"Trip nya besok aja ya, guys."
Kairo menjawab dengan anggukan, ia terdiam memperhatikan ayahnya yang sedang dipakaikan baju pernikahan khas Jawa tengah.
"Santai aja, Yah. Kalau besok pasti masih capek, jadi besoknya lagi aja. Dua hari ini aku udah jalan keliling pantai sama bang Kai," Jawab Arkhana sambil berkaca melihat penampilannya.
Ia, Erlang, Ranu, Kairo, dan Seno memakai pakaian yang sama. Kata mas Ranu jenis beskap, atas polos berwarna hijau olive, dan bawahannya dililitkan kain batik solo motif satrio manah. Sedangkan ayahnya masih shirtless disana, penata busana masih melilitkan jarik.
"Yang kenceng, mas. Nanti melorot lagi pas ijab," Ujar Bachtiar.
Ranu berdecih sembari memakai blangkonnya. "Kalau ayah ijab sambil lari ya melorot."
Erlang tertawa renyah. Jadi ngebayangin.
"Kemarin Kairo lihat di video ada orang ijab qobul di atas motor trail, Yah. Penghulunya juga naik motor, jadi posisinya hadap-hadapan, terus habis SAHHH langsung geber motor."
Arkhana ngakak, teringat lagi. Ia dan Kairo menertawakan video itu selama satu jam.
"Tempat udah aesthetic background laut masa mau nggeber motor," Cibir Bachtiar. "Untuk hari ini ayah mau keliatan waras dulu."
"Background laut tapi ngundangnya tetep ndx," Sahut Ranu.
"Kalau ngundang Fani Soegi bornean ayah takut ngantuk, Ran." Jawab Bachtiar, ia diam seperti orang-orangan sawah saat dipakaikan baju. "Asmara tlah terkalibrasi~"
Ranu berdecih.
"Tenang, Ran. Ayah ngundang kesukaan-kasukaan kalian, kok. Katanya om Suren mau nyumbang datengin Tulus. Gak tau bener apa enggak."
Kesukaan kalian katanya. Bachtiar cuma mengundang ndx dan Denny Caknan, itu kesukaannya sendiri dan bunda Raina. Kairo merengut. "Kesukaanku kok gak diundang, Yah? Mbak Taylor."
"Aku juga, Yah. Baekhyun EXO," Sahut Arkhana.
Mendengar ucapan dua anak itu, Bachtiar tersenyum lebar. "Ayah bisa aja, tapi habis itu kita tidur di kolong jembatan, ya."
Erlang dan Ranu tertawa.
"Sudah selesai, pak."
Bachtiar bernapas lega saat penata busananya selesai mendadaninya. Ia berdiri di samping Arkhana, menatap pantulan dirinya. Arkhana tersenyum melihat penampilan ayahnya, keren sekali dengan balutan adat Jawa. Kain batik motif Sidomukti, dengan harapan mendapatkan hidup yang tentram dan sejahtera. Atasannya putih, sama-sama memakai beskap tapi berwarna putih dan kancingnya dari atas ke bawah lalu dipadukan dengan jas warna senada.
Ranu mengambil kalung melati di meja, memakaikannya pada Bachtiar. Yang nikah bapaknya ia yang deg-degan.
"Selamat ya, Ayah. Akhirnya ayah menemukan tambatan hati lagi, semoga selalu bahagia," Ucap Ranu.
Bachtiar memeluk putranya itu. "Aamiin. Terima kasih ya do'anya. Maaf ayah memberikan kalian rumah yang gagal, tapi kali ini ayah akan ngasih kalian rumah yang utuh, yang bahagia."
Tidak ada yang boleh mematahkan kebahagiaan keluarga ayahnya lagi, batin Arkhana. Menatap Bachtiar penuh haru sembari berjanji ia akan menjadi kesatria pelindung seperti arti dari kain batik yang dipakainya ini.
"Aduh!" Pekik Arkhana tertahan sambil menyentuh perutnya.
Adegan haru itu bubar dan orang-orang serentak menoleh pada Arkhana yang membungkuk memegangi kursi.
"Kenapa? Sakit? Mau ke rumah sakit?" Tanya Kairo beruntun.
Arkhana tersenyum, berdiri lagi. "Aman, aman."
"Mending duduk dulu," Bachtiar menuntun anaknya. "
Arkhana tersenyum pahit. Belum juga jadi kesatria pelindung malah ia yang terkesan butuh perlindungan.
Di salah satu kamar hotel lain, Seno tersenyum kecil melihat penampilan ibunya. Akhirnya ia bisa datang ke pernikahan orang tuanya.
"Bunda sumpah ayu bangettt!" Pekik Seno, mengacungkan dua jempolnya.
Raina tersenyum malu-malu. "Bapak mu gimana perasannya di atas sana, ya. Padahal bunda dulu bilang gak akan nikah lagi, cuma fokus sama kamu, Sen."
Seno memegang kedua bahu ibunya. "Bapak pasti seneng-seneng aja karena istrinya gak sendirian lagi, gak kesepian, ada teman untuk menua bersama. Seno juga udah gede, bunda. Dari dulu Seno nyuruh bunda nikah."
"Iya. Tapi... Seno beneran gapapa?"
"Ora opo-opo, bundaku sayang. Bunda kenapa jadi mellow gini, sih. Bunda harusnya seneng cinta bunda akhirnya terbalas." Seno terkekeh.
Raina mengangguk semangat. "Iya. Bunda bisa ngalahin ibu-ibu perum! Hahah mereka yang caper bunda yang dapet."
Seno tertawa. "Bukannya bunda juga suka caper?"
"Ih??!" Raina melotot tidak terima. "Iya, dikit. Kadang."
"Tapi kebanyakan emang niat bantu ya, Sen. Karena pak bah kan tetangga dekat kita dulu..." Lanjut Raina.
"Iya, bunda. Iya," Sahut Seno, lantas memeluk ibunya. "Bunda, makasih ya untuk semuanya."
Setelah apa yang dialami ibunya, berjuang sendirian, Seno jelas tidak bisa egois. Ia ingin ibunya juga bahagia, punya tempat keluh kesah karena Raina tidak pernah menunjukkan kecacatan hidup kepada Seno, punya tempat bersandar selain Tuhan, tidak berjuang sendirian lagi.
"Udah siap, mbak Rain?" Shiren masuk ke kamar. "Kalau udah ayo kita keluar, ijabnya sudah mau dimulai."
•••
Bachtiar meremas tangannya di bawah meja, terkesan gugup tapi nyatanya tidak. Ia hanya sedang dugun-dugun parah karena melihat Raina sedang berjalan ke arahnya. Digandeng oleh Seno dan Shiren. Anggun sekali dengan balutan kebaya kutubaru putih se-lutut dengan full payet, wajah ayunya dipoles dengan tidak berlebihan. Meski memakai adat Jawa, Raina tidak memakai paes, rambutnya di sanggul dan dihiasi oleh mahkota sisir di puncak kepala, dua centhung, dan ronce melati. Lalu veil panjang ke belakang.
"Yang mau sama lo cakep-cakep ya, mas." Bisik Surendra yang bertugas mendampingi saudaranya.
"Yoi," balas Bachtiar, memberikan flying kiss saat wanita itu menatapnya.
Raina menahan senyumnya, ingin melempar wajah Bachtiar dengan seikat bunga anggrek bulan putih di genggamannya.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Danita Raina binti Heru Gunawan dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!"
"SAHHH!"
Calvin yang berteriak paling keras. Oma terlihat menyeka air matanya sebelum mengenai make up mahalnya. Erlang merangkul Ranu dan Arkhana, sedangkan Kairo berjabatan tangan dengan Seno, sepakat untuk bersaing secara sehat.
"Rina cakep ya pake putih-putih, kayak burung dara," bisik Seno.
Kairo mengikuti arah pandang saudara barunya secara resmi itu, ya... Cantik. Tapi Kairo malah memperhatikan gadis yang sedang berbincang dengan Katarina. Sejak kapan mereka dekat?
Beberapa rangkaian acara sudah selesai hingga akhirnya tiba pada momen yang ditunggu-tunggu. Tulus jadi datang.
Tetaplah bersamaku jadi teman hidupku
Berdua kita hadapi dunia
Kau milikku ku milikmu kita satukan tuju
Bachtiar dan Raina duduk-duduk di pelaminan, saling bergandengan mesra menyanyi bersama tulus. Sedangkan Ranu sibuk bikin instastory, di kursi para tamu Erlang cengar-cengir saat Oma mengenalkan salah satu staff WO kepada Erlang. Lalu Kairo, dan Seno menjelajahi setiap stan makanan yang tersedia, terakhir Arkhana yang dicari-cari sedang bernyanyi bersama Tulus sambil baca lirik.
Mau makan juga harus dipilihin Oma.
Bachtiar menyediakan beberapa makanan khas daerah, seperti rawon, soto, gudeg, pempek, rendang, nasi campur bali, nasi liwet, lalu jajajan jadul seperti gethuk, klepon, lumpia, serabi, putu ayu, ketan susu, ada minuman seperti sekoteng, wedang ronde, es pisang ijo, es selendang mayang, es cendol, kopi jahe, kopi kopyok, kopi bali kintamani, aneka jus buah, coklat, dan es krim jadul.
Membuat dua pemuda itu linglung apakah harus makan dulu, atau jajajan dulu, atau... Ambil es pisang ijo keburu habis. Tapi akhirnya mereka makan soto karena masih pada ramai.
"Kenapa di Lombok masih ada soto, sih?" Tanya Seno, muak.
Kairo tertawa. "Enak tau. Rasanya beda."
"Pak Bah persiapannya kayak mateng banget padahal cuma dua minggu kan, ya." Tanya Bu Dewi.
Mereka semeja dengan Bu Dewi dan anak-anaknya.
"Yang ngurusin ini om Suren, Bu Dew. Sama Oma. Si Ayah cuma request-request aja," Jawab Kairo.
"Hah... Pak bah udah gak duda lagi," Gumam Bu Dewi.
Kairo terkekeh mendengarnya. Hari patah hati mak-mak janda perumahan.
Acaranya meriah tapi juga tertutup. Hanya warga perumahan dan teman-teman dari Bachtiar juga Raina yang datang. Mana kata Bachtiar di grup perum jangan sampai ada yang ngasih salam tempel lagi. Bener bener, mulia sekali Raina.
"Eh, ndx tampil, El!" Seru Seno, ia menarik tangan Kairo menuju pentas kecil yang disediakan untuk penyanyi.
Kairo menelan sotonya yang belum kekunyah sempurna. Ia berdiri paling sambil agak menaikkan jariknya. Sempit banget dan kalau boleh ia ingin melepas pakaian adat Jawa ini.
"Usahaku wes ra kurang kurang!"
"Gematiku opo?!"
"Gematiku wes pol polannn!"
"Pas aku dolan jebul ketemu kowe neng dalan.. Kowe konangannn gendak an!"
Bachtiar dan Raina tertawa ala pengantin baru melihat kelakuan Kairo, Seno, Surendra, Calvin, dan beberapa tamu yang mendekat ke panggung. Sepertinya mereka akan menyanyikan satu album.
"ASU! Pas aku dolan jebul! ketemu kowe neng dalan! Kowe...."
"Harusnya nggak usah ngundang artis ya, bundsay. Anak-anak kita kayaknya udah cukup bisa memeriahkan," gumam Bachtiar, terkekeh melihat anak-anaknya ikut bernyanyi. Kecuali Akrhana karena masih berusaha menghapal lagu logat jawa dari hp.
Acara pernikahan Bachtiar sukes, dengan nuansa yang tenang tapi menyenangkan berhasil membuat para tamu merasa bahagia datang ke acara ini. Jonathan memperhatikan Bachtiar dan Raina yang sedang menyalami para tamu, beberapa tamu dan anak-anak Bachtiar sedang karaokean disana dengan artis bernama Denny Caknan, ada yang masih berbincang-bincang sambil menikmati makanan yang disiapkan. Seperti yang sedang dilakukannya dengan Aluna sekarang.
"Panas nggak, Lun?" Bisik Jo.
Aluna menyeruput kopi hitamnya. "Enggak. Kenapa emangnya."
Jonathan tersenyum miring. "Ya kalau panas kalungan Dieng biar adem."
"Cih."
Perempuan itu datang agak akhir, saat hiburan sudah dimulai. Sedangkan Jo sudah dari kemarin malah. Undangannya dikirim langsung oleh suruhan perusahaan Bachtiar jadi Jonathan bela-belain datang. Kalau lewat WhatsApp ya sorry, akan ia transfer saja.
Kedatangannya disambut baik oleh Bachtiar dan keluarganya karena ia juga sudah mengatakan sesuatu dari apa yang telah ia pikirkan kepada pria itu tadi.
Aluna juga, wanita itu juga di sambut baik meski ada sedikit keterpaksaan dari ibu Bachtiar. Anak-anaknya salim, tapi Aluna seperti tidak mau disalimi Arkhana.
"I know, Lun. Kalau kamu baru ngerasa menyesal sudah selingkuh dari Atma, kan?" Bisik Jonathan. "Mungkin ya mungkin, kalau Arkhana dalam keadaan baik, kamu baik, terus kamu ketemu lagi sama Atma, mungkin Atma menikahi mu karena kamu tau sendiri gimana cintanya dia dulu sama kamu."
Aluna terdiam sebentar. "Aku gak butuh apapun lagi."
"Oh ya? Termasuk Kana? Gak butuh dia lagi?"
"Anak itu? What for? Anak nggak berguna."
Jonathan terkekeh. "Kapan lalu aku main ke rumah Bachtiar, nganter Gaby yang kangen sama Kana. Dan aku lihat sendiri gimana Kana dengan Atma, aku ngerasa gak senang mendengar Kana manggil ayah selain aku."
Aluna tertawa, menoleh sinis. "Apa? Kamu cemburu? Udah luluh hati kerasmu itu, Jo?"
Jonathan mengendikkan bahu. "Maybe. Namanya hati yang bolak-balik juga Tuhan."
Aluna terdiam, melihat dari jauh Bachtiar, Raina, dan anak-anaknya termasuk Arkhana tampak sibuk berfoto bersama di depan sana.
"Karena Kana takut banget sama aku, juga aku yang sadar kalau dari awal aku gak ngasih kebahagiaan ke dia, aku bilang sama Bachtiar kalau aku melepaskan Kana."
"What??" Aluna menoleh kaget.
Jonathan mengangguk, matanya menerawang jauh pada Arkhana yang tersenyum bahagia di antara Bachtiar dan Raina. "Yeah. Melepaskan dalam artian Bachtiar bisa secara resmi mengakui Kana anaknya. Aku masih ayah biologisnya jadi Kana bisa kapanpun ketemu aku kalau dia mau."
"Tidak berefek apapun karena dari awal Kana itu ikut denganku, Jo. Dia memang ikut Bachtiar, tapi dia masih milikku. Anakku," Balas Aluna.
"Kamu mengakui Kana anakmu? Sejak kapan?"
"Sejak dulu. Kalau aku gak mengakui mana mungkin ku kasih makan, ku bawa dia, ku kasih pendidikan, mending ku buang aja ke panti."
Jonathan terkekeh. Jahatnya. Eh, dirinya kan juga jahat. Tapi mau tobat. "Jadi... Kamu mau ada pikiran ngambil Kana lagi?"
Aluna terdiam mendapatkan pertanyaan itu, ia menatap Arkhana yang sangat terlihat bahagia. Sama sekali tidak menoleh kepadanya.
•••
Aluna tersenyum miring, ia melepas sepatu dan melemparnya ke sembarang arah, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur hotel. Ia baru saja lari pagi di sekitaran pantai dan pernyataan Jonathan masih terbayang di pikirannya.
Dia bilang sejak kapan ia pernah menganggap Arkhana anak?
Maka jawabannya ia tidak pernah tidak menganggap Arkhana sebagai anak, jika dalam hati. Mungkin caranya memang keterlaluan.
Itu karena Aluna mengaku gagal di awal. Jika ia tidak menutupi perasaannya sendiri ia merasa menyesal telah mengkhianati Bachtiar. Ia marah pada dirinya sendiri yang telah menyia-nyiakan kesempatan menjadi istri Bachtiar dan ibu dari anak-anaknya, menuruti nafsunya yang terus mengatakan kurang dan kurang.
Aluna memang salah karena telah memanfaatkan Bachtiar dengan menerima cintanya agar kuliahnya bisa selesai dan impiannya tercapai. Namun yang ia dapat malah kehidupan dengan penuh kesederhanaan, ia muak terus diatur dan mengurus anak-anak yang dia ciptakan lalu ditinggal terbang.
Ya... Meskipun pria itu selalu meluangkan waktu jika di rumah.
Memang ini salah Aluna. Ia yang naif menyalahkan Arkhana atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Rasanya melihat Arkhana hanya mengingatkan tentang penyesalannya yang dalam, tentang kebodohannya karena itu ia membuat dirinya bangkit dan mengejar keinginannya saja.
Aluna harus menunjukkan kepada mereka kalau ia bahagia, ia tidak menyesal atas perbuatannya, hingga ia punya semuanya dan Arkhana ia dorong agar lebih hebat darinya. Tapi anak itu benar-benar payah karena memang terlahir lemah meski sudah pada waktunya.
Saat Bachtiar kerja Aluna beberapa kali mencoba menggugurkan kandungannya namun gagal, entah karena Kairo menangis atau Ranu yang mencarinya. Sehingga mau tidak mau ia membesarkannya daripada hancur bersama.
Dulu Bachtiar pernah bertanya apakah ia itu pernah mencintainya? Pernah. Aluna pernah mencintai Bachtiar, tapi setelah ia mempunyai segalanya seperti ini. Aluna merasa kosong. Benar-benar kosong.
She lost everything.
Apalagi setelah Arkhana pergi dengan pria itu. Meski menyebalkan ia merasa ada yang kurang tidak melihat Arkhana membaca buku sambil makan di dapur, belajar di balkon agar tidak mengantuk, atau membantu bibi Mary memasak.
Kemarin di pernikahan Arkhana tampak dekat sekali dengan Raina, tertawa, terlihat seperti ibu anak pada umumnya dan benar kata Jonathan. Hatinya tidak nyaman mendengar Arkhana memanggil Raina dengan-
"Nda... Bunda!"
Aluna tersenyum miring. Mana bisa begitu?
"Iya, Jo. Aku mau ambil dia lagi."
Aluna segera membersihkan diri dan mengendarai mobilnya menuju villa tempat keluarga Bachtiar menginap. Keadaan sepi dari luar, hanya ada empat mobil yang terparkir. Mungkin mereka mau jalan-jalan?
Aluna memencet bel dua kali, hingga akhirnya pintu dibukakan oleh Raina dengan wajah ngantuknya.
"Eh, selamat pagi menjelang siang, mbak Lun!" Sapanya.
Aluna tersenyum tipis. "Pagi. Kana ada?"
"Ada ada, lagi nonton tv sama Kairo," jawab Raina. "Ayo masuk dulu, mbak..."
Dengan tenang Aluna melangkahkan kakinya ke dalam. Tidak ada orang.
"Sepi karena habis sarapan pada tidur semua, mbak. Ngantuk karena barbeque an sampe malem banget."
"Awal-awal nikah emang masih bahagia, Rain."
Raina tersenyum sambil menggeleng. "Enggak. Dulu saya bahagia terus sama suami saya meskipun beliau sakit dan punya mertua spik nenek tapasha."
Aluna berdecih.
"Bahagia nggak diukur dari apa yang kita miliki, mbak Lun. Tapi dari rasa syukur kita. Dan aku bersyukur setiap hari, aku menghargai apapun-"
Aluna memutar bola matanya jengah, apa dia sedang menyindirnya?
"Diam, Rain." Tukas Aluna.
Raina berdecih, ia menggiring wanita itu ke belakang dan tentu saja reaksi kedua anak yang sedang menonton tv itu terkejut melihat kedatangan Aluna.
Kairo refleks berdiri. Mau apalagi nih?
Aluna memasang senyum ramah kepada Kairo dan Arkhana.
"Mami... Ada perlu apa kesini?" Tanya Kairo dengan hati-hati.
"Mami kangen sama anak-anak mami."
"Oh..." Kairo kikuk, ia melirik Arkhana yang diam seperti patung. "Mas Erlang sama mas Ranu masih tidur, mau aku panggilin, mi?"
Aluna menggeleng, tersenyum kepada Arkhana yang menatapnya. "Enggak usah. Biarin aja, mami kesini mau ajak Kana jalan-jalan mumpung mami masih libur."
Kairo mengernyit. "Kana aja? Kenapa? Aku gak diajak juga? Aku juga anak mami."
"Kamu mau jalan-jalan sama mami? Bukannya kamu benci sama mami, Kai? Atau kamu cuma mau ngikutin Kana? Kamu curiga sama mami?" Aluna menatap Kairo tidak percaya.
Kairo kehilangan kata-kata. Ibunya itu benar-benar pintar membalikkan perasaan orang.
"Kamu mau, Kana?"
Arkhana mengangguk, ia menoleh dan menatap dalam Kairo seakan mengatakan kalau ia akan baik-baik saja. Ia segera ke kamar dan mengambil kemeja untuk outer kaos putihnya dan mengantongi ponsel dan beberapa botol obat kecil.
Setelah berpamitan singkat dengan bunda dan Kairo, ia pergi dengan Aluna. Katanya mau keliling-keliling dulu. Arkhana bersyukur karena ia kira akan banyak menggunakan kakinya.
"Kamu sakit, Kan?"
Arkhana menoleh kaget mendapatkan pertanyaan seperti itu dari ibunya.
"Kata Kairo kamu sakit, nyuruh saya pulangin kamu sebelum matahari terbenam, terus jangan dibikin capek," Lanjut Aluna.
Setelah Arkhana pergi ke kamar tadi Kairo memperingatinya kalau Aluna tidak memulangkan Arkhana, dia akan benar-benar benci. Aluna tersenyum miring, benci saja.
"Iya. Sakit."
"Perasaan sakit terus kamu, gak sembuh-sembuh."
Arkhana tersenyum kecut, kembali mengamati jalan. "Iya, mi. Gak tau bisa sembuh apa enggak."
Aluna refleks menatap anaknya, mengamati wajah pucat itu dan menemukan kalau warna kulit Arkhana jadi sedikit berbeda. Terlihat ringkih dan entah hanya perasaannya saja atau bukan kaki anak itu agak bengkak. Aluna terdiam, tangannya diam-diam menyentuh sakunya.
"Padahal Kana mau kesini besok sama ayah, tapi udah duluan sama mami!" Seru Arkhana saat mobil sudah terparkir.
Pemandangan pantai yang indah, bersih, dan sepi menyambutnya. Mereka tiba ketika hari sudah sore jadi beberapa orang sudah pulang. Ia tersenyum sangat lebar dan berjalan dengan semangat mendekati pinggir pantai meski tertatih. Melihat itu tanpa sadar kedua sudut bibir Aluna sedikit tertarik.
Arkhana merasa bahagia sekali hari ini, meskipun ibunya tidak banyak bicara ia bisa menghabiskan waktu dengan Aluna.
"Mami sin--" Ucapan Arkhana terhenti.
Ia terdiam di tempat memerhatikan ibunya yang tampak sama terdiamnya memandangi air minum yang dipegangnya. Arkhana mengulum bibirnya lantas berjalan menghampiri Aluna.
"Mami gak pengen main air?"
Aluna terkesiap, lalu menggeleng. "Enggak, saya mau duduk disini aja," Ucapnya lalu menjatuhkan tubuhnya langsung ke atas pasir.
'Saya' katanya, Arkhana tersenyum, ikut duduk di samping ibunya. Memperhatikan laut dari jauh.
"Kamu gak benci sama saya setelah apa yang sudah saya lakukan ke kamu?" Tanya Aluna lirih. "Kamu gak takut?"
Arkhana menggeleng, rambut hitamnya berantakan terkena angin yang berhembus kencang.
Aluna mengangguk-angguk. "Tapi sama Jo kamu takut?"
Sebenarnya sama-sama takut, tapi Arkhana mencoba melawan itu saat bersama ibunya.
"Iya. Tapi sama mami aku gak takut, aku sayang sama mami," Jawab Arkhana.
Tidak apa jika ibunya tidak ingin meminta maaf, karena Arkhana yang akan melakukan itu. "Kana minta maaf sama mami, gara-gara Kana hidup mami berantakan, kan? Kana minta maaf."
Aluna terdiam tanpa kata saat Arkhana menatapnya dengan tatapan yang dalam.
"Kana terima kasih sama mami karena mami sudah mau membesarkan Kana meskipun mami gak suka sama Kana. Mami kalau tanya suruh aku milih ayah apa mami, aku milih ayah karena... Ayah bener-bener ngehargain keberadaan Kana. Tapi Kana juga akan terus berbakti sama mami. Maaf kalau dulu sempat marah, tapi aku sayang banget sama mami."
Arkhana tersenyum, ia menatap mata Aluna yang tampak kosong. "Kana akan berusaha sembuh, setelah itu Kana akan pergi kesana kesini. Kana tau mami kesepian. Jadi Kana akan selalu di samping mami, meskipun mami gak butuh Kana."
Butuh...
Mata Aluna memanas.
"Kana haus banget ngomong terus, minta airnya ya, mami."
Botol dalam genggaman tangannya tertarik, Aluna segera tersadar dan ingin merebut airnya kembali.
"Kana! Jangan minu-"
Terlambat.
Sudah tiga tegukan masuk ke lambungnya.
Tbc