Membunuh itu lebih menyenangkan dibanding berburu hewan di alam liar, karena sebenarnya manusia lah binatang paling kejam di dunia ini.
*****
Hari berikutnya. Kaivan duduk di bangku taman, mata menyeleksi 2 motor sport yang baru saja melewati gerbang memasuki pekarangan sekolah.
Mereka adalah The Twins Kyle.
Ziandra dikenal sebagai orang jenius dalam bidang teknologi dan Zennaya adalah seorang butterflies yang memiliki koneksi yang luas.
"Gue mau ke kantin. Nitip gak?" tawar Zennaya.
"Gak. Kalau begitu, gue tunggu di ruang komputer gedung 3."
"Iya."
Zennaya menyusuri lantai koridor menuju kantin. Bukannya belok kiri di mana ruang kantin berada, gadis rambut sebahu itu malah mengambil arah berlawanan. Menuju wilayah yang jarak dijamah murid lain. Sepi, senyap. Ah, sepertinya Zennaya melarat kata jarang terjamah murid lain dan sepi di tempat ini—belakang sekolah—karena ia menemukan sekumpulan orang bodoh tengah tertawa sembari mengepulkan asap mengotori udara.
Cowok yang berdiri dengan tubuh bersandar pada tembok, pertama menyadari atensi Zennaya tak jauh berada darinya. Ia tersenyum miring, rokok yang masih setia terapit di antara jari tengah dan telunjuknya di dekatkan ke bibir, ia hisap kuat lalu sengaja mengepulkan asapnya ke arah Zennaya. Dalam radius 3 meter, Zennaya bisa mencium bau tembakau yang dibakar itu.
"Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba datang rezeki. Bening lagi."
Lima cowok dalam posisi berjongkok menoleh, lalu tertawa serentak setelah menyadari gadis cantik itu. Zennaya tak suka tatapan mereka yang menyorotnya dari atas sampai bawah seakan menguliti, itu jelas pelecehan.
"Mau ikut gabung?" Cowok berambut pirang menyodorkan satu pak rokok beserta pemantiknya, lantas menunjukkan senyum bodoh yang membuat Zennaya muak ingin menebas kepalanya.
"Bisa-bisanya KHS menerima sampah kayak kalian," seru Zennaya dipadukan dengan tatapan tajam. "Ah, mungkin sampah juga lebih berguna daripada kalian karena bisa didaur ulang."
Seperti rokok yang terbakar, enam cowok itu tersulut secara bersamaan, kalimat yang dilontarkan Zennaya melukai harga diri mereka. Terlebih, gadis itu hanya anak baru di KHS.
Berdiri, dua di antara mereka langsung menghempaskan rokok dan menginjak dengan sepatu, membayangkan Zennaya ada di bawah kaki mereka. Lalu satu dari yang lain melempar rokok ke arah Zennaya yang berhasil menciptakan luka bakar di pipi kanan gadis itu.
"Akh."
"Itu balasan lo karena berani merendahkan kami. Anak baru harus tau diri."
Satu cowok dengan kancing baju dilepas penuh mulai mendekat, memutari Zennaya dengan gerakan pelan. Bau nikotin tersengat tajam. Ia memainkan rambut Zennaya yang langsung ditepis kasar. Tanpa sadar, sisa cowok lainnya sudah mendekat, mengepung Zennaya dan menyudutkannya ke tembok.
"Kesempatan gak datang dua kali," ucap cowok berambut cepak pada yang lain, mengangguk setuju.
"Yoi. Dia sendiri yang nyerahin diri."
"Brengsek!" teriak Zennaya saat kedua tangannya langsung ditahan. Membuat akses mudah empat cowok lainnya untuk membuka kemeja putih Zennaya secara paksa.
Keenam cowok itu menyeringai puas melihat ekspresi Zennaya yang dirasa mereka sangat ketakutan. Namun di detik berikutnya, dengan gerakan cepat dan lincah, Zennaya mengangkat kakinya dan menendang dua cowok pertama yang menyerangnya sampai tersungkur. Lalu membereskan empat cowok lainnya dengan ilmu bela diri mumpuni. Tak membutuhkan waktu lama bagi Zennaya untuk menumbangkan semuanya, membuat enam cowok yang diketahui adalah senior kelas 12 kalah telak, babak belur.
"Cowok kayak kalian gak pantas nyentuh gue."
*****
Jam 13.00, Kaivan dan Daniel berada di perpustakaan sekolah. Sepasang netra hazel milik Kaivan tak lepas lekat memandang deretan buku-buku yang terjajar rapi di masing-masing rak setinggi 3 meter. Berjalan hingga sampai di sudut dekat jendela, dan melihat deretan judul buku ternama yang ia cari.
"Buku itu?... Kau memiliki selera bacaan yang bagus."
Sebuah suara rendah dan tenang terdengar dari samping. Kaivan terkejut dan hampir saja menjatuhkan buku di tangannya.
Gadis mumi, duduk di bangku sudut yang menghadap pada jendela langsung. Menerangi sebuah buku yang terbuka di tangannya yang tertutup sarung tangan. Sebuah senyum simpul tergaris di bibirnya yang tipis dan tampak begitu lembut.
"Kalau boleh, aku ingin meminjamnya juga."
Gadis mumi kembali bicara. Mungkin sadar bahwa mereka berasal dari negara yang berbeda, dia pun menggunakan bahasa Indonesia agar Kaivan dapat memahami kata-katanya.
"Tentu saja, silahkan," ujar Kaivan sembari mengulurkan buku di hadapannya. Gadis mumi itu menerima uluran Kaivan dan mengambil buku di tangannya tanpa ragu-ragu.
"Buku ini sangat sulit di dapatkan, bukan? Ada buku lain yang ditulis dari perspektif yang berbeda oleh Charles Campbell. Ada perbedaan sengit di masyarakat waktu itu karena masalah itu."
"Apa yang lo bahas itu buku yang berjudul '1337 Permulaan Flanders'?"
Gadis dihadapannya itu tampak sedikit terkejut. "Jadi kau sudah membacanya?"
"Gak. Gue cuma pernah dengar garis besar isinya saja. Gue berencana membacanya jika ada waktu luang. Hanya saja buku itu sangat sulit di dapatkan."
"Kau benar. Aku membacanya sekali dan buku itu pun sudah dalam keadaan separuh rusak karena termakan usia. Tapi isi di dalamnya sangat berbobot. Karya nya memang tidak ada yang gagal, dari buku pertama hingga buku ke tujuh. Lalu dua seri lainnya, semuanya menakjubkan, bukan?"
"Yah, tapi gue justru belum sempat membaca seri utama yang--- Eh? Bukankah yang lo baca itu series utama buku ke 4 nya?!" tunjuk Kaivan.
Gadis itu melirik ke arah buku yang terbuka di tangannya. "Ah, ya. Aku belum sempat membacanya kemarin, jadi hari ini aku memutuskan untuk membacanya," jawabnya. Ia terdiam sejenak, seakan tengah mempertimbangkan sesuatu kemudian tersenyum lembut,
"Mau membacanya bersama?"
"Boleh?" tanya Kaivan.
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, Kaivan tanpa ragu-ragu segera menarik sebuah kursi di dekat orang itu dan duduk disana. Ia pun memandangi halaman buku yang terbuka ketika gadis itu meletakkannya di meja,
"Sangat jarang menemukan orang dengan selera bacaan yang mirip. Rasanya seperti bertemu dengan teman lama," ujar gadis itu.
"Yah... Selera bacaan kita lumayan Hardchore," ucap Kaivan.
Gadis itu duduk berbalik menghadap Kaivan dan mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, aku Ona dari Jerman."
"Eropa ya..." Kaivan menyambut uluran tangan itu. "Kaivan. Gue dari Indonesia," kata Kaivan. Ia menatap tangan mereka saling bersalaman dan sedikit mengernyit,
Seraya melirik lengan kanan, kaki kiri, leher dan wajah sisi kiri Ona yang dibalut perban. Namun yang menarik perhatian Kaivan adalah sarung tangan yang selalu dipakainya.
"Ehm... kenapa lo memakai sarung tangan? Bukankah itu gak nyaman?" tanya Kaivan.
"Aku tak suka tanganku terkena darah," ujarnya. Kaivan mengernyit.
Darah?
"Kau tak suka dengan sarung tangan ini?"
"Eh? Bukan begitu---"
Ona tiba-tiba menarik tangannya dari Kaivan dan mulai melepas sebelah sarung tangannya. Tangan kanan. Kemudian ia mengulurkan tangannya lagi kepada Kaivan.
"Bagaimana kalau begini?"
Kaivan memandangi tangan berwarna pucat yang terulur di hadapannya. Tersenyum canggung, Kaivan pun menjabat tangan Ona lagi.
"Baiklah. Senang berkenalan dengan lo, Ona."
Ona tersenyum simpul. Entah kenapa Kaivan merasa senyum yang ditujukkan olehnya bukanlah senyum yang terkesan tulus. Yah, itu bukan hal yang mengejutkan. Lagipula bersikap waspada pada orang yang baru kau kenal adalah hal yang bagus.
... Tangan gadis ini... Dibalik aura dingin misteriusnya yang aneh dan tatapan mata hitam yang tampak penuh selidik itu... Tangan yang kecil dan pucat ini justru terasa begitu hangat.
Apa karena tangan ini tertutup sarung tangan sebelumnya? Telapak tangannya jadi hangat. Dia bahkan tampaknya sangat merawat kukunya sehingga Kaivan dapat berkaca pada kukunya yang bersih dan bening seperti kaca itu. Jarinya panjang dan ukurannya juga pas. Sangat kontras dengan urat-uratnya yang menyembul ketika mereka saling berjabat tangan.
"Tangan yang cantik."
Kalimat absurd itu tiba-tiba keluar dari mulutnya. Kaivan tampaknya segera menyadari hal itu dan buru-buru terkejut mendengar apa yang baru saja ia katakan. Entahlah, bersama gadis ini Kaivan merasa bodoh.
"Maksud gue---"
"Jadi kamu suka tanganku, makanya kamu memintaku melepas sarung tangan?"
"Hah? Bukan begitu---"
"????"
Kaivan terkejut, Ona tiba-tiba menggerakkan tangan pucatnya. Tangan kecil itu bergerak, menggesek telapak tangan Kaivan yang kasar dengan telapak tangannya. Rasanya seperti bersentuhan dengan permukaan daun teratai yang terpapar sinar matahari,
Halus dan hangat.
Tak sampai disitu, Ona bahkan merangkul jemari Kaivan dan menggenggamnya. Meremas tangan Kaivan dan mengangkat tangan mereka yang saling menggenggam di depan wajah.
"Bukankah ini agak cabul, Kai?" celetuknya dengan senyuman simpul yang masih bertahan di wajahnya. Mendekatkan tangan mereka ke bibirnya dan seperti membisikkan sesuatu disana sambil tersenyum,
Mata berwarna hitam itu menatap ke arahnya lurus.
"Ketemu."
Kaivan tak memahami apa yang dikatakannya dalam bahasa asing—tampaknya bahasa Jerman, dan buru-buru melepas tautan tangannya.
"Eng-enggak. Gue gak bermaksud begitu. Gue hanya kaget karena tangan lo ternyata cantik---" Kaivan menyadari telah mengeluarkan kalimat absurd lagi dan buru-buru menutup mulutnya.
Sial. Kenapa mulutnya selalu mengatakan apa yang tak dia pikirkan sih?!
"Hahahaha..."
Kaivan tertegun. Ia mengira Ona mungkin akan merasa terganggu atau semacamnya. Namun ia justru tertawa. Suara tawanya lembut. Dalam, lembut, dan seperti gema yang begitu nyaman di dengar oleh telinga.
Yah... Suaranya memang bagus. Dan suara tawanya ternyata tak kalah bagus.
"Kamu cukup jujur, aku baru pertama kali bertemu dengan orang jujur yang lugu dan bodoh sepertimu."
Apa orang ini baru saja mengatainya bodoh sungguhan?
"Tidak buruk," gumamnya kemudian. "Tapi apa kamu tau, Kai? Jika kamu terus mempertahankan sifatmu itu, kamu bisa cepat mati."
Hah? Maksudnya? Kaivan tidak mengerti. Otaknya seperti tidak berfungsi.
Ona melihat jam di tangan dan berdiri. "Sepertinya kita harus menunda membaca bersamanya, Kai. Aku harus pergi. Tidak apa-apa, kan?"
Kaivan mengangguk sebagai jawaban. Ona tersenyum. "Aku akan memberikan buku ini kepadamu setelah aku selesai membacanya. Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu," ucapnya, setelah itu mengambil langkah.
Namun di langkah ketiga, ia kembali berhenti dan berbalik menatap Kaivan yang masih duduk di tempatnya.
"Bergabunglah dengan salah satu faksi,"
Kaivan menoleh, menatap Ona.
"Tak peduli faksi manapun, itu tak masalah. Bergabunglah dan berbaur dengan mereka. Bila perlu, usahakan kamu menjadi ketua faksi agar kamu bisa leluasa menyelidiki tanpa harus di awasi."
Setelah mengatakan itu, Ona berbalik dan benar-benar pergi dari sana.
Masih belum menemukan buku yang disuka, Daniel melanjutkan langkahnya sampai di ujung tembok bagian paling belakang perpustakaan. Ada jajaran lemari kaca berukuran tinggi dan panjang, isinya ada banyak sekali berbagai bentuk piala berwarna gold dan silver. Ada juga yang berbahan kayu dengan model yang cukup antik.
"Wah, banyak sekali," gumam Daniel memandang sekitar lemari tesebut. Matanya meliar mengamati berbagai macam benda-benda di dalam lemari tersebut. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah celah, lubang kecil di antara lemari yang kurang dempet ke dinding. Dia mengintipnya.
Ia kaget. Ternyata di belakangnya, dibalik lemari itu ada sebuah ruang. Semakin tajam Daniel mengamati, semakin jelas pula apa yang dia lihat disana. Ruangan yang bernuansa merah yang dihiasi lilin-lilin antik. Perlahan kedua netra Daniel naik mengamati lebih jelas pada sebuah figuran yang menampilkan 5 foto siswa yang mengenakan seragam KHS. Di sekeliling figuran tersebut ada banyak bunga kamboja kuning yang menghiasi.
Daniel terdiam. Membaca ukiran nama yang tertera dibawah figuran tersebut.
Azriel Nevandra, Jovanka Daisy Wileen, Leonal Panetta Arga, Delona Dasshara Kenya, Devon Louis Maxwell.
"Siapa mereka?" gumam Daniel penuh tanya.
Kaivan mengalihkan pandangan dan melihat gadis berambut hitam sepunggung dengan wajah datar dan tatapan dingin. Fokus Kaivan langsung terkunci padanya.
"Ayoloh, ketahuan lagi liatin Ezlyn. Suka kamu ya?"
Kaivan sedikit terperanjat, kaget karena suara Riyana yang tiba-tiba menginterupsi.
Kaivan berdecak dan menjitak kening Riyana yang bicara sembarangan.
"Lo tau dia?"
Riyana memajukan tubuhnya ke depan. Sebelum bicara, Riyana lebih dulu melihat Ezlyn yang tengah membaca buku dan terlihat cuek dengan sekitarnya.
"Ezlyn Rumi Falisha. Kehadirannya menyita banyak perhatian. Cantik, cerdas dan cerdik. Dia anak tunggal dari Ganesa Harold, pengusaha besar yang terkemuka sekaligus pemilik sekolah ini. Dia adalah primadona angkatan kelas 10. Terlepas dari statusnya yang merupakan konglomerat terpandang, Ezlyn peraih nilai tertinggi di ujian masuk. Jangan tertipu dengan paras cantiknya. Ezlyn sangat licik dan berbahaya. Dia paling gak peduli sama apa yang terjadi. Tetapi saat terancam, dia akan menjatuhkan setiap siswa yang dianggap sampah olehnya," ujar Riyana.
👑👑👑
Hujan deras membuat suasana menjadi terasa dingin bersama kesunyian malam yang menemani.
Di lorong gedung utama yang minim pencahayaan, terlihat ada seorang siswa berusaha menyeret kaki kanannya yang hampir putus berlari. Darah tertinggal, membekas di setiap lantai yang ia pijaki. Siswa itu tampak sangat ketakutan, sesekali menoleh ke belakang.
Ssssttt
Terdengar suara besi yang bergesekan ke lantai, sontak membuat siswa itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan rasa sakit luar biasa pada kakinya.
Terlihat jauh di belakang, ada sosok misterius berpakaian hitam dengan topeng badut menutupi kepala. Memegang linggis di tangan kanannya yang digeret dan bergesekan ke lantai sehingga menimbulkan bunyi nyaring yang terdengar ngilu di telinga.
Kehadirannya seolah di sambut dengan aura menakutkan malam ini. Setiap langkahnya diiring sebuah nyanyian, membuat siapapun yang mendengarnya merasa merinding.
Ding dong, ku datang padamu, bukalah pintu, tak bisa sembunyi dariku...
Ding dong, ku datang padamu, bukalah pintu, kau tak bisa lari dariku...
Suara itu terdengar gemetar. Tangisan seorang perempuan, lirih, rintih, seolah merasakan rasa sakit yang teramat sangat sakit.
Dari balik jendela, ku tatap erat wajahnya. Kau diam membeku, ku datang mendekatimu...
Suara itu terdengar lagi. Suara seseorang pria dewasa, nadanya terdengar seperti menyimpan kemarahan.
Aura membunuh mendominasi setiap lirik lagu yang dinyanyikan.
Ding dong, ku datang padamu, siaplah kabur, lari bersembunyi dariku...
Ding dong, menuju padamu. Cepatlah lari, lari dengan cepat sembunyi....
Terdengar lagi. Suara anak perempuan penuh kegembiraan, senang seperti baru saja diberikan mainan kesukaan. Lalu di menit berikutnya berubah menjadi suara anak laki-laki.
Ku dengar langkahmu, ku dengar resah nafasmu, dan detak jantungmu. Ku kan temukan dirimu...
Hening.
Sepi, sunyi dan senyap. Suara itu tak terdengar lagi.
Di gedung seni tepatnya di ruang teater, siswa tadi bersembunyi di dalam lemari penyimpanan kostum. Dia berkeringat dingin, rasa takutnya jauh lebih besar dari rasa sakit akibat luka parah di kakinya. Jika psycopat itu menemukannya, sudah pasti dirinya akan mati detik itu juga. Dan dia berharap jangan sampai itu terjadi.
BRAKKK!
Pintu kini terbuka lebar. Sosok itu berdiri di tengah pintu masuk dan keluar tanpa memegang gagang pintu, yang artinya pintu itu terbuka dengan sendirinya tanpa dipegang sedikit pun oleh orang itu. Bagaimana bisa?
Sosok tersebut berjalan mengitari ruangan. Siswa itu seketika menegang, membekap mulutnya dan berusaha diri agar tidak menimbulkan suara.
Di menit berikutnya, kembali hening. Siswa itu mengintip dari celah-celah lemari, melihat keadaan diluar sana. Tidak ada siapapun. Seperti sosok tadi sudah pergi. Tapi dia tidak langsung keluar, dia memilih menunggu beberapa menit dan memastikan keadaan sudah benar-benar aman.
10 menit kemudian. Pelan-pelan dan penuh hati-hati, siswa membuka pintu lemari. Mata meliar memperhatikan sekitar, memastikan lagi tidak ada siapapun di dalam ruangan ini selain dirinya. Siswa itu perlahan keluar, menyeret kakinya berjalan menuju pintu keluar. Namun tiba-tiba...
"Ketemu."
Siswa itu menegang seketika, dengan kaku menoleh ke belakang. Matanya melotot melihat sosok topeng badut tadi sudah berdiri di belakangnya.
"Ja-jangan bu-bunuh gu-gue....!!"
Sosok itu tidak mengindahkan permohonannya. Ia mengangkat tangan kanan yang memegang linggis ke atas.... dalam sekali tebasan, kepala siswa itu langsung terpisah dari leher.
👑👑👑
Sebenarnya malam belum terlalu larut, tapi sudah sangat sepi. Mungkin karena hujan. Melihat rumus-rumus membuat Daniel bosan dan muak, sedangkan Kaivan memang sedari awal tidak belajar. Cowok bermata hazel itu duduk di kursi meja belajar, fokusnya tertanam pada game online di ponselnya.
Daniel beranjak dari atas kasur. Baru saja Kaivan mengalihkan posisi duduknya, panggilan dari Daniel sontak mengalihkan fokusnya.
Kaivan menghampiri Daniel di balkon. Menengadahkan kepala, menatap langit malam yang sangat kelabu. Namun, ada hal lain. Pandangan kedua pemuda itu tertahan fokus pada puluhan balon warna kuning yang melayang di atas mereka. Kaivan dan Daniel saling melirik satu sama lain.
"Ini... gak kayak yang gue pikirin kan?" tanya Daniel tanpa berkedip.
"Emang lo mikirin apa? Itu bukan apa-apa. Cuma balon terbang. Kan ada bazar dekat sini, mana tau punya pedagang yang gak sengaja lepas," sahut Kaivan kemudian. Kendati menyangkal, sudut otaknya tetap mengarah ke arah situ.
Ternyata, di tempat masing-masing. Beberapa murid KHS juga menatap objek yang sama. Balon terbang di langit yang tengah hujan.
"Gue jadi ingat novel yang gue baca kemarin. Psikopatnya selalu menyimpan balon di sekitar rumah korbannya sebagai ciri khas."
"Sosok topeng badut peneror, menggunakan sebuah balon untuk mengisyaratkan suatu pertanda buruk akan terjadi kepada seseorang mengenai nyawa yang sedang terancam," jelas Ziandra.
"Tapi bukankah pelakunya sudah di tangkap dan di hukum mati 5 tahun yang lalu?" tanya Zennaya.
"Seharusnya sih begitu. Tapi...," Ziandra menutup buku di tangannya. Beranjak menuju balkon dan berhenti di samping Zennaya.
"Sepertinya era baru sudah dimulai," lanjut Ziandra.
Di dalam mobil, Gara juga memperhatikan objek bulat tersebut. Cowok itu menatap gamang. Remasan tangan di kaleng cola nya semakin mengeras seiring bertambah tingginya balon-balon itu terbawa angin.
"Huh! Aku percaya sekarang."
"Lebih percaya mana? Satu di tambah satu itu hasilnya sebelas atau bumi itu segitiga?"
*****
~ ZIANDRA SHARGA KYLE
~ ZENNAYA NADIA KYLE
~ EZLYN RUMI FELISHA
*****
Segitu dulu guys❤️
See you di bab selanjutnya😘