Just Skies are Drawing

By reitshere

47.9K 3K 296

BARIS PERTAMA TANGERINE✓ Tentang termuda Changkham dan si bungsu Caskey yang terkasih, Scenery Caskey, ikatan... More

PEMBUKA
2018
SATU
DUA
SPOILER CLIP
TIGA
TIGA
SPOILER CLIP
EMPAT
LIMA
SPOILER CLIP
ENAM
SPOILER CLIP
TUJUH
SPOILER CLIP
DELAPAN
SEMBILAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
SATU HARI MENGINGAT: UNTUK KIM, SCENERY DAN ETHAN
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
PLAYLIST PEMBUKA
NEW YORK: NOVEMBER MENUJU SEPTEMBER
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN
TIGA PULUH
TIGA PULUH SATU
TIGA PULUH DUA
TIGA PULUH TIGA
TIGA PULUH EMPAT
TIGA PULUH LIMA
TIGA PULUH ENAM
TIGA PULUH TUJUH
TIGA PULUH DELAPAN
TIGA PULUH SEMBILAN
EMPAT PULUH
EMPAT PULUH SATU
EMPAT PULUH DUA
EMPAT PULUH TIGA
EMPAT PULUH EMPAT
EMPAT PULUH LIMA
EMPAT PULUH ENAM
EMPAT PULUH TUJUH
EMPAT PULUH DELAPAN
EMPAT PULUH SEMBILAN
LIMA PULUH
LIMA PULUH SATU
LIMA PULUH DUA
PLAYLIST PENUTUP
LIMA PULUH TIGA
LIMA PULUH EMPAT
LIMA PULUH LIMA
LIMA PULUH ENAM
LIMA PULUH TUJUH
LIMA PULUH DELAPAN
LIMA PULUH SEMBILAN
ENAM PULUH
ENAM PULUH SATU
ENAM PULUH DUA
ENAM PULUH TIGA
ENAM PULUH EMPAT
ENAM PULUH LIMA
ENAM PULUH ENAM
ENAM PULUH TUJUH
ENAM PULUH SEMBILAN
TUJUH PULUH
TUJUH PULUH SATU
TUJUH PULUH DUA
TUJUH PULUH TIGA
PENUTUP
EP SATU
EP DUA

ENAM PULUH DELAPAN

390 25 1
By reitshere

"Ada yang sakit badannya? Kasih tahu aku. Tangan kamu? Atau kaki kamu ada yang tidak sengaja terinjak?" Kim terus berbicara sementara Scene hanya menatapnya dengan ekspresi penuh kebingungan. "Maaf aku terlambat. Seharusnya dari satu jam yang lalu, aku sudah bisa sampai disini sesuai dengan yang diestimasikan. Sayangnya pesawat kami tidak bisa landing tepat waktu karena cuaca yang kurang baik," jelas Kim.

Scene lantas menggeleng sekaligus menangkap tangan Kim yang memeriksanya penuh kekhawatiran. "Why are you here?"

"I'll accompany you to New York," jawab Kim mantap.

"But—do you have a ticket?"

"We'll fly on our own."

"Pardon?"

"I'm sorry if it seems like I have to cancel all your tickets. Kita terbang dengan pesawat keluarga, ya," kata Kim. "Akan jauh lebih aman, sekaligus kalian semua bisa beristirahat jika kita menggunakan penerbangan pribadi. Termasuk kamu," tunjuknya kepada Scene. "Kamu juga sangat membutuhkan istirahat. Karena begitu kita sampai di New York, kamu harus langsung berkunjung ke kantor RêveuseA. Bukan begitu?"

"Kim, we've already booked first and business class seats. Kamu jangan khawatir—ini penerbangan internasional, tidak ada yang mengenali kami semua, termasuk aku," sanggah Scene.

"Scenery, how can you guarantee that? Melihat bagaimana tadi mereka semua menyerbu kamu, aku sangat tidak yakin. Kamu tahu, ada beberapa orang yang tadi ikut berkerumun dan sepertinya, mereka juga akan satu flight dengan kalian semua." Kim melayangkan pandangannya ke sekitar sekaligus menjumpai beberapa orang yang terlihat mencuri-curi pandang ke arah mereka—tengah berbaris di area check in counter saat ini. Membuat Scene dan rombongan lantas juga ikut menoleh, lalu Theo—yang ikut mengawal Scene sejak awal, berakhir memberi isyarat dengan anggukan. "Mereka sepertinya bukan berasal dari media, tetapi sangat aktif ikut memotret kamu entah untuk kepentingan apa."

"Gosh, I'm not Canny." Scene mengeluh gusar. Ia lalu mengamati satu persatu para staf yang ikut bersamanya, terlihat menyerahkan segala keputusan kepada dirinya. Sama halnya dengan Kim, lelaki itu bahkan sudah mengulurkan telapak tangan—menunggu disambut oleh Scene. "Alright, I'll go with you. Thank you, K." Wanita itu berakhir memutuskan sekaligus meraih tangan Kim. Semua dari mereka langsung memutar arah—dengan melangkah ke area pintu keberangkatan yang berbeda.

Selama dalam perjalanan, hingga masuk ke dalam pesawat pribadi milik keluarga Changkham, baik Kim dan Scene tidak melepaskan genggaman tangan mereka sama sekali. Genggaman itu mungkin terlepas karena keduanya yang duduk berseberangan, namun Kim tidak melepaskan sedikitpun fokusnya dari Scene seraya terus menggurat senyum tipis. Begitu pula dengan Scene yang sesekali berdehem, dan memilih untuk mengamati pemandangan luar melalui jendela pesawat—berusaha menahan rasa salah tingkahnya.

"Apa?" Scene menegur Kim berani. Lelaki itu tengah duduk santai di kursinya dengan mengangkat satu kaki bersilang. Mengenakan kemeja putih dengan dua kancing bagian atas yang sudah terlepas serta melipat sepasang lengan kemejanya hingga tiga perempat.

Kim tidak menjawab, melainkan memilih untuk meraih tangan Scene lagi dan mengecup punggung telapak tangan wanita itu dalam. Satu tangan yang lain menyentuh blue sea headband yang dikenakan oleh Scene saat ini. Riasan wajah yang tipis, dipadu bersama ruffle white skirt serta cardigan biru laut membuat wanita itu terlihat begitu anggun dan hangat. "Captivating, as always," puji Kim yang sontak membuat kedua pucuk pipi wanitanya bersemu kemerahan seperti apel fuji. "Cantik sekali."

Scene lantas ikut menunduk menyamai posisi Kim serta mendekatkan wajahnya. Ia tersenyum penuh namun diselimuti niat usil. "Ew, so cheesy," cibirnya meledek. "Why? Do you think you have the authority to freely say that to me now? Hm?"

"Don't you like it?" Kim balik menggoda.

"I always reconsider a man who has words of affirmation as one of his love languages, whether it's in a good way or a bad way. I'm afraid he might just be trying to—" kalimat Scene sempat terjeda ketika satu awak kabin yang melalui mereka melempar senyum ramah. "Love bombing?"

"Kenapa? Kamu takut?"

Scene spontan mendengus. Hampir saja ia melayangkan satu jentikan kecil di kening Kim kalau lelaki itu tidak lebih dahulu menangkap jarinya yang sudah terayun. "I'm always fair in everything—"

Belum sempat Scene melanjutkan balasan tersebut, Arina tiba-tiba datang membawa satu paper bag besar dan menyerahkannya kepada Scene. Seperti tertangkap basah, Scene menarik cepat tangannya dari Kim seraya berdehem kecil. "Oh, thanks Arina," ucap Scene gugup. Sementara Arina hanya membalas dengan memberi kedipan singkat, kemudian melangkah kembali ke bagian depan dimana semua staf berkumpul.

Selayaknya tertangkap basah untuk kesekian kali, wanita itu meringis ketika menyadari apa yang ada di dalam paper bag tersebut. Ia melirik Kim yang kini diam-diam sedang mengulum senyum sambil menatap ke arah luar melalui window seat. "Aku kira, aku benar-benar akan pergi sendirian ke New York. That's why, I decided to bring him," ucap Scene kikuk. Suaranya yang sangat pelan, menggambarkan bahwa ia benar-benar luar biasa malu sekarang. "Jangan tertawa!"

"No, Scenery. That's too cute."

"ISH!"

Perjalanan yang panjang, serta pesawat yang telah mengudara sempurna membuat seluruh penumpang di dalam penerbangan memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan beristirahat. Tidak terkecuali bagi Kim dan Scene yang kini tengah sama berbaring diatas tempat tidur, sambil mengomentari tiap-tiap artikel yang rata-rata menjadi topik paling teratas di mesin pencarian berbagai platform sejak beberapa jam yang lalu.

"In a blue sea headband—she finally emerges. The youngest Caskey's Princess as everyone turns their attention to her and the way she walks—"

"Astaga. Stop reading those silly articles!" Scene berseru jengkel dan beberapa kali ia berusaha merampas tab yang ada di tangan lelaki itu. Namun sayang, Kim malah semakin tertawa, tidak memperdulikan seruan Scene serta masih membuka-buka artikel lainnya. "Yang harus kamu lihat adalah bagaimana hasil jawabanku kepada media. Apakah sudah benar atau aku ada salah bicara dan lainnya. Berhenti membaca artikel lain yang tidak ada hubungannya sedikitpun!"

"Kamu menjawab dengan sangat baik, Scenery," sambut Kim sekaligus meraih tubuh Scene untuk semakin mendekat dengannya. Jari-jarinya aktif mengulir layar tab pada bagian kolom komentar yang rata-rata memberi ulasan dengan topik yang berbeda. Rupanya, para netizen lebih ingin tahu bagaimana penampilan asli si bungsu Caskey daripada mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh wanita itu. "Ah, aku cemburu rasanya. Kalau mau membeli foto-foto kamu ini, dimana aku bisa mengontak mereka kira-kira?"

"Alay. Jangan aneh-aneh." Scene mencibir dimana jari-jarinya tengah aktif memainkan salah satu kancing kemeja Kim—sementara kepalanya bertumpu di lengan lelaki itu. Ia sedikit mengintip pada layar tab dan mendapati Kim yang sedang membaca beberapa ulasan negatif tentang dirinya. "Sudah ah, jangan dibaca lagi." Scene langsung menekan tombol kecil pada bagian atas tab hingga layar tersebut otomatis menggelap sempurna.

"Scenery—"

"Tidak semua orang akan selalu menyukai kita, Kim. No matter how clearly I try to explain it, pasti tetap ada kubu yang menolak untuk mendengarkan penjelasanku. And I'm fine with that," jelas Scene tenang. Lensanya turut ia sematkan pada lensa lelaki itu—berusaha menyampaikan bahwa ia benar-benar baik-baik saja dan Kim tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan. "How about you? That day? Are you really fine, hm?" Scene menyentuh wajah Kim dan mengusap bagian pipinya lembut. Meskipun kemarin Kim mengatakan ia baik-baik saja, tetapi Scene jelas tidak mempercayainya.

"Hanya demam sedikit. Sedikit." Kim mengatup dua jarinya diiringi kekehan. "Jauh lebih baik daripada tahun lalu."

"Glad to hear that. Sekarang aku percaya."

Kim semakin mengikis jarak diantara mereka dan membiarkan seluruh wajah Scene berakhir terbenam di dadanya. Selama beberapa saat, keduanya hanya saling memeluk—mengisi ruang dengan hembusan nafas masing-masing, begitu damai. Satu tangannya masih belum lepas dari rambut wanita itu, terus mengelus sayang. "Scenery," panggil Kim pelan. Ia sedikit memberi jarak dan berjumpa langsung dengan sepasang mata yang tengah mengerjap indah kepadanya.

"Hm?"

"Ada dua opsi yang bisa aku pilih untuk masa studi magister ku nanti. Jika aku mengambil part time, masa studi yang harus aku tempuh kurang lebih dua tahun lamanya, dan jika itu full time, maka masa tempuh studinya hanya kurang lebih satu tahun. Menurut kamu, pilihan mana yang harus aku ambil?"

"Kamu lebih condong ke pilihan yang mana?" Scene tidak sepenuhnya menjawab begitu saja.

"Full time?"

"Then, go for it. Waktu tempuhnya cukup singkat dan itu sangat baik, aku rasa."

"Kalau aku mengambil opsi full time, mungkin aku akan sangat jarang bisa kembali ke Jakarta." Kim berucap seraya memainkan anak-anak rambut Scene yang sedikit terhambur di wajah wanita itu. "Semuanya akan menjadi padat, dan kesibukanku bisa jadi luar biasa meningkat."

"Ya sudah, berarti sekarang giliran aku yang akan rutin terbang ke Bangkok setiap Jumat sore." Scene berucap santai. "Aku janji tidak akan mengganggu kamu. Mau kamu saat itu menghabiskan waktu dengan mengerjakan tugas atau bekerja, aku akan baik-baik saja. Kamu tidak usah repot memikirkan harus membawa aku kemana, dan lain-lain, Kim. Makan, lalu menghabiskan waktu dan bersantai di rumah, semua sudah sangat cukup."

Kim menarik nafasnya pelan. "Setelah selesai dengan studi, aku juga harus pindah ke Jepang. Papa sudah menunggu."

"Evaluasi?"

Kim mengangguk.

"Oh, sudah waktunya." Ternyata, mengenai beberapa kali Keth yang pernah menyinggung Kim akan segera pindah ke Jepang untuk sementara itu benar adanya. "Then, I'll go too. Ikut!"

"Pikirkan baik-baik, Scenery. Bagaimana dengan semua pekerjaan kamu di Jakarta nanti? Aku masih bisa pulang ke Jakarta setidaknya tiga bulan sekali."

Ethan benar, Kim mempertimbangkan banyak hal.

"Setahun kamu pergi untuk studi, saat itu pula aku berusaha menstabilkan semuanya. Cakupan usaha yang aku pegang tidak sebesar milik Ethan, Kim. Semuanya bisa aku koordinir dari jarak jauh. Tentang galeri, aku bisa percayakan kepada Arina. Begitupun dengan anak usaha yang lain. Sekali-kali, aku juga masih bisa pulang ke Jakarta," terang Scene. "Tetapi kalau aku ikut pindah ke Jepang, bukankah berarti, seharusnya kita menikah?" Scene bertanya asal. Sepasang alisnya sengaja ia naik turunkan menggoda Kim.

Kim spontan tertawa mendengar apa yang baru saja Scene ucapkan. Oh Tuhan, wanitanya ini benar-benar berani sekarang. "Kamu mau menikah? Dengan aku?" Kim bertanya lagi—memastikan. "Iya, Scenery?"

"Aku mau menikah karena suka dengan rumah itu."

"Jadi kamu mau menikah karena menyukai rumah baru itu? Not because of the feelings of loving me? Seberapa yakin kalau kita akan tinggal disana nanti?"

"Kamu pikir saja sendiri, kalau aku tidak mencintai kamu, apa boleh kita yang seperti ini dan diatas ranjang yang sama, hah?" Scene mencubit bagian dalam perut Kim membuat lelaki itu meringis beberapa kali. Tangannya dengan cepat juga langsung menangkap tangan usil Scene—diiringi gelak tawa dari keduanya yang menggema. "Jadi, kapan kita benar-benar pacaran, Kim?" Scene menodong lagi.

"Astaga, kenapa kamu tiba-tiba jadi semanja ini?" Kim menyentil pucuk hidung Scene dan mengecupnya sekali. Membuat Scene juga lantas memberikan balasan yang sama dengan langsung mencium pipi kanan Kim. Lelaki itu terpengarah—sementara wanita yang sedang berada di dalam pelukannya menggurat senyum luar biasa manis.

"Jadi kapan?"

"Nanti."

Scene merengut, kemudian bangun sekaligus hendak turun dari ranjang sambil membawa bonekanya. Namun ternyata Kim yang lebih dahulu paham bagaimana Scene yang tengah merajuk, kembali melingkarkan lengannya di pinggang Scene—membawa wanita itu untuk kembali berbaring di sebelahnya. Sorotnya begitu lembut, dan ia yang saat ini bersamaan menumpu kepalanya dengan satu tangan—memusatkan seluruh perhatiannya pada wanita yang hampir mengisi seluruh dari ruangnya.

Kim memberikan kecupan-kecupan kecil mulai dari kening, mata, pucuk hidung dan kedua pipi Scene yang terus merona malu-malu. Ciumannya halus dan runtut, menaruh isyarat akan rindunya ia yang bisa menyalurkan rasa cintanya dengan bebas, setelah diberi jarak untuk waktu yang lama. "I miss you so much." Kim berbisik seraya menggesekkan pucuk hidungnya di hidung Scene. Jempolnya juga ikut mengusap kecil bagian sudut bibir Scene, sebelum beranjak ke bagian bibir yang mulai melampiaskan deru nafas yang berangsur tak beraturan.

"I'll kiss this when everything is clear, Scenery." Kim memilih untuk mengecup sudut bibir Scene lebih dahulu. Sengaja tidak mau terburu-buru, meskipun benaknya tengah memberontak hebat. Sebab, ketika ia kembali berani memagut bibir wanitanya, artinya telah ada satu perubahan yang besar terjadi dalam hubungan mereka. "We have to wait for that day—ya? I'm not going anywhere, because from now on, everything about me is yours."

Wanita itu tersenyum sama halus, lalu mengangkat sedikit kepalanya ikut memberikan ciumannya di sudut bibir sang lelaki. "I'll wait, K, patiently. New York must be thrilled to see you."

*****

"Do you think I still have the credibility to paint again?" Scene berceletuk ketika ia dan Kim tengah berdiri di depan sebuah lukisan di satu wall space lantai dua puluh gedung Met. "I don't know. It's really blue."

Kim lantas menoleh ke arah Scene yang saat ini masih belum mau melepas pandangannya dari lukisan berukuran 190 x 150 cm yang diberi judul Yellow Room. Lukisan yang menampilkan seorang wanita bergaun kuning—digambarkan tengah berdiri di dalam ruangan yang selaras dengan warna gaun yang dikenakannya. Di tahun lukisan ini diciptakan, dipamerkan langsung melalui FIAC Paris bersama Tim Van Laere Gallery Antwerp-Rome. Namun sekarang, sepertinya telah dibeli secara penuh oleh Met untuk dipamerkan di gedung utama mereka.

"If I can be honest, it feels very traumatic when recalling what happened to the gallery some time ago. Terlalu cepat dan berujung jatuh pada jurang kesalahan." Scene tersenyum kecil. "Kembali dari Paris, delapan bulan setelahnya Papa pergi, struktur tanggung jawab Aglaia berubah dalam semalam. Aku tiba-tiba harus mengontrol banyak hal, yang mana sangat asing—termasuk mengenai kepemilikan galeri. Like I'm just a fucking painter—a young painter, not a director or anything like that. Aku tau suatu saat aku pasti akan ada di posisi ini, tapi bukankah ini terlalu cepat?"

"Ambisiku yang tinggi, terbuai dengan suatu hal yang aku belum seratus persen pahami, lalu berakhir membawa galeri menjadi sekarang," tandasnya. "This painting is captivating. The woman, along with the coloring, depicts a great sense of optimism and magnificence in life. Lihat cara dia berdiri dan menyentuh mutiara yang ada di lehernya Kim, She's truly the woman—tough and neat. Tetapi sayangnya, aku tiba-tiba tidak bisa merasakan itu sama sekali. Sensitivitasku seperti menghilang dan semua terlihat abu-abu. Membuatku terkadang luar biasa marah kepada diri sendiri akhir-akhir ini."

"You're still there, Scenery. You still have the capability to be a great painter," kata Kim seraya meletakkan kembali lengannya di sekitar pinggang Scene. Ia memeluk wanita itu dari samping berusaha memberi kekuatan. Karena Kim tahu, sejak mereka dalam perjalanan menuju Met hingga saat ini, jari-jari wanita itu kerap bergetar meskipun Scene beberapa kali berusaha menyembunyikannya. Bahkan, ketika mereka tidak sengaja melewati pameran kecil di area kedatangan kemarin, Scene menolak untuk berkunjung. "Aku paham seluruh kekhawatiran yang kamu alami, tetapi aku tetap percaya bahwa kamu adalah orang yang sangat hebat. Sampai kapanpun itu."

"Jatuh dan gagal adalah hal yang sangat biasa dalam proses kita menjalani hidup. Perjalanan kamu masih sangat panjang, dan kita tidak tahu, ada banyak hal baik yang akan menanti kedepannya. Tetapi sebelum itu, tentu akan banyak juga pelajaran-pelajaran yang pasti ikut hadir, kan?" Kim melanjutkan.

"Bagaimana kalau kali ini aku benar-benar gagal, Kim? Mereka memutuskan untuk membatalkan exhibition sepenuhnya. Aku rasanya sangat tidak tega menjumpai berbagai reaksi dari para staf yang sudah bekerja keras, serta para seniman lain yang masih menaruh kepercayaannya kepada kami. I believe they must be sad and disappointed."

Kim melepaskan lengannya yang memeluk pinggang Scene, dan membawa wanita itu berbalik posisi menjadi saling berhadapan dengannya. Sepasang lensa wanita itu juga tengah menatapnya penuh rasa putus asa yang dalam. "Aku percaya semuanya akan berjalan baik dan exhibition itu pasti tetap dilanjutkan. Kita semua tahu, jalan mana yang Riku masuki dan itu akan turut menjadi pertimbangan utama mereka nanti. Pegang ucapanku, kalau kamu tetap bisa menggelar exhibition, sekaligus masih diberikan kepercayaan, Scenery. Hanya saja, mungkin tekanan serta beban tanggung jawabnya bisa jadi lebih besar. Tidak ada yang sia-sia atas semua yang kita usahakan sampai hari ini."

Scene mengangguk dan ia pergi memeluk Kim sebelum resmi masuk ke ruang pertemuan, lima belas menit lagi. "Kamu tidak mengecewakan siapapun. Dan harus kamu tahu, kalau aku sangat-sangat bangga kepada kamu, sekarang. You're that woman, actually. Kamu sudah berada disana, Scenery." Kim bergumam pelan di telinga Scene seraya mengelus rambut tebal wanitanya lembut. "Kamu masih tetap melukis dan menjadi seniman mau itu sampai seratus tahun lagi. Kalau hari ini kamu merasa lelah, mungkin kamu harus mengistirahatkan diri untuk sementara waktu. Dan nanti, pada saatnya Scenery telah kembali, kamu akan jauh lebih kuat dan semakin bersinar."

"Semangat, jangan takut. Kita hadapi ini bersama-sama. Aku tunggu kamu disini sampai semuanya selesai, dan setelah itu kita pergi makan hotpot, ya?"

*** to be continued ***

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 290 19
Ini tentang Giyatsa Reagan Aradana dan Niana yang keliatannya betah-betah aja kejebak HTS. Gatsa suka Nina, dan Nina melakukan hal yang sama. Tapi se...
480K 60.8K 41
Oh, hi! Were you here because you were curious, or were you just passing through and taking a look? How about starting with the first chapter, where...
360K 40.9K 41
Aman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yan...
340K 50.5K 40
Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy every day and still surviving? One is trying...