Niatnya datang ke desa hanya sekedar berlibur untuk mengurangi rasa penat suasana perkotaan, namun siapa sangka kalau Wisnu Mingyu Kartawidjaja malah jatuh cinta dengan seorang gadis kembang desa anak seorang buruh tani di ladang milik keluarga Kartawidjaja.
Mingyu, dia tidak tau kapan awal mula hatinya itu tergerak mencintai gadis berpenampilan sederhana dan bersikap lugu itu. Sejak mengenal Ningsih Wonwoo selama empat hari Mingyu sudah jatuh hati dengannya, mungkin karena sikap lembut dan polos yang di miliki Wonwoo mampu membuat Mingyu tertarik.
"Mas Wisnu, tumben sudah bangun? Pagi-pagi mau ke mana?. "
"Jalan-jalan bu, di sini kalau pagi udaranya masih seger banget. Beda sama di Jakarta panas, debu, bising, banyak polusi. "
"Ndak sarapan dulu toh mas, ini loh saya sudah siapkan menu gudegnya. "
Wanita umur kisaran 56 tahun itu, menawari Mingyu sarapan yang sudah tersaji rapi di atas meja. Mingyu menggeleng, dia buru-buru karena ada janji bertemu dengan Wonwoo di air terjun belakang dusun. Mingyu tidak mau membuat gadis yang diam-diam cintai itu menunggunya.
"Bu, si Ningsih, Ningsih itu em____. "
"Sinten, toh? Oh, ning Ningsih? Kenapa mas, cantik ya? Ning Ningsih itu emang kembang desanya dusun sini, mas Wira suka toh sama dia?. "
Mingyu gelagapan.
"E-ekhheem, bu ngomongnya suka ngelantur. Mana mungkin saya suka sama di________. "
"Mas, kalau mas Wira betul-betul suka sama ning Ningsih mending langsung ketemu saja sama bapaknya. Bukannya apa-apa loh mas, tapi saingannya buanyak. Orang sini hampir semuanya naksir sama ning Ningsih mas, termasuk saudagar-saudagar kaya dari kota sebrang. Takutnya kalau mas Wira ndak buru-buru kasih lamaran, nanti takut keduluan mas. "
Mingyu menatap wanita tua itu, yang tanpa di minta mendadak menceritakan soal Wonwoo.
"Bu, emang sebanyak itu yang suka sama Ningsih?. "
Wanita itu mengangguk lagi, karena faktaanya memang begitu.
"Terus Ningsih nggak ada niatan buat pilih salah satu dari mereka?. "
"Mas Wira, ning Ningsih itu orangnya lugu dan ndak terlalu mikirin soal laki-laki. Dia lebih memilih sibuk bantuin bapak sama saudaranya kerja di ladang punya eyang mas Wira, toh bapaknya juga ndak maksa ning Ningsih buat cepet-cepet kawin masih terlalu muda katanya. Saya saranin sih kalau mas Wira betul-betul suka sama ning Ningsih, ketemu langsung saja mas sama bapaknya. Budaya di sini gitu mas, ndak mengenal pacaran-pacaran menurut mereka pacaran itu bisa merusak moral. "
Mingyu mengangguk, dia semakin tertarik dengan gadis desa itu. Rencana Mingyu ingin mengenal semakin jauh, lalu melamar dan membawa Wonwoo ke Jakarta.
Setelahnya Mingyu terlihat berlalu, dia berjalan agak tergesa-gesa karena takut Wonwoo sudah menunggunya di tempat biasa mereka bertemu. Setiba di depan air terjun itu, Minggu terlihat menatap sekeliling bibirnya tersenyum saat menemukan gadis yang ia cintai itu sibuk bermain air.
"Ningsih. "
"Njeh, wonten nopo mas?. "
Wonwoo menoleh, memberikan sebuah pertanyaan. Sementara Mingyu mendekat, sebelum mendudukkan tubuhnya di samping Wonwoo.
"Lupa? Ningsih, saya nggak terlalu bisa pakai bahasa Jawa. "
Wonwoo terkekeh pelan, dan itu membuat Mingyu bingung. Kenapa Wonwoo tertawa? Apa gadis itu sengaja mengejeknya, hanya karena tidak terlalu mengerti bahasa Jawa walaupun Mingyu sendiri masih keturunan ningrat bahkan sang eyang sendiri masih memiliki gelar seorang Raden.
"Kenapa? Kamu ngejek saya?. "
Mingyu bertanya, dia terlihat mencipratkan air jernih itu ke arah Wonwoo membuat gadis itu tertawa sambil menutup mukanya agar tidak terkena cipratan air.
"Udah mas, basah semua nanti. "
"Ningsih, kamu nggak batuin bapak kamu di ladang?. "
"Hari ini ndak mas, mas Wira bilang mau ketemu kan? Jadi saya sudah izin sama bapak'e buat ndak bantuin di ladang. "
Mingyu mengangguk-angguk.
"Udah lama bantu di ladang?. "
"Dari kecil mas, ekonomi keluarga memang dari dulu sulit. Mangkanya saya sampai ndak sekolah dan milih buat bantuin bapak'e kerja di ladang punya eyang mas Wira. "
"Serius? Nggak sekolah?. "
Wonwoo mengangguk.
"Mas Wira sendiri? Baru ke sini?. "
"Iya, saya liburan. Mungkin nanti balik lagi ke Jakarta, saya masih betah di sini. "
Mata Wonwoo berbinar, Jakarta dia benar-benar ingin melihat Jakarta di mana yang ia tau banyak sekali gedung-gedung tinggi di sana. Impian Wonwoo bisa pergi ke kota itu, dan mengejar semua mimpinya yang belum tercapai.
"Mas, Jakarta itu gimana?. "
"Panas, macet, bising. Saya kalau nggak ada tanggungan kerjaan jadi dokter di sana nggak mungkin saya tinggal di kota Jakarta. Jujur aja saya lebih betah di sini, selain kampungnya yang masih asri penduduk sini juga ramah-ramah. "
"Masa sih? Saya pengen banget loh mas ke Jakarta, dari dulu. Mimpi saya ada di sana semua. "
"Kalau gitu kenapa nggak berangkat?. "
Wonwoo menunduk.
"Ndak gampang mas, selain bapak'e ndak kasih izin mas di rumah juga selalu nyuruh saya buat terus di rumah. Ngelarang saya buat kerja jauh, apa lagi ke Jakarta. Mas bilang di sana banyak orang jahat, mangkanya itu sa______. "
"Kamu beneran pengen ke Jakarta? Kalau gitu jadi istri saya, setelah nikah saya bakalan bahwa kamu ke Jakarta. "
Wajah Wonwoo bersemu, apa itu tadi sebuah lamaran?
"N-nikah?. "
"Saya cinta sama kamu, mangkanya saya berniat mau lamar kamu. Saya yakin kamu juga suka kan sama saya, bener?. "
Wonwoo gugup, dia memang secara diam-diam juga mencintai dokter mudah itu. Tapi apakah Mingyu betul serius?
"Mas Wira serius? U-um, saya cuma takut na_____. "
"Memangnya saya keliatan bercanda soal itu? Ningsih, saya beneran suka sama kamu. Kamu mau kan jadi istri saya?. "
"T-tapi ak______. "
Mata Wonwoo membulat, Mingyu baru saja mencium bibirnya. Awalnya hanya mengecup, namun semakin lama lumatan itu terjalin. Awalnya Wonwoo tidak tau cara berciuman, namun Mingyu membimbingnya hingga akhirnya gadis itu bisa membalas ciuman yang di berikan Mingyu.
"Hn-hghhh. "
"Aa-ahhh, m-mas. "
Wonwoo mendesah pelan, saat Mingyu mulai mencium area lehernya.
"T-tunggu, mas Wira mau ngapain? Jangan lewatin batas mas. "
Ucap Wonwoo, dia sedikit menjauhi pria tampan itu. Jantungnya mendadak beredar kencang, ini pertama kalinya Wonwoo melakukan hal seperti ini bersama dengan pria.
"Memangnya kenapa? Saya cuma pengen cium kamu, beneran nggak lebih dari itu. "
Mingyu mengusap pelan rambut panjang Wonwoo, gadis itu kini semakin terlihat tidak nyaman dia berusaha menjauh sedikit namun tiba-tiba saja...
Byurrr...
Wonwoo terjatuh ke sungai air terjun itu, Mingyu tertawa pelan saat melihat Wonwoo jatuh di air dan setelahnya Mingyu menyusul.
"Jatuh kan. "
"L-lagian mas Wira deket-deket, terus ma_____. "
"Kenapa sih? Takut banget, Ningsih cuma ciuman. Kamu nggak pernah ya sebelumnya? Sampai panik gitu, lucu banget. Ningsih, kamu nggak mau bersatu sama saya?. "
"H-huh?. "
"H-hhghh, m-mas emhhh. "
Gadis itu mendesah lagi, saat merasakan tangan Mingyu meraba bagian pahanya yang tertutup kain selendang itu.
"Eughh, umhhh, eunghh. "
"Emhhh, shhhh. "
"Ughh, emhhh, hhh. "
"Ningsih kamu cantik, saya makin cinta sama kamu. "
Kata-kata manis itu, membuat Wonwoo luluh dalam sentuhan Mingyu. Wonwoo tau tidak seharusnya dia melakukan ini, tapi tetap saja sulit menolak sentuhan pria yang ia cintai itu.
"A-ahnghhh, ahhhh. "
"M-mas Wira, nghhh, a-ahhh. "
Wonwoo mendongak, saat Mingyu begitu sibuk melumat dadanya. Memberikan rangsangan di sana, entah mengapa Wonwoo merasa bagian bawahnya bekerut.
Mingyu membuka baju batik yang menutupi tubuh Wonwoo, tak lupa selendang yang memang selalu melilit rapi di pinggang ramping gadis itu dan kini Wonwoo sudah telanjang di bawah aliran air.
"M-mas nghhh, emhhh. "
Wonwoo menatap Mingyu, tatapannya terlihat sayup dia bisa merasakan sesuatu masuk ke dalam area pribadinya. Mingyu terlihat mengamati wajah cantik Wonwoo, sambil terus menggerakkan jari-jarinya di sana.
Raut wajah itu terlihat begitu menggairahkan, keningnya mengerut, mata indah yang terpejam, dan suara-suara manja ribut Wonwoo yang dari tadi terus terdengar di telinga Mingyu.
"M-mas, s-saya ndak tau nghh tapi rasanya s-saya mau pipis. "
Mingyu ingin sekali tertawa mendengar pengakuan Wonwoo, kenapa gadis itu begitu polos?
"Keluarin aja. "
Wonwoo menggeleng.
"T-tangan mas Wira nghh, nanti kotor. Ahghhh!. "
Wonwoo memekik, saat Mingyu semakin mempercepat gerakan jarinya. Wonwoo tidak tahan, dan akhirnya dia mencapai orgasmenya.
"Ningsih, kamu keluar banyak banget. Eenak nggak?. "
Dengan rasa malu, Wonwoo menggangguk. Mingyu tersenyum.
"Saya biasa kasih kamu lebih dari ini, kalau kamu mau. "
"Huh?. "
Mata Wonwoo membulat, Mingyu menarik tangannya meletakkan jemari lentik itu tepat di atas penisnya yang sudah berdiri tegak.
"Mas! Apa itu tadi?!. "
Wonwoo menarik tangannya dari sana, dia kaget bukan main.
"Penis saya, gede nggak? Mau saya masukin?. "
Wonwoo tidak menjawab, namun dia terlihat membuka lebar kedua kakinya. Mingyu tersenyum, dan setelahnya dia memasukkan penisnya secara pelan-pelan.
"E-eghhh, a-ahhh s-sakit. "
"U-ughh, e-enghhh, a-aahhh. "
"S-sakit mas, hiksss. "
Wonwoo benar-benar menangis, rasanya nyeri seperti ada sesuatu yang robek. Bahkan aliran air yang tadinya jernih sedikit berubah menjadi merah, Mingyu tau itu darah Wonwoo.
"Dikit lagi, tahan ya?. "
"A-ahnghhh! Hikss, sakit!. "
Wonwoo kaget, karena Mingyu langsung mendorong penisnya hingga tertanam sepenuhnya.
"Maaf udah buat kamu nangis. "
Ucap Mingyu lalu mengecup singkat kedua mata Wonwoo, sebelum mulai bergerak pelan.
"Ahhh, nghhh, a-ahhh. "
"E-enghh, nghh, ahhh. "
"U-ughh, ahnghh, mhhh, ahh. "
Mingyu memeluk erat perut Wonwoo yang terlihat berhadap membelakanginya, sambil terus bergerak cepat.
"M-mas, nghhh, emhhh. "
"Kenapa, Ningsih? Nghh?. "
Mingyu bertanya dengan suara pelan, setelahnya pria itu terlihat mengecup singkat pundak Wonwoo dari arah belakang.
"Nghhh, ahhhh, mhhhh. "
"Emhhh, ahghhh, hughhh. "
Wonwoo berpegangan pada tangan Mingyu yang dari tadi memeluk erat tubuhnya, Wonwoo bisa merasakan penis itu keluar masuk di dalam vaginanya dengan tempo gerakan cepat.
"U-ughh, mas Wira nghh. A-ada yang mau keluar lagi ghhh. "
Mingyu semakin bergerak cepat, dia sebentar lagi juga hampir menjemput pelepasannya.
"M-mas, enghh jangan buat saya hamil ya? Emhh, u-ughhh. "
Wonwoo terlihat berpegangan pada batu besar di depannya, dia hampir keluar sebentar lagi.
"A-ahhh, ahnghh, emhhh. "
"Hhhh, enghhh, ahhh. "
"A-ahnghh!. "
Wonwoo keluar sangat banyak, setelahnya Mingyu terlihat mengeluarkan penisnya. Mingyu menyuruh Wonwoo menghadap ke arahnya, dan setelahnya Mingyu menyemprotkan cairannya tepat di wajah Wonwoo.
"Shhh, emhhh, enghh. "
"E-eghhh, a-ahhh. "
"Saya keluar banyak, maaf wajah kamu jadi kotor. "
Wonwoo mengangguk, setelahnya dia terlihat membasuh wajahnya menggunakan air.
"Saya ndak nyangka, mas Wira beneran nyentuh saya? Itu artinya saya udah kotor, mas tau padahal saya sudah pernah janji sama diri saya sendiri kalau saya nggak bakalan lepas mahkota saya sebelum nikah. "
"Jadi kamu nyesel?. "
Wonwoo terdiam, namun setelahnya dia menggeleng.
"Mas Wira beneran tanggung jawabkan?. "
"Kamu masih belum percaya?. "
"Saya cuma takut, nantinya mas Wira tiba-tiba kabur ke Jakarta ninggalin saya. "
Mingyu terkekeh, setelahnya dia mengecup singkat bibir Wonwoo.
"Saya nggak bakalan kabur, besok saya bakalan nemuin bapak kamu. Saya lamar kamu. "
"Janji?. "
Mingyu mengangguk.
.
.
.
.
"Pak, Aji nggak yakin dia beneran serius sama Ningsih. Bapak tau dia orang Jakarta, pergaulannya pasti ndak baik. Dia pasti ndak serius soal mau ngelamar Ningsih, apa lagi baru kenal beberapa minggu. "
Seungcheol selaku saudara Wonwoo terlihat tidak terima, dia hanya takut Wonwoo salah memilih pasangan.
"Mas, jangan bilang gitu. Ningsih tau mas Wira itu baik. "
"Walaupun dia baik, apa kamu yakin orang tuanya bakalan restuin kamu? Wira itu turunan ningrat, sedangkan kita? Cuma buruh tani, harusnya kamu ngerti Ningsih. Orang kaya ndak bakalan mau berhubungan sama orang miskin, orang tuanya pasti bakalan nyari mantu yang sederajat apa lagi Wira dokter di Jakarta. "
Wonwoo sadar, tapi selagi keduanya mau berusaha pasti bisa bersatu bukan?
"Mas, kenapa ngomongnya gitu? Saya tau keluarga kalian orang sederhana, tapi saya nggak mandang soal itu mas. Saya beneran tulus suka sama Ningsih, jadi izinin saya buat ngelamar adiknya mas Aji. "
Mingyu yang entah dari mana datangnya tiba-tiba mengatakan hal seperti itu, dia sedikit tersinggung.
"Yakin kamu beneran tulus sama adik saya? Orang tua kamu, memangnya mereka mau punya mantu dari keluarga buruh?. "
"Saya yakin orang tua saya bakalan nerima Ningsih, kalaupun nggak bisa nerima saya nggak bakalan nyerah buat yakinin mereka kalau Ningsih emang pilihan terbaik buat jadi menantu keluarga saya. "
Mingyu menjelaskan, sementara Seungcheol dia terlihat menghela nafas pelan.
"Tuh dari penjelasannya saja saya yakin Wira masih ragu-ragu, sudahlah Ningsih mending kamu cari laki-laki lain yang sederajat sama keluarga kita. Mas cuma Ndak mau nantinya kamu di perlakukan buruk sama keluarganya Wira. "
Yunho selaku orang tua Wonwoo terlihat menghela nafas, dia sekarang bingung. Yunho tau kebahagiaan putrinya itu ada pada Mingyu, namun hatinya masih ragu untuk merestui lamaran yang di berikan Mingyu.
"Nak Wira betul serius sama anak saya? Nak, Ningsih itu anak perempuan satu-satunya yang saya punya. Saya ndak mau kalau nantinya Ningsih di perlakukan ndak baik sama keluarga suaminya."
"Pak, saya benar-benar serius. Saya janji saya bakalan jaga Ningsih, karena saya tulus cinta sama dia pak. Saya benar-benar berharap kalau bapak restuin hu_____. "
"Wira, kamu lupa sama janji kita?. "
Semua mata tertuju pada gadis cantik berambut pirang itu, gadis itu terlihat menatap Mingyu dengan tatapan penuh rindu. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan Mingyu, cintanya.
"M-mas Wira? Dia siapa?. "
"Joana?. "
"Aku kembali lagi Wira, I miss you my love, so much. "