INTERLOCKED

By Skayreia

4.2K 374 246

Sayatan luka yang merubah rangkaian kata menjadi cerita indah pada tiap lembarannya, namun tersirat rasa saki... More

Main Cast
01. Beginning
02. About Him
3. Blank Place
4. Tempat Untuk Berpulang
5. Bulan Dan Kirananya
6. Lost Direction
7. Olympic Day
9. Jogja With You

8. Rumpang

177 27 19
By Skayreia

INTERLOCKED;

"Terlalu sakit untuk diingat, hanya bisa berharap semua ingatan itu menghilang bersamaan dengan ragaku yang kian menghilang."

Tiap langkah yang terus dipacunya dengan cepat, menyiratkan kebahagiaan yang ingin segera ia utarakan. Senyumnya merekah ruah seperti buket bunga pada dekapannya. Di bawah sorot teduh sang mentari yang hendak mengakhiri peran, perempuan itu terlihat mencolok di tengah lautan manusia. Rambutnya ia biarkan melambai bebas mengikuti kemana angin hembuskan, keringat yang mengucur pada pelipisnya tak melunturkan sedikitpun senyumnya.

Sore ini, tak seperti sore-sore sebelumnya yang hanya Rachel lalui begitu saja. Ia ingin segera tiba di rumah, menyampaikan kabar bahagia sembari mendengarkan kata-kata pujian dari orang rumah.

Bian, lelaki itu hanya tersenyum tipis, berjalan pelan di belakang perempuan itu. Hingga langkahnya berpisah, Bian masih dapat merasakan bagaimana hangatnya senyum pada bibir ranum Rachel. Bian terdiam di depan pagar rumahnya, menatap lekat sang hawa yang melambaikan tangan sembari menutup pagar.

Rachel dengan cepat membuka satu persatu sepatu yang ia kenakan, mengetuk pintu utama rumahnya, tanpa jawaban dari balik sana ia segera membuka pintu itu tanpa dipersilahkan. Masih dengan berbagai bunga dalam rengkuhan-nya, ia berlari kecil menuju ruang makan, dimana rungunya mendengar gelak tawa di sana.

Tiga kepala yang tengah berbincang riang spontan menatap ke arahnya, senyumnya semakin merekah, segera menghampiri tanpa memikirkan sedikitpun tentang sebuah penolakan yang sejak dulu ia dapati.

Rachel menarik satu kursi kosong, meletakkan bunga-bunga itu di bawah meja makan beserta tas yang semula ia sandang. Aroma masakan yang terhidang di atas meja membuat Rachel terkesima. Apakah ini semua disiapkan untuk dirinya?

Kemudian Rachel memperhatikan empat buah piring yang ditelungkupkan di atas meja, di hadapan kursi masing-masing. Namun mengapa tak ada satu piring pun yang berada di hadapannya? Ah, Rachel tak memperdulikan hal itu sekarang, ia ingin cepat memberi tahu kabar baik kepada papanya yang entah sejak kapan mulai menyantap makanan diikuti oleh Dira dan Arsya.

Rachel melipat kedua tangannya di atas meja, memperhatikan lamat papanya yang menyantap makanan. "Pa, aku berhasil masuk final, loh," ujarnya girang. "Papa tau? Aku juga dapat banyak buket bunga dari teman-teman, mereka bilang, mereka bangga sama aku. Papa nggak mau bilang bangga juga ke aku?" tanyanya.

Rachel menghela napas panjang, tertawa kecil melihat papanya tak menanggapi sedikitpun ceritanya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Dira, lalu menatap kembali berbagai macam hidangan yang tersedia. "Ma, piring ku nggak ada, ya?" Dira hanya menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan suapannya.

Merasa tak dihiraukan, Rachel mengambil piring kosong milik Evan, yang entah dimana keberadaan sang pemilik. "Aku ambil piring punya abang, nggak apa-apa?"

"Itu punya abang kamu, letak kembali!" ujar Dira dengan nada kesal.

Rachel mengangguk, meletakkan kembali piring tersebut. Ia bangkit dari duduknya, menimbulkan suara gesekan pada keramik putih, mengambil alih fokus tiga orang di sana. "Yaudah, aku bisa ambil sendiri kok."

Rachel melangkah menuju lemari dapur, membuka pintu kayu yang mengeluarkan suara berderit. Ia mengambil satu piring yang tampak masih baru, belum terjamah. Rachel kembali membawa langkahnya ke meja makan, senyum manis masih ia lemparkan entah pada siapa, ia hanya ingin mereka tahu, jika hari ini ia benar-benar bahagia. Walau senyum paksaan yang ia ciptakan justru membuat Dira semakin muak.

Rachel menyendok-kan nasi ke dalam piringnya. Berbagai macam lauk pauk yang terhidang membuat dirinya kalap seakan ingin mengambil semua, namun tatapan tajam yang Dira lemparkan, mengurungkan niatnya.

"Pa, kali ini aku tidak mengecewakan papa lagi, kan? Papa nggak mau ngucapin sesuatu ke aku?" lanjut Rachel, berusaha membuat suaranya tetap ceria meski nada getir mulai terdengar samar. Ia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, namun rasa nikmat dari masakan yang terhidang seakan terhenti di kerongkongan.

Kini ia beralih menatap Dira, kali ini ia benar-benar berharap peran ibu dari wanita itu, wanita yang selama ini ia benci setengah mati akibat mengambil alih peran mamanya. "Ma...," panggilnya, namun wanita itu tetap diam seolah dirinya benar-benar dianggap tak ada.

Rachel mengatupkan belah bibirnya, lelah rasanya berbicara sendiri. Ia menatap kembali ke arah Dira dan Angga secara bergantian. Dira tetap tak peduli, sementara Angga mengunyah makanan tanpa henti, seolah tak mendengar.

Rachel tersenyum kecil, "aku lagi bahagia, loh. Harusnya kalian ikut bahagia juga." Gumaman itu hanya mengambang di udara, hilang tersapu angin seolah tanpa makna.

Sementara itu, di luar sana, matahari benar-benar tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan jejak oranye samar di langit. Rachel merasa sore ini begitu berbeda, bukan hanya karena kabar gembira yang ia bawa, tetapi juga karena rasa kosong yang entah mengapa semakin terasa dalam hatinya. Ia sadar, bahwa di rumah ini, ia hanya sebuah figuran yang tak berkesempatan untuk berperan.

Rachel bangkit dari duduknya, meninggalkan sepiring nasi yang hanya tercicip beberapa suap. Langkahnya menuju wastafel terasa berat, piring itu diletakkannya begitu saja, menyerahkannya pada tangan-tangan lain yang akan membersihkan.

Ia menaiki satu persatu anak tangga sembari merengkuh bunga dengan langkah berat. Di belakang sana, entah mengapa tawa tiga kepala itu kembali terdengar. Rachel tersenyum getir, ia rasa, jika dirinya kembali berbalik arah dan duduk kembali di tengah-tengah mereka, gema tawa itu tak lagi terdengar seceria ini. Apakah ia perusak dari semua yang mereka tata? Ralat, mereka-lah yang merusak semua yang ia punya.

Di kamar, ia melepaskan bunga-bunga dari rengkuhan, seolah melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Aroma mawar dan lili yang semula menenangkan kini terasa menyesakkan. Rachel duduk di tepi ranjang, matanya menelusuri setiap kelopak yang seolah berbisik pilu. Semua pencapaian, semua usaha yang ia lakukan selama ini, terasa luntur, melebur dalam lelah dan luka tak berkesudahan.

Dalam sunyi hatinya, Rachel bertanya-tanya, berapa lama lagi ia harus menanti agar keberadaannya diakui? Seberapa banyak lagi penghargaan yang harus ia persembahkan agar sekilas pandang papanya tertuju padanya? Satu kata yang tak kunjung datang, yang ia dambakan lebih dari apapun; "Papa bangga padamu, Rachel."

Rachel terdiam, menahan sesak yang kian meraja. Ia menarik napas dalam-dalam, namun udara yang masuk tak mampu mengusir kekosongan yang menggelayuti jiwanya. Tangannya perlahan meraih setangkai mawar putih, memetik satu kelopaknya dengan hati-hati. Di benaknya, berulang kali terdengar suara kecil yang menanyakan hal sama; apakah usahanya memang begitu tak berarti? Apakah dirinya hanya seberkas bayang, tak pernah terlihat?

Rasanya seperti menatap cermin yang tak pernah memantulkan diri seutuhnya. Setiap penghargaan yang ia raih, setiap langkah berat atas usahanya, bagai percikan cahaya yang segera padam dalam gelap. Rachel meremas kelopak bunga itu dalam genggamannya, merasakan kelembutan yang seketika hancur di bawah tekanan.

Ia menengadah, menatap langit-langit kamar dengan mata yang berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terperangkap di tenggorokannya, suatu kepedihan yang menuntut untuk diluapkan, namun tetap tertahan, seolah takut merusak segala yang masih tersisa. Lelah, ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang, memeluk sunyi yang kian mencekik.

Dan di sana, di dalam diam yang pekat, Rachel bergumam lirih, membayangkan wajah pucat mamanya sebelum dikebumikan. "Ma, apa aku harus terus berlari tanpa akhir, mengejar sesuatu yang mungkin tak pernah ada? Apa aku harus terus berjuang dalam kegelapan, berharap seberkas cahaya dari papa yang mungkin tak pernah datang? Ma, aku lelah, pengen pulang bareng mama."

Air matanya jatuh, menelusuri pipi, membawa serta segenap perasaan yang selama ini tertahan. Namun di tengah badai kecil itu, ia sadar bahwa dalam hidupnya, ia tak hanya berjuang demi satu kata. Ia berjuang untuk dirinya sendiri, untuk menemukan makna dan tujuan yang lebih besar dari sekadar harapan akan pengakuan. Mungkin suatu saat nanti, ia akan menemukan jawaban, dan mungkin, hanya mungkin, ia akan mendengar kata-kata itu. Tapi sampai saat itu tiba, Rachel memilih untuk terus berjalan, meski dengan langkah yang terseok-seok.

Rachel mengusap kasar sudut matanya yang meneteskan air mata, selepasnya ia tertawa kecil. "Dramatis banget."

• • •

"Sempurna," sepenggal kata yang sejak dulu Rachel tanamkan pada benaknya, bagai mantra yang tak pernah henti diucapkan dalam setiap napasnya. Sejak kaki mungilnya pertama kali bertapak di taman kanak-kanak, harapan besar atas kesempurnaan sudah diharapkan dari keluarganya. Tangannya yang kecil memegang secarik kertas ujian bernilai sempurna, seakan memikul beban harapan yang tak kunjung pudar.

Saat sekolah dasar, Rachel sangat menyukai bagaimana kupingnya menerima kata-kata pujian dari orang lain. Sebaris kata yang membuatnya terus berlari, mengajar bayang-bayang kesempurnaan yang kian menjauh.

Tapi, semakin kakinya melangkah lebih jauh hingga ke jenjang sekolah menengah pertama, ia sadar jika beban yang ia pikul semakin berat. Keluarganya, hanya berharap tentang keberhasilan dan kesempurnaan yang ia punya, tapi mereka melupakan untuk memberi kata dukungan yang sekiranya lebih berarti dari kata pujian.

Tiap langkah, rasanya semakin berat, terutama di hari kematian sang ibu. Tubuhnya terasa seperti tenggelam di dasar paling gelap, secercah harapan untuk ia kembali bangkit sirna beriringan dengan jasad ibunya yang dikebumikan.

Hiruk-pikuk kehidupan semakin mengikis jiwanya, seperti ombak yang tiada henti menggerus batu karang. Sang ayah yang seharusnya berperan untuk membangkitkan semangat hidupnya, justru meninggalkan luka-luka tak kasat mata, membiarkan dirinya terkapar dalam kesunyian.

Kini, ia akan terus melangkah dengan pelan, mencari kesempurnaan yang orang-orang tanamkan pada dirinya. Tak perduli seberat apa beban pikulannya, karena percuma jika ia utarakan, mereka tidak akan pernah mengerti tentang dirinya.

"Sial!" Umpatannya menggema, menghantam keheningan malam yang mencekam.

Suara koyakan sebuah kertas terdengar seperti jeritan dalam sunyi, diiringi lampu belajar yang menyorot tajam kekacauan di meja, dan dirinya yang terlihat tak berguna tengah menelungkup kan kepala di atas meja.

Rachel mengangkat kepalanya, memperhatikan kekacauan yang ia perbuat. Kebingungan, rasa lelah, dan frustasi menjadi satu. Kantung mata yang semakin tebal, matanya yang memerah menahan kantuk, dan pipi yang semakin tirus. Bukan hanya meja belajar yang kacau, ternyata fisik dan batinnya tak kalah kacau dengan meja tersebut.

Perlahan, Rachel melepaskan ikatan rambutnya, membiarkan helaian rambutnya jatuh bebas, seperti ingin melepaskan semua beban yang terikat di benaknya. Ia menatap kosong ke arah tumpukan kertas yang terkoyak, soal-soal yang membuatnya muak, rumus-rumus yang seolah mengejeknya.

"BANGSAT! GUE CAPEK SIALAN." Erangan tersebut memekakkan kuping, berbagai benda di atas meja ia hamburkan menimbulkan bunyi-bunyi yang menganggu. Suara ketukan pintu kamarnya terdengar gaduh seakan memaksa untuk masuk. Suara panik abangnya dapat ia dengar, namun ia hiraukan.

Rachel menutup wajahnya dengan telapak tangan kala air mata mulai berdesakan untuk keluar. Sesak pada dadanya seakan menggambarkan kesengsaraan tak berkesudahan. Sebuah gunting yang ia letakkan di tempat pulpen menarik perhatiannya. Bisikan-bisikan entah dari mana seakan membuat kepalanya semakin berisik, meminta raganya untuk menghilang dari bumi.

Dengan tangan gemetar, Rachel meraih sebuah gunting, napasnya tersendat saat jemarinya menyentuh benda dingin itu. Rambutnya ia genggam, bersiap untuk memotong, seolah ingin melihat seberapa banyak ia bisa menyingkirkan beban yang tertanam dalam helaiannya.

"Mau ngapain?!" Suara bentakan itu membuat Rachel membuang asal gunting yang ia genggam.

Ia spontan menoleh ke arah sumber suara, menatap Evan yang berdiri pada ambang pintu dengan pahatan wajah menyeramkan, mirip seperti papa ketika sedang membentaknya. Rachel menunduk ketika melihat Evan mendekat ke arahnya lalu berjongkok, mengambil alih telapak tangannya yang dingin untuk digenggam.

"Kenapa?" Perkataan yang Evan ucapkan dengan halus seakan meniup lembut rungu siapa saja. Evan mengedarkan pandangannya ke segala sudut kamar Rachel yang tamaram, kemudian kembali membawa sepasang matanya untuk melihat sang adik yang masih terisak. "Kenapa nangis?" tanyanya sambil mengusap air mata yang masih tertinggal.

Rachel turun dari kursi, jatuh berlutut di lantai, memeluk Evan erat-erat, seakan ingin menghirup kehangatan yang lama hilang. Wajahnya tenggelam di dada sang kakak, sedangkan Evan menumpukan dagunya di atas kepala Rachel, mengusap punggung kecil yang bergetar. Isak tangis Rachel terdengar kembali, begitu dalam, begitu pilu, bersama dengan genggaman erat pada baju Evan yang semakin kusut.

"Aku nggak suka sama tatapan semua orang yang anggap aku sempurna, aku rasanya mau mati mikul semua harapan mereka. Aku juga bisa gagal, tapi karena tatapan mereka, aku jadi takut sama kegagalan." Rentetan kata penuh ketakutan itu terdengar menyesakkan, getar pada masing-masing kata itu menjelaskan bagaimana kesulitan yang selama ini sulit untuk diutarakan.

Melihat Rachel yang mengungkapkan segala ketakutannya yang diiringi dengan suara tangisan membuat Evan memejamkan mata, turut merasakan sesak yang sama, beban yang serupa.

Evan tetap memeluk adiknya erat, mencoba menghimpun semua luka yang mengalir deras dari dalam hatinya. Ruang kamar yang temaram menjadi saksi bisu dari setiap tetesan air mata yang jatuh di atas lantai, setiap helaan napas yang berat dan tertahan. Di dalam rengkuhan yang rapuh itu, waktu seolah berhenti, menyisakan hanya kesunyian dan rasa sakit yang mengambang di udara.

"Bang, aku capek...." Suara Rachel terdengar serak, nyaris tak terdengar, seakan tercekik oleh keputusasaan. Kata-katanya terputus-putus, seperti burung yang patah sayapnya, tak mampu terbang namun tak rela jatuh ke tanah. "Aku capek jadi diriku sendiri, yang selalu harus sempurna, yang selalu harus kuat."

Evan menutup mata, menahan butir air mata yang ingin jatuh, tetapi ia tahu, tangisan tak akan menghapuskan luka yang sudah tertanam dalam. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri agar tetap kuat untuk adiknya.

"Dek, dengarin abang," bisiknya, suaranya penuh kelembutan, seolah berusaha merangkul hati yang remuk. "Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Kesempurnaan itu cuma bayangan, halusinasi yang diciptakan sama orang-orang yang bahkan nggak tahu rasanya jadi kamu."

Rachel terdiam, kata-kata Evan menyelinap ke dalam jiwanya yang lelah. Ia memejamkan mata, membiarkan kata-kata itu meresap, mencari tempat untuk berlabuh dalam dirinya yang penuh gelisah.

"Kita semua punya cacat, punya kelemahan, punya kegagalan," lanjut Evan, tangannya masih mengusap lembut punggung Rachel. "Nggak apa-apa, itu adalah bagian dari menjadi manusia. Kamu nggak perlu terus-terusan jadi Rachel yang sempuna, kamu cuma perlu jadi diri sendiri."

Rachel tertawa dalam rengkuhan itu, matanya yang sembab kembali menatap Evan, mencari jawaban di sana. "Mereka nggak akan pernah ngerti, bang. Mereka bakal terus nuntut aku buat terus jadi yang sempura, karena dari awal, aku yang ciptain kata-kata itu buat diriku sendiri."

Evan menghela napas, lalu tersenyum tipis, bukan karena bahagia, tapi karena ingin menenangkan.

"Biarin mereka," jawab Evan lembut, tapi tegas. "Biarin mereka berpikir apa yang mereka mau. Sekarang, kamu yang hidup dalam tubuhmu, dalam pikiranmu, dalam hatimu. Nggak ada yang berhak menentukan siapa dirimu kecuali diri kamu sendiri."

Malam itu, di dalam kamar yang penuh kekacauan, jiwa kosong itu menemukan ketenangan. Tidak ada yang berubah secara tiba-tiba; bayangan-bayangan itu masih ada, harapan-harapan orang lain masih membebani. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kekuatan dalam kebersamaan mereka, ada cahaya kecil yang mulai bersinar di ujung kegelapan.

Mungkin, hidup bukan tentang menjadi sempurna. Mungkin, hidup adalah tentang berani menghadapi ketidaksempurnaan, tentang menemukan keberanian di dalam kelemahan, tentang mencintai diri sendiri di tengah tuntutan dunia.

Dan malam itu, Rachel mulai melihat kemungkinan untuk mencintai dirinya—sedikit demi sedikit, satu langkah pada satu waktu.


INTERLOCKED

Happy reading all, beribu maaf lagi-lagi aku layangkan kepada kalian karena keterlambatan..

Aku mau nanya deh, kalian pernah nangis nggak sih pas baca cerita ini? Atau pas baca part ini?

Lop yu (⁠◠⁠‿⁠◕⁠)

Continue Reading

You'll Also Like

460K 24.3K 36
Kisah seorang Andrea si bodyguard tampan tapi Manis yang selalu menarik perhatian tuannya . "Tidak ada yang aneh, hanya saja kamu terlihat menarik di...
6.9K 1.1K 14
[Kemampuanku sekarang adalah takdir abadiku] Intinya, Kemampuan lebih bagi seorang Sixth Sense sangat berpengaruh besar. Dari keseharian, gaya hidup...
11.1K 1.8K 12
𝗡𝗶𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗰𝗲𝗽𝗮𝘁. 𝗣𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗮𝘂𝗮𝗻, 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗮...
651K 21.1K 34
( ON REVISION ) Nadia Akhbar seorang pelajar universiti. Jiwa nya tiba tiba termasuk ke dalam satu novel "My Girl Selena". Lebih parahnya dia menjad...