasar dan acak.
"Sakit Jinsik," lirih Minjae waktu Jinsik nggak sengaja gigit bibir bawah Minjae keras.
"Maaf Kak," engah Jinsik. Celananya tiba-tiba sesak. Dia tidak tahan untuk tidak menjamah tubuh Minjae. Diangkat oleh Jinsik dengan mudah tubuh si mungil sampai terduduk di atas pangkuan.
Minjae?
Ciuman memang hal yang asing bagi Minjae. Di kampungnya dulu hampir tidak ada satu pun temannya yang menarik perhatian. Di Seoul ini dia bahkan satu rumah dengan Nicholas. Pemuda yang saat marah atau bersikap menyebalkan saja masih terlihat tampan. Belum lagi senyuman Euijoo yang kadang mengusik tidur nyenyak Minjae dengan mimpi-mimpi erotis bersamanya. Lalu sekarang Jinsik hadir dan lebih nyata. Pemuda itu aslinya pasti lebih polos dari Minjae. Dia adalah anak mama yang baru pertama kali mengalami ketertarikan pada seorang omega seperti Minjae. Ini jelas di luar prediksi. Bahwa mereka bisa saling peluk dan sentuh dengan leluasa tapi keduanya seperti dihinggapi ragu dan ketakutan.
Minjae menahan kepala Jinsik. Tidak butuh waktu lama mengajarkan anak itu cara berciuman yang benar.
"Shhttt..." Minjae menjauhkan tubuh. "Ponsel Minjae bunyi," beritahunya.
Jinsik menatap Minjae putus asa. Bibir pemuda itu masih terbuka tidak siap melepas pagutan Minjae yang lembut. Minjae terperanjat waktu lihat nama Nicholas di layar. Dia melompat turun dari pangkuan Jinsik.
"Kak_"
"Keluar lo."
"Minjae lagi- makan ..."
"Lo turun sendiri atau gue seret? Jam berapa ini?" suara Nicholas meninggi.
Minjae melihat jam tangannya dan memejam.
"Ya udah tunggu dulu."
"Cepet."
Minjae buru-buru masukin wadah makanan ke dalam kantung.
"Kenapa, Kak?" Jinsik ikutan bingung.
"Kak Nicho di bawah."
"Lo minta jemput?"
Minjae menggeleng. Dia sendiri tidak tahu kenapa Nicholas jadi suka datang ke tokonya setiap habis pulang kuliah. Mereka berdua kemudian turun dan mendapati Nicholas yang sedang duduk sambil memainkan ponsel di depan meja konter. Pemuda itu menatap Jinsik dan Minjae bergantian.
"Masih bisa makan lo? Jam segini kita belum di rumah dan lo belum masak apapun," ketus Nicholas.
"Lo nggak bisa beli makan sendiri, kah sampe harus dia yang buatin?" sembur Jinsik kesal. Kedatangan orang itu benar-benar mengacau euforia dalam dirinya.
"Bukan urusan lo. Dia lebih tahu kewajiban dia sama gue, " balas Nicholas.
"Hanya karena dia numpang tidur di rumah lo, bukan berarti lo bisa seenaknya aja sama dia. Gue rasa dia nggak diem di sana juga lo masih bisa hidup."
Nicholas sudah maju selangkah tapi Minjae segera menahan tubuhnya.
"Udah Kak, ayo pulang aja. Tunggu dulu di luar, Minjae mau kunci pintu belakang."
Nicholas mendengkus kesal. Dia berjalan keluar toko, seperti biasa menghisap rokoknya sambil menunggu.
"Besok kita libur dulu ya? Minjae mau cari-cari ide buat cat sama dekorasi."
Jinsik tersenyum dan mengangguk. "Nanti gue kabarin kalau mama deal sama tempat ini."
"Makasih ya, Jinsik."
Mereka berdua ikut keluar toko.
"Kamu mau balik ke butik?"
"Iya, Mama sendirian kayaknya. Papa belum jemput."
"Ya udah, Minjae duluan kalau gitu."
"Take care, Kak," Jinsik mengacak lembut rambut Minjae. Mengabaikan delikan tajam Nicholas di samping mereka.
"Gue kelaparan terus lo enak aja pacaran di sini," ketus Nicholas.
"Minjae nggak pacaran deh, Kak Nicho kenapa sih sewot amat? Terus sekarang gimana? Mau makan dimana?"
"Pake nanya lagi, di rumah lah. Lo yang masak."
"Kenapa nggak beli makanan di sini aja sih, Kak."
"Nggak mau."
"Ya tapi kenapa?"
Nicholas mendekatkan jarak mereka, Minjae berusaha untuk tidak terlihat takut atau kalah kali ini.
"Karena bakalan enak di lo. Nanti lo kebiasaan dan lupa kewajiban utama lo apa. Lo udah lupa kah, omongan nyokap gue? Selama dia pergi, lo yang ngurus gue. Ngerti, lo?"
Minjae membuang muka ketika asap rokok ditiupkan ke arahnya. Mereka lalu mulai berjalan kaki lagi seperti biasa sampai ke halte bis.
"Kak, itu film apa?" tunjuk Minjae ke sebuah reklame yang dipasang di depan plaza.
"Nggak tahu juga, romance kayaknya."
"Minjae mau nonton, itu aktor yang kemaren di plaza deh. Minjae liat waktu belanja sama Kak Euijoo. Cakep banget tahu, Kak. Lebih cakep dari fotonya."
Minjae mencondongkan tubuh dan memicing. "Lee-Soo -Hyuk. Nah bener kan, namanya sama."
"Ya lo nonton aja sih."
"Minjae kan nggak tahu dimana nontonnya."
Nicholas menggeser tubuh Minjae agak ke samping. "Lo liat gedung yang ada tulisan CGV? Nah lo nonton di situ tuh."
"Kak Nicho temenin ya? Besok gimana?"
"Kok gue?"
"Nggak bisa ya?" Minjae mengerucutkan bibir. "Ya udah sama Jinsik aja deh."
"Lo nonton sendiri emang kenapa pake kudu ngajak orang?"
"Takut lah Kak, masa nonton sendiri. Kalau nggak mau nggak apa-apa juga sih."
Sebuah bis akhirnya datang ke hadapan mereka.
"Buruan naek deh." Nicholas mendorong tubuh Minjae.
Mereka duduk di belakang seperti biasa. Minjae sekarang tidak akan terkantuk-kantuk lagi seperti waktu itu karena dia bisa bermain game di hpnya.
"Gue temenin lo nonton tapi dengan satu syarat," kata Nicholas tiba-tiba.
Minjae lalu menoleh. "Apaan?"
"Lo nggak boleh ke toko selama seminggu."
****
Karena tidak diperbolehkan datang ke toko, dan demi bisa menonton film aktor yang disukainya, Minjae pun kembali diam di rumah seharian. Nicholas bilang mereka akan pergi menonton lusa karena dia masih banyak tugas di kampus. Minjae harus lebih bersabar untuk itu. Lagipula dia juga masih bingung mencari-cari ide dekorasi dinding dan warna cat yang bagus jadilah dia lebih sering menekuri ponsel sambil menonton tv di ruang tengah.
Minjae lama-lama bosan. Dia menatap ke arah taman belakang. Tiba-tiba tercetus ide menyiram pekarangan yang luas itu dengan menyalakan alat siram otomatis. Cuaca tidak sedingin kemarin. Minjae hanya mengenakan kaus putih polos dan celana pendek andalannya. Dia berlari-lari mengitari pekarangan, membiarkan tubuhnya basah. Minjae ingat terakhir kali dia berlari di bawah guyuran hujan. Waktu itu dia dikejar-kejar oleh para rentenir yang menagih hutang ibunya. Minjae yang sempat menjadi atlit altetik pun berlari seperti cheetah. Dengan kecepatan tinggi dia kabur dari pria-pria bengis yang mengacungkan pisau ke arahnya.
Tubuh si mungil pun berbaring kelelahan. Kedua tangan dan kakinya bergerak seperti wiper mobil. Menyapu-nyapu air di permukaan rumput sambil menengadah ke langit yang cerah. Warna latar biru itu diselingi arakan awan putih yang berbentuk kapas.
Ma, apa langit di tempat mama tinggal juga seindah ini? Apa mama di sana bisa makan yang enak-enak? Mama nggak berhutang sama siapapun lagi kan, Ma? Mama nggak dikejar-kejar orang bengis lagi, kan? Minjae di sini bisa tidur enak, makan makanan enak, ya emang sih cape karena harus kerjain pekerjaan rumah dan ngurus keperluan Kak Nicho. Tapi itu semua jauh lebih baik kan, Ma?
"Kim Minjae!"
Minjae terperanjat. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Sosok Euijoo terlihat berdiri di teras.
"Ngapain lo?"
Minjae lantas terduduk, dia bangkit dan berjalan menghampiri pemuda yang tengah memerhatikannya dengan tatapan kaget itu.
"Astaga, Minjae."
"Enak Kak, maen air."
"Enak gimana maksudnya? Nanti lo masuk angin, Jae. Udah buruan masuk."
Pemuda itu mengangguk. Dia mengikuti Euijoo kembali masuk dalam rumah.
"Kak Euijoo mau minum apa, Minjae buatin."
"Lo ganti baju dulu."
"Gampang itu sih."
Bukannya pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian, Minjae malah melengos menuju dapur. Dia membuka kulkas, mengeluarkan sebotol jus lemon lalu dituangkannya dalam gelas. Karena Euijoo termasuk sering datang ke rumah, Minjae lama-lama hafal juga apa kesukaan pemuda itu.
"Lo ngapain coba barusan?"
"Gabut, nggak ada kerjaan."
"Tumben banget, biasanya juga diem di toko."
Minjae tidak menjawab. Kalau dia bilang alasannya karena dilarang Nicholas, Euijoo nanti makin senewen, makin banyak bertanya.
"Nih." Minjae meletakkan gelas itu di meja makan. "Kak Euijoo ngapain? ada tugas dari mamanya kak Nicho lagi?"
"Enggak, gue iseng aja pengen ketemu lo."
"Oh? Kayaknya baru tadi malem deh kita teleponan, Kak Euijoo udah kangen lagi ya, sama Minjae?" kekeh Minjae. Dia meminum jus lemonnya lalu meringis. "Yaiyyy, asem amat hiii."
"Buruan ganti baju lo , Jae."
Euijoo menatap tubuh Minjae yang tercetak jelas di balik kaus basah itu dari tepian gelas saat ia tengah minum.
"Iya Kak. Kak Euijoo tunggu di sini, ya?"
Baru saja Minjae hendak melewati tubuh Euijoo, pemuda itu malah menarik lengannya.
"Lo juga bertingkah kayak gini kalau ada Nicho di rumah?"
"Hah?" mata Minjae membola. "Enggak kok, Kak. Minjae baru kepikiran idenya tadi."
Euijoo tidak menyahut. Tangan pemuda itu menarik tubuh Minjae dan memojokkannya ke depan lemari es.
"Kak_" Minjae menatap waspada. Dia tidak sanggup menghindar dari sorot mata Euijoo yang lebih dalam dari biasanya.
"Lo bawa jimat keberuntungan lo itu?"
Minjae menggeleng. "Ada di kamar Kak."
"Kalau gitu kita lihat bakal seberuntung apa lo hari ini."
"Hah? Kak?"
Euijoo merunduk. Mengecup leher Minjae yang basah. Membuat Minjae berpegangan erat pada tepi baju Euijoo.
"Nghh,... Kak jangan, nanti Kak Nicho pulang."
"Dia lagi sama Karina, dia nggak akan pulang cepet, " bisik Euijoo.
Karina siapa sih? Diam-diam Minjae penasaran, tapi cubitan lembut jari Euijoo di putingnya langsung mendistraksi pemuda itu. Dia tersentak pelan. Euijoo meraih rahang Minjae, memaksanya menatap balik. Mata booba Minjae yang berbinar sekaligus penuh kewaspadaan itu membuat Euijoo semakin terangsang. Dia lalu memberanikan diri bertindak lebih jauh. Mencium bibir Minjae yang sedikit terbuka karena keterkejutan atas perlakuan Euijoo.
"Manis, Jae. " Euijoo menjilat bibir Minjae. "Jangan berontak ya? Gue bakal enakin lo. "
"Ngh? Gimana maksudnya, Kak? "
Euijoo tersenyum. Dia mendekap tubuh mungil Minjae. Anak itu sampai harus mengangkat tumitnya lebih tinggi saat mereka kembali berciuman. Minjae meremas rambut belakang Euijoo.
"Aangghhh.... "
"Jangan keras-keras desahnya, sayang. Gue nggak kuat. "
"Minjae basah, Kak. "
"Iya gue tau. Buka bajunya. "
Kaus basah itu Euijoo lepaskan dari tubuh Minjae. Dia sempat melirik ke arah jam dinding. Masih pukul dua siang. Mungkin Euijoo sudah tidak ada saat Nicholas pulang nanti. Atau dia tidak akan pulang?
Euijoo membalikkan tubuh Minjae. Pemuda itu bersandar pada pintu lemari es sementara Euijoo menghimpitnya seraya menurunkan celana pendek Minjae. Dia remas bongkah pantat Minjae yang sintal dan menggemaskan itu.
"Mnhh Kak... "
Hampir tanpa perlawanan, Minjae menyerah saat jari Euijoo berusaha masuk dalam analnya. Dia memelenting, tubuhnya bergelinjang samar.
"Enak, Jae?? Dimana pengen gue sentuh? Ini? "
"Ahh- Kak... "
Minjae berpegangan erat pada lengan Euijoo. Tanpa sadar pantatnya terangkat lebih tinggi.
"Kakkhh... Sakith ahhh... "
Ringisan ribut keluar dari bibir Minjae. Pemuda itu menahan nafas ketika dia orgasme tapi tidak ada sperma yang keluar.
"Fuck Jae, gue nggak tahan. "
Minjae kemudian di bawa ke meja makan. Euijoo mendudukkannya di sana sementara dia membuka celana.
"Kak, " Minjae melihat cemas ke arah ruang tengah.
Euijoo meraih wajah pemuda itu dan mencium bibirnya lagi sambil mulai memasukkan penis dalam lubang Minjae. Si omega langsung melingkarkan lengan di pundak Euijoo.
"Ahh Minjae, shit-" Euijoo memejam keenakan. Dia gigit bibir Minjae gemas. "Lo yakin nggak mau pake jimat lo sekarang? "
"E-emang bisa dipake buat apa? "
Euijoo berusaha untuk tidak tertawa. Dia merengkuh tubuh Minjae dan mulai memajumundurkan penisnya.
"Udah bener nggak usah dipake sih, lebih enak " bisik Euijoo.
Apa deh. Minjae tidak mengerti. Tapi kebingungannya langsung tertutupi oleh rasa nikmat yang mulai melanda saat genjotan penis Euijoo semakin cepat dan dalam.
"Ahh- ahh... Kakkk.... "
"Lo mau cumming? "
Euijoo mengocok penis Minjae. Anak itu sampai menggeleng panik. Seluruh tubuhnya merinding dan gemetaran.
"Sempit banget sayang, Nicho nggak pernah make lo, kah? "
Minjae tidak paham maksud Euijoo. Dia hanya diam, membenamkan wajahnya ke bahu laki-laki itu. Ini tidak adil. Hanya Minjae yang telanjang sementara Euijoo masih berpakaian lengkap. Dia malu bukan main.
"Desah sayang, tapi pelan-pelan aja. "
Minjae menggeleng. Euijoo menjauhkan tubuh mungil itu.
"Kenapa, Sweet? "
"Malu Kak. "
"Kok malu? Justru dengerin desahan lo bikin gue makin on. "
"Ngh_"
Minjae terkejut saat Euijoo tiba-tiba mendorong penisnya dengan sekali hentak.
"Kakh_" Minjae sampai memukul bahu Euijoo saking kesal.
"Harus gue apain biar desah? Hm? "
Euijoo lalu merunduk. Dia menciumi leher Minjae, menjilat dada dan putingnya yang berwarna cokelat muda. Sekarang kedua area sensitif itu sedang ia jilat dan hisapi lembut. Minjae menengadah. Meremas-remas rambut Euijoo.
"Anngghhh ... Kak udaaahh... Nggghhh Minjae ... Ahhhh.. Mau aahhh... "
"Cumming yang banyak sayang, enak? "
Euijoo menciumi bibir Minjae sebelum dia tarik pemuda itu hingga turun dari meja dan berdiri membelakanginya. Dia tarik panggul Minjae dan kembali menggenjot penisnya.
"Ahh.... Aahhh Kak Euijoo ... "
Minjae bertumpu ke atas meja, menahan guncangan tubuhnya sendiri atas sodokan penis Euijoo.
"Shit, shit. "
Euijoo mengumpat saat ia mencapai klimaks. Penisnya didorong sampai ujung. Sampai ia bisa merasakan bagian terhangat dari tubuh Minjae itu. Sementara Minjae terkulai lemas. Dia bisa ambruk kapan saja kalau Euijoo tidak menahan tubuhnya.
Pelan-pelan penispun tercabut. Lelehan sperma itu turun mengenai paha Minjae.
"Lo bersih-bersih dulu gih, gue beresin di sini. "
Sebelum kesadarannya kembali secara utuh dan merasa malu karena telanjang begitu, Minjae buru-buru lari menuju kamar mandi. Di sana dia sibuk membersihkan badan sambil sesekali meringis kesakitan.
***
"Jadi nggak sih, Kak, nontonnya? " tanya Minjae sambil terus mengekor di belakang tubuh Nicholas. Sementara pemuda itu dengan santai keluar dari kamar. Di tangannya dia membawa gelas dan mangkuk kotor lalu disimpan dalam basin cuci piring.
"Kak_"
"Astaga, Jae. " Nicholas berbalik. Minjae hampir saja menabrak pemuda itu.
"Jadi nggak? Kalau Kak Nicho nggak mau ya udah Minjae berangkat sendiri. Dari kemaren ditanyain susah banget. Bodo amat lah. "
Minjae hendak melengos saat Nicholas menahan tubuh mungilnya.
"Gue tanya sama lo, gue bilangnya kapan kita bisa nonton, hah? "
"Lusa."
"Ya udah. "
"Minjae maunya sekarang. Nanti filmnya keburu nggak ada. Jinsik juga bisa nemenin kok."
Minjae menepis lengan Nicholas.
"Astaga lo sengaja banget ya mancing marahnya gue? "
"Minjae nggak mancing-mancing, Kak Nicho aja yang emosian. Padahal hari ini Kak Nicho libur, kenapa nunggu lusa, coba? Minjae juga udah chat mama. Diijinin kok. Kalau Kak Nicho nggak mau, ya udah. "
Nicholas kaget juga. Dia pikir mustahil buat Minjae ngelawan sama omongannya seperti barusan. Melihat hal itu akhirnya Nicholas pun menghela nafas.
"Ya udah lo siap-siap. Lima menit nggak beres, lo yang gue tinggal. "
Minjae bingung dulu. Malah Nicholas yang duluan berlalu dari hadapannya. Sedetik kemudian di sadar maksud perkataan pemuda itu dan berlari menuju kamar untuk mengganti pakaian.
Beberapa menit berikutnya mereka sudah berada di dalam mobil. Suasana kota Seoul di malam hari selalu memberi letupan kegembiraan tersendiri bagi Minjae. Berbeda dengan tempat tinggalnya dulu, di sini Minjae benar-benar merasa hidup, hangat, dan ingin mencoba banyak hal baru.
"Rame banget deh, "gumam Minjae yang cukup kaget dengan suasana area CGV itu.
Nicholas ikut melihat sekeliling. Dia lalu mengamit lengan Minjae agar tidak lepas dari pengawasannya.
"Kak_" Minjae menoleh bingung.
"Beli tiket dulu. "
Pemuda itu mengangguk. Sosok mungilnya tenggelam di antara sekelompok pria bertubuh tinggi besar yang memakai jaket baseball sebuah universitas. Nicholas merangkul tubuh Minjae agar tidak tersenggol oleh salah satu dari mereka . Setelah mendapatkan tiket mereka masih punya waktu untuk menunggu hingga pintu teater dibuka.
"Lo mau popcorn? " tanya Nicholas.
Minjae langsung mengangguk antusias. Mereka lalu berjalan menuju area penjualan snack and beverage.
"Kak Nicho, enak yang mana, Kak? "
"Caramel enak kalau lo suka manis. Chesee salt atau ori juga enak kok. "
"Mau semuanya boleh, ya? " Minjae meremat jaket Nicholas
"Ya udah yang medium aja berarti, minumnya apaan? "
"Itu tuh yang ungu, " tunjuk Minjae pada layar.
Nicholas mengangguk dan memesankan semuanya. Bahkan sebelum masuk dalam teater, Minjae sudah asyik memakan sebagian popcorn itu. Nicholas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Ternyata suasana di dalam teater vip itu lebih membuat Minjae takjub. Kursinya tidak seperti bioskop kebanyakan. Seperti sofa santai dan terdiri dari dua kursi dalam satu kelompok. Mereka menempati area tengah. Minjae baru berhenti mengunyah popcornnya saat film mulai berlangsung. Sementara Minjae fokus pada jalan cerita kisah romantis yang menyedihkan itu, Nicholas lebih sering memainkan ponsel. Dia tidak terlalu senang menonton apalagi tipe-tipe film roman picisan. Bahkan Nicholas sempat tertidur selama sepuluh menit sebelum dibangunkan oleh rematan jemari Minjae di lengannya saat si pemain melakukan adegan bertengkar diiringi drama bunuh diri.
"Kasian banget, kok endingnya sedih gitu? " Minjae cemberut saat mereka keluar dari dalam teater.
"Emang apa yang lo harapin?"
"Ya paling enggak jangan bunuh diri lah, Kak. Itu si SooEun nya berhak buat memilih hidup yang lebih baik daripada ngorbanin dirinya. Terus kan cowoknya_"
"Jae, lo bisa pulang sendiri?"
"Hah? " Minjae langsung menatap Nicholas kaget. Dia ternyata sedang fokus menatap ponsel dan terlihat panik.
"Ada apaan, Kak? "
"Karin ngechat, tapi_"
Nicholas terlihat sibuk menelepon berulang kali. Minjae mengamatinya jengah.
"Ini malah nggak aktif, " kata pemuda itu. "Jae, lo pulang sendiri deh ya."
Nicholas mengeluarkan dompet dan memberi beberapa lembar uang pada Minjae.
"Lo naek taksi, di depan banyak. Nggak usah nungguin gue, lo tidur aja duluan."
"Kak_"
Nicholas menepuk pipi Minjae pelan lalu menghilang di antara kerumunan. Minjae mengamati uang di tangannya. Bahu pemuda itu mencelos. Dengan langkah gontai dia ikut keluar dari area CGv bersama pengunjung lain.
Ketika sedang bingung karena setiap taksi yang lewat sudah diberhentikan lebih cepat oleh orang lain, sebuah tepukan mendarat di pundak anak itu. Dia sontak berbalik kaget. Dilihatnya Jinsik menyeringai lalu ekspresinya berubah penasaran.
"Kak, ngapain lo? Abis nonton? "
"Eh iya nih, kamu juga? "
Jinsik mengangguk. "Lo sendirian? "
"Tadi sama Kak Nicho tapi dia duluan di telepon temennya. "
"Terus sekarang mau balik? "
"Iya, bantuin nyegat taksi dong, Sik. "
"Lo pulang sama gue aja, tapi pamit mama dulu."
"Hah? Dimana mama kamu?"
Jinsik menunjuk ke arah belakang mereka, dimana sekumpulan orang sedang berkumpul dekat mobil yang berjejer.
Dengan ragu, Minjae mengikuti Jinsik menghampiri mereka. Betapa terkejutnya dia ketika di antara orang yang berkumpul itu Minjae melihat si aktor dalam film yang ia tonton tadi.
Weh, tuh kan aktor yang filmnya gue tonton tadi.
Minjae makin melongo waktu Jinsik mengenalkan pria itu sebagai papanya.
"Le- Lee Soo Hyuk papa kamu? " bisik Minjae sambil merapatkan tubuh ke Jinsik. Pemuda itu cuma tersenyum dan mengangguk.
"Mama udah liat foto-foto toko kamu yang diambil Jinsik, " kata mama Jinsik. Seorang omega berparas menawan yang tidak pernah Minjae lihat walaupu toko mereka berseberangan.
"Oh iya Mama, masih berantakan sih itu, " angguk Minjae canggung.
"Nanti Jinsik bisa bantuin kan rapih-rapih. Mama tertarik buat sewa ya? Boleh, kan? Kamu udah pikirin harganya? "
"Belum sih, Ma. Masih bingung. "
"Nanti Mama bantu cari list harga sewa terbaru, tapi kalau ke Mama jangan mahal-mahal, ya? " lelaki omega itu mengedipkan sebelah matanya.
Minjae hanya menyeringai.
"Kamu nggak akan ikut dinner? " tanya papa Jinsik.
Anaknya menoleh pada Minjae yang menggeleng cepat.
"Mau langsung anter dia pulang, Pa. Takut kemaleman. "
"Oke deh, Minjae duluan ya? "
Minjae saking terpukau sampai tidak membalas lambaian tangan si aktor. Apalagi mereka berada dalam jarak yang begitu dekat. Jinsik menarik tubuh Minjae agar tidak terlalu menempel dengan posisi ayahnya berdiri.
"Ayo Kak, naek mobil gue aja. "
"Oh- iya. Eh, Minjae nggak difoto dulu sama papa kamu ini? "
"Halah, ngapain sih? "
"Tapi_"
"Nanti aja gue ajak lo ke rumah kalau mau selfie. "
Jinsik merangkul tubuh Minjae masuk ke dalam mobilnya. Mereka lalu pergi dari kawasan plaza yang masih ramai.
"Rumah Kak Nicho dimana emang, Jae? "
"Minjae nggak mau pulang ke rumah. Anter ke toko aja ya? Minjae mau bobo di sana. "
"Loh kok gitu? "
"Lagi kesel sama Kak Nicho. Kayaknya dia juga nggak akan pulang. "
"Coba telepon deh. "
"Ngapain, males. Udah buruan ke toko aja. "
"Kak, di toko belum ada perabotan kan? Lo mau tidur dimana? "
"Mana ajalah asal nggak di rumah. "
Minjae merogoh uang pemberian Nicholas dari saku jaket. "Ini cukup nggak buat nyewa kamar hotel semalem? " tanyanya pada Jinsik.
Pemuda itu melirik sekilas lalu terkekeh. "Nggak lah Kak, kita ke butik aja deh ya? "
"Hah? "
Jinsik membelokkan mobilnya. Mereka masuk pelataran butik tidak lama kemudian. Jinsik mengajak Minjae masuk lewat gudang belakang. Dia menyalakan lampu lorong yang menyinari sampai ke tangga. Keduanya lalu naik menuju lantai tiga. Di ruangan kerja mama Jinsik terdapat satu set sofa lengkap dengan tumpukan cushion lembut dan wangi. Minjae langsung merasa nyaman saat berada di sana.
"Mama kadang lembur kalau lagi stok opname, makanya sedia selimut sama bantal segala nih di lemari, " terang Jinsik. Dia mengeluarkan selimut itu dan diletakkan di salah satu sofa.
"Minjae boleh nginep di sini malam ini? "
"Boleh Kak, tapi Kak Nicholas gimana? Ntar lo dicariin. "
Minjae bersandar ke sofa. Dia mengeluarkan ponsel dan melihat tidak ada notifikasi apapun di layar. Dilemparnya hp itu ke atas meja kaca.
"Nggak akan, emang peduli apa dia sampe nyariin Minjae segala. Di rumah juga Minjae cuma dijadiin babu. "
Minjae melepas sepatu. Kedua kakinya sekarang naik ke atas sofa. Dia mendekati Jinsik yang sekarang sedang memainkan ponsel mengabari mamanya soal Minjae di butik.
"Kata mama hati-hati aja terus jangan sentuh barang-barang mama, " beritahu Jinsik seraya memperlihatkan chat di ponselnya pada Minjae.
"Kamu punya game seru nggak? Yang Minjae gamenya ngebosenin semua. "
"Gue jarang maen game Kak, gue lebih sering ngegambar itupun di iPad sih."
Minjae bersandar pada dada Jinsik. Dia ikut memerhatikan setiap foto hasil gambar yang digeser satu persatu itu.
"Ini bagus, " tunjuk Minjae pada sebuah gambar awan dan matahari.
"Mama yang ngajarin. "
"Mama Jo juga pinter ngegambar? "
"Bakat ngegambar gue dari dia kayaknya. "
Mereka sama-sama tersenyum. Baru kali ini Minjae merasakan bagaimana malam hari dengan ditemani seseorang. Tangan Jinsik merangkul bahu Minjae, dia biarkan Minjae memainkan ponselnya sementara pemuda itu menciumi pipi dan leher Minjae yang meringis kegelian.
"Ini liburan kemana? " tanya Minjae.
Jinsik melirik sekilas. "Swiss."
Minjae bergerak samar waktu tangan Jinsik merayap turun, mengusap permukaan celana pemuda itu.
"Bagus-bagus banget tempatnya. Wah ini papa kamu? Beneran kayak model kalau difoto. "
"Dulu emang model sih. "
"Gitu ya, pantesan.. Nghh Jinsik.. "
Minjae terhenyak saat penisnya diremas. Ponsel di tangan Minjae hampir saja terlepas saat Jinsik meraih wajah dan mengulang ciuman waktu itu.
"Masih enak Kak, kayak kemarin... " bisiknya sambil kurang ajar menggerayangi tubuh Minjae.
Jinsik mendekap, menarik si omega ke atas pangkuan. Tubuh mungil itu mulai menggelinjang seiring hantaran hasratnya di seluruh saraf sensitif Minjae. Jinsik melepas jaket Minjae, dia lempar ke lantai begitu saja. Walaupun tubuh si omega masih terbalut kaos, namun lekuk pinggang, tulang selangka dan lehernya yang terlihat jelas membuat Jinsik makin terangsang. Ditambah Minjae tidak sedikit pun menolak. Sambil teringat seks pertamanya dengan Euijoo sekarang dia mulai ketagihan.
"Hm- mmnghhh.. " tubuh Minjae perlahan condong saat Jinsik meremas dadanya dari balik baju yang ia kenakan.
Jinsik memperlakukannya lebih lembut, tidak tergesa. Mungkin karena situasi yang mendukung. Minjae juga tidak sadar kalau ternyata tubuhnya seringkali memacu rangsangan lain pada hormonal para alpha itu. Mereka berusaha sebaik mungkin menahan diri karena perilaku polos Minjae.
"Jinsik_"
"Hmm? "
"Baju kamu Minjae buka, ya? "
Jinsik mengangkat kedua tangan sambil tersenyum. "Sure, Kak. "
Sambil menggigit bibir bawahnya , Minjae melepas jaket Jinsik dan menatapi badan atletis pemuda itu.
"Kenapa, Kak? " tanya Jinsik.
Minjae menggeleng pelan. Mata boobanya berbinar tapi dia bahkan tidak sanggup tersenyum. Jinsik yang menggantikan senyum itu. Dia menarik kaus Minjae. Bibirnya langsung memburu leher dan dada Minjae.
"Aamnhhh... "
Minjae menengadah. Tangannya berpegangan pada bahu Jinsik, meremat erat.
"Hmmm.. Enak Kak, lo wangi banget. Feromon lo nggak usah dikeluarin, ya? "
Si omega mengangguk pasrah. Dia jambak lembut rambut belakang Jinsik.
"Haaahhh.... Ngghh Jinsik... "
"Jangan ditahan Kak, nggak bakal ada yang denger. "
Jinsik meremas bongkah pantat Minjae. Tubuh mungil itu menggelinjang. Dia kembali di dudukkan di sofa. Jinsik turun ke lantai. Sambil berlutut ia menarik lepas celana Minjae. Keduanya saling mengunci pandangan. Minjae melihat lurus ke arah kepala Jinsik yang sekarang berada di antara kedua pahanya.
Damn. What a view.
Jinsik meraih satu kaki Minjae. Dia kecupi lembut betis dan dijilatnya sepanjang paha pemuda itu seperti maniak. Sementara Minjae hanya bisa menahan nafas.
"Udah tegang banget ya, Kak? " tanya Jinsik sambil mengecup penis Minjae.
"Awhh... " si omega berjengit. Kedua tangannya terkepal menahan hasrat yang sudah bergerumul di bawah perut.
Jinsik menekuk dan menahan kaki Minjae. Dia mulai mengulum penis pemuda itu. Suara lenguhan langsung terdengar. Kali ini sanggup memancing semua adrenalin dalam diri Jinsik. Hisapan mulutnya atas penis si omega dibuat cepat dan erat. Minjae sudah menggelinjang tidak karuan. Tubuh si mungil sampai terbaring miring di sofa.
"Ahhh... Ahhhh Jinsikkkhhh... "
Lidah Jinsik makin liar bergerak. Menyapu sampai ke twinsball Minjae bahkan analnya yang berkedut.
Minjae hanya bisa meremas cushion di samping kepalanya. Dia membuka kedua kaki lebih lebar, memajukan panggul, menahan erangan saat tiba-tiba saja dia orgasme tanpa bisa ditahan.
Jinsik lalu berdiri dan menurunkan celana. Dia kembali duduk sambil membawa Minjae ke atas pangkuannya.
"Pelan-pelan, Jinsik_ "
"Rileks Kak, lemesin aja. "
Minjae merunduk saat penis Jinsik perlahan masuk. Dia tahan nafas sebisa mungkin karena rasa sakit dan linu yang membuat tubuh mungilnya menegang.
"Fuck, sempit banget, Kak. "
"Angggh... Udah Jinsik... Aahhhh.... Pleasehhh sakit.. "
"Ini udah masuk semua, gerak lo nya. "
Minjae menggeleng. Terpaksa Jinsik yang mengangkat panggulnya dan membuat pemuda itu bergerak naik turun.
"Mnghhh.. "
"Mulai kerasa enak? Hmm? " seringai Jinsik sambil mencium bibir Minjae yang terbuka.
"Nghh sakitthh... "
"Jangan tegang makanya, Kak. Sini peluk gue. "
Jinsik mengarahkan kedua lengan Minjae sampai terlingkar di pundak. Dia rengkuh punggungnya agar kedua tubuh mereka semakin rapat. Jinsik beralih pada leher Minjae.
"Jangan, please_" pinta Minjae panik sewaktu kulit lehernya sudah hampir digigiti. "Minjae nggak mau Kak Nicho liat. "
"Masih aja lo mikirin dia, Kak. "
Sedikit kesal Jinsik menidurkan Minjae di sofa. Genjotan penis itu dia buat cepat dan dalam. Padahal Minjae sudah melenguh dan mengaduh tapi Jinsik tidak mau tahu. Anal Minjae menghisap begitu kuat, membuat seluruh urat penisnya tegang dan berkedut.
No condom. Bahkan dengan Euijoo pun begitu.
Minjae tidak pernah tahu apa fungsi jimat keberuntungannya saat ini. Sampai dia terlentang pasrah di bawah tubuh Jinsik. Membuka kakinya begitu lebar agar Jinsik lebih leluasa menggenjot anal si omega.
Minjae mendekap kepala pemuda itu saat ia orgasme. Lubang Minjae langsung terasa hangat oleh cairan sperma yang belumeran sampai ke luar. Jinsik berbaring belakang tubuh Minjae. Masih dengan penis tertancap di bawah sana, perlahan dorongan itu kembali dia lakukan.
"Jinsikh_"
Si alpha meraih wajah Minjae, memagut bibirnya seperti orang kehausan. Hanya saliva yang saling bertukar, menetes ke dagu masing-masing. Minjae mengerang saat penisnya dikocok oleh pemuda itu. Merangsang ketegangan baru yang lebih menyiksa.
"Ayo Kak, cumming lagi. Lo seksi banget kalau lagi orgasme, " engah Jinsik.
Minjae menggeleng panik tapi penisnya semakin berkedut. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memuntahkan sperma kedua itu.
"Nghhh udah pleasee... Jinsiiikk... "
Si alpha muda hanya menyeringai. Di hadapan Minjae dia memperlihatkan jari-jarinya yang penuh sperma.
"Gue nggak akan lepasin lo malam ini. Lo bakal gue bikin orgasme berkali-kali."
***
Minjae memasuki pekarangan rumah Nicholas dengan langkah gontai. Aslinya sih dia sudah malas saat melihat mobil pemuda itu terparkir di garasi. Kalau dia nekat masuk, pasti mereka akan ribut, tapi menghindar juga percuma. Semua barang Minjae ada di rumah itu dan dia harus mengambilnya kalau memang ingin pergi dari sana.
"Bagus lo nggak bales chat sama angkat telepon gue. "
Minjae hanya melirik Nicholas yang duduk di sofa ruang tengah, menunggu anak itu entah sejak kapan.
"Darimana lo? Udah berani lo nggak pulang? "
"Males pulang. Kak Nicho juga nggak pulang, kan? "
"Maksud lo apa males pulang? " nada suara Nicholas mulai meninggi, lengkap dengan rahangnya yang ikutan mengeras dan sorot mata kelewat tajam.
"Gue tetep balik. Jam satu gue balik. Semalem apapun urusan gue kelar, gue tetep balik dan lo? Lo kelayapan dimana emang? Nyari Euijoo? Atau Jinsik - Jinsik itu? "
Minjae menelan ludah. Sebenarnya dia takut melawan Nicholas yang seperti ini tapi sekarang dia sedang tidak mau disalahkan.
"Kenapa harus marah sih, Kak? Emang Kak Nicho peduli Minjae tidur dimana? Kayaknya Minjae pergi dari sini juga Kak Nicho nggak masalah, kan? Yang lebih penting temennya Kak Nicho itu, kan? "
"Gimana maksud lo? Nggak penting?"
Minjae mundur selangkah waktu Nicholas menghampirinya.
"Lo pikir ya pake otak sehat lo. Lo ini tanggung jawab gue selama mama nggak ada. Terus lo maen kabur-kabur aja gitu nggak ada omongan apapun sama gue sampe gue pusing kudu nyariin lo kemana lagi. Lo punya hp gunanya apa kalau lo matiin? Atau lo emang sengaja nggak mau gue cariin? "
"Ya udah biar Kak Nicho nggak pusing lagi, Minjae pergi aja. Kelar kan, urusan? Diem di toko juga bisa. Minjae nggak akan ngebenanin orang sama tanggung jawab harus dijagain. Toh selama ini juga Minjae hidup sendiri. KakNicho urus aja urusan Kakak, nggak usah marah sampe bentak-bentak Minjae segala. Emang Minjae apaan? Mentang-mentang di sini cuma numpang terus Kak Nicho boleh bersikap kayak gitu? "
Suara Minjae yang bergetar dan matanya yang basah membuat Nicholas terhenyak. Dia tidak menyangka semua kalimat itu akan meluncur deras dari mulut Minjae ibarat siraman air hujan di tengah salju. Begitu tajam, dingin menusuk.
Tanpa menunggu tanggapan Nicholas, Minjae masuk ke dalam kamar, membanting keras pintunya dan mengurung diri di sana sampai Nicholas tidak melihat sosok Minjae saat makan siang bahkan menjelang makan malam pun anak itu belum juga mau keluar.
Di kamarnya Minjae sibuk menangis. Padahal Nicholas bukan siapa-siapa, mereka juga tidak ada hubungan spesial tapi seluruh perasaan Minjae hancur karena dimarahi oleh pemuda itu. Minjae memang terbiasa dengan sikap ketus Nicholas, meskipun ia yakin Nicholas adalah orang baik. Dia beberapa kali memindahkan Minjae ke kamar karena tertidur di ruang tengah saat menunggunya pulang, dia juga yang membuatkan bubur dan membeli obat waktu Minjae sakit. Nicholas bahkan sengaja tidak pulang ke rumah setiap kali masa heat Minjae datang. Dia menjaga anak itu dengan baik ada atau tidak ada mamanya.
Semenjak datang ke Seoul, Minjae tidak pernah mau menangisi apapun termasuk sikap Nicholas yang kadang menyebalkan. Entah kenapa hari ini dia sendiri hilang kendali atas air matanya yang membanjiri wajah dan bantal itu. Sampai kelopak mata Minjae terasa sakit dan sembab.
"Jae. Kim Minjae, buka pintu. "
Suara ketukan tegas membuat Minjae menoleh ke arah pintu kamar.
"Jae, lo nggak mau gue dobrak kan ini? "
Minjae dengan malas beringsut turun dari ranjang. Dia buka pintu itu dan kembali berhadapan dengan sosok Nicholas yang sekarang sudah terlihat jauh lebih tenang.
"Makan."
"Nggak laper. "
"Gue bikinin lo nasi goreng, lo makan sendiri atau gue lelepin itu nasi ke mulut lo? "
"Minjae lagi kesel malah disuruh makan, " protesnya.
"Gue nggak peduli. Gue nggak mau lo pingsan di kamar gara-gara mewek doang. Buruan. "
Nicholas menarik lengan Minjae sampai ke ruang makan. Dia mendudukkan pemuda itu di kursi sementara dia juga ikut duduk di sampingnya.
"Ngapain sih? " cebik Minjae.
"Mastiin lo makan sampe habis, " jawab Nicholas tegas.
Dengan malas Minjae mengangkat sendok dan mulai makan. Perutnya lapar sih. Sudah beberapa kali juga terasa perih sejak siang, tapi kan tengsin banget kalau harus keluar kamar terus cari-cari makan terus balik kamar nangis lagi.
"Udah puas lo nangis? "
"Ngapain nanya segala. "
"Terus selama nangis lo tahu letak kesalahan lo dimana? "
Nicholas memerhatikan Minjae dan cara makannya yang malas-malasan itu sambil berusaha menahan kesal.
"Beneran harus gue lelepin kah biar cepet abis?" sungut Nicholas sambil menyilangkan tangan di dada.
"Tidur gih sana, ngapain ngeliatin Minjae makan ah. Jadi makin males. "
"Nggak usah banyak alasan, cepet abisin. "
"Seret. Susah nelen. "
Nicholas menghela nafas. Dia lalu bangkit dari duduk dan mengambilkan air minum untuk anak itu. Ternyata Nicholas masih belum mau beranjak. Dia malah kembali duduk mengawasi acara makan Minjae.
"Banyak banget ini sih, porsi kuli, " komentar Minjae dengan mulut penuh nasi.
"Biar lo nggak kelayapan ke dapur tengah malem terus masak mie. Keriting usus lo, mie mulu. "
"Kak Nicho kok tahu? " Minjae makin cemberut merasa diawasi.
Nicholas hanya tersenyum sinis. "Apaan sih yang gue nggak tahu di rumah ini. Termasuk kemungkinan lo ngewe sama Euijoo setiap kali dia dateng. "
Minjae membeliak. Dia sudah hampir menyahut ketika Nicholas meletakkan telunjuknya ke depan bibir.
"Tenang aja , gue bakal keep silent. "
"Enggak gitu, Kak_"
"Ya terus gimana? Dibandingin lo, gue lebih tahu cowok modelan kayak apa si Euijoo. "
Akhirnya Minjae diam. Mau mengelak pun rasanya sulit.
"Terus tadi malem lo sama siapa? Jinsik? Ngewe juga? "
Minjae kelepasan, mukul kepala Nicholas saking tidak menyangka pertanyaan frontal itu akan terucap.
"Sakit ya, bego. " Nicholas menjambak rambut Minjae kesal.
"Coba Minjae yang tanya, Kak Nicho sama Karin itu ngeseks juga kalau ketemu?"
"Enggak."
"Bohong! "
"Kenapa? Lo cemburu? "
"Dih."
"Iya? Bener? "
Tiba-tiba Minjae menggebrak meja. Membuat Nicholas ikut kaget.
"Nasi gorengnya nggak enak! Minjae nggak mau abisin! "
"Heh, enak aja lo ngatain nasi goreng buatan gue nggak enak. Mending lo buruan abisin, gue mandi dulu. Handuk gue mana sih? "
"Di teras samping kali belum diangkat. "
"Lo gimana sih? Udah tahu tiap jam segini jadwalnya gue mandi. "
"Ya udah nanti Minjae bawain ke kamar, sana gih. "
"Abisin, jangan dibuang. Ketauan lo buang, lo bakal gue hukum. "
"Emang Minjae penjahat pake dihukum segala. "
Nicholas tidak menanggapi lagi. Dia keburu pergi ke kamar. Nasi gorengnya memang enak. Minjae habis juga akhirnya. Selesai mencuci piring, dia membawakan handuk ke kamar mandi.
"Kak, Minjae simpen di sini. "
Minjae menatap lantai kamar mandi yang terdapat sampah tisu dan dus bekas skincare. Lalu baju Nicolas yang keluar dari keranjang baju kotor. Dia memungutnya. Membersihkan sampah sampai tidak sadar kalau Nicholas sudah berdiri di belakang.
"Astaga_"
Minjae terperanjat melihat tubuh yang untungnya sudah berbalut handuk itu.
"Mata lo jelek amat abis nangis, kayak kodok, " celetuk Nicholas.
Minjae hampir saja melempar baju kotor ke muka tampan itu. Dia pun hanya mendengkus kesal dan berbalik. Tubuhnya tertahan oleh tarikan tangan Nicholas di lengan Minjae. Membuat si omega kembali kaget.
"Kak_"
"Masih ngambek lo? "
Minjae tidak bisa menjawab.
"Udah puas nangisnya? "
"Apaan sih, Kak? "
Nicholas meraih tengkuk Minjae. Tanpa peringatan apapun dia mencium bibir pemuda yang sekarang kaget bukan main itu. Tangannya sontak berpegangan pada tepi wastafel karena dorongan tubuh Nicholas sambil melumati bibirnya penuh tuntutan.
"Ngh- Kaak_,"
"Diem."
Nicholas menekan dagu Minjae agar bibir pemuda itu lebih terbuka, agar ia leluasa menginvasi area rongga mulutnya yang hangat dengan lidah. Sebelah tangan Nicholas perlahan turun, mengusap punggung Minjae, meremas lembut pantatnya sambil sedikit diangkat.
Aroma sabun dari tubuh Nicholas membuat Minjae memejam. Ini bukan mimpi kan, ya? Seperti yang sudah-sudah. Sekarang fisik Nicholas adalah nyata, merengkuh tubuh si omega penuh obsesi. Nicholas sengaja menciptakan jarak di antara mereka lewat sikap ketusnya selama ini. Karena dia selalu tidak tahan untuk menyentuh Minjae lebih dalam tapi dia begitu ragu.
Padahal Minjae begitu menarik, menggemaskan, saat dia marah adalah saat terbaik gelenyar halus menyentuh setiap saraf dalam tubuh Nicholas.
Nicholas menghadapkan tubuh Minjae ke depan cermin. Dia memandangi pantulan dirinya saat menurunkan celana si omega. Rahang Minjae ia tahan agar tidak merunduk, agar ia bisa melihat bagaimana ekspresi pemuda itu saat jemari Nicholas membelai anal Minjae.
"Nghhh Kak Nichoo... "
"Gimana rasanya ngewe sama Euijoo? Hm? Lo bener-bener slut, Jae. "
Minjae yang tidak mengerti kata slut itu hanya bisa memejam. Embusan nafas hangat Nicholas di telinga dan lehernya membuat Minjae limbung.
"Ngh- sakit Kak. "
"Gue belum apa-apain lo udah tegang gini. Emang sangean apa gimana?"
Nicholas memasukkan dua jarinya ke mulut Minjae. Setelah basah oleh saliva dia arahkan jari itu pada anal Minjae yang kering. Tubuh si omega berjengit kaget.
"Kaaakk sakiit... Nghhh... Udahhh... "
Minjae mengerang. Tubuhnya sampai tegang dan kakinya lemas tidak mampu menopang lagi.
"Sakit? Basah gini, Jae. "
Nicholas menyeringai saat ia berhasil menyentuh sweet spot Minjae hingga anak itu memelenting berulang kali.
"Hnnghhh udaahh .... "
Tubuh Minjae dibalikkan lagi lalu ia dorong sampai berlutut.
"Kalau gitu gue dulu yang lo puasin. "
Nicholas menurunkan handuknya. Dia tahan kepala Minjae dengan jambakan keras lalu ia benamkam penis tegang itu dalam mulut Minjae yang tidak siap.
"Mmmhhh... "
"Sepong yang bener. Jangan pake gigi. "
Minjae menggeleng. Rojokan penis itu bahkan membuatnya tidak bisa berbicara.
"Uhuk_"
Dia terbatuk ketika penis ditarik keluar dan menyisakan lendir precum beserta saliva yang menetes turun dari sudut bibir. Minjae memegangi tangan Nicholas sambil berusaha menarik udara sebanyak mungkin ke paru-paru.
"Bangun. "
Pemuda itu diangkat sampai berdiri. Nicholas melucuti semua pakaian Minjae dan membawanya ke bilik shower. Dia menyalakan air dengan intensitas kecil, mendorong Minjae ke tembok dan melumat habis bibirnya lagi. Lidah Nicholas bergerak liar, menuju rahang, leher dan dada Minjae yang seketika membusung saat menerima rangsangan seperti itu. Minjae meremat rambut basah Nicholas sementara putingnya dihisap dan digigiti.
"Aahhh Kaakk ... Sakitt.. "
Bekas merah langsung terlihat di area niple si omega. Nicholas tidak peduli. Dia semakin turun , menciumi perut bawah Minjae lalu sampai ke penis anak itu. Minjae menengadah. Guyuran air di wajahnya membuat ia tetap sadar untuk merasakan kuluman mulut Nicholas di penis. Panggul itu ikut bergerak. Minjae menahan kepala Nicholas, menjambak pelan rambutnya, melenguh dan mendesah seperti orang gila. Suara Minjae memantul pada dinding kaca di sekitar mereka, memicu hasrat libido Nicholas hingga semakin mencuat ke permukaan.
"Balik badan, Jae. "
Nicholas sudah berdiri, memutar tubuh Minjae dan menarik pantatnya sampai sedikit menungging. Dia mendorong penisnya yang tegang ke dalam lubang sempit serta kasar karena tidak ada lendir yang tersisa di sana.
"Mnnggaahhh.... "
Minjae mengerang. Keningnya menempel di dinding dan matanya terpejam rapat. Nicholas menahan kedua lengan Minjae di punggung anak itu sementara ia mulai menggenjot lubangnya.
"Fuck, Minjae, sempit banget. "
Minjae tidak bisa melakukan apapun. Tubuhnya berguncang keras mengikuti tempo genjotan Nicholas yang semakin cepat.
"Aeunghhh aaahhh aahhhhhh.... "
Penis Minjae memuntahkan sperma, lututnya langsung terasa lemas tapi si dominan masih belum berhenti. Dia malah merapatkan punggung Minjae ke dadanya. Mencengkram leher anak itu sambil ia gigit pundak Minjae.
"Janganh- Kak- mmngghh ..."
"Biar mereka tau lo punya siapa, " geram Nicholas.
Pemuda itu mencabut penis dan membalikkan tubuh Minjae. Dia angkat satu kakinya, kembali menjejalkan penis yang masih tegang ke dalam sana.
"Mana lidah lo? "
Di tengah engahan nafas yang terputus, Minjae menjulurkan lidahnya dan langsung disambut hisapan mulut Nicholas.
"Mmhh Minjae ahhh.... Kaakk - aahh, ahh. "
"Enak Jae, orgasme sama gue? "
Rambut Minjae ditarik ke belakang sampai kepalanya menengadah. Nicholas menyusul orgasme beberapa saat kemudian. Dia cium erat bibir Minjae di puncak klimaksnya.
"Kak, udahhh.... " lirih Minjae sambil menjatuhkan tubuh dalam pelukan Nicholas.
Pemuda itu mendekapnya, menciumi kening dan kepala Minjae, mencoba mengatur nafas setelah menghabisi pemuda itu.
"Gue mandiin lo dulu, terus kita tidur. "
***
Minjae meringis saat bangun itu. Kaki dan panggulnya terasa sakit. Untuk merubah posisi pun Minjae harus berusaha lebih keras. Dia sibak selimut yang menutupi tubuhnya. Minjae baru sadar kalau dia berada di tempat tidur yang lebih luas. Arah pandang ia luaskan demi memastikan kalau dia ada di kamar Nicholas saat ini.
"Bangun juga lo. "
Nicholas masuk sambil membawa piring dan gelas yang langsung ia letakkan di atas meja belajar. Pemuda itu menghampiri Minjae, duduk di hadapannya sambil memerhatikan si omega sibuk meringis.
"Jam berapa? "
"Sebelas."
"Hah? Kok Kak Nicho nggak ke kampus? "
"Ya kali gue tinggalin lo begini sendirian di rumah. "
"Engh_" Minjae berjengit ketika pantatnya terasa sakit saat didudukkan. Nicholas mencondongkan tubuh, mengecup pundak Minjae yang terekspose karena memakai kemeja kebesaran miliknya.
"Makan dulu ya, lo kan nggak sarapan. "
"Nasi goreng lagi? "
Nicholas terkekeh sambil menggeleng. "Enggak lah. Gue bikinin lo nasi bulgogi sekarang. "
Nicholas hendak bangkit dari duduk saat ponselnya tetiba berbunyi. Minjae ikut melirik ke arah layar. Nama Karina langsung terlihat oleh sudut mata pemuda itu. Sebelum Nicholas sempat angkat, Minjae merebut ponsel dari tangannya.
"Jae_"
"Kalau Kak Nicho jawab, Minjae beneran pergi. "
Nicholas menatap tajam, tapi dia tidak berusaha merebut ponsel itu kembali.
"Biar gue ngomong sebentar sama Karin. "
Minjae malah menekan tombol reject.
"Nih, Kak Nicho telepon balik. Minjae mau pergi sama Kak Euijoo. "
"Ngancamnya jelek banget, Jae. Kayak lo bisa jalan aja. "
"Bisa lah. Orang kalau kesel, gampang nekat."
Minjae menyibakkan selimut dan hendak turun dari ranjang. Nicholas mendekap tubuh pemuda itu.
"Okay, okay. Gue nggak akan angkat. Lo bisa nggak sih jangan batu gini kalau diomongin? "
"Makanya jangan nyebelin, udah bikin Minjae nggak bisa jalan sekarang malah mau pergi ke Karin. "
"Nggak akan ada yang pergi sama dia, Jae. "
Minjae meraih lagi ponsel Nicholas dan mematikannya. Melihat tingkah si omega Nicholas hanya tersenyum.
"Dia cuma temen, sih. "
"Bodo amat. Kalau cuma temen ngapain suka nelepon nyuruh Kak Nicho datang nggak tahu waktu, " berengut Minjae.
Nicholas mengecup kening pemuda itu.
"Lo jealous? "
"Minjae nggak suka liatnya. "
"Itu namanya jealous. "
"Terserah. Iya kali. "
"Sekarang makan, ya? "
"Suapin."
"Jae, gue masih ada tugas. "
Minjae menengadah menatap wajah Nicholas dengan mata boobanya yang menggemaskan.
"Ya udah makan sendiri. "
"Gue temenin sambil nugas, gimana? "
Akhirnya Minjae mengangguk. Jadilah hari itu Nicholas mengerjakan tugasnya di atas kasur, ditemani Minjae yang makan dengan lahap sambil sesekali meringis setiap dia merubah posisi duduk.
"Masih sakit? "
"Linu, " decih Minjae. Habis makan dia menidurkan tubuhnya lagi sambil memeluk pinggang Nicholas.
"Gue terlalu kasar kali ya sama lo semalem? "
Minjae tidak menjawab. Nicholas merunduk dan mencium bibirnya lembut.
"Sekarang lo istirahat aja, yang penting udah makan. "
"Jangan dinyalain teleponnya. "
"Iya , Jae. "
Minjae mengambil ponsel Nicholas dan dia simpan di bawah bantal yang dia tiduri. Nicholas tertawa melihat itu. Dia gigit hidung Minjae gemas.
"Maafin gue, ya? Gue beneran khawatir sama lo kemarin."
"Hmm.. Maafin Minjae juga. "
Mereka berciuman lagi. Nicholas menyingkirkan laptopnya. Mendekap tubuh si omega lebih erat dan lebih lama.