"Kalian berdua ini kenapa?"
Berdiri di depan pintu rumah, seragam yang penuh lumpur, kacamata yang setengahnya sudah retak, tas yang sudah tergeletak di atas teras, sosok Iwan yang bersembunyi di belakang Solar; kemudian kucing berbulu hitam legam yang mengeong dengan sumringah. Gempa jauh dari kata shock saat melihat kondisi adik bungsunya itu pulang dengan keadaan yang bisa dibilang lebih mirip gembel daripada manusia.
Tatapan mata Solar sudah tampak malas, mengkerut di ujung sudut matanya, bibirnya menekuk, dan sialnya kucing di dalam pelukannya malah mendusel mencari kehangatan setelah dengan kurang ajar membuatnya harus nyebur ke dalam empang lumpur hanya untuk menyelamatkannya, yang sempat-sempatnya ingin menggoda kucing betina dalam pelarian mereka dari si Saepudin dan kawan-kawannya.
Memang betul hari sial itu tidak ada di kalender.
"WEH CIL, LO HABIS NGAPAIN?? KOK KAYAK GEMBEL."
Blaze yang sedang menyedot es dawet yang baru saja dibeli oleh Gempa muncul sembari teriak-teriak. Tidak hanya kesal karena sekarang badan Solar jadi kotor serta lengket karena lumpur, kacamatanya rusak, dan sekarang harus meladeni si bengal Blaze yang sepertinya akan mengolok-ngoloknya kemudian. Solar tidak tahu apa yang diocehkan oleh kakak laki-lakinya itu sampai Gempa memaksanya untuk berhenti berteriak dan masuk ke dalam rumah—sebab takut tetangga sebelah akan datang lagi untuk marah-marah karena mereka terlalu berisik.
"Blaze, masuk sana, jangan gangguin Solar." Gempa menyundul Blaze dan memelototi adik laki-lakinya itu. sampai-sampai Blaze hanya bisa mengaduh kesakitan dan terpaksa masuk sembari ngedumel bahwa Gempa sama sekali tidak asik untuk diajak menggoda adiknya.
Kacamatanya yang retak diambil Gempa dari wajahnya, tasnya yang kotor karena dijatuhkan ke atas rerumputan sebelum Solar dengan bodohnya malah melompat mengikuti kucing ke empang itu—dipungut Gempa. Kakak laki-lakinya itu menatapnya—tidak mengatakan apa-apa saat tangan Gempa menyibak rambut Solar hingga dahinya terlihat, dia juga mengecek bagian wajahnya yang lain—seolah-olah itu adalah rutinitas yang sudah pernah Gempa lakukan.
"Bersih."
"Apa?" Gempa mengerutkan alisnya saat mendengar Solar tiba-tiba berbicara.
"Gak ada apa-apa di wajah gue, kak."
Tatapan Solar lurus, menatap manik kecoklatan Gempa yang berdiri diam setelah dia menjauhkan jemarinya. Sunyi di antara mereka berdua mendadak membuat atmosfir di udara terasa mencekik—padahal halaman teras rumah mereka harusnya terasa segar karena Duri rajin menanam macam-macam tumbuhan—sampai-sampai dari jauh—daripada rumah, halaman mereka lebih mirip greenhouse mini. Situasi itu juga jadi bikin Iwan yang berdiri di belakang Solar menatap dengan takut-takut di antara keduanya.
Iwan gak tau bagaimana hubungan Solar dengan kakak-kakaknya. Soalnya, di sekolah Solar hanya sibuk belajar, makan di kelas, atau belajar ke perpustakaan. Dia juga hampir gak punya teman kecuali Iwan. Itu pun yang mereka bicarakan tidak banyak, hanya lego karena Solar suka sekali mengoleksi benda-benda seperti itu. Saat berkontak dengan kakak-kakaknya yang lain di sekolah pun, Solar biasa hanya menanggapi dengan ketus atau bersikap seolah tidak mau terlibat lebih jauh. Makanya, gak heran kalau banyak yang gak tau Solar itu saudara kembar Duri dan bersaudara juga dengan si kembar Blaze dan Ais.
Oh dan satu lagi, Solar itu sangat tertutup, sampai-sampai Iwan kaget saat Solar dengan senang hati menyuruhnya ikut ke rumahnya.
"Meong.."
Atmosfir tegang di antara keduanya itu syukurnya langsung pecah saat kucing hitam di pelukan Solar membuka mulutnya. Tatapannya memelas, seolah sedang melerai keduanya untuk berhenti memberi pandangan yang membuat suasana tidak mengenakkan. Walaupun aslinya, kucing hitam itu mengeong karena dia kelaparan dan mencium bau enak dari dalam rumah.
Gempa lantas menghela napas, mengalihkan pandangan.
"Kalian berdua masuk dulu aja. Kamu Iwan kan? Nanti bajunya taruh aja ya, biar pakai baju bersihnya Taufan dulu." Gempa memberi pengertian, dan Iwan mengangguk sembari berujar terima kasih melalui gestur dan tatapan.
Setelahnya, laki-laki itu kembali lagi pada Solar. "Ada Bang Alin di dalam. Biar gue yang jelasin nanti. Kacamata lo juga nanti gue minta yang baru sama Bang Alin. Udah sana masuk dulu, penjelasannya nanti aja."
Solar diam saja, tapi dia menurut saja pada pernyataan Gempa.
*
"INI KUCING SIAPA?????"
"Buset hampir lo injek tuh, kucing."
Duri yang baru saja turun ke bawah setelah ngadem sebentar di kamarnya dikagetkan dengan sesosok makhluk berbulu yang menggeram di bawah kakinya saat dia berjalan melewati ruang tengah. Niat hati sih pengen ke dapur untuk mengambil air dingin, tapi malah mendengar suara kucing marah-marah hampir menggeram di bawah kakinya seolah ikan yang dikasih malah dicuri sama kucing lain.
Ya habis gimana, Duri kira itu tadi keset.
"Kucing Solar." Gempa keluar dari ruang cuci sambil membawa ember kosong. Dia baru saja menyikat habis seragam Iwan dan Solar yang penuh lumpur.
"Solar????"
"Hooh." Blaze yang lagi menggigit kiko sambil menonton Ais memainkan konsol playstation itu merespon sembari mengangguk.
"Gak salah, bang?" Duri kini meragukan perkataan Blaze, membuat laki-laki itu melirik kesal.
"Emang kapan gue bohong?"
"Kemaren lo bohong soal masuk—"
"EH AIS KESITU KESITU, LO NGAPAIN SIH! MAIN YANG BENER DONG!" Blaze refleks menampar punggung Ais sampai laki-laki yang hidupnya lempeng-lempeng saja itu terjungkal dari sofa. Blaze meringis, tapi dia lebih mementingkan hal darurat yang akan keluar dari mulut Duri, makanya dia langsung memelototi Duri yang berdiri di dekatnya, memberi kode seolah berkata, 'lo mau gue mati sama Bang Gem gara-gara ketauan bolos lagi, hah?'.
Tapi, belum sempat Duri mengerti apa maksud tatapan Blaze yang lebih mirip monyet kesenangan dapat pisang, Ais sudah berteriak dan menyerang Blaze. "LO YANG NGAPAIN SIH PANTEK!" Ais marah, langsung menerjang Blaze di atas sofa dengan bantal segi empat dan menekan-nekan bantal sofa itu ke wajah Blaze sampai-sampai dia teriak-teriak minta tolong.
"WHOI ANSYJENG THOLOHNGGG"
"TOLONG TOLONG PALA LU, HARUSNYA MIKIR KENAPA LO TIBA-TIBA NGEGAMPAR GUE!"
"BHANGGYF DFURIKNJBJHASG AAAAAAAAAASHJ THOLOHNGH"
Duri melihat pemandangan itu dengan bengis. Memang benar menyenggol orang sabar dan tenang itu sama dengan mati. Herannya, Blaze punya bakat terpendam bikin orang macam Ais dan dua kakak sulungnya, Halilintar dan Gempa mudah berencana menghilangkannya dari kartu keluarga.
"Gak dilerai, kak?" Duri bertanya pada Gempa yang sibuk minum es teh sambil nugas di atas meja makan. Tumben sekali juga Gempa tidak mau banyak berkomentar.
"Gausah, nanti juga normal sendiri." Katanya tidak peduli.
Duri lantas mangut-mangut. Ia lantas membuka pintu kulkas, tapi malah melihat seonggok tas lusuh—yang jelas bukan punyanya apalagi punya kakak-kakaknya.
"Lah ini barang siapa?"
Gempa yang sedang mengerjakan tugas-tugas laporan yang menumpuk miliknya itu lantas menoleh pada Duri. Tatapannya tertuju pada sebuah ransel hitam kotak—yang kalau kata Blaze itu ransel anak culun, biasa dipake sama orang yang badannya ceking dan kurus kurang gizi tapi bawa tas sebesar cangkang kura-kura.
"Oh, itu punya Iwan."
Duri lantas mengernyit lagi. "Hah, siapa??"
"Iwan. Temennya Solar. Anaknya lagi gue suruh mandi di kamar Taufan. Kayaknya lagi ganti baju." Gempa menjawab, kembali fokus pada pekerjaannya.
"Solar????? Bentar, ini ada apa deh, kak? Tadi ada kucing, sekarang Solar bawa temen terus mandi disini. Ini gue ketinggalan apaan?"
Gempa menatap Duri yang nyerocos di depannya. Bibir laki-laki itu terlipat, terdiam sejenak, sebelum akhirnya menutup laptop menyala di depannya. Kini Gempa hanya fokus pada Duri, mengabaikan suara-suara pertikaian Blaze dan Ais di ruang tengah yang masih sibuk bertempur sampai-sampai rambut Blaze hampir pitak karena dijambak Ais.
"Gue mau nanya deh."
"Apa?" Kini, Duri mengambil posisi duduk.
"Hari ini, kenapa Solar pulang telat? Biasa dia pulang bareng kalian kan?"
Duri diam. Dan, Gempa menatapnya dengan alis terangkat.
"Gue gak bakalan bilang ini ke Bang Alin. Dia sensitif soal Solar, jadi sebisa mungkin sebelum dia melakukan hal-hal gak perlu kayak nyudutin Solar sampai anak itu ngerasa tertekan, gue mau gak ada kesalah pahaman apapun disini."
"... Dia bilang dia mau belajar sebentar untuk olimpiade."
Gempa mengangguk-angguk. "I see. Dia pulang sama Iwan dengan keadaan seragam yang sudah kotor tadi. Gue pikir dia kenapa-kenapa, tapi dia bilang dia cuma jatuh buat nolongin kucing itu."
Kucing hitam yang ditatap Gempa menyahut dengan suara kecil. Dia menjilat-jilat kakinya setelah diberi makan sepotong ayam goreng yang Blaze relakan sebelum dia rebahan buat nonton Ais main PS. Tapi sayang, kedamaian Ais memang cuma sementara kalau di samping Blaze. Kalau tidak saling tonjok-tonjokan, keduanya akan berdebat tentang hal-hal tidak jelas—misalnya seberapa yakin Ais bahwa tetangga sebelah yang suka marah-marah itu mungkin mengalami baby blues setelah melahirkan anaknya, atau seberapa Blaze mencurigai banci dekat lampu merah itu aslinya naksir berat sama Ais—karena setiap pulang sekolah entah dari mana mereka selalu dicegat dan dirayu sama banci jalanan itu.
Akhirnya tetap sama, mereka saling jotos-jotosan karena Ais tidak suka Blaze mengolok-ngoloknya.
"Terus Solar dimana sekarang?" Duri bertanya.
Bukannya meragukan cerita yang diberitahu Gempa, tapi Duri—sebagai kembaran Solar yang berbagi rahim yang sama dengan laki-laki itu tau, bahwa mungkin Solar punya cerita spesifik sebelumnya. Dia membawa pulang kucing di dalam gendongan dan membiarkan temannya ke rumahnya saja sudah aneh. Orang yang selalu suka sendirian dan tidak mau orang mencampuri urusannya itu mana mungkin bersikap sebegitunya. Bahkan saat bersama Duri pun, Solar tidak membiarkan Duri tahu apa yang Solar pikirkan. Di keluarga mereka, Solar punya dunianya sendiri, yang tidak bisa diinterupsi oleh kakak-kakaknya yang lain.
"Di kamarnya. Gue suruh dia mandi dan ganti baju."
Duri sudah ingin beranjak menemui Solar, tapi satu kalimat Gempa membuatnya menghentikan langkahnya.
"Lebih baik jangan ke sana. Ada Bang Alin di kamarnya."
"Tapi—"
"Gapapa, gue udah bilang ke Bang Alin buat jangan terlalu nyudutin Solar. Dia bakalan baik-baik aja."
Walau tidak suka mendengar hal itu, Duri hanya berharap bahwa yang dikatakan Gempa itu benar apa adanya.
*
Ada hal yang paling tidak Solar sukai mengenai tabiat kakak-kakaknya. Dia tidak suka saat Blaze mulai mengganggunya atau Ais yang kadang berdebat memaksa untuk membiarkannya tidur di kasurnya—karena Ais merasa bahwa kasur Solar itu terbaik dari yang terbaik—Duri yang suka merecokinya untuk menemani berkebun atau terkadang juga suka menyuruhnya untuk mengajari rumus-rumus fisika yang dia tidak pahami. Untuk para sulung, Solar tidak punya keluhan pada Gempa, tapi dia tidak suka saat Taufan suka sekali tiba-tiba memeluknya. Dan yang paling Solar benci adalah cara Halilintar bersikap terlalu protektif pada hal-hal yang dianggapnya mencurigakan.
"Kenapa di sini?"
Solar yang baru saja keluar dari kamar mandi—dengan handuk di leher dan setelan kaos abu serta celana longgar bertanya pada Halilintar yang sedang berdiri di dekat meja belajarnya, menatap kacamatanya yang retak parah saat dia nekat tanpa berpikir melompat untuk menyelamatkan seekor kucing tapi sialnya malah masuk ke dalam empang.
Halilintar meletakkannya di atas meja, dan menyodorkan kacamata lain—dengan lensa tipis yang serupa—yang sama sekali tidak retak kepada Solar.
Itu kacamata cadangan Solar.
"Gue denger dari Gempa lo jatoh nolongin kucing."
Solar menatap kakaknya itu. Ekspresinya padat sekali, seolah sedang menelisik apakah Solar berbohong atau tidak padanya.
"Iya. Dia tiba-tiba loncat dari tangan Iwan." Solar menerimanya, mengenakannya untuk memperjelas penglihatannya. Penglihatannya sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi dia khawatir jika memaksa tidak memakai kacamata, kaburnya hanya akan semakin parah.
"Kenapa pulang telat?"
Solar tahu bahwa Halilintar akan menanyakan itu padanya, tidak peduli apakah sebelumnya Solar sudah memberitahunya bahwa dia pulang terlambat dengan alasan belajar untuk keperluan olimpiade. Sebetulnya, Solar paham ke mana arah pembicaraan Halilintar saat ini, tapi karena dia terlalu lelah setelah harus pulang dengan kondisi pakaian penuh lumpur dan basah, dia terlalu malas untuk berdebat—terutama jika itu lawannya Halilintar.
"Gue belajar buat olimpiade."
"Iya gue tau. Pertanyaan gue, kenapa bisa lo pulang dengan keadaan kayak gitu?"
Solar memejamkan matanya, dia lantas berbalik, menghadapi Halilintar yang sedang menyandar pada meja belajar dengan tangan terlipat di dada. Laki-laki itu jelas sekali mencurigai Solar. Sikap overprotektif yang Solar benci dan tidak dia sukai sama sekali. Mungkin setelah kejadian saat dia SMP dulu, Halilintar benar-benar menaruh atensi penuh padanya. Bahkan jika itu terkesan berlebihan, Halilintar selalu berlindung dibalik kata bahwa itu semua demi kebaikan Solar.
Tindakannya, kadang membuat Solar muak.
"Kan lo denger sendiri dari Kak Gem. Gue jatuh gara-gara kucing Iwan. Kenapa sih? Posesif banget." Solar menjawab dengan masam.
Kejadian dia berkelahi—sebenarnya bukan berkelahi sih, hanya intimidasi sepihak dari Saepudin dan antek-anteknya—tidak boleh sama sekali diketahui Halilintar. Solar sudah cukup kesal karena saat dia keluar dari rumah, dia harus selalu izin dengan kakak sulungnya itu, belum lagi dia punya batasan-batasan sendiri yang sebenarnya cukup ketat daripada saudaranya yang lain. Halilintar keras kepala, kalau dia tahu kejadian seperti itu lagi-lagi menimpa Solar, laki-laki itu seratus persen yakin—Halilintar akan melakukan hal-hal nekat seperti terakhir kali.
Dia bisa menuntut orang-orang yang mencoba mengganggu atau mencelakakan adiknya.
Atau situasi buruknya, Solar bisa dipindahkan lagi ke sekolah lain seperti terakhir kali.
"Terus kenapa tas lo bau rokok?"
Solar terdiam. Tangannya pelan-pelan mengepal. Memang sih, Halilintar itu punya penglihatan dan penciuman tajam, tapi masa sampai bau rokok di tas juga kecium? Pantas saja saat Blaze coba-coba merokok di waktu lalu, Halilintar bisa tahu. Tidak heran Blaze menyebutnya punya ilmu cenayang sekelas dukun sakti.
Lantas saja, mata terang Solar menusuk tatapan Halilintar yang sama tajamnya. Solar tahu, Halilintar mencurigainya. Tidak seperti Blaze yang selalu membuat onar, Solar hampir tidak pernah melakukan kenakalan serupa. Halilintar percaya Solar bukan orang yang akan menyentuh batangan nikotin hanya karena dia ingin coba-coba atau dia memang gila. Halilintar lebih percaya fakta bahwa Solar mungkin berkontak dengan orang sebayanya—memegang rokok di tangan—kemudian bau asap nikotin yang tajam itu menempel di benda-bendanya. Sayang sekali, baju Solar penuh dengan lumpur jadi Halilintar hanya berhipotesis demikian.
"Apa ketemu orang ngerokok di jalan gak cukup bikin lo gak mencurigai gue, bang?"
"Kalau sekedar lewat baunya gak bakalan setajam itu."
Solar mengernyit tidak suka. "Cewek-cewek bakalan lari kalo lo bersikap seposesif itu."
"Don't be too worried, I'm not interested in being in love." Halilintar menjawab dengan gamblang. "So, tell me, did someone bother you again?"
Solar berdecak. "Gaada yang gangguin gue. And, can you stop acting like I can't protect myself? I'm not a kid."
"Yes, you're."
Solar memelototi kakak sulungnya itu. Tangannya mengepal erat, dan pandangannya menggelap. Ego yang sudah terbendung lama, rasanya ingin meledak.
"Kenapa sih?! Karena kejadian dulu? Karena gue dirudung dan hampir mati?! Atau karena pikiran lo yang gak bisa lepas dari bayang-bayang Mama—"
"Solar!"
Halilintar memotong dengan nada dingin. Manik kemerahan di matanya itu seolah sudah tidak memberikan toleransi apapun terhadap kata-kata yang Solar lontarkan. Rahangnya mengeras, sensitivitasnya menyala saat dia mendengar satu kata yang hanya membawa ingatannya pada wanita gila yang entah apa dia masih hidup atau tidak. Atmosfir ruangan tegang dan menyeramkan. Sebaliknya, dada terasa berdenyut nyeri, dan Solar membuang muka. Dia kesal, dia marah karena Halilintar seolah mengaturnya untuk selalu ini dan itu atas dasar alasan yang menurutnya tidak masuk akal. Apakah itu salahnya jika kejadian itu telah terjadi? Apa salah Solar juga jika ibu mereka menjadi tidak waras dan mencelakakan anak-anaknya? Apa salah Solar juga, jika dia tumbuh dengan begitu lemah dan congkak?
Kenapa, Halilintar selalu saja menganggap bahwa apa yang terjadi pada adik-adiknya adalah bentuk proteksi terbaik yang bisa dia berikan.
Solar—muak dengan semuanya.
"Keluar dari kamar gue bang. Kalo lo gak mau kita sampai adu tinju di sini cuma karena ego yang saling kesenggol, lebih baik biarin gue tenangin diri gue sendiri."
"... Fine."
Halilintar memejamkan matanya, menormalkan amarahnya yang sempat naik ke permukaan. Dia berjalan keluar dari kamar Solar, menutup pintu dengan pelan, dan hanya membiarkan adik laki-lakinya itu membiarkan helaan napas lelah keluar dari bibirnya.
"Dasar bego."
*
"Tebakk, ini kucing cocoknya dikasih nama apa?"
"Bleki, soalnya dia item."
"Bang Gem, Bang Aze rasis!"
"WOI!"
Blaze—yang rambutnya acak-acakan—efek berkelahi dan dijambak habis-habisan oleh Ais—memekik tidak terima pada pernyataan Duri saat mereka berdua ngemper di atas karpet; mengelilingi kucing dengan bulu hitam yang menurut Duri kalau dari jauh bisa saja dia berkamuflase jadi keset. Apalagi, saat Ais dan Blaze berkelahi tadi, kucing itu hampir saja terinjak dua kali. Kebetulan saat itu Iwan baru selesai berganti baju, dan sudah sedikit kena mental melihat seberapa kacau saudara-saudara Solar.
"Cing, cakar dia. Kucing shamming banget soalnya." Duri menunjuk-nunjuk Blaze, dan kucing hitam itu mengeong dengan wajah malas.
"Dih, apaan lo cil. Gue ngasih nama tuh sesuai dengan fisik dia. Kan gak mungkin bulunya hitam gue kasih nama pinkie?"
"Itu mah emang elo aja yang seenaknya ngasih nama." Ais yang masih dendam karena Blaze menggampar punggungnya sampai dia terjungkal, menyerocos di balik sofa.
Mood-nya sudah mirip seperti perempuan yang lagi PMS. Apapun yang dilakukan Blaze hari ini, tentu saja pasti akan selalu salah. Gempa beda lagi, dia sudah menyumpal telinganya dengan headphone dan fokus untuk nugas di depan laptop. Kalo nggak begitu, bisa-bisa apa yang mau dia tulis di dalam laporan praktikumnya malah percakapan adu mulut tidak berfaedah dari adik-adiknya.
"Yaudah, kita kasih nama dia Mamat aja."
"JELEK BANGET." Duri berseru tidak terima. Sementara kucing yang sedang dielus-elus perutnya itu mendengkur keenakan.
"Lah, jangan salah." Blaze berujar dengan senyum remeh. "Mamat itu kepanjangan dari Makhluk Kurcil Amato."
Ais menatap Blaze dengan jijik, sementara Duri memberikan tatapan tidak percaya.
Iwan sih tidak mau ikut-ikutan. Dia sebenarnya pengen langsung ngacir, tapi belum diperbolehkan oleh Gempa karena bajunya masih dikeringkan. Belum lagi, Solar tidak terlihat batang hidungnya. Begitulah Iwan akhirnya terjebak dengan percakapan tidak jelas antara Blaze dan Duri—beserta Ais yang agaknya menyibukkan diri untuk selonjoran di sofa dengan plushie paus yang kalau boleh Iwan bilang—bentuknya lebih mirip boneka chucky daripada paus karena sudah terlihat busuk.
"Durhaka banget lo, Bang." Duri berujar sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kasian Ayah, punya anak akhlaknya lebih jelek daripada cocot tetangga." Ais menimpali sembari menatap dengan sinis.
"LAH KENAPA? Kan ini kucing udah pasti mau diadopsi ini keluarga kan! Harus ada unsur Amatonya lah. Mamat Bin Amato."
"JELEKK, JELEKK GAMAU." Duri menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sebenarnya, perdebatan nama kucing ini beredar setelah Duri meminta Gempa untuk mengijinkan mereka mengadopsi kucing hitam yang lebih mirip keset itu. Awalnya Gempa tidak mau, sebab dia teringat dulu Blaze pernah punya peliharaan juga. Anak ayam warna-warni yang dia paksa Gempa untuk beli sampai dia tantrum di tengah pasar. Karena sudah lelah adiknya menangis hanya karena sebuah anak ayam mungil, yasudah akhirnya Gempa belikan yang warnanya pink. Soalnya, Blaze bilang yang warna pink paling lucu.
Padahal Gempa sudah bilang, mau warnanya hijau atau warna-warni kayak rambut Sehun EXO di jaman Growl, ayamnya juga sama aja. Tapi memang pada dasarnya Blaze itu keras kepala, dan ngotot-an kayak ibu-ibu yang nawar harga pasar nggak kira-kira. Akhirnya dibungkus lah anak ayam warna pink itu untuk jadi hewan peliharaannya Blaze. Tapi, gak sampai satu minggu, ayamnya mati. Usut punya usut, ternyata Blaze lupa kasih makan ayamnya. Gempa ingat, Blaze nangis sampai hidunya yang lagi pilek itu meler ingus dan dia diejek habis-habisan oleh Ais dan Duri.
Dari sana, Gempa trust issues tiap adek-adeknya mau punya hewan peliharaan. Sebab, orang begajulan kayak Blaze itu tidak bisa dipercaya, sementara Ais—dia cuma suka tidur jadi tidak mungkin mau mengurus hewan. Solar? Dia terlalu sibuk belajar sampai mana tahu kalau Blaze dan Ais hampir minggat dari rumah karena berkelahi.
Tapi, karena kali ini Duri bersikeras, dan Gempa tahu dedikasi Duri pada hal-hal yang dia suka—makanya, Gempa mau tidak mau mengiyakan saja. Lagi pun Iwan—yang ternyata adalah orang yang suka memberi makan kucing itu bilang dia tidak apa-apa jika kucingnya diadopsi—karena di rumahnya dia tidak boleh pelihara kucing.
"YA TERUS MAUNYA APE, LO TADI NANYA." Blaze malah ikut emosi.
Duri menghentak-hentak kesal. "YANG LUCU LAH. Oreo kek, Lulu kek."
"Yaudah kalo gitu lo kasi nama sesuai yang lo mau ajee, cil. Lagian juga nama kucing kok oreo? Lo kira makanan hah? Gak sekalian kasih nama Jupe aja biar tu kucing goyang seksi."
"BACOT. Suka-suka gue lah. Dasar jamet."
"MAKSUD???? Gue ganteng yang nyaingin duta ketek di iklan-iklan ini lo bilang jamet????"
"Ganteng dari pantat ayam kali." Ais mencibir.
"TUH TUH DENGERIN."
"Lo gak usah ikut-ikutan deh adikku yang paling comel." Blaze menyindir. Tapi Ais memelototinya.
"Kenapa? Gak boleh? Suka-suka gue, mulut-mulut gue."
"YAUDAH IYE GUE YANG SALAH. KAPAN SIH GUE BENER. SALAH MULU HERAN. BESOK-BESOK TU KUCING LO PANGGIL UCUP AJA SEKALIAN."
Blaze yang emosi karena disudutkan terus-menerus akhirnya memberontak. Memang di keluarga ini, semuanya suka sekali bersatu membullynya.
"Iwan, ada saran? Saran Aze jelek soalnya." Duri beralih pada anak laki-laki yang duduk anteng di sebelahnya.
Mata Blaze sudah berkedut sangking kesalnya. Tapi dia ingat dia tidak boleh tantrum kalau tidak mau diusir oleh Gempa yang lagi sibuk nugas di meja makan.
"OH! BAGUS! OKE nama kamu sekarang OPET!"
"JELEK BANGET WOI! MENDING MAMAT LAH!" Blaze dengar itu naik pitam. Saran nama yang dia pikir dengan struktur otaknya yang ajaib itu malah disia-siakan dengan nama Opet.
Mau dipikir dari mana pun mendingan Mamat daripada Opet kan? Opet apaan, dikira itu kucing sejenis monyet yang suka nyolong makanan? Blaze sama sekali tidak terima. Lebih baik pakai nama Bleki sekalian, biarkan saja disebut kucing shamming. Janji gak opet.
"GAMAU, MAUNYA OPET."
"MAMAT AJA ANJIR. JELEK BANGET SUMPAH."
"MAMAT JUGA JELEK, GAMAU AH APAAN KEPANJANGAN NAMANYA CRINGE BANGET."
"AH ELU COBA LIAT OPET APAAN. ITU KUCING UDAH ITEM, GELAP LO NAMAIN OPET. DISKRIMINASI BANGET, NYET."
"JANGAN NGEHINA OPET YA ANJING."
"YA MAKANYA GANTI ITU OPET JADI MAMAT."
"DIBILANGIN GAMAU. LO CARI KUCING SENDIRI SONO!"
"DIH ITU KAN KUCING BERSAMA."
"SIAPA YANG BILANG? INI PUNYA GUE."
"CIL, SERUMAH JUGA TAU ITU KUCING DIPUNGUT SOLAR."
"IWAN PEKOK, SOLAR MAH NYEBUR DOANG KE EMPANG NOLONGIN DIE."
"YA TERSERAHLAH BODO AMAT."
"Ekhem."
"APASIH EKHEM-EKHEM—"
Mata Blaze yang semula dongkol habis kini berubah jadi sekecil biji jagung. Duri pucat pasi, Ais sudah minggat buat berlindung dibalik badan Gempa setelah dia melihat mata merah yang sudah seperti sharinggan itu melaser Duri sama Blaze yang sedang berdebat. Lain lagi, Blaze yang kini sudah cosplay seperti rakyat jelata bertemu dengan Maha Dewa rumah alias Halilintar yang tersenyum sadis seolah mau menguliti orang yang bertengkar di depannya.
"Udah nyolot-nyolotnya?"
Blaze mundur, menyenggol-nyenggol Duri. Karena kesal disenggol-senggol, dua-duanya malah saling senggol-senggolan sampai Halilintar menatap keduanya seperti akan memasukkan Blaze dan Duri ke rumah hantu biar mereka menangis sampai demam tinggi karena bertengkar dengan oktaf suara seperti pendemo di depan gedung DPR. Tidak tahu saja, Halilintar sudah di chat Pak RT perihal ada tetangga sebelah rumahnya yang mengeluh suara ribut dari rumahnya. Saat turun dari kamar Solar dia malah menyaksikan Blaze dan Duri saling sikut-menyikut seperti lagi debat presiden.
"Ngapain senggol-senggolan? Mau gue senggol juga lo berdua biar adil?"
Duri dan Blaze saling menggelengkan kepala dengan kuat.
"Duduk sana. Biar asik, gue juga mau nyolot sama lo berdua."
Setelah hari itu, Blaze sama Duri bertekad untuk gamau adu mulut saat Halilintar di rumah.
*
author's note:
Halo! Hehe, maaf ya telat. Harusnya aku update ini kemaren tapi lupa. Tapi itungannya tetep seminggu juga si, jadi harusnya gapapa kan ya. Oiya, minal aidin wal faizin temen-temen semua. Semoga ramadhan tahun ini berkah buat kita semua ya. Semangat puasanya, soalnya aku bakalan kasi update buat kalian ngabuburit, hayyoo seneng kan lu pada.
Udah itu aja si, next chapter kalo gak besok sore, rabu sore sie. Tergantung draftnya kelar kapan. Dan itu aja, see you semuanya!