(NOT) REVENGE (Tamat)

By GaluhCahya8

52.1K 10.4K 428

Aku telah mengalami sakitnya pengkhianatan. Orang yang kupercaya sebagai sahabat justru menusukku dari belaka... More

1. Pain
2. Is Not Revenge (Yet)
3. Pembalasan Awal
4. Dengan Zeus
5. Going Home
6. Percakapan Aneh
7. With Bastian
8. Step One: Revenge (Not)
9. Eva
10. Undangan
11. Prepare
12. Party (1)
13. Party (2)
15. Aku Nggak Paham
16. Nao
17. Ayolah!
18. Dulu ... Sekarang
19. Kadang
20. Pilihan
21. 2016
22. Perkara Lagu
23. Air dan Minyak
24. Bertemu (1)
25. Bertemu (2)
26. Bicara (1)
27. Bicara (2)
28. Lawan (1)
29. Lawan (2)
30. Lawan (3)
31. Lawan (4)
Promo Tasya dan Miss Kunti
32. Menjelang (1)
33. Menjelang (2)
Penutup
Promo Bukan Target Cinta

14. Mimpi Buruk

1.4K 311 9
By GaluhCahya8

Bastian bersedia mengantarkan Nia. Tentu saja setengah hati dalam menjalankan kebaikan. Dia tidak suka jadi sopir dadakan untuk orang asing, katanya sembari memutar siaran radio di mobil. Tidak tanggung-tanggung, ia sengaja menyetel volume suara hingga lantunan lagu dari Ungu terdengar lantang. Kutebak ia sengaja melakukan itu demi membuat Nia jengkel.

Sayang siasat itu tidak berhasil. Nia tidak berceloteh menanggapi ketidaksopanan Bastian. Dia justru memilih duduk manis, menggerlung manja seperti kucing, dan memeluk lenganku seolah diriku ini guling dadakan. Berhubung kami berdua duduk di jok belakang, keberadaan Bastian makin mirip sopir terabaikan.

Rumah Nia ternyata ada di daerah yang terbilang elite. Jalanan menuju ke sana pun bagus; tidak berlubang, ada trotoar dengan tanaman hijau, bahkan penerangannya pun baik. Tidak seperti jalanan di kampungku. Sampai di tujuan, Nia menawariku mampir. Namun, Bastian menolak dan beralasan sudah ditunggu Papa.

Jelas Nia ingin membantah, tapi mengurungkan niat. Dia hanya mendengkus dan kuduga sedang mengutuk Bastian dalam hati.

Kami, aku dan Bastian, pun pulang sesuai rencana. Bisa saja aku pindah ke kursi depan, duduk di dekat Bastian yang tengah mengemudi. Namun, mataku terlalu lelah. Kelopak mata terasa berat dan sesekali aku menguap.

“Tidur duluan aja,” Bastian menyarankan.

Aku ingin membantah, tapi beban tidak kasatmata membuatku ingin memejamkan mata. Mematuhi nasihat Bastian, aku merebahkan diri dan mulai lelap dalam mimpi yang ingin kuabaikan.

***

“Kamu tahu, ‘kan, kalau aku nggak suka Diva?”

Mata Eva begitu nyalang, penuh kebencian seakan kesialan yang menimpanya selepas pesta merupakan kesalahanku. Aku tidak tahu bahwa pihak penyelenggara ternyata mengundang Diva sebagai salah satu tamu istimewa. Ada banyak orang penting sekaligus bintang hiburan yang turut memeriahkan acara pembukaan produk parfum terbaru milik istri pejabat. Pemburu berita pun sangat puas bisa menulis bermacam orang penting demi dicetak dalam sebuah surat kabar maupun majalah.

“Aku nggak suka Diva!” pekik Eva, matanya meradang dan tampak merah. Seperti darah.

Kami, aku dan Eva, tengah berada di ruang santai yang memang disediakan oleh penyelenggara. Tidak ada satu pun di sini, di ruangan ini, selain aku dan Eva. Dia berdiri di hadapanku, terlihat elok dan menawan. Seharusnya dia duduk di kursi VIP, bersama orang ternama lainnya. Namun, dia justru memilih menyepi di ruangan ini dan mulai meluapkan kemarahan kepadaku.

“Tapi,” aku berusaha membujuk, “dia ada di meja lain. Kamu seharusnya nggak merasa tertekan....”

Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Eva memekik dan mulai mendaratkan tamparan panas di pipiku. “Kamu bodoh,” desisnya dengan nada yang terdengar amat beracun.

Rasa nyeri dan perih berdenyut di wajah. Jantungku berdebar kencang, membuat dada sesak. Aku berusaha mempertahankan keseimbangan, takut jatuh dan membuat Eva semakin meradang.

Kusentuh wajahku, berusaha meraba kulit yang kupikir akan retak dan mengalirkan darah. Sakit sekali.

“Kupikir mengajakmu ke sini bisa membuat Nao berpaling dari pecundang itu!” Eva mulai mengentakkan kaki. Tidak peduli bahwa bisa saja ia terluka karena mengenakan sepatu berhak tinggi. “Kamu bilang kakakmu cukup berpengaruh, ‘kan? Lantas mengapa dia nggak bisa memastikan agar Diva nggak diundang ke sini?!”

Aku menggeleng pelan. Pandanganku memburam akibat sengatan air mata yang bisa saja tumpah. Tenggorokkan tercekik. Rasanya sakit sekali. Bicara pun butuh usaha keras, tapi anehnya aku bisa memaksakan diri bicara kepada Eva. “Maaf.... Aku sudah berusaha, tapi Zeus bilang nggak mau mencampuri urusan orang lain.”

“Apa gunanya berteman dengan bocah kampungan sepertimu?” maki Eva dengan nada berbisa. “Aku bersedia menurunkan derajatku dengan menerimamu sebagai teman, tetapi kamu nggak bisa balas budi. Apa susahnya memengaruhi kakakmu agar menyabotase undangan Diva, sih? Dasar tolol!”

“Mungkin Nao yang ... maksudku....”

“Omong kosong! Nao nggak mungkin mau repot mengurusi Diva. Pasti dia punya orang dalam!”

Eva berjalan mondar-mandir di hadapanku. Untuk sementara waktu dia mengabaikan keberadaanku. Namun, beberapa detik lagi bisa saja dia kembali menyerangku.

“Diva. Diva. Diva!” Eva mendecih. “Apa bagusnya Diva? Dia bahkan lebih sering gonta-ganti cowok. Berani taruhan kemarin dia tidur dengan CEO Fortuna! Pantas saja dia bisa dapat iklan parfum yang seharusnya jadi milikku!”

“Eva....”

“Aku bersedia menjadikanmu asisten pribadi,” tunjuknya tepat di hidungku. “Karena kupikir kamu bisa jadi senjataku! Ternyata sama saja dengan mantan asistenku.”

Hatiku seolah ditusuk belati berkali-kali setiap kali mendengar Eva menghakimiku sebagai produk gagal. Aku tidak mengerti. Apa dia tidak bisa mengapresiasi usaha yang selama ini kulakukan demi mendapatkan sejumlah peran dan iklan untuknya?

“Sekarang aku nggak butuh kamu!” desisnya. “Kamu nggak usah kerja. Besok aku akan cari penggantimu.”

Eva melenggang ... pergi begitu saja meninggalkanku sendirian.

Sendirian.

***

Saat aku sadar dari jeratan mimpi buruk, pertengkaran Zeus dan Bastian-lah yang menyambutku.

“Aku yang gendong!”

“Bastian, kamu ceroboh. Aku saja yang gendong.”

“Diam kamu, dewanya para playboy!”

Aku masih terbaring, meringkuk di jok, saat pertengkaran itu memanas dan berujung pada saling hina. Betapa asing sekaligus ironis pemandangan tersebut. Dalam mimpi aku terjebak perasaan sedih yang tiada akhir, lantas ketika bangun adegan harmonis antara kakak dan adik tengah berlangsung.

Perlahan aku bangkit, meregangkan tubuh yang kaku karena posisi tidak nyaman saat tidur.

“Embun, kenapa bangun? Tidur lagi. Biar aku yang gendong, ya?” Bastian memberiku senyum sempurna ala iklan pasta gigi. Dia bahkan tidak peduli perengutan Zeus yang terasa menusuk sampai ke ubun-ubun.

“Nggak perlu,” kataku menolak saran Bastian. “Aku bisa pergi ke kamarku. Sendiri,” tegasku sebelum Bastian mengajukan saran tidak menyenangkan.

Begitu keluar dari mobil, sengketa antara Zeus dan Bastian pun berlanjut. Kutinggalkan pertengkaran cowok Kusuma di belakangku. Tidak perlu mencoba jadi wasit, berusaha menengahi adu mulut. Aku tidak mau jadi korban salah serang seperti yang terjadi pada semua orang yang bermaksud melerai kucing berantem. Itu tidak perlu.

Aku berlari menuju kamar. Langsung merebahkan diri di ranjang dan membenamkan wajah ke bantal.

Pikiranku berkecamuk. Ingatan masa lalu berpusar di benak, berusaha menusuk-nusuk dan membuatku pusing. Embun yang dulu terlalu lemah dan tidak bisa berkata tidak kepada siapa pun yang ia anggap penting. Selalu berpegang pada seutas tali rapuh yang bisa putus kapan pun. Berharap kepada orang yang tidak memiliki cinta maupun kasih. Pada akhirnya hanya bisa menelan pil pahit.

“Eva,” desisku seperti ular beludak, “ini hanya permulaannya saja.”

Andai membalas dendam dengan cara terkeji dilegalkan oleh pemerintah, sudah pasti akan kuseret Eva ke neraka saat ini juga. Namun, langsung balas dendam tentu tidak memuaskanku. Aku ingin membuat Eva sengsara sebagaimana dia membuatku tidak ingin menjalani hidup sebagai orang buangan.

Menyeret musuhku ke neraka.

***

Nia: “Kakak! Yuhuuuuuuu aku ada pesan penting.”
Bastian: “Lihat kurcaci licik itu! Dia sedang memanggil buaya darat!”
Zeus: “Jaga omonganmu, Bastian.”

***
Selesai ditulis pada 7 Mei 2024.

***
Hari ini nggak bersin-bersin seperti kemarin. Asli nggak enak kena pilek. Apalagi kalau sampai pusing.

Terima kasih saya ucapkan atas perhatian yang teman-teman berikan. Sekali lagi saya jelaskan bahwa Embun bukan cerita angst. Eh iya, ‘kan? Sepertinya bukan. Iya, bukan.

Salam cinta untuk kalian semua teman-teman. Jangan lupa jaga kesehatan dan minum air putih secukupnya.

Loveeee.

Continue Reading

You'll Also Like

28K 5.3K 18
Kupikir aku hanyalah anak pengusaha menyedihkan. Jenis gadis yang akan berakhir dalam perjodohan yang bahkan tidak ia inginkan. Tunanganku, lelaki it...
27.5K 3.1K 18
[ 100% MURNI DARI IMAJINASI PENULIS, BUKAN TERJEMAHAN!! ] Setelah pertunangan Guinevere dibatalkan, sang ayah langsung menunjuknya sebagai ahli waris...
3K 527 5
[RE-Birth] Dulu Kania mencintai Zein, teman masa kecilnya. Namun, cinta tidak berpihak padanya. Perasaan yang dia miliki untuk Zein hanya membawakan...
2.2M 130K 48
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...