.
.
.
Hujan salju sedang berlangsung, awan pagi ini tebal sekali hingga membuat suasana menjadi mendung
Sebagian besar daerah itu ditutupi oleh putihnya butiran-butiran kecil yang jatuh dari langit. Orang-orang mulai meminimalisir aktivitas luar karna masih menyesuaikan dengan salju tahun ini.
Terhitung hampir seminggu lagi sebelum tahun baru tiba, beberapa hiasan di persimpangan jalan sudah dipasang. Lampu-lampu malam juga kini sudah terpasang di beberapa pohon.
"Sepertinya aku gak bakal punya waktu liburan tahun ini. Tugas-tugas di kuil semakin banyak karna tahun baru akan menjelang tiba." Seorang gadis mengeluh di bawah halte bus.
"Yang lain sedang apa, ya?" Matanya memperhatikan aktivitas beberapa orang yang lalu lalang. Siang-siang begini pasti teman-temannya sudah beristirahat, atau mungkin ada yang sedang bersenang-senang karna sudah benar-benar menyelesaikan tugas mereka.
Gadis itu terlihat kesal. Padahal Shoko bilang sudah mau libur, tapi ternyata itu hanya untuk junior-junior saja. "Sekolahnya tidak adil, mau itu junior atau senior kan sama saja pelajar." Gumamnya.
Utahime diam sejenak, menghilangkan rasa kesal pada dirinya. Tidak lama lagi dia akan kembali ke kuil setelah libur nanti, lagian masa-masanya menjalankan hukumannya sudah hampir mau berakhir.
Ah, bicara soal itu secara tidak langsung mengingatkan Utahime pada laki-laki jangkung itu. Apa yang sedang ia lakukan sekarang?
Tangannya menyentuh bibirnya yang kini terluka.
Terluka karna setelah disentuh Satoru, Utahime langsung mengusapnya secara kasar, tidak ingin bekas sentuhan seorang Satoru membekas.
"Cih...." Ia kembali mengusap kasar bibirnya, hingga tanpa Ia sedari, Satoru kini duduk sebelahnya.... berjarak.
Satoru memperhatikan tingkah gadis itu, sebelum akhirnya berbicara. Tangannya menahan Utahime. "Jangan keras-keras, nanti luka."
Utahime menoleh, mendapati Satoru kini di depannya.
Dengan kacamata hitam yang setia bertengger di wajahnya, namun tidak menutupi keindahan mata dari sosok ini. Tatapan Satoru yang terlihat serius, rambut putihnya yang terlihat hampir sama seperti salju, genggaman tangan Satoru padanya yang kuat; seperti biasanya.
Entah mengapa seperti sudah lama tidak melihat sosok Satoru. Tiba-tiba muncul begini membuat Utahime bingung ingin memberi reaksi seperti apa.
Sewaktu pertama kali melihat Satoru, Utahime sedikit terkejut. Sosok yang lebih muda darinya bisa menjadi kepala klan dalam waktu yang singkat. Keluarganya mengatakan kalau keluarga Gojo datang ke kuil mereka itu merupakan suatu penghormatan.
Awalnya Utahime juga berpikir begitu, tetapi seiring berjalannya waktu, ide-ide begitu tidak berlaku setelah melihat tingkah jahil dari Satoru. Ia langsung membencinya.
Tetapi laki-laki yang dibencinya itu kini di sampingnya, menatap matanya dalam-dalam, seolah-olah terhanyut ke dalam tatapannya.
Utahime baru sadar, ternyata bahu Satoru lebar, memiliki rahang yang tegas. Kalau disentuh, bakal seperti apa rasanya?
"Sudah luka begini, jangan digosok kasar lagi."
Utahime tersadar dari lamunannya, menyadari ibu jari Satoru kini mengusap lembut bibirnya yang terluka.
Ia langsung menepis tangan laki-laki itu.
Tanpa berkata apa-apa, Utahime bangkit dari duduknya, bermaksud meninggalkan Satoru.
"Kau masih marah?"
Pertanyaan bodoh dari Satoru. Namun sukses membuat Utahime menghentikan langkahnya. Gadis itu ーuntuk pertama kalinya,ー mau berbalik menghadap Satoru. Tatapannya terlihat meremehkan Satoru.
"Kau pikir?" Utahime sangat kesal dengan sikap Satoru yang suka berpura-pura tidak tau, sangat arogan.
Mendengar pertanyaan singkat dari Utahime membuat Satoru sedikit menundukkan kepalanya. Kini ia tau bahwa dirinya salah.
"Maaf...." Sekali lagi, perkataan yang seharusnya menjadi tanda penyesalan, terdengar begitu tidak berisi di telinga Utahime. Apa karna Satoru yang mengucapkan?
Tanpa mau berbasa-basi lagi, Utahime melepas pandangannya dari Satoru. "Aku pulang dulu.",
"Utahime."
Mendengar namanya disebut dengan dingin oleh Satoru sekali lagi menghentikan langkahnya.
"Aku benar-benar minta maaf atas perlakuanku."
Satoru mengepalkan tangannya erat-erat, "Kalau tidak maaf bagiku, aku paham. Tapi setidaknya, kau tau kalau aku menyentuhmu bukan murni karna instingku sebagai lelaki, bukan karna penasaran."
Utahime perlahan-lahan berbalik lagi menghadap Satoru. Ingin mendengarkan ucapan (mungkin klarifikasi) dari bocah tengik ini.
"Aku mau berterimakasih." Ada jeda dalam kalimatnya. Mungkin Satoru juga gugup menyampaikan kata-kata ini pada Utahime. "Terima kasih sudah mau merawat saat aku sedang sakit. Terima kasih makanannya, atas perhatianmu selama aku sakit."
Mendengar kalimat itu, barulah Utahime sadar. Fakta bahwa Satoru tidak pernah mengucapkan 'terima kasih' semenjak hari itu. Bukan bermaksud berharap apa-apa, sih.
"Waktu itu, kamu terlihat seperti ibuku yang merawat ku."
Utahime terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Yang terdengar hanyalah angin yang bertiup yang membuat surai-surai dari Satoru bergoyang lembut.
Selama ini Satoru sudah terlihat bekerja keras, namun selalu tersenyum. Utahime tau itu, terlihat dari tangan laki-laki itu yang kasar. Menjadi Yang Terkuat memang terdengar keren, tapi orang-orang tidak menyadari tanggungjawabnya. Mau bagaimanapun, Satoru hanyalah anak muda seperti manusia umumnya. Tanpa Energi Kutukan, tanpa Six Eye, tanpa Limitless...Satoru hanyalah anak biasa.
Gojo....
"Tanpa kusadari, aku senang. Aku tidak bisa membendung perasaan bahagiaku, aku terhanyut. Hingga saat aku sadar, aku sudah menciummu dan malah membuatmu terhukum sebagai seorang miko."
Untung saja sekarang keadaan sudah sepi. Utahime akan benar-benar malu kalau ada yang mendengarnya. Utahime tau bahwa Satoru juga ada kalanya kelelahan. Dia tau dari ocehan Satoru sewaktu ia sakit. Satoru bergumam dan mengoceh tidak jelas di tengah-tengah demamnya.
Kini, keduanya terdiam. Utahime ragu. Ragu kalau saja semua ucapan Satoru hanyalah sandiwaranya saja.
Satoru menatap Utahime dengan lekat, menyadari adanya keraguan pada gadis itu.
"Karna itu,... terima kasih, dan...maaf...."
Menyadari dirinya terlalu lama menatap Utahime. Ia membuang wajah karna malu, reflek mengusap tekuknya.
Suhu tubuhnya sedikit menghangat di tengah-tengah dinginnya cuaca setelah berkata-kata panjang lebar. Ia berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Dalam hatinya, ia pasrah jiika saja Utahime tidak akan memaafkannya dan akan menjauhinya lagi.
Tapi, semuanya berbeda dari pikirannya.
"Terima kasih kembali; karna telah melihatku begitu. Aku senang."
Yang ia lihat saat ini adalah senyuman seorang Utahime Iori yang tercipta di wajah imutnya, rona merah sekali lagi menghiasi wajah Utahime. Yang lucunya, Satoru juga tertular dengan rona itu, jangan sampai dilihat Utahime!
Apakah gadis itu sama sekali tidak marah? Apakah Utahime benar-benar hanya kebingungan dengan sikap dirinya seperti yang dikatakan oleh Suguru?
"Lainkali, tolong jangan mencium sembarangan orang walaupun kau ingin berterima kasih kepada mereka."
Awan mendung yang tadinya menutupi langit, perlahan-lahan menghilang. Cahaya matahari menembus awan-awan tebal itu, seolah-olah ikut menghangatkan dirinya seperti senyum gadis ini.
"Dan...hormati aku. Sebagai seniormu tentunya."
Setelah itu, Utahime berbalik dengan senyumnya, melanjutkan langkahnya.
Senyuman Satoru perlahan muncul. Ia langsung mempercepat langkahnya untuk berjalan di samping Utahime. Ia memegangi dadanya. Merasakan denyut jantungnya dari balik dadanya yang berpacu dengan cepat.
Ternyata perempuan tidaklah semenakutkan itu.
"Ahh! Ngomong-ngomong, kau tidak pernah memanggilku 'senior' seperti janjimu di hari itu!"
Satoru terlihat berpikir sejenak, "Oh, waktu itu, ya?"
Teringat lagi Satoru dengan tantangan sampahnya setelah sekian lama hingga membuat Utahime terluka. Lucunya, Satoru juga sakit setelah itu. Itu adalah hukuman dari dewa, pikirnya.
"Sudah, kok. Aku sudah pernah memanggilmu begitu. Mungkin kau tidak dengar."
Utahime menggeram. "H-hah?!" Suaranya sedikit pecah di hujung, "Tidak! Kau tidak pernah memanggilku begitu!" Tegasnya.
Satoru hanya tertawa kecil. Akhirnya Utahime yang ia kenal kembali. Kembali memarah-marahi dirinya.
Utahime yang melihat tawa itu sejenak terpaku.
Utahime langsung memfokuskan pandangannya ke depan. Matahari bersinar dari sana, menyinari wajahnya dengan hangat. Seperti hangatnya tawa seorang Satoru Gojo.
Utahime bersyukur semuanya kembali normal, mengabaikan bibirnya yang terluka sekarang.
Tentu saja ia akan kembali menghadapi ketengilan dari Satoru. Itu akan sangat menguji kesabarannya dan membuat perasaan jengkel dan bencinya semakin menjadi.
Membayangkan senyum kemenangan di wajah laki-laki itu saja sudah membuat dirinya menggeram sendiri.
"Hey, Gojo...." Utahime memanggil Satoru dengan lembut. "Bisakah kau melupakan kejadian belakangan ini?"
"Tidak." Jawab Satoru cepat.
HUH....?
Utahime menghentikan langkahnya, Satoru yang menyadari itu pun ikut berhenti.
Wajah Utahime terlihat begitu kesal. "Kau duluan saja."
Senyum jahil mulai terpampang di wajah Satoru setelah melihat perubahan wajah Utahime. "Kenapa? Kau takut?" Tanyanya dengan nada meremehkan.
"Iya...." Utahime tanpa ragu menjawabnya. Itu bisa-bisa merusak reputasinya sebagai seorang miko, dan dihadapan siswa-siswinya di masa depan nanti.
Berbeda dengan yang dipikirkan Satoru, ia pikir kalau gadis itu sepertinya sangat malu dengan dirinya.
Ia mengembuskan napasnya. Mendekati Utahime lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala seniornya. "Oke, baiklah. Aku akan melupakan semuanya dan berbuat seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi."
Ia berjalan agak menjauh dari Utahime lalu melanjutkan kata-katanya. "Karna itu permohonan dari seniorku yang imut, akan kukabuli." Ucapnya santai. Utahime berlari kecil mengejar Satoru untuk menyamai langkahnya dengan laki-laki jangkung itu sambil menceramahinya.
Adakalanya, Utahime heran mengapa Satoru terlihat menikmati saat ia sedang dimarahi. Tapi jika Utahime hanya diam, Satoru benar-benar tau caranya menekan tombol emosi Utahime.
Utahime tidak suka melihat Satoru yang menikmati suasana hatinya yang buruk dengan menertawainya. Namun, Utahime sangat mempercayai Satoru bahwa suatu saat, Satoru akan menjadi seorang pria yang lebih hebat dan akan menjadi yang terkuat. Jauh di dalam dirinya, Utahime percaya bahwa Satoru akan menyelamatkan banyak orang.
Satoru Gojo itu kuat.
"Utahime!"
"Iya?"
"Kau marah?"
Utahime heran. "Tidak."
"Nah, benar. Kenapa mau marah sedangkan aku tidak melakukan kesalahan!"
Hingga saat ini, Satoru masih sangat gencar menganggu dirinya secara konsisten. Untung saja dirinya sudah pindah ke cabang sekolah Jujutsu di Kyoto. Dengan begitu, sakit kepalanya bisa berkurang sedikit. Sedikit saja.
Dan sekarang, Satoru benar-benar menjadi yang terkuat. Tanpa perlu melihat, Satoru bisa mengetahui jalan. Kacamatanya kini diubah menjadi penutup mata hitam, guna untuk mempertajam kemampuannya.
Satoru tetap mengambil jalan yang sudah ia tentukan sejak awal; yaitu menyelamatkan orang yang bersedia diselamatkan olehnya, melindungi orang-orang non-jujutsu.
Satoru teguh dengan pendiriannya sejak awal, meskipun Satoru telah melalui banyak masa-masa sulit. Terutama saat Suguru membelot; dan akhirnya sekarat di tangan siswanya sendiri.
Benar. Satoru memang kuat.
Bahkan sang Raja Kutukan pun mengakui, memuji, bahkan memberikan penghormatan kepadanya sebagai lawan terbaik yang pernah sang raja hadapi.
.
.
.
𝓣𝓱𝓮 𝓔𝓷𝓭....
.
.
.
.
.
.
Akhirnya selesai!
Awalnya mau harusnya dibuat one-shot aja, tapi kurasa kayaknya bakal terlalu panjang. Ya udah, jadilah dibikin begini.
Untuk plotnya kurasa masih kurang. Tapi gak apa-apa, bakal ku jadikan di cerita lain, mungkin gak ku publish di sini karna plotnya hampir sama kayak fanfic2ku yang lain . Gak mau pembaca di sini bosen, kupikir bakal publish di AOV3 kalo ada waktu lagi (Kalau kubaca 2 tahun kedepan lagi, kayaknya bakal malu part 2 T_T)
••••
Terimakasih udah mau setia membaca🙏🏽
Oh, btw mungkin di part selanjutnya aku bakal up gambar2 momen dari mereka di fanficku ini (fanart tentunya).
Atau mungkin aku edit buat masukin ke tiap2 chapternya ajh yah? :>