Awas! Typo ada di mana-mana... Bisa kog bantu menandai dengan komentar. :)
Kalo ada Part yang kurang nyambung, boleh juga di tandai kawan. ^^
Sedekah votenya untuk hari ini teman... Nge-Vote tu gratis loh 👀
__________________________________
Happy Reading 🌛
.
.
.
Makan malam mereka berakhir dengan lancar, meskipun rencana Nazea ingin mengobrol banyak hal bersama, gagal karena reaksi Kian. Dan sekarang mereka sudah kembali ke kediaman.
Zea berdiri di balkon menatap langit malam yang terlihat indah bertabur bintang.
"Langitnya indah." Gumamnya. Zea mengambil nafas panjang. "Aku besok harus bekerja."
"Kau bekerja?"
Zea terkejut, ia menoleh ke belakang dimana ada Keanel yang berdiri di belakang dengan piyama tidur, jangan lupakan Tab yang ia pegang.
"Kau? Mengagetkan ku saja." Zea menyentuh dadanya, untungnya ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
"Maaf...." Keanel meletakkan Tab-nya di meja balkon, lalu ia mendekat dan berdiri disamping Zea. "Apa kau kembali bekerja?" Ulang Keanel.
"Hum..."
"Kenapa kau bekerja? Aku bisa membiayai hidupmu." Protes El.
Zea menaikan sebelah alisnya. "Benarkah?"
Keanel terdiam, ia lupa memberikan kartu kreditnya pada Zea. "Ah... Maafkan aku."
"Tapi uang ku adalah uangmu... Kau bisa meminta apapun padaku." Lanjut El.
"Tidak usah... Kau terlalu berlebihan."
Keanel menggeleng tidak setuju. "Zea... Dengar aku, kau itu istriku, tanggungjawab ku, ibu dari anak-anakku."
"Apa? Tanggungjawab?" Zea sedikit tidak suka jika ia hidup bersama El karena rasa tanggungjawab juga belas kasihan. Ia ingat, dulu ia mempermasalahkan hal sepele seperti ini hingga membuat hubungannya dengan Keanel menjadi renggang.
"Tidak... bukan hanya itu, karena Kau..... Kau wanita yang paling kucintai setelah ibuku." Ujar Keanel penuh kesungguhan.
Wajah serius itu, kenapa tampan sekalih. Zea Samapi memalingkan wajahnya, salah tingkah. "Berhentilah mempermainkan perasaanku."
"Apa kau meragukan ku?" Keanel memegang dagu Zea menyuruh Zea menatap ke arahnya. "Apa kau masih ragu?"
Zea memaksakan menundukkan wajahnya, ia malu jika di perlakukan seperti ini. "Hm... Sedikit."
"Bagaimana aku bisa membuatmu percaya." Keanel menghela nafas. "Kalo begitu, mulai sekarang aku akan selalu mengatakan aku mencintaimu."
"It-itu tidak perlu." Bukan itu yang Zea mau.
Keanel bersimpuh dengan satu kakinya menjadi tumpuan, lalu mengeluarkan kotak mini dari dalam saku celana piyamanya.
"Hei! Apa yang sedang kau lakukan! Berdirilah!" Zea panik, kenapa Keanel kekanak-kanakan begini.
Keanel tidak menggubris, El memilih membuka kotak mini yang cantik itu di hadapan Zea. "Maukah kau selalu menjadi istriku?"
Bisa Zea lihat, sebuah kalung yang sangat cantik meski desainnya sederhana. "Kau..."
"Anggap saja ini lamaranku. Maka, maukah kau selalu menjadi istriku." Keanel memberikan tatapan penuh harapan.
"El... Kau tidak perlu sampai begini." Zea menuntun El berdiri. "Kenapa kau sangat nekat ingin bersamaku? Bukankah kau muak dan ingin meninggalkanku?"
"Tidak... Itu sama sekalih tidak benar. Sekalipun aku tidak pernah merasa muak padamu. Jika aku muak, bukankah aku sudah meninggalkanmu sedari lama? Tidak kan? Aku ingin mempertahankan-mu Zea, hanya kau yang berhak mengisi hatiku."
Manis sekalih, Zea cukup luluh dengan hanya kata-kata Keanel saja. "Tapi kenapa kau tidak menemui ku setelah aku keluar dari sana?"
Keanel diam, ia memang tidak menemu Zea sama sekalih. Alasannya, yang pertama. Dulu Zea selalu mengusirnya dan mencoba mengakhiri hidupnya setiap bertemu Keanel. Ke dua, Keanel merasa trauma jika melihat Zea, ia takut Zea kembali menggila. Ke tiga, Keanel belum siap bertemu. Maka dari itu, El memilih terlihat abai.
"Aku... Aku takut kau kembali terluka dan melukai diri sendiri karena-ku. Dan ku dengar Kau amnesia, jadi ku pikir lebih baik aku menjauh, daripada aku mendekat dan membuatmu kembali menggila." El menunduk. Ia berfikir, bukankah ia sangat pengecut dan bodoh?
Zea mengangkat dagu El, ia memperhatikan detail wajah Keanel. Menurutnya, semua yang Keanel katakan itu masuk akal.
Bolehkah Zea kembali percaya pada pria ini?
"Apa kau sungguh-sungguh saat mengatakan kau mencintaiku dan rela mati untukku?"
Keanel mengangguk cepat seperti anak kecil yang menurut. "Ya.... Aku sangat mencintaimu... Dan itu sangat-sangat!"
Zea tertawa kecil, kenapa Keanel yang sekarang terlihat sanga lucu? Tingkahnya mirip seperti Baby Je yang penurut.
"Jadi... Maukah kau selalu di sisiku?" Keanel menyerahkan kotak kalung itu.
Zea terkekeh, apa begini rasanya di lamar? Lucunya. "Aku menerimanya... Tapi dengan satu syarat."
Keanel tersenyum senang. "Apa itu? Aku akan melakukannya demi bersamamu." Keanel serius.
Zea tersenyum tulus. "Kau harus berjanji, kau tidak akan meninggalkanku, apa lagi membuang-ku."
Keanel ikut tersenyum. "Tentu saja, Aku berjanji aku tidak akan melakukannya sampai matipun! Aku akan terus bersamamu... di sisimu selamanya."
Zea tertawa, Keanel sangat lucu saat mencoba terlihat bersemangat.
"Bolehkah aku memasangkan nya untuk mu?" Tawar Keanel, dan di angguki Zea.
Keanel perlahan memasangkan kalung di leher jenjang nan mulus milik Zea. Setelah terpasang, El melihat kalung itu. "Cantik." Pujinya, itu membuat Zea tersipu.
Sebenarnya Keanel ingin mengajak makan malam hanya berdua dengan Zea untuk memberikannya, namun gagal. Tapi untungnya sekarang ia bisa menyerahkannya tanpa perlu membuat makan malam yang romantis.
Keanel merentangkan kedua tangannya. "Mau peluk?"
Dalam hati Zea, ia pernah bermimpi ingin memeluk Keanel yang tampan ini. Dan sekarang, tentu saja Zea tidak menolak.
Nazea menghamburkan pelukannya pada El, ia memeluk erat tubuh kekar milik Keanel yang tentunya dibalas tak kalah erat. El mencium puncak kepala Zea yang harum.
"Aku sangat mencintaimu Annazea."
∆∆∆∆
Setelah debat yang panjang dan berakhir dengan kemenangan Nazea, hari ini Nazea bisa kembali pergi ke kantor Keanel untuk bekerja, sudah 1 minggu lebih ia tidak bekerja.
Zea segera mengganti pakaiannya di ruang ganti. Dan tak lupa merapikan pakaiannya.
"Naze? Kau datang hari ini?"
Zea menoleh ke asal suara. "Akh.. Nisa, kau mengagetkanku." Zea tersenyum canggung.
Nisa mengajak Nazea berkumpul di ruangan Staf OG, di sana sudah ada Okta, Levi dan beberapa Staf OG lainnya.
"Na.... Akhirnya kau datang!" Seru Okta.
"Mbak Na kemana saja? Aku kira Mbak Na resign." Ujar Levi sedih.
Zea tersenyum, ia senang ternyata ada yang merindukannya di kantor. Meski Zea memiliki teman baik dan ramah, tentunya masih banyak yang tidak menyukainya.
"Kemana saja kau selama ini? Apa kau diam-diam menikah tanpa mengundang kami?" Tanya Okta penuh selidik.
"Apa yang terjadi Ze? Kau terlihat baik-baik saja." Nisa memperhatikan tingkah Zea yang terlihat lebih bahagia tapi tidak gila seperti saat mendapatkan cincin dari Keanel.
"Benar! Setelah Mbak Na memiliki cincin itu, mbak Na tidak pergi bekerja." Tambah Levi. Levi menatap penuh curiga, meski di mata Zea itu terlihat lucu.
Kenapa temannya ini kepo sekalih. Ia sudah menikah woi! Tapi jika di pikir, ia rasa ia seperti memulai kembali hubungannya dengan El.
Nisa menyenggol bahu Zea yang terlihat tersipu. "Siapa itu? Ceritakan pada kami."
Zea tersenyum canggung. "Kalian ini... Sudahlah.. berhentilah menggodaku." Zea ingin pergi.
"Ayo lahh... Na..." Nisa yang memang lebih formal ketimbang Okta dan Levi kini mulai merajuk.
"Apa kalian sudah melakukan malam pertama?" Okta menaik turunkan alisnya.
Zea diam, apa ini! Ia bahkan tidak sempat memikirkan hal itu. Jika dipikir, bukankah Zea sudah melakukannya kan? Buktinya, sekarang ia memiliki 4 buntut.
"Kapan Mbak Na berencana memiliki anak?" Levi menatap Nazea penuh binar.
Kenapa teman Zea tidak ada yang benar sih, dan Nisa? Kenapa kau ikut-ikutan. "Apa yang kalian bicarakan."
Zea harus meluruskan kesalahan pahaman ini. "Aku tidak menikah... Lebih tepatnya aku sudah menikah sekitar 16 tahun yang lalu, dan ini." Zea menunjukkan cincin pernikahannya. "Ini cincin pernikahanku dulu."
Seketika Okta, Levi dan Nisa melongo. "Apa!"
"Mbak Na sudah menikah!" Pekik Levi heboh, sambil menutup mulutnya tidak percaya.
Beberapa staf memperhatikan mereka. Zea menepuk dahinya, kenapa mulut Levi lebar sekalih.
"Sudah lah... Kita harus segera bekerja." Zea mengalihkan perhatian.
∆∆∆∆
Zea membantu Runa mengepel ruangan karyawan di lantai tiga. Saat ini jam karyawan istirahat jadi ruangan sepi, hanya ada beberapa karyawan saja.
"Kau kemana saja kemarin?" Tanya Runa.
"Aku sibuk." Zea tidak bohong, dia memang sibuk mengurus putra-putranya yang sangat menggemaskan itu.
Runa, mendekat ke arah Zea setelah menyelesaikan bagiannya. "Untungnya asisten kepala sedang tidak hadir. Jadi kau selamat hari ini."
Zea menghentikan aktivitasnya. "Memangnya kenapa? Apa masalahnya?"
"Kau tidak tau?" Runa mendekat ke arah Zea. "Asisten Kepala itu suka mendiskriminasi, dan ku dengar jika ia tidak menyukai seseorang, ia akan memperlakukannya dengan buruk." Bisik Runa.
Zea mengerenyit dahi, kenapa hal seperti itu masih ada? Ia kira di sini damai saja, ternyata masih ada ya, hal seperti itu.
"Ck! Itu namanya tidak kompeten."
Runa mengangguk. "Benar.. aku juga berfikir begitu. Dan kau tau, asisten kepala rela menjilat kaki atasan agar mendapat wewenang serta pendukung."
"Jadi kau harus berhati-hati padanya." Lanjut Runa.
'Cih... Menyediakan' batin Zea. "Sudahlah, kita pikirkan itu besok." Zea tidak ingin ambil pusing.
"Apa yang kalian lakukan!?" Bentak wanita dari arah belakang Zea dan Runa.
Mereka berdua menoleh, Runa terkejut. "Maaf Bu Linda." Runa menunduk hormat. Sedangkan Zea, ia menatap wanita yang arogan di hadapannya dari atas sampai bawah.
"Apa yang kau lihat! Kau berani menatap atasan mu!?" Bentak wanita yang menurut Zea cempreng ini.
Zea tidak ingin menunduk untuk orang yang tidak menghormatinya, minimal menunjukan etika sopan satun lah. "Maaf.... jika saya membuat anda tersinggung." Zea tersenyum sopan dan formal.
Entah kenapa Linda merasa aneh dengan aura Zea, terkesan elegan tapi- "Kenapa kalian tadi hanya mengobrol! Lanjutkan membersihkannya." Linda melirik name tag milik Zea.
"Oh.. jadi kau yang bernama Annazea, pegawai baru itu." Wanita itu menatap Zea dari atas sampai bawah. "Cih... Kenapa banyak yang membicarakan." Gumam Linda yang mampu Zea dengar.
"Bersihkan meja itu sampai bersih." Ujar wanita yang menurut Zea sangat sok dan arogan. Tapi mau bagaimana lagi, ia menurut saja.
Setelah usai, Zea dan Runa kembali ke ruangan staf OG.
"Sangat melelahkan!" Pekik Runa sambil duduk di kursi panjang di ikuti Zea yang duduk di sampingnya.
"Bukankah wanita itu sangat arogan." Ujar Zea, Runa menegakkan tubuhnya.
"Sabar Na... Bu Linda memang suka seperti itu." Runa mengelus pundak Zea.
"Memang dia bekerja menjadi apa? Kenapa pakaiannya sangat mini? Apa wanita itu ingin menggoda?"
"Siapa?" Okta mendekat, ikut nimbrung.
"Bu Linda." Sahut Runa.
Plak!
Okta memukul pahanya. "Wahh... Kau tidak tau? Wanita itu memang penggoda." Seru Okta. "Dan dia adalah salah satu Direktur Divisi. Kudengar dia bekerja di sini lewat jalur orang dalam!" Jelas Okta, sedikit melirihkan suaranya di akhir.
"Benar... Bu Linda sendiri juga sering terang-terangan menggoda Presiden." Tambah Runa.
Deg
.
.
.
.
To Be Continue
Jangan lupa Votenya ^^
One day one chapter, Enough :)
Nantikan update rendom selanjutnya ^^
_________________________________
Nb : cerita full ngarang, jika ada kesalahan mohon di maklumi.
Di benarkan juga boleh ^^ author menerima saran.
Revisi setelah End ya teman. Maaf kalo masih banyak salahnya.