Puteri Shinta berjalan laksana kura-kura di jalan raya Kerajaan Ayodya yang sepi sunyi. Hati bagaikan terombang-ambing di lautan gelap gulita. Langit yang terbuka lebar di atas kepala bagaikan cermin yang memperlihatkan kesedihan yang menggantung di wajahnya yang muram. Angin yang bertiup halus mengusap kulitnya, namun dinginnya menusuk tulang, seolah-olah menirukan getaran hati yang resah.
Dahulu kala, Kerajaan Ayodya adalah tempat yang ramai dan hidup, penuh dengan tawa dan bahagia yang tiada tara. Tetapi, kini, segala-galanya telah berubah menjadi gentar dalam sekejap mata, tanpa sebab yang nyata. Kerajaan yang sepatutnya menjadi saksi hidup, kini menjadi hening dan bisu, tanpa nafas hidup yang berhembus. Pikiran Puteri Shinta dipenuhi dengan bingung dan duka yang amat dalam.
Puteri Shinta bersungut-sungut di hati, mata memandang ke segala penjuru, mencari jawaban yang lenyap di tengah-tengah puing-puing kenyataan ngeri yang menimpa kerajaannya. Hati bagaikan tercabik-cabik, hanya dengan mengingatnya sekalipun.
Tidak tahu apa yang terjadi, Puteri Shinta bingung mencari kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perubahan yang amat mendadak ini. Yang diketahuinya hanyalah bahwa rindu yang amat dalam untuk masa silam yang elok terus merayap ke dalam hatinya, menambah nestapa di tengah-tengah kekosongan yang meliputi kerajaannya.
Namun, dalam lapisan-lapisan kegelapan hatinya, ada perasaan yang membelah. Semua ini pasti memiliki alasannya, begitu ia berpikir, mengapa segala jawaban terasa tersembunyi di suatu tempat yang menunggu untuk dieksplorasi, yang ingin diketahui. Puteri Shinta tidaklah berdiam diri. Ia mencoba, sungguh mencoba untuk mencari tahu peluang, alasan, dan jawaban atas keadaannya.
Namun, saat sendirian, saat hatinya merajai kekosongan, kehilangan motivasi menghantuinya. Sedih dan kesal dengan kehidupannya sendiri, ia terombang-ambing dalam gelombang rasa bersalah atas masa lalu yang telah terjadi, tak ada lagi kesempatan untuk memutar waktu. Dan dalam keadaan seperti ini, saat-saat kesedihan, kegelapan, dan rasa bersalah, hal-hal positif cenderung menguap dari pikiran. Motivasi memudar, semangat yang biasanya membakar untuk terus maju, meredup tanpa jejak.
Puteri Shinta merasakan beban yang sama. Perasaan terbenam dalam kehampaan, tak berdaya di antara alur waktu yang mengalir tanpa ampun. Meskipun dalam terangnya matahari, ia masih meraba-raba dalam kegelapan batinnya sendiri.
Rasa sakit menusuk ketika kakinya terinjak duri, membuat Puteri Shinta menjerit kesakitan. Dalam kebingungannya, tangannya segera meraih kakinya yang terluka, tapi rasa sakit itu tak terelakkan. Air mata mulai membanjiri matanya, mencerminkan betapa kuatnya rasa sakit yang dirasakannya.
Namun, bukan hanya rasa sakit fisik yang membuatnya terguncang. Dalam detik-detik tersebut, kesadarannya terbuka, mengungkapkan sebuah kenyataan yang selama ini dia hindari dengan keras. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada dalam dirinya: kelemahan sebagai seorang perempuan, kelemahan yang membuatnya rapuh dan tidak stabil.
Dalam kesedihannya, Puteri Shinta tersenyum getir pada dirinya sendiri. Apakah ia memiliki kekuatan yang cukup untuk mengungkap kebenaran di balik segala ini? Apakah ia mampu menghadapi pelakunya dengan sendirian? Apakah ia memiliki keberanian untuk mengalahkan orang yang telah membunuh kebahagiaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelayut di benaknya, menggetarkan hatinya.
“Apakah aku cukup kuat?” gumamnya pada dirinya sendiri, suara halusnya terbawa angin. Tetapi dalam pandangannya, dia tidak melihat kelemahannya sebagai kekalahan. Sebaliknya, kelemahan itu menjadi sebuah panggilan untuk tumbuh, untuk belajar, dan untuk menemukan kekuatan yang terpendam di dalam dirinya. Dan meskipun ia tidak memiliki jawaban yang pasti pada saat ini, Puteri Shinta bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari jawabannya.
Dia tak pernah diajari untuk menghadapi duri kehidupan tanpa meneteskan air mata seperti seorang yang tak tahu malu. Tidak ada yang membesarkannya dengan kekuatan yang cukup untuk menaklukkan bahkan hal-hal kecil yang menghampirinya. Dalam pandangan banyak orang, ia hanya seorang putri yang rapuh, seringkali dipandang rendah. Namun, apakah kesalahan itu benar-benar miliknya?
Puteri Shinta merenung, menggumam dalam hati, “Tidak, ini adalah hasil dari perlakuan Orang Tua, saudaranya, dan kerajaannya sejak kecil.” Itulah cara ia dibentuk, cara ia dihadapi dengan dunia. Tetapi, apa gunanya menyalahkan orang yang sudah tiada, apalagi mencoba memperbaikinya, jika itu pun masih mungkin?
Dengan tawa kecil yang muncul dari bibirnya, Shinta bersiap-siap untuk duduk di tanah, siap mencabut duri yang menusuknya. Itu adalah upaya kecil namun berani untuk menjadi lebih tangguh, untuk masa depannya sendiri. Matanya terpejam, napasnya teratur saat tangannya bergerak mendekati sumber rasa sakit itu. Jari-jarinya memegang erat duri yang menusuknya, sementara tangan yang lain merapat ke tanah, menemukan pijakan dalam keputusasaan.
Tubuhnya merasa berat saat ia mencoba menarik duri itu, tetapi kekuatan dalam dirinya hampir-hampir menghilang. Dalam keheningan yang mendalam, Shinta menghela nafas panjang, matanya terpejam rapat. Ada tangisan yang terpendam dalam hatinya, tetapi hanya angin yang menyambut. Tangis itu adalah pengakuan akan penderitaannya yang tak terucapkan.
Mengapa, mengapa saya begitu lemah?” Puteri Shinta berkata di antara cegukan, menengadahkan kepalanya ke belakang, air mata mengalir di pipinya saat dia merasakan sebuah tangan menyeka air matanya, dan sosok itu duduk di sampingnya.
Orang itu memangku kaki kanannya, mencabut duri yang menusuk, dan Puteri Shinta mendesis dengan mata terpejam, merasakan rasa sakit yang menusuk.
“Kau bukan putri yang lemah. Kau adalah orang terkuat yang pernah kutemui,” suara itu, familiar dari orang baru yang telah menghiasi pikirannya akhir-akhir ini, memenuhi telinganya, membuat Puteri Shinta berteriak lebih keras. Tidak jelas baginya apakah itu nalurinya yang memunculkan reaksi ini, atau kenyamanan yang ditawarkan oleh orang itu yang menariknya ke arah pria itu, mendarat di pelukannya.
Pangeran Wikanta memeluk erat Puteri Shinta yang tengah terisak, membiarkan kehangatan pelukannya menyelimuti tubuh rapuh sang putri. Dengan lembut, ia mengusap punggungnya, berusaha menenangkan kegelisahan yang melanda hati gadis itu. Suaranya terdengar hangat dan penuh perhatian saat ia melanjutkan.
“Caramu menghadapi semua ini sungguh luar biasa, Shinta. Kau tidak hanya tetap tenang, tapi juga teguh pada keputusanmu. Kau memilih untuk tetap berada di tempat ini, tempat kelahiranmu, tempat yang menjadi bagian dari dirimu. Aku tak bisa membayangkan betapa beratnya memutuskan hal itu, betapa sulitnya menjalani kisah hidup yang penuh dengan mimpi buruk. Namun, kau tetap kokoh di tempatmu. Kau menunjukkan kekuatan yang luar biasa, dan itulah yang membuatmu begitu luar biasa, Shinta. Kau tidak pernah lemah.”
Puteri Shinta merasakan getaran emosi dalam kata-kata Pangeran Wikanta. Suara dan gerakannya begitu alami, begitu menguatkan. Ia merasa seperti seorang yang ditemani oleh teman lama, seseorang yang sungguh memahami dan menghargai perasaannya.
Puteri Shinta mencoba mempercayai getaran lembut yang merayapi telinganya. Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam lubuk hatinya yang penuh ragu. Namun, akhirnya, dia memutuskan untuk menarik diri. Dengan gerakan ringan, dia menggeser tubuhnya menjauh, memberikan ruang antara mereka.
Saat matanya perlahan terbuka, dia menemukan Pangeran Wikanta duduk di sampingnya, senyum yang hangat merekah di wajahnya. Senyuman itu, dengan segala pesona dan kebaikan di baliknya, mengundang tanggapan positif dari Puteri Shinta. Tanpa sadar, senyum pun meluncur memenuhi wajahnya, mencerminkan kerinduan yang terpendam.
Pangeran Wikanta merasakan kehangatan yang membuncah di dalam dadanya. Tanpa bisa dijelaskan, ia merasa tertarik untuk menyentuh lembut pipi Puteri Shinta. Dengan gerakan lembut, tangannya menangkup pipi mungil Puteri itu, menariknya dengan lembut ke arahnya. Dengan penuh kasih, ia menempatkan ciuman lembut di kening Puteri Shinta.
Puteri Shinta menutup mata, membiarkan sensasi dari sentuhan dan ciuman itu meresap ke dalam setiap serat jiwanya. Dia merasakan kehangatan dan kenyamanan dari sentuhan Pangeran Wikanta, menyirami hatinya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dalam momen itu, dia merasa dilindungi dan dihargai, dan itu membuatnya merasa berharga.
Mereka duduk di sana, hening yang menyelimuti ruangan seolah berbicara lebih banyak dari kata-kata yang terucap. Puteri Shinta merasakan beban perasaannya yang berat, mencekiknya pelan-pelan, hingga akhirnya ia tak bisa lagi menyimpannya dalam diam.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Puteri Shinta, mencoba menyingkirkan keheningan yang mencekam di antara mereka. Pertanyaannya terdengar ragu, menyimpang dari keadaan sebenarnya, tapi Pangeran Wikanta tersenyum, menangkap gelombang perasaan yang tersirat dalam kata-kata itu.
“Aku menduga ada sesuatu yang tidak beres saat makan malam tadi, jadi aku datang untuk melihat sendiri, dan ternyata benar saja,” ucap Pangeran Wikanta, suaranya hangat namun mengandung nada kekhawatiran yang tak terelakkan, menyentuh hati Puteri Shinta.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir—”
“Ssst,” Pangeran Wikanta menempelkan jari di bibir Puteri Shinta dengan lembut, memotong aliran kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya. Mata mereka bertemu dalam keheningan, sebuah komunikasi tanpa kata-kata yang mengungkap lebih banyak dari pada yang bisa diucapkan.
“Apa pun masalahmu, kau tidak perlu menyembunyikannya dariku. Aku ada di sini sebagai temanmu, dan kau tahu aku selalu siap mendengarkan,” ucap Pangeran Wikanta, senyumnya memecah keheningan, tapi Puteri Shinta merasa getaran mendalam dari kata-katanya.
“Aku berharap—” Puteri Shinta terhenti saat Pangeran Wikanta tiba-tiba membuatnya mendongak, tatapan matanya penuh dengan tekad yang memancar.
“Kau sangat berharga bagi banyak orang, Cinta. Jangan pernah merasa sendiri dalam masalah ini. Aku berjanji, aku akan membantumu menyelesaikannya, tapi aku butuh kau untuk tetap kuat, bersamaku,” ujarnya, suaranya penuh dengan kepastian dan kehangatan yang membuat hati Puteri Shinta terasa hangat.
Senyuman terukir di wajah Puteri Shinta saat dia merespons, anggukan kecil meneguhkan hatinya. Lega melanda di dalamnya, tidak lagi terasa sepi menghadapi rintangan yang datang menghampiri. Dalam kebersamaan mereka, dia merasakan kekuatan yang membara, memancar dari persatuan hati dan pikiran, memandu langkah-langkahnya menuju keadilan yang hakiki.
Pada saat itu, ia menyadari bahwa Tuhan telah mengutus ksatria berbaju baja untuk menemani langkahnya. Dengan mantap, Puteri Shinta bersiap menghadapi setiap detik dalam perjalanannya. Keberanian itu melintas dalam matanya, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. Tidak ada lagi ruang untuk ketakutan, karena di sisinya, ia merasa memiliki pendamping setia yang siap mendukungnya melewati badai apapun.
Pangeran Wikanta, meski tidak memiliki ikatan resmi dengannya, telah menjadi penjaga hatinya. Puteri Shinta tersadar bahwa dia tidak akan pernah berjalan sendiri dalam pertempuran hidupnya. Dia merasakan kehangatan dari kehadiran pangeran itu, bukan hanya sebagai teman, tapi juga sebagai sekutu yang selalu siap menjaga dan melindunginya.
“Dalam perjalanan ini, aku tak sendiri,” bisiknya pada dirinya sendiri, tatapan mata penuh keyakinan. “Bersama ksatria berbaja ini, aku siap mengarungi segala badai. Bahkan jika cinta tidak memungkinkan kami bersama, dia tetap di sini, menopangku dalam setiap langkah.”
—————————————
Yuhuuu, akhirnya bisa update lagi nih!
Jangan lupa kasih vote dan komen ya, dan tambahin cerita ini di reading list kalian biar makin banyak yang baca
Share juga cerita ini ke temen-temen kalian yang suka genre cerita serupa, biar semakin banyak yang baca.
Jangan ragu buat kasih kritik dan saran yang membangun di ceritaku ya.
Nah, itu dulu ya.
Sampai jumpa di part selanjutnya, guys!
14 Februari 2024