Mendung yang sejak tadi menggantung di langit akhirnya jatuh juga. Aku sedang duduk-duduk di tepian danau saat hujan mulai tumpah dan membasahi tanah. Untung kemarin bang Renhard dan kawan-kawannya sudah membangun gubuk persinggahan sederhana di dekat sini, hingga aku punya tempat berteduh.
Kubawa serta karung berisi ranting kering ke gubuk. Tadi aku tidak langsung kembali ke rumah, habis mengumpulkan ranting. Aku memilih duduk di sini untuk menenangkan diri dari perasaan negatif yang tak seharusnya ada.
Bagaimana bisa aku sedih karena fakta bahwa bang Yugi ternyata sudah punya tunangan? Memang, aku siapa? Yugi itu siapa? Aneh sekali aku jadi murung dan mendadak ingin pulang karena itu? Lucu sekali.
Karena tak ingin perasaan itu mempengaruhi sikap, maka aku memilih berdiam diri di sini dulu. Kalau saja bukan karena hujan, mungkin aku masih duduk di depan danau.
Tengah sibuk menunggu hujan reda, aku melihat seseorang berlari ke gubuk ini. Rintik hujan yang deras membuat jarak pandangku kurang bagus, hingga tak bisa melihat dengan jelas.
Aku baru tahu siapa yang datang ketika dia sudah sampai di gubuk. Ternyata bang Yugi. Mataku membola melihat rambut, wajah dan bajunya kuyup.
Lelaki itu duduk di sebelah. Ia keringkan wajah ke lengan kaus. Diliriknya ke sini, aku mengerjap gugup. Apa dia ke sini sengaja karena ingin mencariku? Hujan-hujan begini? Tidak-tidak. Aku tak boleh asal menduga dan besar kepala seenak jidat. Dia ini bukan siapa-siapa. Dia sudah punya tunangan.
"Fani ngerjain lo lagi?" Setelah agak lama, dia akhirnya buka suara.
Aku menatap ke depan. Kuatur agar napas tidak cepat. Jangan terlihat gugup. "Enggak," jawabku.
"Terus, ngapain lo ngumpulin kayu? Yang gue suruh itu dia, bukan lo!"
Bahuku berjengit saat suaranya agak naik. Menunduk, kuucap maaf. Dia malah terdengar tak terima.
"Ngapain lo yang minta maaf! Lo dibully sama Fani apa gimana? Kok nurut-nurut aja disuruh ini itu? Memang lo gak marah udah diceburin?"
Aku menggeleng. "Kak Fani nggak sengaja. Lagian, dia enggak suruh aku ambil kayu. Aku sendiri yang mau," ujarku terdengar membantah.
"Apa?"
Tubuhku berjengit lagi. Kali ini bukan karena suara bang Yugi, melainkan karena suara petir yang barusan menyambar. Bukan hanya sekali, kilat dan guntur beberapa kali menyambar. Aku yang ketakutan bergeser mundur, hingga duduk di tengah gubuk.
Kulihat bang Yugi melakukan hal sama. Hujan bertambah deras, dinginnya angin juga mulai menusuk tulang.
"Nyesel nggak lo sekarang karena udah bantuin Fani dengan sukarela?" sindir bang Yugi.
Aku menyipit padanya. "Enggak," bantahku kencang. "Memang apa yang sa-"
Aku mengatupkan bibir sebelum kalimat rampung. Kerasnya suara petir yang menyambar membuatku spontan memegang lengan bang Yugi dan merapatkan wajah ke sana.
"Masih nggak nyesel?" Pria di sebelahku masih menyindir.
"Kenapa, sih?" sungutku sambil menatapnya. "Aku cuma mau bantu. Nanti malam kan ada acara. Kalau kayunya enggak ada, situ juga yang marah-marah."
Kami beradu tatap sengit beberapa lama, sampai akhirnya dia berdecak dan memalingkan wajah. Petir kembali menyambar, aku kembali memegangi lengannya kuat-kuat. Untungnya dia tidak menyuruhku menjauh.
Sebagai ucapan terima kasih, aku memulai obrolan. Tidak enak juga saling diam dan terus kesal padanya, padahal dia membiarkan aku berpegangan padanya.
"Abang mau ngapain tadi ke sini?"
"Nyari lo-lah."
"Kenapa?" Pipiku yang dingin terasa agak hangat mendengar jawabannya tadi.
"Ya karena lo nggak balik-balik, padahal udah lebih dari dua jam. Gue udah suruh Renhard samperin lo, tapi dia nggak mau."
Aku mengangguk saja. Kupandangi air hujan yang masih deras. "Hujannya kapan berhenti, ya?" gumamku.
"Besok paling. Kenapa? Takut harus nginap di sini?"
Tanpa malu aku mengangguk. "Lagian, badan Abang udah dingin." Kueratkan pegangan pada lengannya. "Nanti masuk angin."
Bang Yugi terdiam. Aku menengok hujan dengan cemas. Semoga saja cepat reda. Bisa gawat kalau poros utama grup ini tumbang. Acara perpisahan bisa tidak seru.
***
Besok adalah hari terakhir kami di desanya Tius. Tidak terasa, ya? Aku bertanya pada diri sendiri.
Tadinya aku sangsi akan bisa bertahan di tempat ini mengingat banyaknya hal yang tidak serupa seperti di rumah di sini. Eh, saat sudah hampir selesai mengabdi di sini, aku jadi sedih. Rasanya masih ingin mengeksplorasi desanya Tius, terlebih tempat-tempat cantiknya.
Karena besok adalah hari terakhir, malam ini kami mengadakan acara bakar-bakar. Jagung, ubi, daging dan beberapa buah untuk pencuci mulut sudah dipersiapkan. Ranting dan kayu yang siang tadi dikumpulkan dipakai untuk membuat api. Meski dimulai terlambat karena hujan baru saja berhenti, wajah-wajah senang tetap terlihat.
Teman-teman mulai makan. Ada yang menikmati jagung bakar, ada juga yang mulai mengolah daging. Aku tengah membuat pilihan akan makan apa saat kulihat bang Yugi mendatangi.
Dia berdiri di sampingku, memegangi jaket yang kemudian dia pakaian ke bahuku. Mataku mengerjap lambat, lalu berubah cepat. Kupandangi dia tak percaya. Apa yang baru saja lelaki ini lakukan?
Samar wangi parfum dari jaket yang tersampir di bahu melewati indera penciuman. Perutku mulas, ya Tuhan. Menghadap meja di depan, aku mengambil jagung sembarangan. Pura-pura mengupasi kulit buah itu, telapak tanganku malah berkeringat.
Kak Fani menghampiri. Hendak diambilnya jaket bang Yugi dariku, tetapi si pemilik jaket menepis tangannya.
"Apaan, sih, lo?" protes kak Fani. "Kenapa gue nggak boleh ambil jaket lo dari nih anak?"
Sekali lagi bang Yugi menepis tangan kak Fani yang hendak menarik jaket. Mata pria itu melotot pada temannya.
"Kenapa?" Kak Fani sok terdengar putus asa.
"Berisik!" ketus si lelaki. Ia sudah akan beranjak pergi, tetapi kak Fani mencekal lengannya.
"Kenapa?" Kak Fani masih menuntut. "Kenapa jaket lo boleh dipakai dia, gue ambil nggak boleh? Lo waras? Dia ini, kan, ceweknya Renhard?"
Berdecak-decak malas, bang Yugi akhirnya memberi jawaban. Sayang, jawabannya itu membuat perutku makin mulas.
"Nih anak gampang kedinginan. Lo mau tanggungjawab kalau dia hipotermia?"
Ya Tuhan. Kenapa bagiku itu terdengar manis sekali? Padahal, bisa saja bang Yugi mengatakan itu untuk mengejek, 'kan?
Tidak, tidak. Tidak boleh. Jangan besar kepala lagi, Serin. Tolong.
Agak tergesa aku bangkit dari kursi kayu, jadi nyaris tersandung ke depan. Beruntung kedua tanganku sempat berpegangan ke meja.
"Pelan-pelan," ingatkan bang Yugi dengan mata besarnya.
Aku mengangguk saja. Kakiku melangkah cepat ke tempat memanggang. Menyibukkan diri dengan jagung, sampai acara perpisahan kecil-kecilan dimulai oleh panitia.
Yang pertama dipersilakan memberi kata sambutan adalah bang Yugi. Tidak ada panggung, pria itu berdiri di dekat kursi tempat aku duduk tadi. Tanpa perlu meminta, lelaki itu langsung mendapat atensi penuh dari kami semua.
Bagian pembuka sambutan bang Yugi berisi ucapan syukur. Kemudian, ia suarakan rasa terima kasih kepada kami semua.
"Bagi beberapa dari kalian, ini mungkin pengalaman pertama. Gue lihat ada rasa canggung, kaget karena di tempat ini apa-apa serba nggak ada. Gue juga tahu kalau ada beberapa yang sempat pengen pulang karena ngerasa nggak sanggup. Tapi, gue juga lihat kalau kalian berusaha."
Lelaki itu mengedarkan pandangan. Menatapi semua dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Kutemukan beberapa relawan perempuan matanya mulai berkaca-kaca.
"Pelan-pelan kalian ngerti mau ngapain kalian ke sini. Bahkan, di hari-hari terakhir pengabdian ada yang semangatnya nggak habis-habis." Pria itu mengulas senyum.
"Terima kasih banyak untuk semua usaha itu. Mungkin, apa yang kita lakukan selama dua minggu ini sangat kecil dibandingkan apa yang desa ini butuh. Tapi, kita harus yakin. Yang sedikit ini bakalan ada maknanya, karena kita lakuin dengan sepenuh hati."
Tepuk tangan pecah. Beberapa sudah berurai air mata. Aku sendiri tersenyum lebar karena melihat kak Fani bertepuk tangan paling kencang, dan geleng-geleng takjub. Di sampingnya bang Renhard mengacungkan jempol. Satu yang sama dari mereka berdua, tatap matanya penuh rasa bangga pada bang Yugi.
"Maaf kalau selama kalian di sini panitia kurang dalam berbagai hal. Kurang sabar misalnya, kayak gue yang sering marah-marah."
Bang Yugi menutup sambutannya dengan ajakan agar kami tidak jera ikut kegiatan seperti ini. Sesi selanjutnya, kami diminta membagi kesan selama kegiatan. Satu per satu berdiri dan menyuarakan isi hati. Beberapa sampai ada yang berurai air mata karena terharu. Aku sendiri mendadak gugup ketika giliran datang. Terakhir pula.
Berdiri kaku, satu tanganku meremas batang jagung. Aku mendadak berdebar karena kini semua mata terarah ke sini. Bisa tidak mereka jangan melihat ke sini, ya?
Sangking lamanya aku hanya membisu dan menunduk, kak Fani sampai angkat suara.
"Woi, Serin. Lo disuruh ngomong, bukan di-strap."
Tersenyum kaku, aku membasahi bibir. "A—aku senang," kataku saat berhasil menemukan suara. "Kesannya selama kegiatan di sini, seru. Bisa ketemu orang baru yang baik-baik." Kulirik kak Fani, perempuan itu memberi senyum lebar.
"Cantik, baik, kaya, gitu, 'kan?" tuntutnya.
Aku mengangguk. Gugup mulai bisa dikendalikan.
"Pokoknya selama di sini, aku dapat pengalaman baru yang bakalan diingat seumur hidup. Makasih buat DreamTeam karena udah kasih kesempatan berharga ini. Semoga DreamTeam terus ada, supaya orang-orang bisa punya kesempatan berbuat hal baik."
"Buat kak Dian," lanjutku sambi menengok pada perempuan berkerudung itu. "Makasih udah bagi ilmu soal gimana cara ngajar yang baik."
Kak Dian melempar cium dari jauh.
"Makasih untuk kak Fani yang rela kasih aku sosis, nemenin waktu sakit, terus bikin aku tenggelam di danau." Aku tertawa sebab kak Fani seketika menghapus senyum.
"Makasih juga buat bang Renhard yang selalu tolongin apa pun yang aku butuh. Semoga Abang sehat terus, kerjaannya lancar, banyak duitnya biar bisa pergi ke konser dan cepat kawin."
Tawa berderai. Hatiku hangat karena mereka sungguh mendengar apa yang aku suarakan.
"Hayuk, kawin, mau?" balas bang Renhard dari tempatnya. Aku menggeleng cepat padanya.
Aku melirik bang Yugi sebentar. Ingin sekali mengatakan sesuatu padanya, tetapi tidak berani. Akhirnya aku menyudahi sambutan aneh itu. Bang Renhard menghampiri saat aku sudah kembali duduk.
"Lo ingat gue pernah bilang mau nonton konser?" tanya lelaki itu.
Kuanggukkan kepala. "Waktu kita ke rumah kepala desa buat minta izin bersihkan hutan," ingatkanku.
Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyum. "Daya ingat lo memang kuat atau gue ini istimewa buat lo makanya lo bisa ingat hal kecil soal gue?"
Aku tersenyum geli padanya. "Ya kamu spesial, dong," jawabku cepat. "Orang pertama yang nyamperin aku pas di kapal. Padahal, waktu itu kita belum kenal. Abang juga udah bantuin soal Tius."
Bang Renhard mengangguk lagi. "Nggak kerasa besok udah balik, ya."
"Iya." Aku tersenyum lebar. "Enggak nyangka bakalan bisa bertahan hidup di sini."
Lelaki di sebelahku tertawa. "Lo kira acara survive di hutan?"
"Mirip," balasku.
Kak Fani menghampiri. Bang Yugi ikut bersamanya.
"Udah mau kawin lo berdua?" tuduh kak Fani padaku dan bang Renhard.
Keningku berkerut. Kepalaku menggeleng saat bang Renhard malah bersuara. Mengatakan sesuatu yang sukses membuat alisku terangkat tinggi.
"Nih anak kelihatan manis banget malam ini. Keknya, gue udah nemuin jodoh gue, deh."
....
Makasih udah baca sampai sini. Semoga suka, sehat selalu.