"Begitu."
"Kami juga berhasil mendapatkan biodata lengkap para tahanan."
"..."
"Tizanna Lautner, Kapten, berusia 23 tahun, seorang wanita yang awalnya berkebangsaan China namun berganti menjadi Indonesia, dia memasuki BlackBerry pada usia 10 tahun. Tidak memiliki riwayat pendidikan, sepertinya dia mendapat pendidikan dan pelatihan khusus dalam organisasi."
"..."
"Dan untuk yang lainnya. Niki..."
Obrolan itu terus berlanjut, semua biodata dari para tahanan diungkap dengan mudah ke permukaan. Sekarang, tak ada lagi yang dapat ditutupi, dan semua telah berakhir. Saat ini, Tizanna hanya berharap agar semua segera selesai dan menjadi baik-baik saja, ya... kecuali dirinya, ia tak berharap banyak akan hal itu.
"Semua telah dikonfirmasi, Pak, kalau begitu saya akan undur diri." ucap Letnan Kolonel, Manu, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan ruangan.
Kapten kembali mendongakkan kepalanya menatap Kolonel, "Puas? Sekarang biarkan mereka pergi." ucapnya.
Kolonel menatap Kapten Tizanna untuk beberapa saat sebelum memutuskan pandangannya dan beralih menatap para Askar di depan sana. Sorot matanya seakan menjadi aba-aba sekaligus perintah bagi para Askar.
"Akhirnya... semuanya selesai. Kuharap mulai hari ini, kalian akan menjalani hidup dengan baik..." -batin Tizanna.
Para anggota Askar memberikan sikap hormat dengan tangan yang terangkat kepada Kolonel sebelum berbalik badan dan melangkah mendekati para tahanan. Melihat itu, Tizanna yang awalnya merasa tenang dan bersiap menghela napas lega langsung dibuat tersentak begitu...
BUGH!
BRAK--!!
DORRR--!!
BUGH!
DORR--!!
BRAK!
Aksi pembantaian terjadi tepat dihadapannya dengan begitu jelas, penganiayaan yang sangat brutal hingga berujung kematian. Terlebih, korban dari penganiayaan itu adalah temannya sendiri, hal itu jelas memberikan rasa sakit dan traumatik yang sulit untuk dideskripsikan.
DORRR--!!
Suara tembakan menggema menimbulkan rasa nyaring, telinga yang mendengarnya dibuat berdengung, dan merinding menghantam dada Kapten.
"..."
Keadaan menjadi hening untuk beberapa saat, Tizanna termenung dengan keadaan tubuh yang mematung, matanya menatap kosong ke arah jasad para temannya yang kini telah bersimbah penuh darah. Kini, semuanya telah mati, mereka semua mati tepat di hadapannya, orang-orang ini membiarkannya menyaksikan adegan kematian temannya sendiri.
Laras dari senjata api yang dipegang oleh beberapa Askar kini mengeluarkan asap yang terlihat jelas dimata, senjata yang baru saja memuntahkan peluru dari dalam laras sebelum menembus kepala para temannya, dan hal itu disaksikan dengan sangat jelas oleh Tizanna.
"Aku..." suara Tizanna tertahan.
"..."
"Aku sudah memberitahukan semuanya!!" teriak Tizanna, "Kenapa...!?"
Dengan raut wajah dingin tanpa rasa bersalah, Kolonel menunduk menatap ke bawah seakan memandang rendah akan sesuatu, dan Tizanna dapat merasakan dengan jelas tatapan yang mengejek itu.
"Mereka akan terbunuh begitu kita membiarkan mereka pergi." ucap Kolonel dengan tenang.
Kapten terkesiap.
"A-Apa...?"
"Kami bersedia mengambil jalan damai dengan menawarkan negoisasi untuk tahanan, tapi pihakmu menolak." ucap Kolonel.
"...!?"
Negoisasi tahanan, adalah dimana suatu pihak yang menyandera pihak lain menawarkan kesepakatan atau penukaran antara tahanan dan sesuatu yang diinginkan oleh pihak lain. Dalam kasus ini, dibutuhkan informasi untuk ditukar dengan para tahanan, namun pihak BlackBerry menolak yang artinya mereka memilih untuk memutuskan ekornya dan mengorbankan para agennya tanpa memikirkan hidup dan mati mereka.
"Pihakmu akan berpikir bahwa ada alasan lain begitu kami mengirim mereka kembali hidup-hidup."
Tizanna tersentak.
"Bukankah menurutmu ini lebih manusiawi daripada membiarkan mereka disiksa agar mereka mengaku? Yah... Hal terburuknya, mereka mungkin akan langsung diincar dan dibunuh setelah dilepaskan." ucap Kolonel datar.
DEG!
Tubuh Tizanna memaku. Memikirkan hal itu terjadi pada teman-temannya membuat semuanya seakan menjadi gelap, Tizanna ingin marah, berteriak, dan membunuh orang dihadapannya, namun untuk alasan apa ia melakukan hal itu? Apa karena pria itu telah membunuh teman-temannya? Atau justru karena organisasi yang mungkin akan menggantikan dia untuk membunuh teman-temannya?
Sorot mata Tizanna berubah penuh kemarahan yang tertahan, tubuh Tizanna kembali bergetar dengan rahangnya yang mengeras seakan menahan sesuatu. Bahkan deretan gigi rapihnya ikut terlihat bersamaan dengan air mata yang sebelumnya ia tahan akhirnya merembes keluar dari celah mata kanannya sebelum kemudian menetes membasahi pipinya.
"..."
Dari tempatnya berada, Kolonel dapat melihat dua pasang mata hitam yang memerah menahan air mata, raut wajah Tizanna yang penuh amarah dengan alis yang hampir tertaut itu entah bagaimana terlihat begitu menggoda.
Apalagi, melihat air mata yang mengalir di pipi wanita muda itu sukses membangkitkan suatu yang tertidur dalam dirinya. Raut wajah yang menangis itu sungguh seperti suatu godaan yang dipancarkan padanya, seakan-akan gadis muda itu memintanya untuk segera mendekap tubuhnya demi sebuah kehangatan.
Kolonel terus menatap Tizanna dengan sorot mata yang terasa begitu intens, pria itu tak pernah mengalihkan tatapannya sedetikpun dari objek menggoda di hadapannya.
"Haa... Dipikir-pikir sudah cukup lama aku tidak melakukannya..." - gumam Kolonel dalam hati.
Kolonel mengalihkan pandangannya ke arah para bawahannya, "Merupakan suatu hal yang benar untuk membiarkannya tetap hidup." - lanjutnya dalam hati.
Dengan raut wajah yang datar seperti biasa, Kolonel mengangkat satu tangannya keatas seakan memberikan komando bagi para bawahannya, hal itu segera ditanggapi oleh para bawahan.
"Keluarlah, aku yang akan melanjutkan sisanya." ucap pria itu dengan begitu tenang.
"Baik, Pak!"
Setelah memberikan jawaban, mereka segera pergi meninggalkan ruangan itu dengan formasi yang tidak terpecah, setelah beberapa saat langkah kaki mereka akhirnya menghilang, dan pintu ruangan pun ikut tertutup dengan rapat meninggalkan dua orang yang masih berdiam diri di tempatnya.
***
Keheningan menghiasi suasana, ruangan yang awalnya senyap menjadi semakin senyap karena hanya diisi oleh dua orang. Dari tempatnya berada, Kapten Tizanna masih memberikan tatapan penuh kebencian terhadap Kolonel, dan hal itu disadari sepenuhnya oleh pria itu.
"Kheuk--!!?"
Dengan gerakan cepat yang sama sekali tak terbaca, Kolonel menempatkan satu tangannya pada rahang Kapten sementara tangannya yang lain menyelinap dengan paksa untuk masuk ke dalam mulut wanita muda itu.
Kapten meronta memberikan perlawanan akan tetapi gerakannya terbatasi karena ikatan kuat pada tangannya yang menjadi penghalang dari segala aksinya.
"Uh--Heupp--!!"
Dua jari yang terbungkus dengan sarung tangan hitam berhasil memasuki rongga mulut Kapten, masuk semakin dalam menyentuh pangkal tenggorokannya sambil memainkan lidahnya secara tak terduga.
Mata Kapten Tizanna menutup merasakan sensasi aneh dalam mulutnya, pria gila itu melakukan hal aneh dengan tujuan yang tak dapat dimengerti. Dengan kesal, Tizanna menggigit kuat-kuat jari pria itu, namun bukannya melepaskan dia justru hanya memandangi Tizanna dengan penuh ketenangan seperti tak terjadi apapun, Tizanna bahkan tak dapat merasakan adanya emosi pada pria itu.
"A-Apa yang dia lakukan!?" -batin Tizanna bertanya-tanya.
Segera setelah itu, Kolonel berdarah dingin tanpa ekspresi itu mengambil sebuah sapu tangan dari dalam sakunya, mengeluarkannya lalu menyumpal paksa mulut Tizanna dengan benda itu.
"Hmmphh--!!?"
Tizanna kembali memberikan perlawanan dengan mencoba menggerakkan kepalanya, namun tekanan pada rahangnya begitu kuat sampai membuatnya terasa hampir patah. Sebagai perlawanan terakhir, Tizanna pun menjatuhkan diri dari atas kursi hingga membuat kursi itu ikut terjatuh kearah samping.
Brukkk!!
"Ughh--!!"
TO BE CONTINUED ~
[𝐓𝐞𝐫𝐬𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐣𝐮𝐠𝐚 𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢 𝐄-𝐁𝐨𝐨𝐤 - 𝐄𝐍𝐃]
(ᴘᴀsᴛɪᴋᴀɴ ᴜɴᴛᴜᴋ ʙᴇʀᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ & ᴠᴏᴛᴇ ᴅɪ sᴇᴛɪᴀᴘ ʙᴀʙ ᴊɪᴋᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ɪɴɢɪɴ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ ᴛᴇʀᴛᴜɴᴅᴀ.)