"Van, kemana si?" Ucap frustasi Kevin saat sudah mulai lelah mencari kembarannya yang hilang.
Sudah dua hari Kevin tidak istirahat karena menghawatirkan saudaranya. Di tambah lagi kehilangan Kevan benar-benar tidak ada jejak sama sekali. Membuat Kevin tidak bisa tidur tenang.
Terbukti kantung matanya yang terlihat hitam.
Jangan lupakan entah kenapa tiba-tiba Kevin jadi kefikiran apa yang di ucapkan para Abang dan Kakaknya.
Jika dia adalah orang yang egois, harusnya mendonorkan jantungnya. Tapi justru malah mementingkan dirinya sendiri.
"Andai gue aja yang di posisi lo Van, pasti mereka engga akan sekacau ini." Gumam Kevin menatap miris keluarganya yang dalam keadaan kacau. Suasana hati mereka yang buruk membuat para perkerjaan terkena imbasnya.
"Pa gimana udah ada pengembangan?" Tanya Gina terus mendesak.
Menghelas nafas pelan, Gio menggelengkan kepalanya pertanda tidak ada.
"Terus gimana hiks?? Kevan dalam keadaan koma Pa, dan sekarang dia di culik aku khawatir sama keadaannya." Ucap Gina mulai menangis, padahal dari kemarin sudah di habiskan menangis tapi tentu saja bagaimana dia bisa diam saat anaknya di culik.
"Aku juga khawatir tenanglah, aku akan berusaha mengarahkan anak buahku. Sekarang tidur lah liat kantung mata mu."
"Gimana aku bisa tidur kalau anak ku aja belum di temukan!" Balas Teriak Gina tak terkendali.
"Areksa, Mentari. Bawa Mama kalian ke kamar, papa akan urus semua ini." Perintah Gio tak terbantah.
"Baik pa." Balas mereka membawa tubuh Mamanya, untungnya tidak memberontak saat di bawah.
"Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu Gio, jika Kevan tidak segera di temukan." Teriak Gina setelah itu menghilang dari pandangan.
"Pa." Panggil Kevin berharap papanya menjawab.
"Hm?"
"Maaf, Kevin tidak berguna. Seharusnya waktu itu Kevin langsung mendonorkan jantung saja, benar kata kak Mentari." Sesal Kevin menundukan wajahnya.
"Kau memang tidak berguna Kevin," Kata dingin Gio menatap tajam ke arah Kevin yang berada jauh dari tempat duduknya
Mendengar itu Kevin semakin menundukkan kepalanya, hatinya sakit saat mendengar ucapan sang papa.
"Saya pernah bilang kepadamu bukan!! Jaga Kevan sepenuh ragamu. Kenapa justru terjadi seperti ini lagi, saya sudah cukup sabar tentang kejadian di kemah waktu itu Kevin. Kamu benar-benar menguji kesabaran saya selama ini." Lanjut Gio masih menatap ke arah Kevin.
"Tapi, Kevin bukan pengawal Kevan pa. Kenapa ucapan papa seolah-olah bawa Kevin adalah bodyguard Kevan." Bantah Kevin menatap papanya kali ini.
"Sudahlah, sekali tidak berguna tetaplah tidak berguna. Saya berharap tidak melihatmu lagi, walaupun kenyataannya tidak begitu."
***
"Hadeh sakit hati lagi gue." Ujar Kevin dalam hati, saat ini dia berada di kamar, mengeledah isi kamarnya berharap menemukan hadiah yang pernah di berikan Kevan kepadanya.
Saat sibuk mencari, Kevin baru ingat jika hadiahnya berada di dalam kotak di bawah kasur yang dia simpan dengan baik.
"Ini dia." Ucap Kevin membuka kotak kecil itu dan mengambilnya. Disana terdapat kalung berbentuk love yang berisi foto di dalamnya.
"Berharga banget sama nih kalung, untung enggak hilang." Syukur Kevin mengambil kalung itu dan memakainya. Hadiah pertama di hari ulang tahunnya yang selama belasan tahun tidak ada yang memberikan dia hadiah ataupun ucapan.
"Van awas aja kalau lo kenapa-kenapa gue enggak akan maafin lo." Ujar Kevin pelan bersiap ingin kembali mencari kembarannya tanpa ada niatan istirahat terlebih dahulu.
Saat ingin merai pintu, bunyi pesan masuk membuat Kevin mengurungkan niatnya.
Tidak biasanya.
Dengan cepat Kevin mengambil handphone nya, lalu membuka pesan yang terdapat nomer tidak di kenal.
"Jika ingin kembaranmu selamat, datang ke alamat yang sudah saya kirim seorang diri."
Isi pesan tersebut, yang langsung menyulut amarah Kevin. Sialan kenapa ada orang bermain-main dengannya.
Tanpa fikir panjang Kevin menunjukan lokasi yang sudah di kirim oleh orang tidak di kenal itu. Tidak peduli dengan keselamatannya karena yang paling penting adalah kembarannya terlebih dahulu.
Lagian Kevin agak tenang karena dia pernah mengikuti taekwondo. Setidaknya bisa melawan walaupun sedikit.
***
"Van, Kevan." Teriak Kevin beberapa kali saat tidak mendengar sahutan sama sekali.
Kevin sudah berada di lokasi yang sudah di tentukan, tapi saat dia datang tidak ada sama sekali orang.
Lokasinya yang berada di dalam hutan sedikit sulit Kevin temukan. Terlebih lagi hutannya agak menyeramkan, tapi mau bagaimanapun Kevin sudah meninggalkan jejak. Berjaga-jaga jika dia lupa jalan pulang.
"Keluar, jangan main-main." Ucap datar Kevin menantap sekeliling, dia tau jika sedang di awasi.
Tak lama bunyi tembakan terdengar, membuat Kevin refleksi menghindari.
"Penghindaran yang bagus," Ucap seseorang datang di sertai senyum smrik di wajahnya.
"Dimana kembaran saya?" Ucap Kevin tanpa basa basi.
"Setidaknya ucapkan salam terlebih dahulu."
"Apa mau anda?"
"Nyawamu tentu saja." Balas orang itu yang di ketahui Bosnya.
"Alasan?" Tanya Kevin tenang, tentu harus menyelidiki bukan.
"Simpel saja, saya benci dengan papamu." Ucap orang itu lalu menembak pundak Kevin, dengan cepat Kevin menghindari serangan.
Melihat sudah terdesak, Kevin berlari ke arah orang yang memegang pistol tadi dan memukul rahang orang itu membuatnya terjatuh.
"Bocah sialan." Teriak marah, lalu memukul bruntal Kevin membuat Kevin sedikit kesusahan.
Saat sedang fokus bertarung, tanpa di sadari seseorang dari belakang mengarahkan pistolnya di Kevin membuat dia yang fokus bertarung terkena pundak Kevin.
"Sssttt," Ringkis Kevin memegang pundaknya sambil menahan rasa sakit.
"Tahan anak itu." Ucap orang yang tadi di sebut bos, kepada bawahannya yang sedari tadi memperhatikan dari belakang.
"Baik bos." Jawab mereka cepat. Lalu berlari menahan tubuh Kevin.
"Lepasin saya." Berontak Kevin semakin membuat pundaknya ngilu.
"Tidak semudah itu, bawa dia ke tempat anak kemarin di sekap." Ujar dingin yang di ketahui bos, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
***
"Van, bangun." Ucap pelan Kevin mengoyangkan tubuh Kevan dengan kakinya. Kedua tangannya terikat membuat sulit untuk bergerak.
Kevin baru ingat jika kembarannya dalam keadaan koma waktu itu. Dengan panik Kevin berusaha dekat dengan kembarannya. Mengecek keadaan Kevan.
"Hei, Van lo gapapa kan?" Ucap panik Kevin berusaha membangun kan Kevan.
"Vi-n?" Kata Kevan dengan suara pelan.
"Syukurlah." Lega Kevin menyenderkan bahunya di tembok jangan lupa dia terkena tembakan tadi.
"Lo gapapa?" Kata Kevin, memejamkan matanya. Dia berniat beristirahat sebentar walaupun tidak sepenuhnya tidur.
"Aku gapa-pa." Serak Kevan, merasa tenggorokan nya kering.
"Capek banget gila." Balas Kevin merebahkan tubuhnya.
"Kenapa kita bisa ada disini?" Ucap Kevan setelah menormalkan tenggorokannya tadi.
"Lo di culik, waktu koma." Jawab apa adanya Kevin masih tetap dalam posisinya.
"Hiks, pantes waktu aku bangun udah di dalam ruangan ini. Sesek Vin aku enggak suka tempat ini, ayo keluar hiks." Ucap Kevan mulai menangis, selain karena dia takut. Karena ruangan ini terdapat banyak debu membuat tidak terbiasa.
"Kalau bisa juga, udah keluar dari tadi Van."
"Lo pakek kecelakaan segala si." Lanjut Kevin menatap ke arah Kevan, kasian juga melihat keadaan kacau Kevan.
"Semua ini karena pak sopirnya yang ngantuk." Jawab Kevan mendekatkan diri ke arah Kevin. Dia beneran takut sekarang.
"Lo masih kuat kan?" Ujar Kevin mulai bangkit dari tidurnya, dan mendudukkan diri. Sekarang bukan waktunya untuk bersantai.
"Iya, Kevan masih kuat." Jawab Kevan merapatkan diri nya di Kevin.
"Good." Ucap Kevin tersenyum, lalu menatap sekeliling mencari cela agar bisa kabur.
"Kevin kenapa kamu berubah?" Ucap Kevan tiba-tiba.
"Berubah gimana? Gue enggak berubah jadi ultramen."
"Enggak gitu, maksud Kevan kenapa Kevin jadi pakek lo-gue ke Kevan. Biasanya aku-kamu. Kevin udah enggak suka sama Kevan yang hiks?" Ucap Kevan mulai menangis merasakan jika sifat Kevin sangat berbeda saat bertemu pertama kali dengannya.
Menghelas nafas sebentar. "Van dengerin gue, enggak semua hal yang kita mau bisa terpenuhin. Gue udah nyaman sama yang sekarang Van."
"Gue beneran sayang sama lo Van, lo harus bahagia setelah ini. Enggak mau tau pokoknya lo harus selalu senyum ya?" Ucap Kevin tersenyum menatap ke arah Kevan.
Kevin beneran tidak berbohong, sekesal apapun dia kepada Kevan. Rasa sayangnya jauh lebih mengalahkan rasa kesalnya selama ini.
"Van kita di kandungan bareng-bareng enggak mungkin gue benci lo. Dan lagi cuman lo yang bisa bikin keluarga kita senyum terus. Lo itu mataharinya mereka Van." Lanjut Kevin menaruh kepalanya di pundak Kevan.
"Tap--"
Sebelum ucapan Kevan berlanjut, dengan cepat Kevin memotong.
"Enggak lo ga di izinin ngomong untuk kali ini. Biarin gue nyampein isi hati gue dulu."
"Iyaa." Jawab pasrah Kevan menatap kearah kembarannya yang terlihat sedang bersandar di bahunya. Senang juga melihat Kevin mau curhat kepadanya.
"Jujur aja gue sakit hati sama Papa dan Mama, mereka beneran enggak noleh sama sekali ke gue. Seolah gue ini bukan anak mereka, terlebih lagi kakak lo yang bener-bener enggak nganggep gue ada."
"Kakak kamu juga Vin." Ucap Kevan cepat.
"Gue tau, tapi mereka enggak pernah liat gue kan? Gue beneran pingin banget ngerasain jadi lo Van, di khawatirin, di sayang bahkan mereka rela mengorbankan nyawanya demi lo."
"Capek Van, selama ini gue selalu bertahan. Berusaha biar enggak gila di saat mental gue beneran udah hancur banget. Enggak mudah bertahan di sertai trauma yang selalu menghantui kita. Terlebih lagi gak ada dukungan sama sekali.
Gue cuman pingin di peluk sambil di usap punggung gue, cuman pingin di dengerin tanpa harus di salahin mulu. Enggak enak rasanya di salahin, mereka mojokin gue nyuruh gue pergi. Mereka bilang gue egois, tanpa pernah melihat keadaan gue seperti apa." Kata Kevin memejamkan matanya, tanpa sadar air matanya tiba-tiba menetes.
"Gue kembaran lo, udah pasti ngerasain rasa sakit yang selalu lo alamin Van, gue tau jantung lo sakit kan. Gue juga ngerasain itu."
"Di saat gue udah beneran nyerah, mereka datang. Abang gue dateng dukung gue bahkan dia bikin gue bisa senyum tanpa harus gue paksa. Tapi kenyataan nya? Wkwk sama aja ternyata.
Van, kalau gue beneran pergi karena udah capek banget. Tolong jagain Papa sama Mama buat gue ya? Mau bagaimanapun juga mereka orangtua gue Van, gue enggak bisa bener-bener benci sama mereka, walaupun udah mencoba berkali-kali."
Entah perasan atau bukan kenapa ucapan Kevin, seolah-olah dia akan pergi jauh. Kevan tidak akan pernah bisa membiarkan itu semua jika terjadi.
"Jaga diri lo juga, jangan dikit-dikit sering nangis, lo harus kuat dunia enggak sebaik itu Van. Hadapain dulu masalahnya, jangan menghadapin masalah sambil nangis, boleh nangis tapi jangan keseringan."
"Vin..." Lirih Kevan mendengar semua curhatan Kevin, kenapa rasanya menyakitkan. Dan kenapa selama ini Kevin bisa sekuat itu menanggung rasa sakitnya.
"Ssst, ga di izinin berkomentar juga Van." Kata Kevin masih memejamkan matanya, kenapa luka tembak di bahunya tiba-tiba nyeri yah? Apa karena pendarahan.
***
akan ku hadapin smw masalah, tpi sambil nangis 😁🙏🏻.
nah, seneng gatuh double up wkwk votny janlup yaa, ini penembusan maap krn up slalu lama.
dengerin kata² Kevin guys, jngn ngehadapin masalah sambil nangis, krn itu juga gk bakal nyelesain masalah. tpi kdng nangis jg bikin lega si. ttp aja jngn dikit2 nngis oke?