Hearts Intertwined [END]

By rissashimi

47.6K 4.3K 523

Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil... More

PROLOG
1. Keributan di Grup
2. Tinggal Bersama
3. Pegawai Baru
4. Sifat Davian yang Berbeda
5. Perkara Lampu
6. Pria Misterius
7. Berita Widjaja Group
8. Nadia dan Ketakutannya
9. Sarapan untuk Nadia
10. Gaji Pertama
11. Membeli Kado
12. Taruhan
13. Satpam dan Maling
14. Mulai Terbiasa
16. Pengakuan Dosa
17. Sepercik Rasa yang Terbit
18. Sepotong Cupcake Menjadi Saksi
19. Tentang Mimpi
20. Pantang Menyerah
21. Masih Perihal Kevin
22. Insiden Kebakaran
23. Raja Singa Kembali
24. Keadaan Mulai Berubah
25. Proyek Bersama
26. Menepati Janji
27. Hujan di Malam Hari
28. Seperti Sebuah Kesalahan
29. Mana yang Benar?
30. Pemicu Trauma
31. Nestapa
32. Tak Ingin Pisah - Kilas Balik Pertama
33. Mengulang Waktu - Kilas Balik Kedua
34. Impian yang Terkubur - Kilas Balik Ketiga
35. Solusi Terbaik - Kilas Balik Keempat
36. Mampu Seorang Diri - Kilas Balik Kelima
37. Kehilangan Banyak Hal - Kilas Balik Keenam
38. Mati Pun Percuma - Kilas Balik Ketujuh
39. Dua Orang yang Berubah - Kilas Balik Kedelapan
40. Masih Hidup?
41. Tidak Akan Pergi
42. Dua Penjaga Nadia
43. Indahnya Jatuh Cinta
44. Sebuah Persiapan
45. Tamu Tak Diundang
46. Yang Sempat Tertunda
47. Mimpi Buruk Datang Lagi
48. Kesempatan
49. Rasa Bersalah Semakin Dalam
50. Permintaan Meita
51. Selamat Ulang Tahun
EPILOG

15. Identitas yang Terungkap

879 99 2
By rissashimi

Kedai Nyonya Lim berhasil menjadi peserta festival kuliner yang diadakan di sebuah mall. Mereka berbagi tugas, Rai dan Davian akan menjaga stan, sementara Nadia tetap di kedai, dibantu oleh Bimo dan Ocha.

Untuk memberikan apresiasi kecil atas pekerjaan baik Bimo dan Ocha di tengah hiruk pikuk kedai hari ini, Nadia membuatkan es jeruk peras, ketika kedai sudah sepi.

“Minum dulu. Pasti pada haus, ‘kan?” ucap wanita itu saat keluar dapur membawa sebuah nampan berisi tiga gelas minuman oranye.

Bimo yang sedang mengibas bagian kerah baju, langsung berbinar senang. “Cici nih emang bos terbaik,” pujinya mengacungkan jempol.

“Lebih baik saya apa Rai?”

“Cici dong, jelas. Tapi, kalo Ko Rai yang nanya, kita jawabnya Ko Rai,” sahut Ocha sambil tertawa dan mengambil gelasnya.

Selagi bercanda, datang sebuah mobil mewah, parkir di teras kedai. Mobil dengan desain elegan, dilengkapi sepasang lampu depan yang tipis, serta warna hitam legam, menambah kesan gagah. Semua orang juga tahu, pasti pemilik mobil ini bukan orang biasa-biasa. Akan tetapi, Nadia tidak pernah tahu bahwa selama ini ia punya pelanggan yang bisa memiliki mobil tersebut.

“Siapa, ya, Ci? Pejabat pemerintah?” Ocha pun heran seperti Nadia.

Plat mobilnya satu angka, tetapi bukan berwarna merah, berarti bukan pejabat pemerintahan.

“Artis? Oh, atau yang suka review-review makanan itu kali?” timpal Bimo, ikut menebak.

Food vlogger? Mungkin saja. Mari tunggu beberapa saat lagi sampai melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.

Pintu penumpang bergeser. Nadia, Ocha, dan Bimo serentak memusatkan perhatian. Seorang wanita berusia sekitar 60-an, turun dari sana dengan anggun. Rambut hitam panjang bergelombang jatuh di sisi wajahnya. Bulu mata tebal dan lentik, bibir bergincu merah, serta sepasang lensa kontak berwarna cokelat tua, membuat wanita itu terlihat sangat cantik dan menonjol di antara sekelilingnya. Bunyi hak sepatu bergema ketika ia masuk ke dalam kedai. Sebuah senyuman hangat berhasil melelehkan hati tiga orang yang sedang terpaku oleh kehadirannya.

“Siang. Lauknya masih ada?” tanya wanita itu lembut.

“Masih ada, Ii. Tapi, tinggal sedikit. Lihat dulu aja.” Nadia menyikut Bimo dan Ocha berbarengan agar kedua orang itu kembali ke tugas masing-masing, dan berhenti terpesona.

Sambil memilih lauk, mata wanita tua itu sesekali melirik Nadia yang sedang mengepel. Samar-samar, sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia mengambil tempat di dekat Nadia bekerja, lalu menyentuh pundak wanita itu pelan.

“Kamu Nadia, ya?”

Tangan Nadia berhenti, lalu mengangguk ragu. Apa ia pernah mengenal wanita ini sebelumnya?

“Kalau kamu udah selesai, mau temani saya ngobrol?”

Setelah mengiyakan permintaan wanita itu, Nadia kembali melanjutkan pekerjaannya. Selama mengepel, ia bertanya-tanya dalam hati mengenai siapakah pengunjung baru yang sedang duduk di meja pojok, menikmati makanannya? Astaga, ia tidak bisa fokus bekerja kalau begini. Lebih baik, ia segera mencari tahu siapa wanita itu dan apa yang ingin dibicarakan dengan Nadia.

“Saya udah selesai.” Nadia mengambil tempat di hadapan wanita itu. Pas sekali karena beliau juga baru selesai makan.

Wanita di hadapan Nadia menyeka mulut setelah minum segelas air putih, lalu senyumnya mengembang. “Saya banyak berterima kasih sama kamu,” ucapnya membuka pembicaraan.

Nadia mengernyit bingung, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Pertama-tama, saya mau berterima kasih untuk hadiah yang kamu pilih. Saya suka.”

Kapan Nadia membelikan wanita ini hadiah? Apakah ia tidak salah orang?

“Saya jadi sering menyulam lagi.”

Dua detik setelah bergeming, mata Nadia melebar. Terbata-bata, ia bertanya, “Ii, mamanya Davian?”

Wanita tua itu mengangguk.

“Mama Davian?” ulang Nadia tak percaya, dengan suara yang lebih keras.

Lagi, wanita di hadapannya mengangguk, lalu tertawa kecil. “Saya Meita, ibu kandung Davian.”

Nadia sampai melongo dibuatnya. Banyak sekali hal yang melintas di pikirannya, ketika ia mulai mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Mama Davian sedang naik mobil mewah, dengan seorang sopir, dan berpenampilan glamor. Jadi, Davian anak orang kaya? Lantas, mengapa ia harus menumpang di rumahnya? Kurang ajar! Artinya selama ini Nadia ditipu. Apakah Rai tahu? Kalau ia juga sekongkol, lihat saja apa yang akan Nadia lakukan pada dua pria itu karena berani membuatnya terlihat seperti orang bodoh.

Sekarang, kecurigaan Nadia mulai beralasan. Davian yang awalnya tidak bisa bekerja, baik sebagai pegawai di kedai maupun ART. Tidak bisa mengendarai motor, tetapi mahir menyetir mobil. Lalu, bentuk tubuh yang sempurna— ah, ia benci sekali menggunakan kata sempurna, tetapi kenyataannya memang begitu— itu juga pasti hasil dari membayar iuran di gymnasium yang jumlahnya lumayan. Atau mungkin saja ia punya ruang olahraga sendiri di rumah.

“Davian banyak cerita tentang kamu dan Rai, yang sangat baik karena mau menerimanya untuk tinggal bersama kalian. Saya juga ingin berterima kasih soal itu.”

Nadia tidak begitu fokus mendengarkan Meita. Hatinya masih penuh amarah karena pengkhianatan. Cih. Diusir dari kos apanya? Melihat penampilan wanita yang mengaku sebagai Mama Davian, sepertinya mereka bisa saja memiliki beberapa unit rumah maupun apartemen.

Pandangan Meita berubah sendu ketika mengenang. “Waktu Davian diusir papanya, saya sempat cemas apakah dia bisa hidup mandiri, tanpa harta orangtuanya.” Kemudian, perlahan sepasang mata itu kembali berbinar. “Tapi, sepertinya saya terlalu meremehkan kemampuan anak sendiri. Dia bahkan menjalani hidup yang lebih baik ketika bersama kalian. Saya belum pernah lihat Davian sebahagia ini.”

Baiklah, itu memang kata-kata mengharukan yang keluar dari mulut seorang ibu. Namun, mari soroti kalimat utama Meita. Jadi, pria itu benar diusir? Oleh papanya? Apa papanya pemilik kosan? Davian anak dari juragan kos-kosan? “Davian diusir papanya?” tanya Nadia memastikan.

Meita tersentak. “Oh, Davian nggak cerita soal itu, ya?” Wanita itu jadi cemas karena salah bicara.

Buru-buru Nadia menggoyangkan tangan. “Nggak, bukan gitu maksud saya. Davian bilang kok kalo dia diusir. Saya cuma memastikan.”

“Sepertinya dia terbuka sama kalian lebih dari yang saya duga.” Meita tersenyum lega.

Terbuka apanya? Saat ini Nadia merasa telah dibohongi habis-habisan. “Kalo saya boleh tau, kenapa Davian sampe diusir? Saya nggak enak tanya ini sama dia.” Baiklah, ia akan mengorek informasi sebanyak-banyaknya. Namun, tidak dengan bertanya secara gamblang pada Meita, karena kalau ia melakukannya, wanita itu pasti otomatis tutup mulut.

“Suami saya sering melakukan trik licik demi kelancaran bisnis. Yang berani menentang dia cuma Davian. Anak itu ingin mempertahankan hak orang-orang yang merasa dirugikan. Suami saya marah besar dan akhirnya meminta dia angkat kaki dari rumah.”

Jelas, ini bukan sedang bicara tentang usaha kos-kosan. Hanya bidang bisnis yang memiliki kekuatan besar yang bisa merenggut hak orang lemah. “Masalahnya cukup serius, ya, I?”

“Bisa dibilang begitu. Banyak pihak yang ikut campur. Bahkan ada yang nggak segan mencelakai Davian kalo sampai dia menggagalkan proyek itu. Makanya, saya mau minta bantuan kamu sama Rai.”

Nadia menelan ludah. Ternyata masalahnya lebih rumit dari apa yang ia pikirkan, karena menyangkut nyawa Davian sendiri. “Ii mau saya berbuat apa?”

“Untuk saat ini, saya rasa memang lebih aman kalo Davian tetap tinggal bersama kalian. Belum ada yang tau keberadaan dia. Jadi, saya minta tolong, izinkan dia tinggal lebih lama. Setidaknya, sampai proyek itu gagal karena faktor lain, bukan karena Davian. Saya akan usahakan masalah ini selesai lebih cepat supaya nggak merepotkan kalian lagi.”

Padahal Nadia sudah berencana menendang pria itu sejauh mungkin. Ia paling benci seorang pembohong dan tidak sudi seatap dengannya. Namun, ia tidak bisa berbuat begitu jika ada seorang ibu dengan sorot mata putus asa, sedang memohon pada Nadia, demi melindungi anak semata wayangnya.

Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan, untuk mengusir perasaan aneh yang mulai terbit dalam hatinya. Ia mengerti apa yang Meita cemaskan, dan hampir saja meneteskan air mata karena merasa iba.

“Ii tenang aja. Saya dan Rai nggak merasa repot dengan kehadiran Davian. Justru, dia banyak membantu kedai kami. Kalo memang Davian bisa aman, dia bisa tinggal di sini sampai kapan pun.”

Meita terharu, sekaligus lega mendengar kalimat Nadia. Ia merogoh tas untuk memberikan sesuatu yang telah ia siapkan sebelumnya. “Omong-omong, ini, ada sedikit untuk kamu dan Rai. Anggap aja sebagai ganti biaya hidup Davian yang selama ini kalian tanggung.”

Nadia tersenyum tipis melihat amplop besar dan tebal yang disodorkan di hadapannya. Tanpa melihat pun, ia tahu di dalamnya berisi uang yang jumlahnya pasti tidak sedikit, seperti yang Meita katakan. “Maaf, saya nggak bisa terima ini. Davian nggak tinggal secara gratis kok. Dia punya cara sendiri untuk mengganti biaya hidupnya selama di sini, dengan bekerja. Buat saya, itu udah cukup.”

Wanita tua itu tertegun sesaat. Pembawaan Nadia yang tenang, lembut, dan tegas, seolah menamparnya. Lagi-lagi ia bersikap seperti seorang ibu yang sedang mengasuh anak kecil. Padahal, Davian mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Yang harus ia lakukan sebenarnya hanya percaya pada anak itu.

Seulas senyum tipis terbentuk di bibir Meita. Davian memang tidak pernah berkata apa-apa. Namun, sekarang ia paham, mengapa suara putranya terdengar lebih ceria ketika sedang membicarakan tentang wanita muda di hadapannya ini.

***

Note:
*Ii adalah panggilan untuk 'Tante' yang digunakan oleh suku Tionghoa.

Continue Reading

You'll Also Like

281K 42.3K 26
DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while drunk, typically one that is embarrassi...
451K 46.9K 46
FLAVORS UNBOUND is noun phrase refer to an exploration of diverse tastes, free from conventional limits, embodying creativity and the unrestricted...
125K 4.6K 4
Royal menikahi putri presiden untuk melancarkan kariernya di dunia politik. Madu menikahi sekjen partai politik terkemuka untuk membantunya melengser...
27.3K 2.3K 27
Kumpulan Oneshot, Twoshot, Three shot.. pendek bingit dengan pairing tidak biasa girlgroup Korea. Dengan kekuatan author wattpad, semua bisa terjadi...