Hallo, aku up sehari 2 kali, ya kebetulan ceritanya udah end di draf. Pada penasaran apakah happy atau sad?🤭
***
“Makasih.”
Sebelum benar-benar masuk Ola memastikan terlebih dahulu bahwa Esa sudah menjauh dari pelataran rumahnya. Setelahnya ia berbalik, tetapi urung begitu ia merasakan ada yang mengawasinya.
Ia menoleh menatap sekitarnya yang tidak ada siapa-siapa. Apa hanya perasaannya saja? Tanpa mau berlama-lama di luar Ola segera masuk ke dalam rumahnya.
Ting!
Baru saja Ola keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil tersampir di pundaknya itu, sontak mengambil ponselnya yang berbunyi di atas meja belajarnya.
“Nayya?” gumamnya mengernyit heran.
Temui gue di dekat kafetaria.
Tumben-tumbennya Nayya mengirimkan ia pesan biasanya langsung telepon atau bahkan vidio call. Meski seperti itu ia langsung saja bersiap-siap. Mungkin saja sahabatnya itu ada masalah dan perlu cerita secara langsung.
“Mbak, aku keluar bentar, ya. Mau ketemu sama teman,” pamit Ola kepada Nana yang kebetulan lewat.
Nana mengangguk. “Hati-hati, Dek Ola.”
Usai pamit dengan mbak Nana Ola melangkah keluar rumah sesekali mengecek alamat yang dikirimkan Nayya yang ternyata lumayan dekat dengan rumahnya.
“Nayya, ke mana, sih?! Katanya bentar lagi sampai.” Ola berkali-kali bergeretu kesal.
Pasalnya ia sudah menunggu Nayya selama setengah jam. Sesekali ia melihat jam di ponselnya yang semakin malam dan ia tidak terbiasa pulang larut malam. Ia menoleh menatap kafetaria yang tak jauh dari tempatnya menunggu.
Sepertinya ia menunggu di sana saja, tetapi belum sempat melangkah tiba-tiba ada yang membekap mulutnya dari belakang. Ia sempat meronta sayangnya kain yang membekapnya terdapat bius hingga kesadarannya menipis dan akhirnya kegelapan menguasai dirinya.
***
Sebelum masuk Nana menyempatkan diri untuk mengetuk pintu lalu memutar kenop di depannya itu. Meski tak ada orangnya, tetapi ia harus tetap sopan karena bagaimanapun di rumah ini ia hanyalah pelayan saja.
Tadinya Nana hanya berniat meletakkan pakaian Ola yang baru saja selesai ia setrika, tetapi netranya mendapati sebuah dompet biru yang tergeletak di atas ranjang membuatnya secepat kilat mengambilnya.
“Ini bukannya dompet non Ola?” gumamnya lalu tanpa banyak basa-basi lagi langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi anak majikannya itu.
Sayangnya Ola tak mengangkat telepon darinya membuat Nana seketika dilanda panik. Ia bergegas turun ke bawah memanggil Cindy.
“Kenapa, Na?” Cindy datang dengan wajah di penuhi masker.
“Ini dompet non Ola ketinggalan.” Sambil memperlihatkan dompet biru. “Aku takutnya non Ola butuh soalnya di dalam ada beberapa selembar uang.”
“Ya, udah kamu telepon aja.”
“Nggak diangkat.”
“Coba aku yang telepon.” Cindy mulai sibuk dengan ponsel di depannya hingga terdengar suara ....
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat kemudian.
Cindy sekali lagi berusaha menghubungi nomor Ola, tetapi tetap saja hanya suara operator yang terdengar.
“Nomornya nggak aktif, Na.”
“Sekarang gimana? Aku takut non Ola kenapa-napa,” ucap Nana yang tampak mengigit ujung kukunya menandakan bahwa dirinya sedang khawatir.
“Gimana kalau kita telepon den Esa?” Hal itu mendapatkan anggukan kepala setuju membuat Cindy langsung menghubungi nomor Esa.
'Halo, Mbak?'
'Halo, Den. Den Esa, non Ola ada di sana tidak?'
Esa yang berada di seberang sana hanya mengernyit bingung.
'Nggak, Mbak. Memangnya Ola ke mana, Mbak?'
'Itu dia, Den. Mbak juga nggak tahu.'
Tiba-tiba saja ponsel Cindy direbut oleh Nana.
'Tadinya non Ola izin ke mbak. Katanya mau ketemu sama temannya, tapi non Ola nggak sebut tempatnya di mana.'
'Ya, udah Mbak biar saya cari. Mbak nggak usah khawatir. Saya pastikan Ola pulang tanpa cacat satupun.'
Esa langsung saja mengambil jaket hijaunya dan bergegas keluar kamar dengan raut wajah khawatirnya itu.
“Ma, aku keluar bentar, ya!” teriaknya tanpa menoleh menatap sang mama yang berada di ruang tengah.
Baru saja mau menaiki motor, tiba-tiba saja ponselnya bergetar dari saku celananya membuatnya yang tadi menganggap itu Ola seketika tak jadi lega.
'Iya, Vi?'
'Kamu di mana?'
'Di rumah. Bentar lagi aku mau keluar.'
'Ke mana? Aku boleh ikut, ya? Bentar lagi aku ke rumahmu.'
'Nggak usah, Vi. Aku ada urusan sebentar di luar.'
'Urusan apa? Tumben banget.'
Esa menjadi frustasi karena waktunya tak banyak, tetapi Via tak henti-hentinya bertanya.
'Aku harus cari Ola. Udah dulu, ya. Nanti aku kabari.'
Setelahnya Esa langsung mematikan sambungan secara pihak. Nanti saja ia mengurus Via sekarang ia harus mencari Ola. Ceroboh sekali gadis itu, sudah tahu sudah malam bukan waktunya untuk keluar apalagi keluar sendirian.
Lagi-lagi terdengar suara bunyi dari ponselnya membuat Esa berdecak mengira bahwa itu Via.
085234404***
Jln mangga gedung A10. Datang sendiri kalau lo mau dia selamat.
“Sial!”
Ia sekarang sudah tahu di mana Ola berada. Gadis itu disekap.
***
Perlahan kedua netranya terbuka dengan menyesuaikan pencahayaan yang tampak minim berhasil membuat Ola seketika panik. Ia menatap sekitarnya yang penuh dengan barang-barang bekas.
Apa yang terjadi dengan dirinya? Kepalanya terasa pusing, tetapi ia masih ingat jelas bahwa ia sedang menunggu Nayya di dekat kafetaria dan tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya lalu ....
Jangan bilang ia diculik? Sekuat tenaga Ola meronta untuk bisa lepas sayangannya ikatan di tangan dan kakinya begitu kuat bahkan untuk berteriak meminta tolong tak bisa mengingat mulutnya dilakban.
“Hmmmm!”
“Sadar juga lo.”
Sosok cowok berjaket hitam datang membuat Ola semakin dibuat panik. Ia beberapa kali berusaha untuk membuka suara.
“Lo mau ngomong sesuatu?” Cowok itu lalu melepaskan lakban hitam di mulut Ola.
“Lepasin gue!” teriaknya.
“Nggak bakal sebelum cowok lo datang.”
“Cowok? Gue nggak punya pacar.”
“Halah. Gue nggak akan ketipu sama lo. Lo ternyata sama aja, ya sama Esa sama-sama bisa boong.”
“Esa?” beo Ola yang tak mengerti hingga akhirnya .... “Gue bukan pacar Esa!”
“Masih aja lo boong. Kalau aja lo bukan cewek udah gue habisin dari tadi.”
“Habisin aja kalau bisa!” tantang Ola yang membuat sosok cowok itu semakin marah.
“Ada apa ribut-ribut?” Teman cowok itu masuk.
“Ini, Ak. Dia dari tadi ngomong kalau dia bukan pacarnya si Esa bajingan itu.”
Aksa perlahan melangkah mendekati Ola membuat Ola tentu saja semakin takut dibuatnya apalagi wajah cowok itu lebih seram daripada yang tadi.
“Oon!” Tiba-tiba saja Aksa berteriak. “Dia memang bukan pacarnya Esa. Gimana, sih lo?! Nyuri orang aja nggak becus lo!”
“Loh? Bukan, ya? Ini bukan salah gue, Ak. Salah si Beben, tuh katanya dia pacarnya Esa soalnya kemarin dia awasin Esa jalan sama, nih cewek,” tunjuk Dev cowok yang dimarahi Aksa barusan. “Jadi, gimana? Gue lepasin aja? Terus nyuri cewek si Aksa yang asli?”
“Esa di mana sekarang?”
“Kata Yoga dia lagi jalan ke sini.”
Tampak Aksa tersenyum licik. “Nggak usah. Kayaknya, nih cewek berarti juga buat dia,” ucapnya menatap Ola.
“Lepasin gue!” Sedangkan Ola hanya bisa berteriak meminta untuk dilepaskan.
“Terus jaga dia. Jangan sampai dia lepas.” Setelahnya Aksa pergi membuat Ola semakin menjadi-jadi saja berteriak.
“Berisik juga lo.”
“Hmmmm!”
Sayangnya mulut Ola kembali dilakban membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara seperti itu.
“Abimanyu keluar lo!”
Mendengar suara Esa dari arah luar membuat Ola berusaha berteriak meski semuanya hanya sia-sia.
“Tuh, pahlawan lo udah datang,” ucap Dev yang sebenarnya penasaran juga yang terjadi di luar, tetapi malah disuruh menjaga. “Keluar sebentar nggak pa-pa kali?” gumamnya berpikir hingga dia beranjak dari duduknya.
“Lo tunggu di sini.”
“Lepasin Ola sekarang juga!” teriak Esa yang masih belum melihat keberadaan Ola ataupun ketua dari Vangster. “Mana ketua lo? Banci!”
Melihat Esa meludah membuat emosi Prayoga muncul yang untungnya ditahan oleh Aksa untuk menyerang duluan.
“Lo mau cewek lo?” Aksa tiba-tiba saja maju selangkah. “Lawan dulu gue.”
Terjadilah adu jotos di antara Esa dan Aksa yang tentu saja Esa beberapa kali menendang Aksa sehingga terpental atau terjatuh. Meski seperti itu tak ayal Esa mendapatkan pukulan membuat ludahnya mengeluarkan darah.
Namun, pada akhirnya Esa lah yang menang membuat cowok itu tersenyum meremehkan. “Cemeng lo pada!”
Prayoga yang sedari tadi mengepalkan kedua tangannya tiba-tiba saja berteriak, “Serang!”
Pada saat itu juga para anggota Vangster keluar dari persembunyian mengepung Esa yang hanya sendirian.
“Main keroyokan?” Esa terkekeh sinis sesekali mengelap darah di ujung bibirnya yang terasa perih. “Emang cocok disebut banci.”
“Anj***”
Prayoga menyerang duluan diikuti yang lainnya. Tentu Esa kalah telak dengan jumlah mereka yang banyak, sedangkan ia sendirian. Meski seperti itu ia tetap berusaha melawan. Sayangnya ia kewalahan hingga pukulan di punggungnya berhasil membuatnya tersungkur di atas semen.
Prayoga baru saja akan melayangkan pukulan mematikannya jika saja Abimanyu sang ketua Vangster yang sedari tadi asyik menonton dari atas tidak datang.
“Besar juga nyali lo datang ke sini sendirian,” ucapnya melangkah semakin mendekati Esa.
Esa sempat mendongak menatap Abimanyu sebelum akhirnya menunduk merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya.
“Kare–na gue bukan pengecut. Nggak kayak kalian! Taunya main belakang!” teriaknya yang hampir saja mendapatkan pukulan lagi dari Prayoga jika tak dicegah oleh Abimanyu. “Sekarang, lepasin Ola! Dia nggak salah apa-apa.”
“Lepasin?” Abimanyu tersenyum miring. “Nggak akan sebelum lo ngaku kalau lo yang bunuh Irfan.”
“Berapa kali gue ngomong kalau bukan gue yang bunuh dia!”
“Pembunuh kayak lo mana mau ngaku. Ikat dia sekarang!” perintah Abimanyu membuat kedua anak buahnya mengangguk patuh lalu menyeret Esa.
“Bukan gue pelakunya! Malam itu gue nggak datang nemuin dia!
Brak!
***
ANW untuk cerita ini nggak ada cast nya, ya. Jadi, kalian boleh berimajinasi sepuasnya.
Yang baru mampir boleh mampir ke ceritaku lainnya. Semoga suka🥰
Salam hangat 🌻