Di lain pihak, seorang pria tampak begitu mudah membawa dirinya untuk mengikuti setiap alur yang disuguhkan di dalam sana. Berfoto di bawah pencahayaan lampu yang cukup minim dengan santainya menanggapi setiap wanita yang hadir silih berganti. Sesekali menanggapi setiap perkataan lawan bicaranya dengan tenang dan santai.
“Benarkah kabar yang beredar itu benar adanya? Kau serius menjalin hubungan dengan seorang wanita non selebriti?” tanya seorang wanita yang duduk tepat di sisi Hoseok. Walaupun bukan hal baru yang patut untuk dipermasalahkan. Akan tetapi tetap saja, rasa penasaran tetap bergelayut di dalam hati dan begitu bertemu serta ada kesempatan, maka ia menyuarakannya. Bersamaan masih menanti acara utama yang hendak ditampilkan dalam pesta tersebut.
Dengan menghadirkan jeda sejenak, Hoseok tampak menikmati sampanye yang disuguhkan malam itu. Menyesapnya seraya tersenyum. Tidak terlalu terkejut akan pertanyaan yang sudah diperhitungkan dan tidak asing bagi dirinya.
Ternyata masih ada saja yang menanyakan perihal ini, padahal segala berita tentang dirinya dan juga kekasihnya sudah beredar beberapa bulan lalu. Tapi tetap saja, Hoseok yang tidak menyalahkan sikap mereka pun tetap bersikap profesional. Menanggapi apa yang ditanyakan padanya.
“Hm. Akan lebih mudah melindungi privasi kami bila ia non selebriti. Lagi pula, aku tidak ingin wanitaku menjadi pusat sorotan dan berada di dalam dunia yang kau tahu sendiri, bukankah tidak mudah bagi orang seperti kita dalam menjalin suatu hubungan? Meski banyak kabar tentang kehidupan kita yang terekspos, tetap saja ... aku yakin ada kalanya kau benar-benar ingin memiliki privasi yang hanya menjadi milikmu sendiri.”
Sang wanita pun terkekeh geli mendengar pernyataan Hoseok. Walaupun, pernyataan itu benar adanya.
“Kau benar. Hidup di tengah sorotan media memang begitu menyulitkan. Tapi, aku penasaran, bagaimana kalian dalam berkencan? Apa hanya di dalam apartemen?”
“Oh ayolah. Jangan bertanya seolah-olah kau tidak tahu, Em. Meski kita merasa ruang gerak kita terbatas, tetap ada ruang untuk menjalin hubungan yang begitu intens.”
“Lalu kenapa kau tidak turut serta membawanya, hm? Apa kau takut membuatnya cemburu? Sepertinya beberapa waktu lalu kau sempat menunjukkan kemesraan kalian dalam ranah publik. Lalu ini? Katakan, apa kau tidak merasa rindu? Padahal dalam acara ini, kau bebas membawa siapa pun.”
Hoseok terkekeh mendengar pernyataan Emily, teman yang memiliki profesi yang sama dengannya dalam satu agensi. Saat itu Hoseok hanya menggelengkan kepala. Tidak tahu bagaimana harus menjawab. Rindu? Bahkan Hoseok sangat ragu akan hal itu. Merasa cukup bahwa ranah pribadinya nyaris mulai tersentuh. Sehingga sebelum itu terjadi, Hoseok mengalihkan topik guna membatasi hal tersebut.
“Dia sangat pengertian akan profesiku. Dari pada itu, bila kau merasa bebas, mengapa tidak membawa kekasihmu?” tanyanya dengan kembali menyesap sampanyenya. Lalu mengedarkan pandangan untuk melihat sekitar.
Tidak terlalu menitik beratkan fokusnya pada topik pembahasan yang sedang mereka bicarakan, untuk beberapa detik, Hoseok memanfaatkan waktunya dengan menyapukan pandangannya menyusuri sekitar di tengah pencahayaan yang warna-warni dengan alunan musik DJ-nya. Hanya ingin melihat pemandangan lain untuk penyegaran.
Lalu tak lama berselang, Hoseok merasa ragu kala ia merasakan pening yang silih berganti muncul tiba-tiba. Bukan karena lelah atau apa pun, hanya saja, selama beberapa bulan ini hati dan pikirannya seolah memiliki kendali sendiri. Berpikir dan berperasa sendiri tanpa diperintah dan sialnya karena hal tersebut, perasaannya menjadi gelisah tanpa sebab.
Di saat indra pengecapnya di dalam sana masih merasakan kelembutan rasa akan cairan yang ia minum, entah apa yang menarik perhatiannya kala itu dan membuat netranya sejenak berhenti.
Tanpa sengaja, atensi Hoseok tertuju pada dua sejoli yang tampak saling berbincang akrab di salah satu sisi ruangan. Tidak bisa di bilang sudut, akan tetapi memang keduanya tampak berdiri di sisi dinding dekat dengan jendela. Saling melempar senyum dengan tawa ringan tanpa beban. Meski lampu yang menerangi dalam ruangan tersebut silih berganti. Namun, siluet yang ditampilkan, seolah memvisualkan akan sosok yang beberapa waktu lalu sempat memenuhi kepalanya.
Tiga detik kemudian Hoseok terkekeh dalam posisinya yang terduduk menyilangkan kedua kakinya hingga tungkainya saling bertumpuk. Menertawakan dirinya sendiri yang kali ini sepertinya sedang berhalusinasi.
Sinting! Tidak mungkin aku memikirkan Heiran di saat seperti ini.
Batinnya berusaha mengingkari eksistensi wanita yang sebenarnya bagi Hoseok sedikit mengacaukan hatinya. Tidak sadar, betapa fokusnya yang begitu terpaku sama sekali tidak teralihkan. Sampai-sampai suara yang masih mengajaknya bicara berusaha menarik atensi Hoseok.
“Hei, kau mengabaikan aku? Padahal sejak tadi aku sudah berbicara panjang lebar atas pertanyaanmu. Dan kau benar-benar tidak mendengarku?”
Hoseok memalingkan pandangannya kembali menaruh perhatiannya pada Emily. “Ah, maaf. Tadi kau bicara apa?”
Wanita itu memutar bola matanya tampak muak dan kecewa hingga kedua bahunya tampak merosot, kesal. Selama beberapa saat lalu ketika ia mengoceh panjang lebar dan selama itu ia mengungkapkan perasaannya, Seong Hoseok sama sekali tidak menggubrisnya dan itu sangat menyebalkan.
“Kalau aku membawa kekasihku, aku sama sekali tidak bisa berduaan denganmu. Kau tahu kan aku begitu menyukaimu? Bahkan aku sangat penasaran seperti apa paras wanitamu sehingga kau tidak memperhatikanku yang selama ini benar-benar menaruh perasaan terhadapmu.”
Seketika itu Hoseok tersedak di kala ia kembali meminum cairan yang tersisa di dalam gelasnya. Tidak percaya akan apa yang ia dengar. Pria itu pun segera meraih selembar tisu dalam kotak tisu yang tersedia di atas masing-masing meja. Menampik bantuan Emily yang turut memberikan selembar tisu sekaligus tidak menyangka akan reaksi Hoseok yang sepertinya memang terkejut.
“Tidak usah, terima kasih,” tolak Hoseok yang masih terfokus dengan celananya yang terkena sampanye.
Lalu Emily kembali bertanya. “Apa selama ini kau tidak pernah melihatku? Apa aku boleh menganggap sesuatu dari perlakuanmu selama ini?”
Ya. Wanita mana yang tidak terlena bila diperlakukan begitu lembut dan istimewa. Sampai-sampai Emily secara tidak sengaja membiarkan hatinya jatuh terlalu dalam demi Seong Hoseok. Sedangkan Seong Hoseok yang selama ini telah mendengar bagaimana perasaan Emily, tetap saja ia masih bersikap tenang dan santai. Tidak ingin terlalh mengambil pusing akan hal itu.
“Jangan salah mengartikan perlakuanku. Kita hanya teman seprofesi. Tidak lebih.”
“Ayolah Hoseok. Semua orang juga tahu bahwa kau mencintai model yang telah tiada itu. Apa benar hubunganmu yang sekarang benar-benar berlandaskan cinta yang tulus? Bila kau merasa tidak enak hati dengan wanitamu, aku bahkan bersedia menawarkan one night stand secara sembunyi-sembunyi. Lagi pula ... di antara kami bahkan tidak ada yang pernah melihat wanitamu selain asistenmu tentunya. Anggap saja bersenang-senang.”
Saat itu Hoseok mendekatkan dirinya. Memandang lekat pada Emily seolah ingin menyelam ke dalam samudera yang tampak tak berdasar itu. Sebelum Hoseok pada akhirnya menyunggingkan smirk-nya dengan menumpukan satu tangannya di atas meja.
“Benarkah kita bisa melakukannya? Dari pada itu, katakan dulu padaku secara jujur. Apa kau sama sekali tidak pernah bercinta dengan kekasihmu? Karena bagaimana pun aku lebih suka menjadi orang yang pertama kali mencicipi. Meski sejujurnya, aku tidak ingin mencari ribut.”
Seketika itu ekspresi Emily berubah merah padam. Walaupun penekanan di akhir sebenarnya menunjukkan bahwa Hoseok sama sekali tidak ingin terlibat dalam masalah. Akan tetapi satu yang tersirat, ucapan Hoseok menyiratkan bahwa pria itu sama sekali tidak tertarik dengan barang bekas, sehingga seketika itu Emily hanya terdiam. Mengalihkan perhatian dengan menjatuhkan fokusnya pada MC yang meminta perhatian.
Masih dalam posisinya, Hoseok menyinggungkan senyum miring. Begitu menyukai ekspresi Emily yang akhirnya sadar diri akan tempatnya. Tiba-tiba saja Hoseok kembali mengerlingkan netranya. Mencari sosok yang sempat ia lihat yang tampak begitu mirip.
Entah apa yang mendorongnya. Dengan segera, Hoseok pun membuka layar ponselnya mencoba menghubungi salah satu kontak yang tersimpan di sana. Awalnya, Hoseok berpikir ingin mengirim pesan singkat. Namun, urung karena alangkah baiknya bila ia memastikan secara langsung dengan meneleponnya.
Tidak perlu membutuhkan waktu lama, suara yang berasal dari operator pun memenuhi telinga Hoseok. Bukan hanya sekali, Hoseok bahkan mendengarnya berkali-kali selam ia melakukan panggilan ulang.
Shit! Batinnya dalam hati mengumpat. Tidak biasanya wanita ini mematikan ponselnya. Bahkan saat mengisi daya, sama sekali Hoseok tidak pernah sekalipun mendapati ponsel Heiran non aktif. Seketika itu pikiran Hoseok melalang buana, tampak berpikir.
Apa dia tersinggung karena aku menolak ajakan kencannya?
Hoseok pun menghela napas berat seraya menyibakkan rambutnya ke belakang. Begitu terbebani akan pemikirannya yang jelas memang berpusat pada kejadian sore hari ini. Sedikit menyesal akan penolakan itu yang sebenarnya, memang bisa saja ia membawa Heiran untuk turut serta bersamanya.
Hingga hiruk pikuk suara tepuk tangan nan meriah menyambut sekaligus terfokus pada acara utama. Dan seperti acara fashion show pada umumnya, para model tampak berjalan berlenggak-lenggok di atas catwalk, memamerkan busana yang mereka kenakan seolah ingin menekankan sesuatu, menonjolkan kelebihan busana santai dan kasual tersebut guna memberikan kesan bagi para penggunanya.
Sungguh sentuhan yang begitu unik dari perancang yang namanya bukan hanya sekadar isapan jempol belaka. Namun, karya rancangannya memang seindah itu. Mengusung tema liburan dengan warna kain yang memiliki corak dan tekstur yang berbeda. Bahkan dilihat dari sisi mana pun, tekstur kain yang dikenakan pun tampak bergelombang di bawah sorot lampu yang menyoroti tepat ke arah panggung. Terlihat seperti ombak di kala cahaya lampu berusaha memperjelas akses tersebut.
Corak warna yang dipilih pun begitu ceria dan hangat, layaknya berdiri di atas padang ilalang yang tidak terlalu tinggi dan diselipi dengan beberapa jenis bunga yang bermekaran di bawah naungan cahaya mentari yang memucat sekaligus desiran angin yang membuai. Benar-benar berbakat. Bahkan untuk sejenak, hanya melihat bagaimana corak yang disuguhkan dengan berbagai macam variasi yang disuguhkan, Hoseok sempat membayangkan di mana dirinya berdiri. Sungguh pas dan cocok bila mengenakannya di saat liburan.
Bila semula yang ditampilkan adalah warna dan corak yang sederhana membentuk nuansa musim semi. Namun banyak warna, kali ini sang perancang tidak hanya sekadar bermain pada hal tersebut. Melainkan untuk warna yang dipilih pada motif begitu lembut dan hanya memadukan dua warna atau bahkan hanya menggunakan satu warna.
Ingin menonjolkan kesan elegan pada penggunanya di mana tidak semua orang menyukai banyak warna yang tersedia di alam semesta. Mencocokkan atasan dengan bagian salah satu bahu sedikit terbuka, dengan bagian lain yang terdapat sedikit tiga lipatan dalam warna cokelat mengkilap. Akan tetapi bergemerlap begitu mendapat sorotan lampu. Terlihat seperti nuansa musim panas di mana air laut tampak seperti pemandangan permata begitu mendapati teriknya mentari. Namun, tetap desain yang ditonjolkan sangat simpel dan menarik.
Terlebih warna yang dipilih untuk bagian bawahan, sengaja memilih warna lembut agar sedikit melesapkan warna yang dipilih untuk bagian atasan. Sehingga sangat terlihat berpadu padan dan tetap terlihat sederhana dan kasual.
Lalu hal yang semakin menarik perhatian adalah ketika seorang model yang masih hangat diperbincangkan atas eksistensi selama beberapa bulan ini menarik jerit kagum para wanita yang berada di dalam ruang tersebut.
Hingga tanpa sadar, di tengah kekagumannya, Emily menyerukan nama sang model seolah mengajak Hoseok berbicara untuk memastikan apa yang memenuhi bayangannya.
“Bukankah dia model yang dikabarkan sedang bekerja sama dengan Brand Louisunbee yang merupakan salah satu jajaran Brand nomor satu di Seoul? Vincente?”
Sontak Hoseok mengerutkan kening begitu mendengar satu nama asing yang baru saja disebutkan lalu ikut terfokus pada sosok yang menarik perhatian wanita yang duduk di sebelahnya tersebut. Turut memandangi sosok seorang pria yang tampak mengenakan setelan kaus kasual berkerah berwarna putih dengan bawahan celana ukuran tiga perempat berwarna moka. Tampak dengan santainya menyusuri catwalk dengan pandangan yang tegas.
Lalu berhenti di ujung panggung, guna menekankan apa yang ia kenakan. Sebisa mungkin menunjukkan setiap sisi untuk menunjukkan keunikan dari pakaian yang dipakainya.
Menjadikan dirinya sebagai manekin berjalan, meski binar mata yang tertuju padanya sangat berbeda. Hal biasa yang telah kerap kali Vincente alami di saat ia beraksi pada medannya sendiri.
Di saat yang lain bertepuk tangan memberi apresiasi, Hoseok masih di tempatnya memberikan penilaian. Sedikit mengerti mengapa hampir nyaris seluruh para wanita yang berada dalam ruang tersebut begitu terpesona akan kehadirannya. Bagaimana pun, pria tersebut melebihi seperti manekin. Melainkan pahatan karya Tuhan yang tercetak pada sosoknya memang Hoseok akui begitu sempurna. Bahkan dari bagaimana sorot matanya yang terbilang santai, akan tetapi sangat mengintimidasi, sedikit menggambarkan bagaimana karakternya yang begitu kuat. Lalu, dari bagaimana ia sedikit menekankan bibirnya dengan menyentuhnya, memang sengaja ingin menggoda para wanita yang tertegun melihatnya. Tentu sangat berbeda dengan para pria di dalam negaranya.
Semula para hadirin penikmat pesta dan fashion berpikir bahwa tema yang dibawakan hanya untuk rancangan tunggal yang dipakai dan diperuntukkan bagi orang per orangan. Ternyata, tepat di bagian akhir, masih ada busana yang memang dikhususkan untuk mereka yang memiliki pasangan. Bagaimana pria dan wanita tampak menyuguhkan busana berlibur. Namun, kali ini menonjolkan karakter yang kuat dan berkelas, akan tetapi masih ada kelenturan di sana.
Hoseok yang mengamati setiap busana yang diperagakan tampak mengangguk turut mengikuti alunan musik Dj pada malam hari itu. Cukup menikmati suguhan busana yang memang ia akui begitu bagus dan menarik.
Hingga tanpa bisa ia kendalikan, waktu di sekitarnya mendadak berhenti. Lebih tepatnya bergulir melambat begitu seorang model pria tampak berjalan seraya merangkulkan satu tangannya pada pinggul sang wanita yang berada di sisinya. Berjalan melewati satu catwalk yang sama dengan busana yang berbeda.
Riuh suara jeritan yang tampak iri pun mengusik rungu Hoseok. Dan yang paling tidak bisa mengalihkan atensinya adalah, busana yang mereka berdua kenakan. Dalam balutan warna serba hitam yang senada, Hoseok melihat model pria yang namanya sempat Emily sebutkan sedang mengenakan pakaian yang lebih mirip kemeja akan tetapi bahan yang dikenakan begitu berbeda dengan bawahan yang begitu pas.
Akan tetapi yang menarik perhatian Hoseok bukanlah sang pria. Melainkan sang wanita yang dirangkul tepat bersamanya. Dalam balutan yang sama, wanita tersebut tampak berusaha menekankan apa yang ia kenakan. Semula mungkin bagian inner yang dikenakan sama dengan pakaian yang biasa digunakan untuk bagian dalam sebelum di balut dengan blazer berwarna hitam pada umumnya.
Namun, begitu sang model wanita tampak berbalik memunggungi para hadirin, wanita tersebut sengaja menurunkan blazer yang ia kenakan hingga menggantung di kedua sisi sikunya. Tidak berniat melepaskan outer tersebut, akan tetapi justru sengaja menampilkan bagian belakang punggungnya yang sedikit tertutup oleh surai kecokelatan bergelombangnya. Hanya saja, tetap tidak menutupi model asli dari pakaian yang ia kenakan di mana bagian belakangnya sengaja dibuat dengan tali yang saling menyilang sehingga menampilkan punggungnya yang mulus.
Walaupun samar, tetap saja, pria tersebut seolah bisa menjangkau apa yang tersembunyi di balik sana. Mengesampingkan pandangan Hoseok, yang kedua orang yang berpose di atas panggung pun turut berkonversasi.
“Kau begitu menikmati peragaan malam ini Heiran?”
“Kau yang mengundangku dalam situasi sulit. Kau sudah berjanji untuk menyelamatkan mukaku. Kuharap kau tidak melupakannya, Vin,” tukas Heiran di saat Vincente membiarkan Heiran menyentuh salah satu dadanya. Hanya untuk menjadikannya tumpuan sejenak sebelum kembali membenarkan blazer hitamnya dengan segera.
Lalu berjalan kembali menuju backstage dan tentu, Heiran masih membiarkan Vincente merangkulnya.
Dengan perasaan senang, Vincente pun menjawab. “Meski amatiran, jalanmu juga bagus. Kau tidak ingin mencoba untuk beralih profesi sebagai model? Walaupun menjadi desainer sepertinya lebih cocok denganmu.”
Heiran dengan pandangan lurusnya masih berkonsentrasi. Dan dengan santainya tetap menanggapi. ”Entahlah. Aku tidak memikirkan apa pun untuk keduanya.”
Vincente pun tersenyum menyerah. Sama sekali tidak bisa mengusik pikiran Heiran yang begitu kuat. Tidak sadar, bahwa sedari tadi semenjak di atas panggung hingga keduanya berjalan kembali menuju backstage setiap gerak-geriknya diawasi oleh pandangan penuh arti dari seseorang. Hanya dengan sekali tandas, pria itu pun menelan sampanyenya dengan kedua rahangnya yang menegas disertai tatapan yang menusuk. Sebelum bangkit berdiri dan meninggalkan Emily seorang diri di sana.
Beberapa menit setelah penampilan keduanya, kini Vincente dan Heiran kembali terlibat dalam perdebatan.
“Meski begitu, aku bilang tidak ya tidak, Vin.”
Masih di dalam acara perayaan, begitu menanggalkan pakaian yang sempat mereka peragakan, akhirnya keduanya kembali memiliki ruang privasi. Tentu setelah Alice berterima kasih kepada Vincente dan Heiran secara khusus, kini keduanya kembali seperti semula. Berdiri di salah satu sudut ruangan dan kembali melanjutkan konversasi yang memang menurut Vincente perlu dilanjutkan. Masih menginginkan jawaban dari Heiran meski ia tahu jawaban yang ia dengar selalu membuatnya kecewa.
Vincente masih tidak mengerti, alasan di balik sikap Heiran yang masih kukuh bila disinggung mengenai perasaan. Walaupun di waktu bersamaan, harusnya Vincente juga merasa bersyukur karena sikapnya sama sekali tidak berubah terhadapnya.
Dengan permukaan salah satu ibu jarinya, Vincente yang di waktu bersamaan masih menggenggam tangkai gelas minuman sampanye kala itu mengusap ujung hidungnya. Berusaha mencari tahu suatu hal yang membuatnya penasaran akan apa yang sebenarnya melatarbelakangi sikap sahabatnya tersebut.
Masih dengan sikap lembutnya, ia kembali bertanya. “Apa selain sahabat, kau sama sekali tidak melihatku sebagai seorang pria?”
Heiran sontak menggelengkan kepalanya. Ternyata sahabatnya yang bebal ini masih belum mengerti juga akan setiap ucapannya.
“Aku tahu Vin, kita bersahabat sejak kecil dan di waktu bersamaan ... selama itu aku juga mengakui bahwa tidak ada hal yang tidak kau ketahui tentang diriku. Singkatnya, kau begitu paham benar akan seluruh kebiasaanku.”
“Tepat,” Vincente menimpali di tengah jeda yang tercipta. Walaupun untuk satu detik.
Sedangkan Heiran, ia menarik napas panjang berusaha bersikap lebih sabar akan Vincente yang kali ini begitu agresif mencecarnya akan perasaan pria tersebut.
Hingga begitu Heiran menghela napasnya, kedua bahunya turut merosot. Lagi-lagi berusaha menjelaskan pada Vincente. “Dan aku tidak ingin hubungan persahabatan kita rusak akan perihal mengenai hubungan antara pria dan wanita yang lebih serius.”
“Kau takut aku akan mengecewakanmu?”
Heiran dengan tegas menggelengkan kepalanya. Berusaha menandas asumsi Vincente yang sangat mendasar. “Tidak. Bahkan sampai detik ini pun kau sama sekali tidak pernah mengecewakanku,” akunya begitu jujur. Benar-benar apa adanya pernyataan Heiran mengenai Vincente.
“Lalu mengapa kau tidak pernah ingin mencobanya dengan serius? Tanpa harus aku mengucapkannya, sikapku bahkan telah mencerminkan segalanya.”
Tentu. Heiran bahkan dalam hati saat berhadapan dengan Vincente di tengah situasi seperti ini mengakui akan sisi tersebut. Bahkan sedikit pun pandangan Heiran tidak pernah luput akan bagaimana sahabatnya ini memperlakukannya sebelum hari itu.
Di saat perbincangan keduanya semakin terlihat serius, terlebih dari bagaimana Vincente dan Heiran berekspresi, sedari tadi pria tersebut tiada hentinya menggenggam ponselnya. Hanya untuk memastikan dengan melakukan panggilan yang memang berujung pada kenonaktifan.
Tanpa pikir panjang, ia pun mengambil langkah guna menghampiri dan turut menyela di tengah ketegangan yang sama sekali belum melonggar.
“Jadi rumah yang kau maksud nyaman adalah tempat seperti ini?”
Sontak Heiran yang begitu familier akan suara tersebut pun menoleh. Mendapati eksistensi seseorang yang sama sekali tidak ia duga telah berdiri di dekatnya.
Berbeda dengan sikap keterkejutan Heiran yang begitu kentara, Vincente justru memicingkan matanya seraya mengerutkan kening dengan tatapan tidak suka. Siapa seseorang yang merasa begitu penting datang di tengah suasana dirinya yang masih begitu serius berbicara dengan Heiran dan dengan tidak tahu dirinya, orang tersebut berani menginterupsi? Semakin menambah satu daftar lagi kekesalannya akan interupsi yang tidak terduga terhitung sejak Vincente berada di sana.
Mengesampingkan eksistensi Vincente, Heiran yang bertemu muka dengan sosok tersebut pun mendadak pucat dan pias. Bergeming di tempatnya, mematung. Terlalu bingung bagaimana menghadapi situasinya saat ini di mana kedua netra gelap milik pria tersebut masih menyorot Heiran begitu dingin. Namun, sangat menusuk menuntut jawaban.
Heiran yang bingung pun tanpa sadar justru tergagap di mana untuk sesaat di kala Vincente memperhatikan Heiran, ketegasan sahabatnya yang begitu defensif pada Vincente mendadak luntur. Sangat kentara perbedaannya.
Dengan tatapan tak suka, Vincente pun menyela. “Kau ini siapa, huh? Yang merasa begitu penting mengganggu kami?”
Dengan menaikkan sebelah alisnya, pria yang berada di depan Heiran pun menyunggingkan senyum miring. “Kami?”
Heiran pun berbalik mencoba menahan Vincente yang sepertinya turut tersulut akan ucapan singkat pria yang Heiran kenal benar siapa sosoknya di bawah pencahayaan yang seperti ini.
“Vin, kumohon jangan.” Tatapan Heiran terlihat memohon. Tidak sadar, bagaimana Heiran menyentuh Vincente membuat seseorang yang memperhatikan Heiran semakin mengepalkan salah satu tangannya dengan geram. Memunculkan urat nadinya yang tampak membentuk akar ke permukaan jaringan epidermisnya tanpa sadar. Tidak mengerti. Namun, juga tidak suka melihat Heiran menyentuh pria lain selain dirinya. Hanya bisa menahan diri, mengikuti alur yang refleks mengalir sendiri tanpa diminta.
Dengan sikap kukuhnya, Vincente seolah tidak memperhatikan ucapan Heiran yang kini tampak begitu takut. Tetap memberikan pandangan menusuknya pada sosok yang mengganggu tersebut.
“Ya, kami!” tekan Vincente menandas dengan tegas. “Ada perlu apa kau mengganggu kami? Memangnya siapa dirimu sehingga kau berharap kami mau meladenimu, ha?”
Dengan seringai sinis, pria yang sempat mengerlingkan pandangannya sejenak pun kembali terfokus. Kali ini menatap Vincente dengan begitu tajam. Terkekeh geli akan pertanyaan Vincente yang sama sekali tidak ia acuhkah.
Justru menarik Heiran mundur dan mengunci pinggulnya agar berada tepat di sisinya. Mau tak mau, refleks tungkai Heiran pun turt tertarik mundur. Walaupun jelas ada sedikit penekanan di waktu bersamaan. Saat itu Vincente menaikkan sebelah alisnya. Memperhatikan sikap Heiran yang sama sekali tidak merasa keberatan akan perlakuan pria ini.
“Sepertinya kau lupa memperkenalkanku padanya, Sayang,” ucapnya tanpa sedikit pun mengalihkan atensinya pada Vincente. Tahu benar Vincente masih memperhatikan keduanya.
Sedangkan Heiran, ia hanya menjilat bibir bawahnya, membisu. Sama sekali tidak bisa menaruh fokus untuk menatap sahabatnya. Bahkan didekap seperti itu, benar-benar Heiran merasa pergerakannya terkunci. Sampai-sampai punggungnya terasa panas dingin. Merasa begitu khawatir bila ada kamera yang menyoroti keduanya.
Tentu Heiran merasa khawatir bila ada yang memperhatikan kejadian ini. Tidak terkecuali karier kedua di mata Heiran yang sama-sama penting. Satu sahabatnya dan yang satu kekasihnya. Berharap seseorang akan mengeluarkannya dari kondisi yang panas ini.
Namun, mengabaikan kegelisahan Heiran, sosok itu pun kembali melanjutkan. “Biarkan aku yang memberitahunya. Aku kekasihnya, Seong Hoseok. Jadi tidak ada satu orang pun yang berhak menyentuhnya selain diriku. Yang tadi ... anggap saja aku melihatnya sebagai profesionalitas. Tapi untuk selanjutnya,” pria itu sembari menoleh ke arah Heiran di mana Heiran kali ini menatapnya dan turut menemukan tatapan tidak suka dari sosok ini. Sadar benar apa yang dimaksud Hoseok mengenai pengamatannya. Tanpa membuka rahangnya sama sekali, pria itu pun menandas. “Aku benar-benar tidak akan mengampuni dirimu.”
Heiran merasakan hatinya mencelus. Ada sesuatu yang baru saja seperti menusuk pusat jantungnya. Di mana kala itu, ia hanya bisa tetap bergeming tanpa peduli bagaimana ekspresi Vincente. Terlebih tekanan kuat yang berada di pinggulnya, menyiratkan sesuatu yang Heiran paham benar akan maksudnya.
Sedangkan Vincente yang tampak menilai dan memperhatikan sedari tadi bagaimana posesifnya pria yang berada di dekat Heiran pun justru ingin menimpali. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa ia cukup terkejut akan pernyataan spontan yang terdengar omong kosong di telinganya. Entah pernyataan itu jujur ataukah sifatnya hanya kebohongan. Yang mana pun itu, tetap saja, Vincente merasa kesal akan kehadiran sosok ini yang menyebalkan.
“Baru kekasihnya. Apa kau tidak tahu bahwa kami shmph....”
Heiran dalam satu detik telah membungkam Vincente dengan satu tangannya sekaligus menginjak ujung kaki pria tersebut di waktu bersamaan. Sontak Vincente mengaduh. Menatap Heiran dengan tajam sembari menahan nyeri di kakinya. Ingin sekali ia mengumpat melayangkan protes akan sikap Heiran. Namun, yang ia dapati justru tatapan memohon.
“Kumohon Vin. Jangan teruskan apa pun di depan kekasihku.”
Di saat beberapa detik itu pandangan Heiran dan Vincente terpaku, tidak peduli apa yang terjadi di antara Vincente dan Heiran, Hoseok pun menarik wanitanya secara paksa dan menjauhi Vincente. Tidak ingin berada terlalu lama di dekat pria yang tampak asing di matanya.
Langkah Heiran yang terhuyung pun berusaha mengimbangi langkah lebar Hoseok yang terkesan terburu dan membuatnya kesulitan. Tak ayal bila suara ketukan dari high hills yang ia kenakan menciptakan ketukan tak beraturan ketika menghantam lantai.
Tidak peduli bagaimana Heiran yang berjalan di belakangnya dalam tarikan tangannya, hingga begitu Hoseok memastikan keduanya telah jauh dari keramaian, di mana kala itu terdapat ruang sepi berada di sudut ruang yang lain dari tempat acara pesta utama, barulah Hoseok melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Heiran.
Meski tidak dapat dipungkiri, akibat dari genggaman barusan menciptakan rasa nyeri sekaligus bekas genggaman hingga permukaan kulit pergelangan tangan Heiran yang putih mulus benar-benar sedikit memerah.
Hanya dalam satu pergerakan di mana genggaman itu beralih sekaligus berubah menjadi suatu cengkeraman yang cukup menekan di kedua lengan Heiran, wanita tersebut pun sontak melebarkan matanya. Mendapati ekspresi kekasihnya yang sedikit pun tidak berubah kala wajah keduanya bertemu. Bersamaan dengan dirinya yang terduduk di atas kusen jendela yang cukup besar tersebut dalam keadaan tersudut.
Sama sekali tidak memiliki pilihan untuk melarikan diri. Namun, bertahan pun, jujur, bahkan jantung Heiran rasanya nyaris melompat keluar. Berdebar terlalu kencang, hingga rasa-rasanya ia merasa sesak. Untuk pertama kalinya, ia melihat ekspresi Hoseok yang seperti hendak menelannya hidup-hidup.
Di waktu bersamaan, Heiran juga berharap kali ini tidak ada perdebatan yang sanggup menyakiti keduanya. Atau paling tidak, dan yang paling utama adalah bagi Heiran sendiri.
“Kau ... drama apa lagi yang kau mainkan di depanku, huh? Apa kau sedang mencoba menghindari untuk merawatnya hari ini?”
Ya, Heiran tahu benar ke mana arah pembicaraan Hoseok yang mengacu pada satu orang yaitu putrinya. Tentu Hoseok tidak akan secara mudah menyebutkannya dengan gamblang. Sehingga Hoseok memilih menyebutnya dengan cara seperti itu.
“Bu-bukan begitu. Ma-maksudku ....”
Sial! Wanita tersebut mengalihkan pandang, mengumpat, merasa tersudut. Dalam situasi seperti ini pun Heiran tidak bisa menjelaskan maksud kehadirannya berada di sini. Padahal ia hanya ingin menghalau rasa bosannya yang memang jujur terasa membosankan. Walaupun sejujurnya, Heiran juga merasa kecewa di waktu bersamaan. Kecewa, bahkan hingga detik ini pun ia tidak mendengar kata apa pun dari Hoseok.
Sehingga kekesalan itu berubah mendominasi dan sedikit meninggikan suaranya jengkel. Membuat Hoseok seketika itu menaikkan sebelah alisnya bingung, akibat perubahan yang sangat kentara tersebut.
“Bukan urusanmu aku berada di mana dan mau apa!” tukasnya ketus secara refleks seraya membuang muka. Menghindari tatapan Hoseok yang sama sekali belum berubah dan masih sama. Begitu menghela napas berat, barulah kedua bahu Heiran terlihat ringan tanpa beban, merosot santai. Walaupun sejujurnya di dalam sana, hatinya masih bergemuruh akan rasa tidak terima.
“Lagi pula, sudah ada yang jauh lebih bisa merawatnya dengan baik. Sekaligus, aku juga memiliki kehidupan dan urusanku sendiri. Jadi jangan samakan aku dengan dia yang harus tinggal selama 24 jam.”
Entah mengapa, mendengar kata-kata Heiran, hati seorang Hoseok merasa seperti tertusuk. Walaupun sejujurnya, dalam hati bukan ini yang mau ia dengar. Untuk itu pun Hoseok juga tahu bahwa Heiran memiliki kehidupan pribadinya sendiri sehingga mau ke mana pun, Hoseok sama sekali tidak memiliki hak dan mengatur perihal tersebut.
Akan tetapi yang menjadi masalah bukan hal itu, melainkan apa yang terlihat di mata Hoseok yang sama sekali membuatnya tak mampu mengendalikan diri. Sehingga tanpa sadar, keduanya seolah bercampur menjadi satu dan semakin menyulut amarah pria berzodiak aquarius tersebut. Semakin mempertegas ketidaksukaannya secara eksplisit.
“Tentu!” ucap Hoseok mengawali dengan sorot matanya yang tajam. “Seharusnya seorang pengasuh berada 24 jam berada di sisi seseorang yang diasuhnya. Terserah bila kau mau menganggapnya seperti itu! Lagi pula, aku yakin ... maksudmu menghindar bukan karena dia, kan? Melainkan ingin melayani pria bule yang jauh lebih menarik dari pada kekasihmu sendiri!”
Hoseok mengerling, dengan tawa sinis dan berkacak pinggang. Menggelengkan kepalanya seolah meremehkan. “Ah, aku baru ingat. Ternyata seorang Heiran lebih suka disentuh secara seperti itu ya dengan laki-laki? Bermaksud mengundang, menggoda dengan cara yang terselubung dan menyamarkannya secara natural. Maksudku, menjadikan event ini sebagai kesempatan agar dirimu bisa disentuh seperti itu! Tak kusangka, ternyata aslinya Im Heiran adalah sosok seperti ini! Bahkan panggilan dari kekasihnya pun diabaikan. Untuk yang satu itu sepertinya juga termasuk. Kau mematikan ponselmu agar tidak ada yang mengganggumu, kan?! Aku yakin, jangan-jangan bila aku tidak memergokimu, kau sudah terkulai dan menjatuhkan diri di hadapan pria itu. Lihat saja nanti bila setelah ini profesiku jadi berantakan karena dirimu. Kau akan tahu konsekuensinya!”
Seketika itu pandangan Heiran membola. Refleks tangannya pun turut bergerak menampar Hoseok dengan begitu keras sarat tidak terima. Sampai-sampai wajah Hoseok turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Tidak menyangka pria yang merupakan kekasihnya akan menuduhnya dengan serentetan kata-kata merendahkan dan penuh penghinaan seperti itu. Terdengar menusuk dan menyakitkan.
Dengan napas yang naik turun, Heiran pun menimpali dengan pandangan nanar. “Jadi kau menilaiku selama ini seperti itu?! Lalu bagaimana dengan dirimu yang berfoto dengan seorang wanita yang baru saja kau post dalam akun fanstagram-mu tanpa beban itu?!”
Heiran kali ini meledak. Beruntung tidak ada orang yang melihat pertengkaran keduanya. Mengingat keduanya berdebat dengan nada yang lirih. Namun, cukup menusuk untuk didengar.
Lalu dengan perasaan kecewa, ia menimpali. Kali ini dengan senyum getirnya.
“Ah, aku yakin kau bahkan berdalih bahwa itu hanya sebagai profesionalitas dalam hubungan rekan kerja, kan? Teman?! Jadi hanya kau yang bisa berdalih seperti itu, sehingga aku tidak berhak melakukan pembelaan dengan cara seperti itu, kan?! Baiklah kalau begitu! Teruslah berpikir demikian! Karena seharusnya semua ini adalah kesalahanmu! Kesalahanmu yang tidak peka! Jadi jangan libatkan sahabatku hanya untuk menutupi kesalahanmu!”
Dengan segera, tanpa ingin memperpanjang perdebatan di mana sesungguhnya Heiran telah kehilangan dayanya, ia pun mendorong Hoseok yang sempat mengungkungnya. Memilih pergi meninggalkan Hoseok dengan amarah yang membuncah.
Sedangkan yang ditinggalkan, saat itu Hoseok yang merasa geram pun memukul dinding yang berada di depannya dengan penuh amarah. Menjadikannya sasaran atas amukannya yang sama sekali tak kunjung surut.
“Shit!”
Hoseok pun mengumpat di tengah deru napasnya yang naik turun. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, hanya rasa pening yang nyaris memecahkan kepalanya. Begitu hening bergelayut dan suara langkah kaki Heiran telah menghilang, kepalanya yang berdenyut barulah bisa berpikir. Meski tidak benar-benar untuk berpikir rasional. Berusaha mencerna setiap ucapan Heiran yang kini mengganggu di dalam sana.
Dengan menghela napas berat, Hoseok pun menyugar surainya ke belakang, lelah. “Aku ini kenapa?” ucapnya bermonolog.
Menyeringai sinis dengan hatinya yang terasa tercabik. Bertanya pada diri sendiri yang ia tahu, Hoseok sama sekali tidak akan pernah menemukan jawabannya. Mengapa, mengapa seperti ini? Bukankah seharusnya ia bisa bersikap biasa?
Dalam pikirannya yang jernih, Hoseok mengakui bahwa ia begitu mencintai sosok yang tak sanggup lagi ia sentuh raganya. Terpisah ruang dan waktu serta hanya bayangan rindu yang masih terus mencumbu. Namun ini, mengapa ia merasa semarah ini? Bukankah hal biasa bila sepasang model bergerak mengikuti arahan yang telah diberikan? Sekalipun harus bersikap layaknya seperti sepasang kekasih sungguhan.
Lagi-lagi Hoseok tertawa miris. Menertawakan hatinya yang kini begitu gamang. Tidak mengerti akan perasaannya yang terasa terombang-ambing.
Di lain pihak, tidak sadar bahwa ada satu orang yang memperhatikan Hoseok yang kini tampak begitu frustrasi. Di mana Hoseok sendiri kala itu memilih menyalakan sebatang rokoknya dan tampak merenung. Mencoba memahami kemarahan Heiran yang sepertinya memang tersinggung atas ucapannya.
👀👀👀👀
Calm down...
Tenang-tenang.
Jangan ikutan tegang. Meski aslinya jengkel.
Huhuhu...
Finally, maaf ini agak panjang.
Tapi gak papa ya. Semoga suka.
Spill part ini gmna?
Pantengin terus yag...
See u on next chapter.
Moga bisa cepetl😃😃💜💜❄❄😉😉😉🤗🤗