Menurut sejarah yang beredar selama ini, hutan Amerotha telah menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa besar dalam perjalanan manusia dan serigala. Legenda mengisahkan bahwa hutan inilah yang merupakan tempat pertemuan pertama antara suku-suku kuno dan serigala yang dianggap sebagai penjaga spiritual hutan. Konon, di dalam hutan Amerotha terdapat sumber kebijaksaan yang melimpah dan hanya bisa diakses oleh mereka yang memahami bahasa alam. Pada dasarnya tak banyak orang beruntung yang diberikan berkah oleh Dewi Bulan untuk mendapatkan karunia tersebut dan salah satu yang beruntung itu adalah Ayla.
Karunia datang sepaket dengan tanggung jawab. Ayla menerima keduanya dengan penuh lapang dada. Dimanfaatkannya karunia tersebut dengan amat bijaksana demi keberlangsungan dan kebaikan Kawanan Frostholm, termasuk dengan mendoakan sang alpha yang hingga saat ini masih terbaring di tempat tidur tanpa tahu kapan akan terbangun.
Pagi kesekian kali hingga tak ada yang bisa menghitungnya lagi. Ayla mendatangi hutan Amerotha dengan harapan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Di kala fajar belum benar-benar menunjukkan diri di ufuk timur, ia telah mendoakan Usher.
Ayla memejamkan mata. Kedua tangan berada di depan dada. Ia uraikan semua harapan dan pinta di dalam hati. Setelahnya ia menunggu pesan alam yang mungkin saja akan diberikan oleh Dewi Bulan padanya, tetapi tak ada.
Hanya ada angin dan gemerisik dedaunan yang menemani Ayla. Alam seolah tak bisa memberi jawaban untuk keinginannya. Jadilah ia membuka mata dan sorot kesedihan itu terpancar di sana.
"Ayla."
Ayla menarik napas dalam-dalam sebelum berpaling. Dipaksanya untuk tetap tersenyum ketika menyambut kedatangan sang beta. "Garth."
"Bagaimana kabarmu?" tanya Garth sembari menyipitkan mata ketika melihat jaket yang dikenakan oleh Ayla. "Pagi ini lebih dingin dari biasanya."
Ayla merapatkan jaket sembari mengangguk. "Kau benar, tetapi aku tak sempat memikirkan jaket lain. Ini satu-satunya yang berada di jangkauan tanganku ketika akan pergi tadi."
Garth tahu, Ayla terburu-buru. Ayla ingin datang ke hutan Amerotha secepat mungkin agar bisa berdoa lebih awal.
"Jadi, bagaimana? Apa kau mendapatkan jawaban? Petunjuk? Atau apa pun itu?"
Senyum di wajah Ayla memudar secara perlahan. "Maafkan aku, Beta."
"Tak apa. Aku tahu kau telah mengupayakan semua yang bisa kau usahakan."
Garth hanya berharap agar dirinya bisa membawa Ayla ke Istana. Rencananya dan Scott tempo hari masih menjadi prioritasnya. Ia ingin Ayla meramal Usher. Namun, keadaan tak memungkinkannya.
Mireya memperketat penjagaan di sekitar kamar Usher. Diberikannya alibi seperti biasa, yaitu ingin memastikan Usher bisa beristirahat dengan baik.
Garth bisa saja melawan perintah Mireya. Namun, ia tak mungkin bisa menghindari pergolakan. Terlebih dengan gesekan yang terjadi sebelumnya maka ia bisa memperkirakan apa yang terjadi bila ia bersikeras. Kericuhan akan pecah dan keadaan semakin tak karuan. Ujung-ujungnya kawanan akan semakin gaduh.
Jadilah Garth terpaksa menahan diri. Hal paling utama yang ingin dihindarinya adalah membuat kawanan panik dan gelisah.
Selain itu, Garth menyadari bahwa keresahan akan menimbulkan polemik yang lebih kompleks. Dikhawatirkannya ada pesaing bisnis yang akan memanfaatkan keadaan dan yang terpenting adalah kecemasan bahwa akan ada kawanan lain yang tak akan menyia-nyiakan peluang tersebut.
Garth sudah membatasi informasi yang berada di antara kawanan. Ia telah memberikan amanat pada Cora untuk mengumumkan bahwa keadaan Usher mengalami kemajuan. Mereka hanya perlu menunggu waktu untuk melihat Usher kembali. Jadi, tujuannya sekarang adalah memastikan ucapannya menjadi kenyataan.
"Aku dan Jemma sempat mendiskusikan keadaan Alpha beberapa hari yang lalu, Ayla."
Samar, ada kerutan di dahi Ayla. "Apa yang kalian bicarakan?"
"Kami merasa bahwa penyakit Alpha bukanlah penyakit medis," ujar Garth sembari membuang napas panjang. Sekilas, Ayla bisa melihat lelah di wajahnya. "Sebelumnya, aku dan Scott ingin mengajakmu ke Istana untuk meramal Alpha, tetapi Mireya telah memperketat penjagaan. Kita tak akan bisa masuk ke kamar Alpha tanpa perkelahian."
Ayla menggeleng. Itu bukan ide yang bagus.
"Keadaan Alpha dan hasil pemeriksaan Scott yang tak menunjukkan penyakit apa pun membuat kami berpendapat bahwa bisa saja Alpha disihir."
Bola mata Ayla membesar dan lidahnya terasa kelu. "Si-sihir?"
"Hanya itulah satu-satunya kemungkinan paling masuk akal karena setelah kupikir-pikir, Alpha sangat berubah setelah dekat dengan Mireya. Alpha seperti kehilangan akal sehat dan tak lagi memedulikan orang lain."
"Kau benar," angguk Ayla sembari meremas jari-jari tangannya. Dirasakan olehnya ada keringat dingin yang mulai merembes di permukaan kulit. "Sangat masuk akal bila Alpha telah disihir selama ini."
"Jadi, bagaimana? Apakah kau bisa membantu, Ayla?"
Ayla tampak bingung. "Apa maksudmu, Garth? Aku bukanlah penyihir. Aku hanya seorang Tetua Suci yang diberikan karunia untuk meramal. Aku—"
"Rowena."
Satu nama itu membuat Ayla membeku. Jadilah ia mengerjap dengan kaku. "A-apa?"
"Sebenarnya kedatanganku pagi ini karena Jemma. Dia memintaku untuk menemuimu, Ayla. Menurutnya, kau memiliki seorang teman baik." Garth tak melewatkan sekelebat kilat kaget di mata Ayla. Ia tahu, Ayla mengetahui maksudnya. "Namanya adalah Rowena dan dia adalah seorang penyihir. Apakah benar?"
Ayla tak langsung menjawab. Alih-alih ia tenangkan diri untuk sejenak. Setelahnya, barulah ia mengangguk. "Jemma benar. Namanya adalah Rowena. Dia adalah seorang penyihir dan juga teman baikku."
"Apakah kau bisa menghubunginya, Ayla? Kau bisa meminta bantuannya bukan?"
Ayla bisa melihat harapan itu berkobar-kobar di mata Garth. Semestinya ia juga demikian. "Aku tak bisa berjanji padamu, Garth."
"Mengapa?" tanya Garth dengan penuh kehati-hatian. Jadilah beragam kemungkinan muncul di benaknya. "Apakah dia pergi ke suatu tempat?"
"Bukan itu, tetapi dia sudah memutuskan untuk mundur dari semua hiruk pikuk dunia. Dia lelah dan memutuskan untuk beristirahat."
Garth menahan napasnya untuk sejenak. "Bisakah kau mencobanya, Ayla? Setidaknya, kita harus berusaha dulu."
"Baiklah, Garth. Aku akan mencoba untuk menemuinya, tetapi seperti yang kukatakan tadi. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa."
Garth tak masalah sama sekali. "Setidaknya, kita masih ada harapan."
Sebabnya, hanya itulah yang menjadi penguat Garth dan kawanan sekarang, yaitu harapan.
*
Jauh di sisi barat hutan Amerotha, di titik tempat matahari terbenam, ada satu lokasi yang tak terjamah oleh dunia luar, termasuk oleh Kawanan Frostholm. Keberadaannya ada, tetapi seolah tak ada.
Para Petugas Kehutanan yang kerap melakukan patroli tak pernah menyadari keberadaan lokasi itu, terlebih lagi mengetahuinya. Selalu yang terjadi ketika mereka melintasi lokasi itu adalah mereka akan terus berjalan dan 'melewatinya' seolah ada portal yang langsung memindahkan mereka ke lokasi selanjutnya.
Sebabnya adalah ada satu sihir yang terpasang layaknya tirai yang akan menutup mata semua orang tanpa terkecuali. Jadilah lokasi itu tak ubah ruang rahasia yang hanya diketahui oleh pemiliknya, hanya bisa diakses oleh si empunya.
Namanya adalah Rowena. Seorang penyihir yang tak diketahui berapa usianya dan sejak kapan ia mendiami ujung hutan Amerotha. Pastinya, ia memiliki hubungan baik dengan Kawanan Frostholm, termasuk dengan Jemma dan Kendrick.
Rowena adalah satu dari sedikit penyihir yang memiliki hubungan dengan manusia serigala. Seringnya, mereka saling menjaga jarak satu sama lain karena alasan paling mendasar, yaitu ketakutan dan ketidakpercayaan.
Lumrahnya, manusia serigala tidak menyukai penyihir. Manusia serigala membenci sihir. Bagi mereka, sihir adalah satu-satunya hal yang patut diwaspadai karena dampaknya yang bisa menipu indra dan insting mereka.
Di lain pihak, penyihir menganggap manusia serigala sebagai makhluk yang tak setara dengan mereka. Manusia serigala terkesan brutal dan tak memiliki sisi kemanusiaan. Parahnya, dulu mereka pun menganggap manusia serigala sebagai makhluk tak beradab dan berpendidikan.
Seiring waktu berjalan, dua kaum mulai menerima kehadiran satu sama lain secara perlahan. Interaksi yang terjalin sedikit demi sedikit telah membuka mata mereka bahwa semua tidak separah yang sempat diperkirakan. Nyatanya mereka bisa hidup berdampingan selama bertahun-tahun dan mempertahankan hubungan baik tersebut.
Kedamaian dan ketenteraman menjadi ingatan terakhir Rowena sebelum menarik diri dari kehidupan luar. Diputuskannya untuk tak lagi ikut campur dalam perihal duniawi. Satu harapannya yang tersisa adalah ingin menjalani sisa hidup dengan penuh ketenangan.
Alam bebas memberikan keinginan Rowena. Binatang-binatang liar menjadi teman dan pepohonan menjadi rumah. Jiwanya dipenuhi oleh kenyamanan yang sempurna, tanpa ada gelisah dan resah, sampai pada akhirnya hari itu tiba.
Rowena menyadari keanehan itu tepat ketika ia terbangun dari tidur dan membuka mata. Perasaannya tak enak. Lalu ia keluar hanya untuk merasakan aura tak biasa menguar di mana-mana.
Alam memberinya pesan. Persisnya adalah sebuah peringatan. Jadilah tubuh Rowena gemetar dan diputuskannya untuk memeriksa hutan.
Insting Rowena menyala. Intuisinya bersiaga untuk menangkap setiap isyarat yang diberikan oleh alam. Diamati olehnya keadaan sekitar dengan jantung yang berdetak dengan tak nyaman.
Angin berembus. Hawanya sama sekali tak menyejukkan. Rowena semakin gelisah dan sesuatu menghentikan langkahnya. Ia menengadahkan kepala dan ditatapnya langit yang tertutupi sekumpulan awan kelabu.
Wajah Rowena berubah pucat. Mulutnya membuka, tetapi tak ada satu kata pun yang terucap. Ia gemetaran dan satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah menggeleng.
Rowena tak mampu bertahan. Pesan alam membuat dirinya lemah seketika. Lututnya goyah dan jadilah ia terduduk di tanah.
Tatapan Rowena membentur sesuatu yang familier, tersembunyi di antara rerumputan dan berkilauan ditimpa cahaya matahari yang tak seberapa. Ia tertegun sejenak, lalu mengulurkan tangan dengan perasaan dingin yang mulai menjalari sekujur tubuh.
Rowena membeku. Matanya menatap tanpa kedip pada benda yang sekarang berada di tangannya, seuntai kalung, tepatnya seuntai kalung dengan buah berbentuk bulan setengah.
"Tidak mungkin."
Jemari Rowena membersihkan kalung tersebut dengan perlahan. Diusapnya kotoran yang menempel dengan penuh kehati-hatiannya. Kalung kembali bersih dan jadilah ia membeku jiwa dan raga.
"Rowena."
Rowena tersentak dan bangkit dengan serta merta. Dilihatnya sekeliling dan ia rasakan angin berulang kali mengantarkan suara itu padanya. Ia terdiam untuk beberapa detik, setelahnya ia berucap lirih.
"Ayla."
*
Semestinya, tak ada hal lebih membahagiakan selain pertemuan dua orang sahabat yang telah lama tak bertemu. Terlebih bila mengingat bahwa mereka melewati tahun-tahun itu tanpa ada komunikasi sama sekali. Kerinduan dan beragam cerita tentunya telah bertumpuk sehingga patut sekali bila semuanya meluap dari pertama kali mata saling menatap.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rowena dan Ayla sama-sama tak bersuara. Mereka biarkan waktu berlalu tanpa bicara sepatah kata pun. Hanyalah saling menatap yang terus mereka lakukan, seperti tak ada bahasa yang bisa menggambarkan perasaan mereka kala itu dengan tepat.
Kegelisahan Rowena semakin menjadi-jadi. Betapapun ia merindukan Ayla dan kerap mengkhayalkan pertemuan dengannya, tak urung sekelumit pemikiran buruk mengisi benaknya. Satu sebabnya, yaitu ia menyadari bahwa Ayla tak akan sampai mencari keberadaannya bila tak ada hal buruk yang terjadi.
Rowena menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Lalu dikuatkannya diri untuk bertanya. "Ada apa, Ayla?"
"Aku ingin meminta bantuanmu, Rowena," jawab Ayla tanpa tedeng aling-aling. Disadari olehnya, mereka tak memiliki waktu untuk sekadar berbasa-basi. Waktu terus berputar dan tak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi sesaat kemudian. "Alpha sedang sakit dan kami pikir itu karena sihir."
"Sihir?"
Ayla mengangguk. "Scott sudah memeriksanya berulang kali, bahkan sampai memanggil teman-temannya dari Jerman, tetapi tak ada kemajuan sama sekali. Parahnya, hasil pemeriksaan tidak menunjukkan gejala penyakit apa pun."
Rowena mengenal Scott sebagai seorang manusia serigala yang bertanggungjawab untuk urusan kesehatan keluarga alpha. Di masa lalu, mereka memang tak banyak berinteraksi satu sama lain. Namun, ia mengetahui bahwa ilmu kedokteran Scott bukanlah isapan jempol belaka. Nyatanya Scott tak hanya menjadi dokter untuk Kawanan Frostholm, melainkan manusia juga.
Keahlian Scott sudah tak perlu diragukan lagi. Jadilah Rowena memaklumi arah pikiran Ayla bila Scott tak mampu menyembuhkan Usher.
"Apa kau tahu siapa pengirim sihir tersebut?" tanya Rowena sembari menatap Ayla dengan penuh serius. Ditekan olehnya rasa khawatir yang semakin liar. Ia harus tetap tenang. "Aku mungkin bisa menyembuhkan Alpha, tetapi menyembuhkan tanpa mengetahui asal muasal sihirnya adalah tindakan berisiko. Orang itu bisa saja kembali mengirim sihir yang lebih kuat dan itu akan membahayakan nyawa Alpha."
Diyakini oleh Ayla bahwa Rowena bisa dengan mudah menyembuhkan Usher, tetapi kekhawatiran Rowena memang masuk akal. Siapa yang bisa menjamin bila penyihir itu tidak menyihir Usher dengan lebih berani? "Kami mencurigai seseorang, tetapi kami tidak mengetahui siapa penyihir yang bekerja sama dengannya."
Rowena diam sejenak. Otaknya berputar, dicobanya untuk menemukan jalan keluar yang paling aman. Bersamaan dengan itu, Ayla kembali bicara.
"Sebenarnya akan lebih baik kalau kau bisa datang ke Istana dan memeriksa Alpha secara langsung. Aku dan Kawanan Frostholm pasti akan sangat berterima kasih, tetapi ...."
Dahi Rowena mengerut. "Mengapa? Apakah terjadi sesuatu di Istana?"
"Terlalu banyak hal yang telah terjadi, Rowena," ujar Ayla sembari membuang napas panjang. Sorot matanya meredup, menyiratkan kesedihan dan tak keberdayaan. "Aku tak ingin mengatakannya, tetapi Kawanan Frostholm tidak dalam keadaan baik-baik saja."
Semua peristiwa yang telah terjadi terangkum dalam sepintas cerita yang membuat Rowena berulang kali menahan napas di dada. Ayla menceritakan semua tanpa menyembunyikan satu hal pun sehingga ia syok dan kedua tangannya pun saling meremas satu sama lain.
"Harapan kami sekarang hanyalah kau, Rowena. Alpha harus segera sembuh sehingga semua kekacauan ini bisa berakhir."
Rowena tampak gelagapan. Ia nyaris seperti tak bisa bernapas ketika mengangguk. "A-aku akan berusaha semampuku, Ayla. Aku akan mencoba membuat ramuan penawar untuk Alpha." Ia kembali menarik napas sedalam mungkin. "Datanglah besok."
Ayla mengangguk dan mereka pun berpisah. Sementara Ayla beranjak keluar dari hutan, sebaliknya dengan Rowena. Ia kembali memasuki hutan dan terburu-buru menuju ke rumahnya.
Topeng yang sedari tadi terpasang di wajah Rowena seketika lepas. Tatkala ia tiba di rumah maka kekhawatiran, kecemasan, dan kebingungan bersatu padu di wajahnya. Napas terengah dan ia bergegas ke kamar.
Rowena membuka lemari kecil di dekat tempat tidur. Ia mengambil satu kotak bewarna hitam dan dirapalkan olehnya mantera sehingga sihir penyegelnya terbuka.
Jantung berdebar. Keringat mulai memenuhi dahi. Rowena menggigit bibir bawah demi menguatkan diri ketika membuka kotak tersebut. Di dalam hati, ia berbisik. Semoga dugaanku keliru.
Kotak terbuka. Tak ada apa-apa di dalamnya. Rowena membeku dan sekarang jantungnya malah seperti tak berdetak lagi.
"Me-mengapa hilang? Bagaimana bisa?" tanya Rowena pada dirinya sendiri dengan suara bergetar. "Bagaimana mungkin kalung bulan bisa hilang?"
Rowena merogoh sakunya dan mengeluarkan kalung bulan separuh itu. Dipandanginya kalung itu untuk sejenak, lalu ia kembali bertanya pada dirinya sendiri. "Di mana pasangannya?"
*
bersambung ....