Narasi: Stay With Me [ Halili...

By Lavendrxy

12.4K 2.1K 1.5K

O N G O I N G "Ma, aku boleh egois, kan? aku juga manusia, nggak mungkin nggak sakit hati." Rasanya hidup... More

i. narasi bisu menceritakan prahara
ii. Tuhan, narasi ini akan sampai, kan?
iii. narasi nya selesai bersama hidup ku
iv. aku selalu di tempat penuh kesalahpahaman
v. kapan narasi ini akan berakhir?
vi. kalian mencuri semua yang ku punya
vii. rasa sakitnya tidak pernah usai
viii. puncaknya aku berhenti berjuang
x. narasi baru, kisah baru, rasa baru
xi. mengapa hanya aku yang di bedakan?
xii. si tampan yang mengikatkan diri
xiii. penghiburan kecil dari sang sahabat
xiiv. satu frasa mempertanyakan segalanya
xiv. apa arti keberadaan ku bagi kalian?
xvi. sepucuk surat dan bunga Hyacint ungu
xvii. sejak awal aku sudah hancur, Ayah
xviii. jadi selama ini aku hanyalah aib kalian?
xix. narasi-narasi lama ini bahkan belum tamat

ix. narasinya belum selesai ternyata

638 129 186
By Lavendrxy

N A R A S I
Aku terlelap hanya untuk
mengulang kisah lama yang
pahit.

Mungkin Narasinya sudah berakhir──

Tetapi tidak lama kemudian, suara denyut jantung yang terpampang di layar monitor mulai meningkat drastis. Halilintar membuka matanya dengan nafas tersengal-sengal. Peluh dingin menetes, membasahi dahinya hingga rambutnya. Urat-urat lehernya timbul karena tegang. Rasa sakit mulai menyerang di bagian kepalanya.

"──ugh,"  

"Alin──" sepasang tangan dingin merangkul erat. Halilintar membelalakkan mata ketika mendapati aroma chamomile yang tidak asing. Ini aroma milik psikolognya, aroma Kaizo. Isakan tangis dari pria itu mulai berderai bersama rengkuhan yang mengerat. "Demi Tuhan... terima kasih, terima kasih..."

Semuanya terlalu mendadak. Ruangan putih penuh aroma obat, cahaya matahari yang menyilaukan, Kaizo yang menangis, dan sakit di sekujur tubuhnya membuat Halilintar bingung bukan main.

Halilintar masih hidup...

Setelah kejadian malam itu, Halilintar masih hidup.

Dan di sinilah Halilintar habiskan jam-jamnya di ruangan rumah sakit hanya untuk mencerna baik-baik semua peristiwa yang terjadi. Tanpa Ayah dan Ibu, tanpa Taufan dan Gempa. Hanya Kaizo, aneh, kan?

"Kamu koma selama dua minggu, percaya tidak?" Papar Kaizo dengan senyum miris. "Kamu hampir menyaingi putri tidur. Solar selama dua minggu ini terus ingin mencium mu seperti di buku dongeng." Bisik Kaizo lagi dengan dengusan geli. "Untung tidak benar-benar mencium..." Lirihnya lagi.

Kaizo, pria psikolog itu benar-benar menjaganya dengan baik. Membuat Halilintar berpikir, apa selama dua Minggu ini hanya Kaizo yang menemani di sini?

Rasa khawatir Halilintar membludak. Di mana keluarganya? Mengapa tidak menjenguk? Sudah hampir satu hari, tetapi siluet keluarganya tidak muncul sama sekali.

"Bapak,"

Sampai akhirnya Halilintar muak dan putuskan untuk bertanya. "Keluarga saya mana?"

Hening.

Sebuah keheningan yang tidak nyaman. Halilintar temukan guratan halus di antara celah alis sang psikolog. Sebuah tanya terluncur, "Kenapa nggak ada yang jenguk saya seharian ini?"

"Bapak, saya nanya Bapak, bukan angin." Ucap si merah lagi. Kali ini tangan yang tertancap infus itu menggenggam erat tangan Kaizo, berusaha menuntut jawaban. "Mereka ke mana, Pak?"

"Saya bisa diam kalau kamu tidak mau dengar hal buruk." Sahut Kaizo pelan. Senyum tipis di ulas. Genggaman tangan itu di balas dengan lembut.

"Saya mau denger, Pak. Sekarang." Pinta Halilintar dengan keras kepala. Padahal sudah tahu ini hal buruk, tetapi Halilintar tetap menyiapkan hatinya untuk itu.

"Saya dengar keluarga kamu pergi ke luar kota. Sudah dua Minggu lamanya. Tidak tahu untuk urusan apa."

Halilintar sudah mampu menerka-nerka, mungkin mereka sedang berlibur? Atau mungkin mencari rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap daripada rumah sakit di kotanya.

"Alin,"

Panggilan menyerbu, Halilintar mengerjap bingung sebelum senyum menyedihkannya mengembang. "Kok saya bisa di sini? Bapak yang bawa saya?" Tanya si merah.

"Keluarga kamu yang bawa kamu ke sini. Kebetulan juga saat kamu di bawa ke rumah sakit, saat itu saya sedang menemani istri saya di periksa." Jelas Kaizo.

"Emang saya sakit apa?" Tanya Halilintar lagi. Seingatnya saat pingsan dua Minggu yang lalu, dia merasa baik-baik saja, tidak demam atau semacamnya.

"Stres."

"Masa sih?"

"Kapan saya suka bercanda?"

"Saya beneran stres? Makanya sampai koma lama banget?" Tanya Halilintar, entahlah, mungkin sampai kagum pada diri sendiri.

"Kalau kamu tidak stres, seharusnya kamu tidak menjadi pasien saya, benar, kan?" Terang Kaizo sembari berdecak pasrah. "Sudah, sudah. Kamu masih lemas. Istirahat lagi, ya? Saya masih harus bicara dengan dokter mu."

Dengan paksaan lembut, Kaizo mendorong pelan tubuh si merah hingga berbaring lagi di kasur. Pria itu menyelimuti Halilintar sebelum menaruh kecupan singkat di dahi──oh, jangan lupakan ancaman singkat berupa,

"Jangan berpikiran untuk kabur, mengerti? Nanti saya kembali lagi untuk menjawab puluhan pertanyaan mu."

"Mengerti, Paduka." Jawab Halilintar malas.

Lantas hari-hari berlalu dengan monoton. Ruangan putih, dokter yang keluar masuk, serta tidak adanya kemunculan satupun keluarganya──bahkan jika itu Nenek Kakek, atau Paman Bibi, tidak ada satupun.

Halilintar mulai ragu apakah keberadaannya masih di anggap. Atau mungkin, mungkin saja jika Halilintar benar-benar───

"ALINNNNN! OH MY GOSH, AKU KANGEN BANGET!"

Di hari kedua, Solar datang dengan cara memanjat balkon rumah sakit. Menyengir lucu, sebelum akhirnya memekik heboh dengan buket bunga tulip dan coklat batang di kedua tangannya.

"Kenapa ke sini?" Tanya Halilintar yang kaget luar biasa. Bayangkan, orang waras mana yang memanjat balkon lantai tiga!? Solar sudah seperti buronan negara yang ingin bertemu kekasihnya!

"Mau jenguk princess." Jawab Solar sembari menata bunga tulip di vas bunga, "Sekalian mau ngajak kawin lari." Tambahnya.

Apa? Kawin lari!? Halilintar yang masih pusing langsung bertambah pusing tujuh turunan hanya untuk memahami tingkah laku Solar.

Lantas ketika melihat si merah mengkerut, Solar di buat terkekeh. Jujur saja jantungnya berdegup terlalu kencang. Maklum, habis ngebut dari kota sebelah ke rumah sakit hanya karena mendengar kabar bahwa Halilintar sudah sadar. Solar senang luar biasa. Sungguh.

"Yuk. Kita kawin lari," ajak Solar sembari menarik tangan Halilintar, lantas dia meralat ucapannya. "Maksudnya keluar rumah sakit. Kamu pasti bosan di sini, kan? Ayo nyeblak."

Tetapi Halilintar justru menatap bingung. Tetap diam di kasur. "Tapi dokter bilang aku nggak boleh keluar. Dokter di sini bisa ngejar, bisa nyleding juga."

"Ya makanya kita kabur diem-diem."

"Tapi dokternya..." Halilintar mau tidak mau harus merinding. Dulu sekali, ketika kecil, dia pernah bertemu dokter yang galak luar biasa. Melotot dengan wajah berkumis, lalu mengejar Halilintar jika dia mengelak saat pemeriksaan. Itu momok menakutkan, juga alasan mengapa Halilintar takut dengan dokter rumah sakit.

Solar mendengung sebentar, sebelum akhirnya menyeringai licik. "Kabur dong. Don't worry. Dokter di sini tua-tua, mana sanggup ngejar Solar yang gagah perkasa ini."

Tidak lama kemudian Solar berbalik, berjongkok, lalu berkata. "Naik, Lin. Biar aku gendong." Oh, wah. Lihatlah sahabat Halilintar yang gentleman ini.

Mendengus, si merah segera melepas infus yang menancap di punggung tangannya. Dia beranjak menuju sisi kasur, memasang sendal, lalu menumpukan badannya di punggung Solar.

"Hup!" Solar segera berdiri dengan mudah. Memegangi remaja di belakangnya dengan erat. "Pegangan, ya. Aku mau ngebut. Takut di kejar sama dokter berjanggut."

"Solar, sendal ku──"

Dan Halilintar hanya mampu memekik tertahan ketika Solar benar-benar berlari kencang menerobos pintu dan lorong rumah sakit──Solar bahkan tidak berhenti saat sebelah sendal Halilintar jatuh di lantai.

"BERHENTI, ANAK NAKALLLL!" Dokter pribadi Halilintar yang di utus Kaizo berteriak kewalahan saat Solar berlari kencang dengan membawa tawanan.

"PANGGIL PAK KAIZO! CEPAT, CEPAT! AISH──DIA BAHKAN MENYERET KABEL INFUS SEPANJANG JALAN!"

Solar tertawa terbahak-bahak, membuat Halilintar terguncang di punggung. Sungguh, ternyata kaki Solar memang terlilit kabel infus. Membuat suster-suter atau pasien di lorong menatap heran pada mereka berdua──juga selang infus yang terseret di kaki Solar.

"Seneng, nggak?" Tanya Solar di sela larinya. Kini mereka berdua sudah keluar dari pekarangan rumah sakit, berbelok dan berlari di trotoar jalan yang sepi.

"Seneng." Lirih Halilintar dengan wajah mencebik. "Aku jadi ngerasain rasanya jadi buronan narkoba. Tuh, di belakang satpam lagi ngejar kita." Dan benar saja, satpam rumah sakit sedang mengejar mereka dengan tersengal-sengal.

"Bagus donggg! Habis ini mau jadi buronan apa? Buronan hati ku?"

"SOLAR──AWASSSS!"

Sumpah demi Tuhan, Solar benar-benar ceroboh. Menculik pasien rumah sakit, kejar-kejaran dengan satpam, hampir jatuh ke gorong-gorong, dan berakhir tiba di depan toko seblak yang sudah tutup.

Solar menyengir, nafasnya tersengal-sengal hingga peluh membasahi sekujur tubuhnya. Belum puas, remaja itu masih sanggup berkata,

"Kita mau kemana, nih? Bilang aja. Mau ke kedai es krim di kota sebelah pun aku jabanin."

Sedang Halilintar hanya mampu tersenyum tipis. Dengan jahil dia makin mengeratkan pelukan pada Solar sembari mencubit pinggang sahabatnya, lantas berkata,

"Nafas ngos-ngosan masih aja banyak gaya. Aku nggak mau ya pas pulang nanti malah aku yang gendong kamu."

Tuhan, bahkan jika keluarga ku tidak di sisi ku, terima kasih karena telah menghadirkan Solar.

N A R A S I

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 325 7
"berdikarilah anak- anakku." Dia menyembunyikan identitas nya dari adik kembarnya, sahabat, begitu juga dengan rekan-rekan nya dan hari di mana semua...
2.4K 273 5
Langit biru dan matahari. Dua hal itu mengingatkan mereka pada Taufan. Iris safirnya yang sejernih langit biru yang indah, dan senyumannya yang seper...
953 118 8
Sebenarnya ga tau mau ngetik apa, tapi moga sukaa~ . . . . . . . . . . . . . . . . . "... You the best older brother.." . . . .
1.2M 81.6K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...