Sakit rasanya, saat hari yang ditunggu telah tiba, tetapi saat itu juga kamu harus kehilangan salah satu di antara dua orang yang kamu cintai. Apakah kamu mampu mengikhlaskan?
Bab 2
Baru saja sampai di rumah sakit Aariz langsung menggendong sang istri dengan panik dan segera mencari pertolongan. Untungnya saat itu ada petugas jaga di rumah sakit, petugas itu segera memberikan brankar untuk Zuraya , Aariz meletakkan tubuh sang istri ke atas brankar dan memanggil dokter.
"Dokter tolong istri saya, tadi dia bilang perutnya sakit banget, " jelas Aariz ketika seorang dokter wanita mendekat ke arahnya.
"Apa yang terjadi pada istri anda?"
"Istri saya mengalami kontraksi, Apa ini saatnya akan lahiran?"
"Ya sudah, bapak tunggu di luar dulu. Biar saya periksa kondisi istrinya,"
Aariz menuruti perkataan sang dokter dan ia segera menunggu di ruang tunggu. Aariz mondar-mandir menunggu kabar tentang istrinya. Ia mengusap wajahnya sambil merapalkan doa untuk keselamatan sang istri.
Saat itu pula, sang ibu Mumtaz datang.
"Aariz, bagaimana keadaan istri kamu? Mama dengar dari ART kamu, kalau istri kamu mengalami kontraksi," tanya wanita berusia lima puluh tahun itu dengan wajah yang cemas.
"Iya ma, tapi aku ga tahu apa itu karena dia akan segera lahiran atau ada masalah lainnya dengan kandungannya," Aariz menatap sendu pada sang ibu.
"Semoga saja tidak terjadi sesuatu pada kandungannya. Mama berharap banget anak kamu bisa lahir dengan selamat. Mama udah ga sabar buat gendong cucu mama," ucap Mumtaz pada putranya.
Ia tahu kalau menantunya mengalami sakit yang cukup parah, tapi Mumtaz sangat berharap kalau cucunya bisa diselamatkan. Ia ingin sekali mendapatkan penerus dari keluarga Mahesa.
"Iya ma, kita sama-sama berdoa yang terbaik untuk Zuraya dan bayi yang ada didalam kandungannya,"
Tidak berapa lama kemudian, dokter keluar dari ruang operasi. Bergegas Aariz menemui dokter muda itu. "Dokter bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Aariz dengan wajah penuh pengharapan.
"Istri anda akan segera melahirkan, dan ia harus di operasi cecar karena plasentanya menutupi jalan keluar bayi dari mulut rahim," jelas sang dokter pada Aariz yang berada dihadapannya.
"Apa itu tidak akan berbahaya pada menantu saya dok?" tanya Mumtaz yang mengkhawatirkan keadaan menantunya.
Ia teringat akan sakit yang di derita oleh Zuraya dan khawatir jika melakukan operasi dalam keadaan Zuraya yang tidak stabil itu takutnya akan terjadi sesuatu yang buruk pada menantunya.
"Saya tidak bisa memastikan Bu, yang pasti jika kita ingin menyelamatkan bayinya kita harus segera melakukan operasi cesar dengan resiko harus memilih antara ibu dan anak yang harus diselamatkan," tukas sang dokter
Hati Aariz mencelos mendengar ucapan dokter itu. Sungguh ia tak sanggup jika harus kehilangan istrinya saat ini. Ia sangat membutuhkan Zuraya untuknya dan juga anaknya.
"Tidak, itu tidak boleh terjadi. Selamatkan istri dan anak saya dok," lirihnya dengan air mata yang mulai menggenang.
"Kami akan mengusahakan yang terbaik untuk istri dan anak anda, kalau begitu kita akan urus operasinya sekarang juga," ucap dokter wanita yang bernama Zalimar itu.
"Iya dok lakukan yang terbaik untuk istri saya," Aariz meminta penuh harapan, pikirannya tidak bisa berkonsentrasi lagi menghadapi semuanya.
"Bagaimana ini Riz, kalau Zuraya tidak bisa bertahan? Mama ga mau kalau sampai Zuraya kenapa-napa," cemas Mumtaz pada putranya.
***
Dokter dan para perawat telah berada diruang operasi, dan mempersiapkan alat-alat operasi untuk Zuraya. Aariz dan Mumtaz menunggu dengan penuh kecemasan. Lampu merah terlihat dari ruang operasi pertanda operasi sedang berlangsung.
Tidak berapa lama berselang kemudian, lampu ruang operasi terlihat hijau pertanda operasi telah selesai. Sang dokter telah keluar sambil membuka maskernya.
"Selamat pak Aariz, bayi anda telah lahir dengan selamat dan ia laki-laki," jelas dokter itu dengan tenang.
"Alhamdulillah," ucap Aariz dengan wajah berbinar. Ia tidak tahu harus berkata apa-apa lagi meluapkan rasa bahagia yang tak terkira dihatinya.
"Selamat nak, kamu sekarang sudah jadi ayah," ucap sang ibu sambil memeluk putranya. Reyhan membalas pelukan sang ibu dengan sangat erat menyalurkan rasa bahagianya.
"Dokter, apa saya boleh menemui istri dan anak saya?" tanya Aariz dengan mata berbinar-binar. Sungguh ia ingin memeluk istri dan putranya saat ini.
"Maaf, pak untuk saat ini kami belum bisa mempertemukan anda dengan istri dan putra anda. Istri anda masih butuh istirahat dan ia juga memerlukan donor darah karena ia kehilangan banyak darah saat melahirkan. Sedangkan bayi anda sedang berada di inkubator karena lahirnya prematur,"
Rasa bahagia itu perlahan sirna dari wajah Aariz rasa kebahagiaannya yang begitu menggebu kini berubah menjadi sendu ketika mendengar kabar tentang istri dan putranya. Padahal ia ingin sekali memeluk sang istri dan mencium putra kecilnya. Ia ingin sekali mendekap tubuh kecil itu.
"Dok, segera lakukan donor darah pada istri saya secepatnya. Tolong selamatkan dia sekarang juga," desak Aariz pada dokter Zalimar.
"Iya pak, kami sedang berusaha tapi sayangnya stok darah dengan golongan darah AB+ di rumah sakit kita sedang habis dan golongan darah itu sangat langka. Hanya beberapa orang saja yang memiliki golongan darah seperti itu, kalau ada saudara atau kerabat yang bisa membantu mendonorkan darahnya tolong dihubungi secepatnya pak," jelas dokter itu lagi.
Semalam ini? Yang benar saja, bagaimana Aariz bisa menemukan pendonor darah yang cocok untuk Zuraya? Dengan sangat frustasi Aariz segera menghubungi semua rekan bisnisnya dan teman-temannya tapi sudah hampir semalaman ia mencari donor darah yang cocok dengan darah yang dimiliki Zuraya tapi tidak ia temukan.
"Sudah semua orang aku hubungi tapi tidak satupun yang memiliki golongan darah yang sama seperti golongan darah Zuraya," ucapnya sambil menyuar kasar rambutnya. Aariz mengusap wajahnya kasar meluapkan kesedihannya.
Mumtaz melihat wajah keputusasaan dari sorot mata putranya. Ia tidak tega melihat putranya begitu terpukul. Mumtaz teringat pada Nadia, adik dari Zuraya.
"Riz, mama ingat Zuraya itukan punya adik perempuan, bagaimana kalau kita hubungi dia dan meminta dia mendonorkan darahnya untuk Zuraya?" usul sang ibu yang langsung membuat mata Aariz membulat sempurna.
Mengapa ia tidak terpikirkan gadis itu, mungkin saja dia memiliki golongan darah yang sama dengan Zuraya. Tanpa banyak berpikir lagi, Aariz segera menghubungi Nadia.
Awalnya tidak ada jawaban, setelah tiga kali mencoba akhirnya panggilannya di jawab.
"Halo, iya mas. Ada apa menelpon selarut ini?" tanya seorang wanita di seberang sana.
"Maafkan saya mengganggumu semalam ini Nadia, tapi ada yang harus saya bicarakan sama kamu,"
"Iya mas, bilang saja apa yang bisa saya bantu?"
"Begini Nad, kakak kamu baru saja melahirkan tapi ia banyak kehilangan darah akibat pendarahan. Apa kamu bisa datang ke sini untuk mendonorkan darah kamu untuk Zuraya?"
"Baik mas, aku akan ke sana sekarang juga,"
"Aku akan mengirimkan supir untuk menjemputmu,"
Pembicaraan mereka berakhir setelahnya, Aariz segera menyuruh supir pribadinya untuk menjemput Nadia, perjalanan dari Jakarta ke Bandung memakan waktu tiga jam, malam itu juga Nadia pergi ke rumah sakit untuk menemui sang kakak.
Nadia menunggu selama satu setengah jam untuk supir itu sampai ke rumahnya karena perjalanan tidak terlalu macet sehingga supir itu sampai dengan cepat dan setelahnya Nadia ikut bersama supir ke rumah sakit untuk menolong sang kakak.
Tepat pada pukul empat pagi Nadia tiba di rumah sakit, lelah? Jangan tanyakan lagi malam itu ia hanya menghabiskan waktu tidurnya dikursi penumpang. Entah Nadia bisa tidur nyenyak atau tidak yang terpenting baginya adalah keselamatan sang kakak.
Sesampainya di rumah sakit ia disambut hangat oleh Aariz dan Mumtaz, dan langsung diajak untuk ke laboratorium untuk memeriksakan darahnya. Syukurnya, golongan darah Nadia cocok dengan sang kakak. Zuraya bisa terselamatkan.
"Nadia, terimakasih ya kalau bukan sama kamu aku tidak tahu harus meminta bantuan dari siapa lagi, maaf harus merepotkanmu. Sesubuh ini kamu harus berada di rumah sakit," Aariz merasa tak enak hati.
"Ga apa-apa mas, mungkin ini udah jalan Tuhan untuk aku bertemu sama kakakku. Oh ya mas, mumpung belum waktu subuh aku mau shalat tahajud dulu, kalau mas mau mas bisa ikut," ajak gadis itu padanya.
Meskipun Aariz tidak terlalu dekat dengan Tuhannya, untuk kali ini Aariz mengikuti perkataan Nadia, mungkin dengan berdoa dan meminta pada Tuhan dengan bersungguh-sungguh Tuhan akan menjabah semua harapannya.
***
Sembari menunggu Zuraya sadar, Aariz, Nadia dan Mumtaz kini berada di ruang tunggu. Ketika pagi menjelang, perawat yang bertugas memeriksa kondisi Zuraya, tapi tiba-tiba saja kondisi Zuraya kritis.
"Dokter, pasien di ruang ICU kondisinya kritis," ucap perawat pada dokter Zalimar yang baru saja hendak melihat keadaan Zuraya.
Dokter muda itu segera masuk ke ruangan yang terdapat Zuraya didalamnya, "dokter, apa istri saya baik-baik saja?" Aariz mulai panik ketika mengetahui istrinya kembali kritis.
"Tunggu sebentar ya, saya akan mengecek keadaan pasien dulu," tukas dokter muda itu kemudian masuk ke dalam ruang ICU dan memeriksa kondisi Zuraya, dokter muda itu meminta perawatnya untuk menyiapkan alat pacu jantung dan mengejutkannya ke arah jantung Zuraya, nampak dari layar monitor kondisi jantung Zuraya yang semakin menurun.
Dokter muda itu masih melakukan pertolongan dengan mengejutkan jantung Zuraya dengan alat pacu jantung itu, namun kondisi Zuraya semakin melemah dan tiba-tiba saja Zuraya membuka matanya. Ia melihat nanar sekelilingnya dan dokter mulai memanggil keluarga yang sedang menunggu.
"Pasien sudah sadar, tapi kemungkinan untuk pasien bertahan hanya dua puluh lima persen. Silakan para keluarga menemuinya. Mungkin ada pesan-pesan yang akan disampaikan oleh pasien," jelas dokter dengan wajah bersedih.
Sungguh ini diluar dugaan, tadinya sempat ada secercah harapan dengan Nadia mendonorkan darahnya pada sang kakak, tapi siapa yang mengira Zuraya malah kritis.
Para keluarga bergegas menemui Zuraya, ada kecemasan yang terlihat dari wajah keluarga disana, sementara Zuraya terlihat semakin lemah dan pucat.
"Zuraya, sayang kamu baik-baik sajakan?" Suara Aariz terdengar bergetar saat mendekati sang istri bahkan kakinya terasa tak sanggup untuk berjalan ke arah Zuraya. Sungguh, hatinya sangat terluka melihat keadaan sang istri saat ini.
"Mas, aku senang akhirnya aku bisa menjadi ibu. Mana anak kita mas?" ucap Zuraya dengan suara yang begitu lembut. Ia tampak tak berdaya dengan kesaktiannya.
"Sebentar aku panggilkan suster buat bawain anak kita. Anak kita lahir prematur jadi sekarang ada di inkubator. Oh ya, ada satu lagi yang mau aku kasih tahu sama kamu, adik kamu udah mendonorkan darahnya buat kamu, sekarang dia ada diluar,"
"Nadia? Dia ada disini?" Aariz menganggukkan kepalanya. "Tolong panggilkan dia mas, aku mau bicara sama dia," pinta sang istri. Kemudian Aariz mengikuti permintaan sang istri. Setelah memanggil Nadia, ia juga meminta izin pada suster supaya mempertemukan Zuraya dengan putranya.
Di ruang rawat Zuraya, kini Nadia telah masuk dan menghampiri sang kakak. Ia menatap dalam kakak yang sangat ia cintai.
"Kak bagaimana keadaan kakak?"
"Seperti yang kamu lihat dek," ucap Zuraya sambil tersenyum kecil. "Kamu cantik banget dek dengan hijabmu itu," tatap Zuraya dengan lembut pada sang adik.
Nadia, merasa ada yang aneh dengan tatapan sang kakak. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak.
"Kakak ini, kakak juga cantik kok,"
Aariz kini datang bersama dokter menghampiri Zuraya dan membawa putranya dalam gendongannya. Setelah meminta izin dari dokter dan perawat yang menjaga ia diperbolehkan membawa bayinya kehadapan sang istri.
"Sayang, lihat ini putra kita. Kamu pasti ingin memeluknya kan?" Zuraya mengangguk dan meminta suaminya untuk mendekatkan putranya padanya.
Perlahan Aariz mendekatkan putranya pada Zuraya, dan dengan penuh kasih sayang Zuraya mendekap putra kecilnya, ia menciumi bayi mungil itu, tak terasa buliran bening itu meluruh begitu saja dari sudut matanya. Sungguh ia sangat ingin merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu. Mendekap dan menemani tumbuh kembang putranya hingga ia beranjak dewasa. Namun, ia merasakan tidak sanggup untuk bertahan lama demi putranya. Namun, Zuraya tetap menguatkan hati untuk tetap memeluk putranya.
Aariz, Mumtaz dan Nadia yang melihat pemandangan mengharukan itu ikut meneteskan air mata. Perasaan mereka berkecamuk antara bahagia dan sedih. Bahagia karena Zuraya masih mau membuka mata dan menatap buah hatinya. Sedih karena takut kehilangan Zuraya.
Aariz tak sanggup membendung air matanya, ia membalikkan tubuhnya menghadap keluar agar Zuraya tidak melihat kesedihannya.
"Mas, lihat anak kita begitu tampan. Dia mirip sekali denganmu," tutur Zuraya. Cepat-cepat Aariz menyeka air matanya menghadap ke arah sang istri.
"Iya, sayang ia tampan banget," ucap Aariz sambil menyentuh tangan mungil bayinya.
"Mas, kamu udah kasih nama buat bayi kita?"
"Ya, sayang. Aku memberi namanya Ezhar Putra Mahesa,"
"Nama yang bagus. Aku suka mas," tutur wanita itu dengan senyuman yang terlukis diwajah sendunya. "Nadia, kemarilah aku mau bicara sama kamu," Nadia segera menghampiri sang kakak.
"Berjanjilah kau akan menikah dengan Aariz dan menjadi ibu dari putraku Ezhar, setelah aku tiada. aku sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini," imbuhnya pada sang adik.
Nadia tertegun dan tak mampu berkata apapun. Apa maksud Zuraya berkata seperti itu. Aariz juga tak kalah terkejutnya mendengarkan perkataan Zuraya.
"Kamu bicara apa sich sayang?" Tepis Aariz pada sang istri.
"Aku lagi minta tolong sama kamu dan Nadia mas. Aku mohon penuhi permintaan terakhirku ini. Aku benar-benar udah ga sanggup menahan semua ini mas. Ini sakit sekali," lirih Zuraya sambil menahan rasa sakit yang semakin menjalar ditubuhnya.
"Kak, jangan ngomong kayak gitu kakak pasti sembuh," ungkap Nadia.
"Tolong jaga dan besarkan putraku. Aku akan beristirahat dengan tenang jika kalian mau memenuhi permintaanku," ucap Zuraya dengan nafas tersengal, sambil menggenggam tangan adik dan suaminya. Ia merasa waktunya tak lama lagi.
Tak ada yang mampu menjawab permintaan Zuraya, hanya anggukan pelan dari Nadia. Tak lama setelah itu, nafas Zuraya mulai tercekat di tenggorokannya. Merasa sang kakak akan segera pergi Zuraya membimbing sang kakak mengucapkan syahadat dan Zuraya menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiba-tiba saja tangisan Aariz pecah di ruangan itu, sambil memeluk bayi mungilnya ia meratapi kepergian sang istri. Ia belum bisa menerima keadaan ini, tapi dokter dan perawat segera melepaskan alat bantu yang melekat pada tubuh Zuraya,kemudian membawa Aaris keluar dari ruangan dan setelahnya Zuraya dinyatakan telah tiada. Pihak keluarga segera mengurus administrasi dan membawa Zuraya ke rumah untuk diurus penyelenggara jenazahnya.
Judul: Menjadi Istri Pengganti
Penulis: Dina0505
Link:
https://read.kbm.id/book/read/a23a19a2-22a3-4f06-b993-51685ae7a993/b81a5007-03dd-4716-9825-cf242ea8f57b