🍦🍦🍦
"Harus dapat donor dari orang lain?"
"Bukannya itu sudah jelas?" tanya dokter muda berkacamata yang kini tengah menyeruput kopi yang ia pesan. "Kalau orang-tua kandungnya sudah tidak ada, lalu orang-tua asuhnya tidak cocok, berarti pilihan lain jatuh kepada orang lain," lanjutnya menatap Elliot yang terlihat tengah berpikir.
"Tapi tunggu, ini bukan situasi yang penting, kan?" Elliot mendongak menatap orang di depannya. "Siapa yang sedang kita bicarakan?"
"Tahun ini saya lulus, mungkin akan ambil kedokteran," alibinya, menyeruput kopi. "Jadi ini hanya sekadar pertanyaan."
Matanya kini mengarah pada cangkir kopi, membelainya dengan jempol secara perlahan. "Orang lain siapa yang akan menyelamatkan Lo untuk kehidupan kali ini?" batinnya.
🍦🍦🍦
ˢᵃᵇᵗᵘ, ²³ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²³
Pagi ini, hari Sabtu yang di mana sekolah biasa sepi, ramai: anak-anak kelas lain yang ikut mendukung tim voli, anak-anak anggota khusus supporter, guru-guru yang membawa anaknya untuk menonton, dan yang lainnya. Mereka kini berkumpul di lapangan utama untuk di beri instruksi: jangan berlebihan saat mendukung, tidak membuat gaduh, tertib, dan kenakalan-kenakalan lain yang harus dihindari saat berada di gedung olahraga pusat kota—gedung yang akan dipakai untuk sekolah mereka bertanding dengan Bunga Bangsa.
Mereka akan berangkat bersama menaiki bus. Sebenarnya dapat sendiri-sendiri, tetapi bukan Nasional Garuda jika tidak tertib. Sekolah dengan image yang selalu menjadi nomor satu.
Sedangkan tim voli kini sudah berada di gedung olahraga pusat kota, sebuah gedung besar nan luas dengan cat merah maroon. Sebuah gedung yang memang digunakan untuk turnamen-turnamen keolahragaan yang berada di pusat Jakarta.
Kini semua sibuk mempersiapkan diri: pemanasan, mondar-mandir tak karuan, gelisah, adalah perasaan mereka untuk pagi ini. Berbeda dengan Rain yang kini tengah tenang, di luar. Sedari tadi, bahkan kemarin, dirinya belum melihat seorang Leo. Pesan singkatnya bahkan belum cowok itu balas atau sekadar membacanya. Ditambah ruang pertandingan antara tim putri dan putra terpisah, membuatnya tidak dapat mengetahui apakah cowok itu sudah berada di tempat atau belum.
Mungkin jika dirinya tidak jadi terpilih menjadi tim inti, pasti ia akan berlari menuju ruang tanding putra untuk menemui Leo langsung. Memang bisa saja dirinya sekarang menuju ke sana, tetapi ia sedang tidak ingin bertemu Elgar untuk pagi ini, dirinya belum siap untuk menerima sebuah tikaman tajam dari matanya.
"Kasian Fiera, ya, padahal dia seneng banget bisa ikut tanding." Apa tidak tambah hancur jika sindiran seperti itu ditambah dengan mata tajam Elgar? Ruang diskusi ini benar-benar sangat sempit untuk telinganya berpura-pura tidak mendengar.
Gedung olahraga besar ini memang tersedia beberapa ruang diskusi untuk para tim pertandingan. Ruang ganti pun tersedia khusus di sana, tidak seperti gedung olahraga lain yang hanya menyediakan kamar mandi saja.
"Kak Leo ke mana, sih, dari kemarin nggak offline terus," ucap orang di ruang diskusi lain. Ruang diskusi yang diisi oleh tim putra dari Nasional Garuda. "Jangan bilang sakit atau apa tapi nggak bilang," lanjutnya dengan raut bingung. Tentu saja itu Faiz, ketua yang tengah sibuk mengabsen anggotanya. Cowok yang sudah siap dengan jersey biru itu kini tengah gelisah. Takut jika server dari timnya tidak masuk.
"Kak Leo nggak akan nggak datang," timpal Tegar, mencoba memenangkan temannya.
"Misi." Suara itu mengalihkan semuanya. Semua yang berada di ruangan dengan ukuran 4×4 meter itu menoleh pada suara. Terlihat Ghani yang membawa satu kardus air mineral, diikuti Danial yang membawa dua plastik besar yang sepertinya berisi makanan.
"Anjay, anjay, anjay!" Dengan semangat Faiz menghampiri keduanya, memberi tepuk tangan dengan senyum yang begitu mengembang. Bahkan Tegar sempat menggeleng dengan perubahan raut Faiz yang begitu cepat.
"Kalau nggak dijemput, mereka nggak akan menepati janji," ucap Leo yang berdiri bersandar pada pintu, kedua tangannya dilipat di depan dadanya.
"Eh, kurang nih kayaknya, masa cuman nasi kotak doang," ucap Faiz setelah membuka plastik besar berwarna biru itu. "Minimal cemilannya nggak, sih, apel atau durian gitu?"
"Ginjal lo sini gue jual dulu," balas Ghani dengan raut kesal. Bagaimana mana tidak kesal, mereka sudah menghabiskan uang tabungan mereka bahkan uang kas ekstrakurikuler mereka pun sudah habis untuk membeli makanan dan minuman ini, tetapi Faiz masih saja berulah.
Ghani dengan Danial keluar dengan raut yang tidak dapat dikondisikan lagi. Itu akibat jika terlalu banyak berbuat ulah: senjata makan tuan. Itu mungkin istilah paling tepat untuk mereka.
🍦🍦🍦
Untuk beberapa menit lagi pertandingan di mulai. Kini semua sudah berkumpul di lapangan masing-masing: pemberian instruksi pertandingan, pemanasan, dan lainnya kini mereka tengah lakukan.
"Rain jadi spiker di tim inti," adu Elgar yang tengah melakukan pemanasan di samping Leo.
"Rain?" Leo yang juga tengah melakukan pemanasan kini menoleh pada Elgar.
"Pak Astoro kekeh pilih Rain sebagai spiker," jelasnya tanpa menoleh. "Bahkan setelah dia bikin blocker kena serangannya." Sangat disayangkan jika Leo tidak melihat drama kemarin. "Lo nggak gerah apa, jaket nggak dilepas?"
Leo memang masih mengenakan jaketnya. Entah mengapa dirinya sedikit ragu bahkan setetes rasa takut menyelimuti. Cowok itu mengarahkan pandangannya pada tribun yang sudah terisi penuh oleh para penonton, mencari kedua orang-tuanya yang ia tahu bahwa mereka akan menonton. Pandangannya kini teralih pada Elliot yang ia tahu kini tengah menatapnya. Tatapan mata yang sulit untuk ia artikan. Sudah seharian ia tidak bertemu dengan Elliot walaupun mereka tinggal dalam satu rumah. Dan itu terjadi di setiap tanggal 22 Desember: Elliot selalu menyuruhnya untuk cepat pergi ke rumah duka untuk mengucapkan "selamat hari ibu" dan itu sangatlah membosankan. Karena dirinya bukanlah anak kecil yang tidak tahu hari.
Suara peluit bunyi begitu saja, membuat tatapan mereka terputus seketika. Semua anggota tim, entah dari Nasional Garuda maupun Bunga Bangsa bergerak untuk berkumpul di tengah lapangan, membuat barisan penonton bersorak seketika.
Melihat teman-teman yang sudah berjalan mendahului, dengan pelan dan sedikit rasa ragu, Leo membuka jaketnya.
"Lo habis berantem?" Wajar. Itu adalah pertanyaan pertama yang sangat wajar Leo dapatkan. Beberapa luka lembam di lengannya adalah menjadi alasan dirinya memakai jaket.
"Kak, lo habis berantem?" Pertanyaan wajar kedua itu datang dari Faiz yang berjalan di depannya.
Sebetulnya, dirinya sendiri bingung harus menjawab dengan alasan apa jika sudah seperti ini. Bahkan dirinya tidak menyangka jika lebam ditubuhnya akan menyebar. Bukan hanya itu saja yang ia pikirkan, kedua orang-tuanya adalah hal terbesar di otaknya kini: bagaimana reaksi mereka jika melihatnya, apakah akan sama dengan reaksi Elliot yang kini tengah bertanya-tanya dalam gerakan mata.
Dengan mengernyitkan dahinya, Elliot menatap Leo yang kini berdiri tak jauh darinya. Memperhatikan kedua lengannya yang dibeberapa titik terdapat lebam.
Setelah semua instruksi sudah dijelaskan oleh wasit, kini mereka berjalan pada posisi masing-masing. Menunggu Faiz dan Zaldi melakukan suit untuk tim mana yang akan memulai.
Mata Leo dan Zaldi kini bertemu, saling bertukar. Dari sana, terlihat Leo yang mengacungkan dua jarinya pada Zaldi dengan tersenyum tipis. Dengan senyum licik pula Zaldi membalas dengan satu jari telunjuk, mengisyaratkan dirinya tetap memilih juara satu walaupun hadiah yang mungkin tidak dirinya sangka memang betul adanya.
Di ruang pertandingan lain, tim putri sudah mulai dari lima menit yang lalu. Mereka berunding dengan tenang. Semua bertanding untuk membawa nama sekolah masing-masing. Sorakan dari penonton adalah salah satu semangat mereka. Tak henti-hentinya mereka, para supporter meneriaki nama sekolah. Memberi mereka kekuatan untuk menang.
Trik yang kemarin Rain gunakan pun ia gunakan sekarang, menyerang mereka ketika sudah lelah. Walaupun dari teman-temannya selalu protes meminta dirinya untuk lebih bertenaga dalam memukul, Rain tetap pada tekadnya, tetap pada cara yang temannya beri.
Berbeda dengan tim putri, tim putra lebih memilih untuk langsung bermain dengan keras. Saling menyerang tanpa melibatkan kata ampun. Saling memberi kode, siapa yang akan menjadi target pukulan mereka. Dari masing-masing tim, mereka memiliki orang yang menjadi target mereka. Nasional Garuda yang lebih memilih menyerang anggota lawan paling kuat serta Bunga Bangsa yang terlihat lebih memilih lawan yang kuat.
Seperti Zaldi yang sedari terus menyerang ke arah Leo, cowok itu tahu jika Leo adalah anggota dengan teknik paling bagus. Maka dari itu dirinya terus mengincar Leo agar cowok dengan mata indah itu kewalahan lalu lelah.
Tentu saja cowok yang tengah diincar oleh satu tim itu berdecak kesal. Sangat merepotkannya. Ditambah Elliot yang sedari tadi tersenyum jahil padanya.
BUGH
Serangan keras dari Zaldi kali ini berhasil membuat terhuyung, gagal untuk menerima. Dengan pelan ia mengibaskan tangan kanannya yang mulai terasa nyeri. Bayangkan saja, dari awal hinga pertengah permainan, hampir semua bola dari lawan mengarah kepadanya.
"Kak, nggak mau diganti aja?" saran Faiz saat melihat Leo yang masih mengibaskan kelapak tangannya.
"Lo gila?" Faiz seketika menelan ludahnya dengan susah payah, mendengar jawaban sarkas dari Leo.
Semua kembali fokus, menanti bola datang dari tim lawan. Menerima, memberi, menerima, memberi lalu bola jatuh di tim lawan setelah salah satu dari mereka gagal untuk mengembalikan.
Kini giliran Leo yang akan melakukan servis. Men-dribble bola sebelum memukulnya dengan keras. Ia juga terlebih dahulu melihat lawannya, melihat siapa yang akan ia incar. Namun sayang, itu semua tertunda perlahan. Belum sempat dirinya memukul bola yang berada di tangan kirinya, tangannya bergetar seketika, seakan enggan untuk memukul bola.
Cowok itu mendengar panggilan dari teman-temannya, tetapi tidak ia indahkan. Pandangannya kini menuju ke arah tribun tempat Meghan dan Arya duduk menonton. Terlihat mereka dengan mata penuh harapan. Seakan tengah memberinya kekuatan.
Sorot matanya kini bergantian menatap bola dan tangan kanannya yang masih bergetar. Bukan tanpa alasan dapat demikian, selain menerima serangan kuat dari tim lawan berkali-kali, penyebab tangannya cedera adalah kecelakaan yang ia alami lima tahun yang lalu. Sering ia bertanya: mengapa dari sekian banyak anggota tubuh yang punya, kenapa harus tangannya yang berguna yang terjepit hingga mati rasa?
Jangan. Mungkin mengingat hal demikian sangatlah tidak tepat untuk waktu sekarang. Dengan keberaniannya, Leo menggenggam kuat tangan kanannya sebelum ia gunakan untuk melakukan servis atas.
Servis-nya melayang dengan sempurna, membuatnya berlari kembali pada posisi untuk bersiap menerima bola bila bola yang ia beri berhasil dikembalikan.
🍦🍦🍦