Jaehyun melirik kearah Jungwoo yang tengah memasang wajah tegang, ia kemudian mengenggam tangan suaminya itu. Berusaha menenangkannya walaupun ia sendiri sebenarnya sama tegangnya dengan Jungwoo.
"Menurutmu… apa sebaiknya kita pulang aja dan nunggu waktu kita udah gak terlalu takut lagi…."
"Jangan. Kita kan emang selalu takut sama Taeyong hyung, Jae. Kalo nunggu kita lebih berani, keburu Minhyung tamat SMA." Jaehyun menghela nafas berat, Jungwoo benar. Tidak akan pernah ada kata siap untuk Jaehyun berkonfrontasi dengan kakaknya. Tapi sekarang mau tak mau ia harus memberanikan dirinya untuk menghadapi sang kakak.
Dan disinilah keduanya kini, duduk di dalam mobil yang terparkir di lahan parkir apartemen Taeyong. Berusaha menenangkan detak jantung mereka dan menyusun kata-kata yang akan mereka gunakan untuk membujuk Taeyong. Walau tak tahu itu akan berhasil atau tidak, yang terpenting mereka telah berusaha.
"Seandainya ada Doyoung di sini."
"Woo…."
"Maaf." Jungwoo meminta maaf dengan penuh penyesalan. Ia sendiri terkejut dengan ucapannya yang seharusnya hanya ia ucapkan dalam hati.
"Ya udah, ayok turun."
Keduanya pun keluar dari mobil dan berjalan bersisian dalam diam. Ucapan tak sengaja Jungwoo tak pelak menimbulkan riak aneh dalam perasaan mereka.
Doyoung
Sudah berapa lama mereka tak menyebutkan nama itu. Ada satu garis batas tak kasat mata yang mereka ciptakan untuk nama itu sejak Doyoung meninggal. Bukan, bukan berarti keduanya berusaha membuang Doyoung dari hidup mereka. Hanya saja, menyebut nama Doyoung sama saja membuka dan mengorek luka di hati mereka yang sampai saat ini belum menutup sempurna. Bahkan saat memperkenalkan Doyoung pada Minhyung saat anak itu mulai belajar tentang anggota keluarga, mereka lebih suka menggantinya dengan 'papi Minhyung', tanpa pernah menyebut namanya.
Tak terasa kini keduanya telah berada di depan pintu kediaman Taeyong. Jungwoo kembali menggengamgam tangan Jaehyun lembut, berusaha untuk menenangkannya dan memberinya kekuatan. Jaehyun sendiri hanya membalasnya dengan senyum yang tampak dipaksakan, ia tak berbohong jika perasaan gugup itu kini benar-benar ada di puncaknya. Setelah satu hembusan nafas panjang dan berat, Jaehyun pun menekan bel dengan mantap.
Tak ada yang keluar dari balik pintu setelah beberapa saat. Apakah Taeyong tengah pergi? Tapi kemana? Yang Jaehyun dengar dari sang papa, sudah 2 hari ini Taeyong tidak masuk ke kantor setelah mengajukan cuti tiba-tiba. Jaehyun khawatir, terjadi sesuatu dengan Taeyong atau bahkan Minhyung.
Jaehyun pun kembali menekan bel itu. Dalam hati ia berdoa, semoga Taeyong tidak langsung mengusirnya.
Kali ini pintu itu akhirnya terbuka. Tapi tak butuh lama bagi Jaehyun dan Jungwoo untuk berdiri mematung saat melihat siapa yang membuka pintu itu. Itu Doyoung.
*******
Bagi Jungwoo dan Jaehyun, Doyoung adalah kumpulan hal tak terduga.
Bukan hanya dari cara bagaimana ia berpikir dan menyelesaikan masalah yang ada. Bukan pula bagaimana ia mampu mendebat semua lawan dalam lomba debat dengan argumennya yang tak terduga. Tetapi hal-hal tak terduga selalu terjadi dalam hidupnya.
Hal tak terduga pertama yang mengejutkan Jungwoo dan Jaehyun adalah fakta bagaimana Doyoung dapat berakhir berpacaran dengan Taeyong. Semua yang mengenal keduanya pasti sama terkejutnya, mengingat bagaimana keduanya adalah dua kutub yang berlawanan, tak terkecuali Jungwoo dan Jaehyun.
“Kamu beneran pacaran sama kakak aku? Kakak aku yang Taeyong?” Tanya Jaehyun untuk kesekian kalinya. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya.
“Iyaaaa Jaehyyyuunnn…emang kakak kamu ada berapa sih? Kayaknya cuman Taeyong hyung doang kan.” Jawab Doyoung santai sembari mengaduk minumannya.
“Kamu kok mau sih, pacaran sama kakak aku? Dia kan berandalan” Dan sebuah pukulan, mendarat di kepala Jaehyun. Tentu saja itu berasal dari Doyoung.
“Taeyong hyung baik kok. Dia manis, lucu, romantis.” Kata Doyoung dengan senyum malu-malu yang membuat dua sahabatnya itu hanya dapat mengernyit bingung.
“Kamu…gak diguna-guna Taeyong hyung kan?”
“Nggak lah, sembarangan banget kamu kalo ngomong.”
“kamu…gak dipaksa sama Taeyong hyung buat nerima cintanya kan? Kamu beneran pas lagi sadar kan waktu mau jadi pacar dia?”
“Sadar banget, Jungwoo. Dan gak ada namanya Taeyong hyung maksa aku jadi pacarnya. Aku sendiri yang mau.” Mendengar jawaban Doyoung, Jaehyun dan Jungwoo hanya dapat bertukar pandang. Tak tahu harus berkata apa. Ada sedikit kekhawatiran dalam diri mereka perihal kekasih baru sahabatnya ini, meskipun mereka sudah mengenalnya. Bahkan amat mengenal Taeyong.
Tapi sepertinya kekhawatiran itu tak berlangsung lama. Karena Taeyong secara tiba-tiba menyanggupi permintaan sang Papa untuk bekerja di perusahaan milik mereka. Bahkan saat Yunho mengatakan bahwa Taeyong harus memulai semuanya sebagai anak magang bukan dari jabatan tinggi, meskipun ia adalah anak pemilik perusahaan itu, Taeyong sama sekali tidak keberatan.
Mulai hari itu, Taeyong bekerja dengan giat. Bahkan mendapat pujian dari rekan-rekan kerjanya. Dan Jaehyun dapat melihat, itu semua karena Doyoung. Kakaknya serius perihal hubungannya dengan Doyoung, dan berusaha membuktikan bahwa dirinya layak menjadi pendamping Doyoung.
Hal tak terduga kedua yang mengejutkan Jaehyun dan Jungwoo adalah Doyoung yang pingsan tepat setelah ujian akhir mereka. Awalnya mereka berpikir bahwa mungkin saja ini semua karena persiapan ujian akhir mereka yang berat. Tapi pemikiran mereka dipatahkan saat dokter yang bertugas di klinik kampus mereka mulai mengomeli Doyoung.
“Dokter kan udah bilang, kamu sibuk boleh tapi jangan sampe lupa makan apalagi istirahat. Inget, sekarang itu bukan cuman kamu yang bergantung sama tubuh kamu. Emang kamu nggak kasihan sama anak kamu?” Doyoung yang diomeli dokter hanya dapat menunduk sembari memainkan ujung kemejanya. Sementara kedua sahabatnya yang menemaninya hanya dapat tercengang, berusaha mencerna ucapan sang dokter.
“Dok, maaf mengganggu. Tapi saya mau tanya, ini maksudnya gimana ya? Anaknya Doyoung tuh apa ya?” Jungwoo yang sudah kepalang penasaran, berusaha bertanya meminta penjelasan pada Dokter paruh baya itu.
“Loh, kalian emangnya nggak tahu kalo si Doyoung hamil? Saya kira kalian tahu. Hmmm…pantesan nggak ada yang jagain kamu. Pacar kamu tahu?” Doyoung menggeleng pelan.
“Belum tahu, dok.”
“Doyoung…Doyoung… kenapa kamu masih belom bilang? Pacar kamu harus tahu, kamu nggak bisa ngejalanin kehamilan sendirian.” Doyoung makin menundukkan kepalanya.
“Doyoung….” Sebuah suara yang berasal dari pintu depan mencuri perhatian semua orang. Itu Taeyong yang tampak sangat berantakan dan dengan nafas yang tak beraturan karena berlari.
“Doyoung, kamu kenapa? Apanya yang sakit? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?” Tanya Taeyong dengan tak sabar. Doyoung yang bingung harus menjawab apa, mencuri pandang pada kedua sahabatnya untuk meminta bantuan. Tapi bahkan kedua sahabatnya pun bingung harus menjawab apa. Sang dokter yang sudah menganggap Doyoung sebagai putranya sendiri karena sering dihubungi oleh Doyoung yang selalu bertanya perihal kehamilannya pun akhirnya turun tangan.
“Pacar kamu telat makan, kurang tidur, belum lagi stres karena ujian. Akhirnya tumbang, padahal dia lagi hamil muda.”
“Ha-hamil??” Taeyong tampak tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia pun menangkup wajah Doyoung lembut dalam kedua tangannya. Saat itu baru Taeyong sadari, pipi Doyoung yang agak lebih berisi dari biasanya.“Doyoung, kamu hamil? Anak aku?”
Doyoung mengangguk ragu. Takut dengan reaksi yang akan diberikan Taeyong perihal kehamilannya. Begitu juga dengan Jungwoo dan Jaehyun. Jaehyun bahkan bersiap menghajar sang kakak, kalau kalau ia memilih lari dari tanggung jawabnya. Tapi sekali lagi, semua orang dibuat terkejut hari itu kala Taeyong justru memeluk Doyoung.
“Oh, sayangku. Kenapa kamu gak bilang, hmm?” Taeyong pun kemudian mengecup kening Doyoung berkali-kali lalu kemudian kembali memeluk Doyoung.
“Hyung…nggak marah?” Tanya Doyoung dalam pelukan Taeyong.
“Nggak sayang, kenapa aku harus marah? Nanti kita ngomong sama orangtua aku ya, sama appa kamu juga.” Dan saat itu, Jungwoo serta Jaehyun tersadar, bahwa sahabat mereka masih harus menghadapi masalah yang lebih besar.
Orangtua Doyoung hanya tinggal sang ayah, karena ibunya telah lama meninggal. Ayah Doyoung terkenal sangat tegas dan begitu menjaga Doyoung. Mereka tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada keduanya. Ayah Doyoung tak akan semudah itu membiarkan putra yang begitu ia jaga dan banggakan, tiba-tiba dihamili kekasihnya. Mungkin Taeyong akan mendapat sebuah pukulan di wajah tampannya atau bahkan lebih buruk, Doyoung akan diusir.
Dan pemikiran mereka benar adanya. Keesokan malamnya, Taeyong dengan menggandeng Doyoung tiba di rumah orangtuanya. Mata Doyoung tampak memerah, bekas menangis. Tapi seakan ingin menutupinya, Doyoung tersenyum lebar seperti biasa seakan tak terjadi apa-apa. Orangtua Taeyong sudah mengetahui kehamilan Doyoung, dan mereka tak mengatakan apapun. Mungkin jika beberapa bulan lalu, mereka akan marah besar karena khawatir bagaimana Taeyong akan menjadi suami yang bertanggung jawab untuk Doyoung. Tapi Taeyong yang sekarang, sudah lebih baik. Mereka percaya Taeyong dapat menjadi suami dan orangtua yang baik.
“Pa,Ma…Taeyong sama Doyoung sementara tinggal dulu di sini boleh nggak? Nanti kita bakal pindah kok, kalau udah nemu tempat tinggal buat kita berdua.” Yunho hanya mengangguk dan tak mengatakan apapun. Sementara Boa menyambut dengan wajah gembira.
“Kalian pasti belom makan, ayok makan dulu. Apalagi kamu Doyoung. Mama udah masak banyak makanan sehat buat kamu, biar cucu mama sehat sehat. Pokoknya habis ini, kamu nggak akan mama biarin pingsan lagi.”
Hal tak terduga ketiga, mungkin adalah kenangan yang paling pahit yang harus mereka terima. Jaehyun bahkan masih ingat hari itu, saat ia tengah makan malam dengan orangtuanya dan Jungwoo. Saat itu sudah beberapa bulan semenjak Doyoung dan Taeyong akhirnya pindah ke tempat tinggal mereka sendiri. Sebuah apartemen sederhana yang mampu Taeyong sewa dengan mengorbankan sebagian besar tabungannya. Taeyong dan Doyoung menolak bantuan orangtua Taeyong karena mereka ingin hidup mandiri dengan usaha mereka sendiri.
Di luar hujan turun dengan deras disertai petir, saat Jaehyun mendapat telepon masuk dari Taeyong. Saat ia mengangkatnya, selama beberapa saat Taeyong tak mengatakan apapun. Tapi Jaehyun dapat mendengar samar-samar suara isak tangis yang ia yakini itu adalah milik Taeyong.
“Hyung…hyung kenapa?”
“Jae….Doyoung…” Suara Taeyong yang serak karena tangisan membuat Jaehyun seketika menjadi panik.
“Hyung, Doyoung kenapa? Doyoung nggak kenapa-kenapa kan?" Jaehyun berdoa dalam hati, semoga saja kakaknya hanya mengabari bahwa Doyoung telah melahirkan. Dan kini Taeyong sedang menangis bahagia. Tapi kemudian Jaehyun ingat, perkiraan persalinan Doyoung masih beberapa minggu lagi. Tak mungkin ia melahirkan sekarang juga, kecuali terjadi sesuatu dengan Doyoung.
“Hyung…hyung jawab. Doyoung kenapa?” Jaehyun yang tak sabar karena sang kakak tak kunjung menjawab pun secara tak sadar membentak kakaknya itu. Semuanya yang mendengar Jaehyun setengah membentak Taeyong jadi ikut khawatir.
“Doyoung kecelakaan. Dia ditabrak waktu mau nyebrang sama orang yang mabuk.… Sekarang dia lagi dioperasi.”
Jaehyun merasa pikirannya kosong. Sahabatnya sekarat, dan tengah berjuang antara hidup dan mati untuknya dan anak dalam kandungannya. Jaehyun merasa pikirannya melayang, sejenak ia tak dapat berpikir waras saat itu. Tapi setelah itu, ia sadar bahwa dia sekarang satu satunya yang masih mampu berpikir jernih. Sang ibu langsung pingsan mendengar berita itu, ayahnya tampak begitu terpukul. Kakaknya sudah pasti benar benar hancur saat ini, begitu juga Jungwoo.
Rasanya semua seperti mimpi bagi Jaehyun. Saat kemudian ia mengemudikan mobilnya ke rumah sakit dengan keadaan kalut. Saat ia melihat kakaknya menangis di depan ruang operasi sembari berlutut. Saat kemudian dokter mengatakan bahwa Doyoung tak dapat diselamatkan. Saat semua orang menangis histeris, ia hanya dapat berdiri tanpa ekspresi. Bahkan hingga kemudian ia mengurusi upacara pemakaman Doyoung, dan menggantikan sang kakak menyambut tamu yang datang. Jaehyun tak menunjukkan sedikitpun ekspresi, pikirannya terasa melayang. Sahabat sekaligus kakak iparnya pergi meninggalkan mereka.
Ia menatap bayi mungil yang berada dalam gendongannya. Bayi yang bahkan belum tahu bahwa orang yang telah melahirkannya tak ada lagi di sisinya. Jaehyun selalu takut untuk menyentuh bayi walaupun ia menyukai anak-anak, ia takut menyakiti mereka. Tapi kini ia bahkan mengurusi keponakannya yang baru lahir.
“Paman ada di sini, nak. Paman bakal selalu ngelindungin dan jagain kamu, seperti anak paman sendiri.” Itu janji Jaehyun dalam hati.
Dan setelah kematian Doyoung, Jaehyun dan Jungwoo pikir mereka tak akan pernah terkejut dengan apapun yang berkaitan dengan Doyoung. Hingga hari ini, mereka melihat Doyoung berdiri di hadapan mereka, dengan kondisi segar bugar tanpa kekurangan apapun.
***
Jungwoo dan Jaehyun seakan tak percaya dengan apa yang mereka liat. Bahkan beberapa kali Jungwoo mencubiti pahanya sendiri, berusaha memastikan bahwa mereka tidak bermimpi.
“Do-Doyung?”
“Ya? Kenapa, Jaehyun?” Doyoung tersenyum geli melihat wajah kedua sahabatnya itu. Di matanya, mereka benar-benar lucu saat ini.
“Kamu bener-bener Doyoung kan? Doyoung, Kim Doyoung?”
“Iya, Jungwoo. Emangnya siapa lagi?”
Jaehyun dan Jungwoo kesulitan untuk mencerna fakta bahwa sahabat mereka yang telah lama tiada kini sedang duduk di hadapan mereka memakan sarapannya dengan ceria, seakan tak terjadi apapun.
Tapi kemudian Jungwoo menyadari sesuatu. Doyoung memisahkan timun dari kimbab yang ia makan. Doyoung mungkin seolah bersikap biasa saja, tapi ekspresi wajahnya tidak dapat berbohong kalau dia terganggu dengan timun-timun tersebut. Melihat hal itu, tangis Jungwoo seketika pecah.
“Doyoung…..Doyoung….” Melihat Jungwoo yang menangis dengan sangat keras, Jaehyun buru-buru memeluknya untuk menenangkan. Doyoung yang hanya menatap keduanya dengan pandangan sedih.
“Maaf…” Ujarnya lirih, walau ia sendiri tak tahu kenapa ia meminta maaf. Tapi saat melihat Taeyong dan kini Jaehyun serta Jungwoo bersedih, Doyoung merasa sangat bersalah.
Selama beberapa saat, Jungwoo menangis dalam pelukan Jaehyun yang sibuk menenangkannya. Sementara Doyoung terus memandangi keduanya. Tak lama Taeyong datang setelah mengantar Mark ke sekolah. Melihat adik dan adik iparnya berada di rumahnya, ada perasaan enggan dalam hati Taeyong. Taeyong bukannya tak tahu jika keduanya pasti berusaha membujuknya berbaikan dengan orangtuanya. Ia lebih tak mau Doyoung tahu permasalahan antara mereka dan itu bisa melukai perasaan Doyoung.
“Hyung… Mama sama papa nyesel udah bikin hyung marah. Hyung pulang ya ke rumah mereka, baikan.” Taeyong masih tak bergeming. Sejujurnya ia masih ingin menolak untuk bertemu kedua orangtuanya, ia bahkan memiliki niat untuk mengusir adik dan adik iparnya ini. Tapi hal itu urung ia lakukan saat mengingat Doyoung ada disana.
“Hyung…” Panggil Jaehyun sekali lagi.
“Hyung, ini sebenernya ada apa sih? Taeyong hyung berantem lagi ya sama mama papa?” Doyoung yang sedari tadi berdiam diri untuk mengamati situasi, akhirnya tak tahan untuk bertanya. Taeyong tak menjawab, ia memilih untuk mengalihkan perhatiannya dengan memandang kearah lain.
“Jaehyun? Jungwoo?” Merasa Taeyong tak akan memberi jawaban, Doyoung pun memutuskan untuk bertanya pada kedua sahabatnya, “Bener Taeyong hyung berantem lagi sama mama papa?”
Merasa memiliki Doyoung yang akan melindungi mereka dari Taeyong, Jaehyun dan Jungwoo kompak mengangguk sebagai jawaban. Doyoung menghela nafas berat. Sejenak ia berpikir sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“Kalian berdua tenang aja, bilang sama mama sama papa kalo Taeyong hyung bakal ke rumah sore ini.” Mendengar ucapan Doyoung, Taeyong sontak membelalakkan matanya karena keterkejutannya. Berbeda dengan raut wajah Jaehyun dan Jungwoo yang berubah cerah.
“Sayang…” Taeyong sungguh ingin membantah ucapan Doyoung. Tapi melihat ekspresi Doyoung yang seperti tak mau dibantah, mau tak mau Taeyong harus menelan penolakannya. Ia pun hanya menghela nafas pasrah.