•Mei, MMXXIV•
Happy Reading, Semuanya.
Jangan lupa ☆ dan tinggalkan jejak cinta di kolom komentar, ya.
With Love,
Harumi
◇사랑하다◇
Priyaduta berdeham sebelum menjawab panggilan telepon dari sang pujaan hati.
"Halo ...."
"Halo, Mas Duta. Aku kangen." Suara lembut Gayatri mengalun lembut di indra pendengarnya.
Suara dengan kalimat yang berhasil membuat Priyaduta mengembangkan senyum.
"Aku kangen Gendis, Mas."
Namun detik berikutnya, senyum pria itu terkulum, menahan tawa. Salah tingkah sendiri karena kepercayaan diri yang membumbung tinggi.
"Mau ketemu sama Gendis, hm?"
"Mau banget, Mas."
"Besok Mas jemput ke rumah, ya."
"Kalo jemput di GI aja boleh gak, Mas? Besok siang aku ada rapat di GI sama brand."
"Boleh, Gayatri. Nanti hubungi Mas aja kapan Mas harus jemput kamu, ya."
"Okay. Makasih, Mas."
"Sama-sama, Sayang."
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Gayatri tak bersuara. Priyaduta mendadak cemas. Ia khawatir ucapannya barusan membuat Gayatri risih.
"Gayatri ...."
"Mas, jantung aku, jantung aku cepat banget debarannya."
Priyaduta terkikik pelan. "Such a cute girl. Anyway, kamu bukannya lagi live ya tadi?"
"Udah kelar, Mas. Mas tadi nonton, ya?"
"Iya, tadi Mas nonton live-nya kamu. Mas sekarang jadi paham banget kenapa kamu disukai banyak orang, Sayang."
Panggilan itu lagi.
Jika sekali lagi Priyaduta mengucapkan kata 'Sayang', sudah dapat dipastikan, Gayatri akan segera menyambangi kediaman pria itu.
"I love your personality, Gayatri."
"Mas ...."
"I miss you."
Betul kata Arvan, Priyaduta teramat sigap dan cekatan.
Pun, pria itu tak suka berbasa-basi, tak suka tarik ulur, dan tak suka menyangkal atas apa-apa saja yang tengah dirasakan oleh hati.
"Kamu istirahat, ya. Sampai ketemu besok." Priyaduta tak membutuhkan balasan kata rindu, sebab tanpa harus diucap, pria itu tahu, di seberang sana Gayatri merasakan hal yang sama seperti dirinya saat ini.
"Sampai ketemu besok. I miss you more, Mas."
Belum sempat membalas ucapan gadis di seberang, panggilan telepon sudah lebih dulu diakhiri.
Priyaduta mengembuskan napas guna menetralkan segala anggota tubuh yang berdenyut tak menentu.
Setelah melewati berbagai babak dalam hidup, akhirnya kini pria itu kembali dihadapkan pada salah satu babak terindah.
Yakni, mencintai.
Mencintai Gayatri Sekarwangi.
◇사랑하다◇
Di balik masker berwarna putih yang menutupi separuh wajah jelita itu terdapat senyuman manis disertai lesung di pipi kanan dan dua lesung di bawah mata tatkala netra bermanik cokelat terang milik Gayatri melihat Priyaduta berderap mendekatinya.
"Udah lama selesai rapatnya?" Priyaduta mengudarakan tanya setelah tiba di salah satu kafe yang berada di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Tak lupa ia melabuhkan usapan nan lembut di puncak kepala Gayatri.
Gadis itu mendongak diiringi senyuman manis. Ia tatap lekat-lekat pria pemilik netra bermanik kelabu itu.
"Sekitar lima menit yang lalu, Mas. Mas Duta mau ngopi dulu atau langsung gerak?"
"Kita langsung gerak aja, yuk."
Gayatri mengangguk patuh, namun sebelum beranjak, gadis itu lebih dulu mengajukan tanya. "Mas, aku pakai masker gak apa-apa, 'kan?"
Priyaduta memiringkan kepala. Tangan pria itu terulur mengelus rambut Gayatri.
"Gak apa-apa," jawab pria itu seraya menggeleng pelan diiringi senyuman tipis.
Tanpa perlu dijelaskan, Priyaduta mengerti alasan Gayatri memakai masker.
Pria itu paham, kini Gayatri adalah seorang figur publik, tidak semua, namun beberapa pengunjung mal pasti mengenalinya.
Melihat Gayatri berduaan bersama seorang pria pasti akan menimbulkan tanya dan rasa penasaran oleh orang-orang yang mengenalinya.
Terlebih zaman sekarang, orang-orang terlampau sigap mengandalkan gawai untuk memotret atau merekam hal yang menurut mereka akan mendulang berita besar jika menyebarkan hasil bidikannya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hubungan Gayatri dan Priyaduta.
Namun pria itu mengerti, Gayatri hanya menghindari berita panas yang dilebih-lebihkan media.
"Let's go!"
Keduanya lantas melipir meninggalkan kafe.
Pelan-pelan, Gayatri melengkungkan senyum. Sejak melangkah ke luar dari kafe, ia memperhatikan bahwa Priyaduta berusaha menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki Gayatri.
Sebisa mungkin Priyaduta tak melangkah lebar-lebar agar tetap berjalan bersisian dengan gadis itu.
Hanya tindakan kecil, namun terasa begitu spesial bagi gadis jelita itu.
"Gayatri."
Si empunya nama segera mendongak, menatap pria bertubuh jangkung di sampingnya.
"Ya, Mas?"
Priyaduta tak langsung menjawab, pria itu mengulurkan tangan, menengadahkan telapak tangan.
"Would you like to hold hands?"
Gayatri tertawa pelan, kepala gadis itu refleks menunduk, lalu menggigit bibir bawahnya sekilas.
Detik berikutnya ia kembali mendongak. Pelan-pelan, menganggukkan kepala sembari meletakkan tangan di atas tangan pria itu.
Lekas Priyaduta menggenggam tangan Gayatri, lalu menautkan jari di sela jemari gadis jelita itu.
Debar jantung mereka memompa seirama. Rasa gugup bercampur padu dengan rasa gembira.
"Kita perlu catet tanggal pertama kali pegangan tangan, gak?"
Gayatri tersentak kaget. Sambil terkikik ia mengatakan, "Mas! Emang kita ABG puber?!"
◇사랑하다◇
Gayatri melepaskan sabuk pengaman tatkala Aston Martin yang dikendarai Priyaduta tiba di halaman rumah pria itu.
Keduanya langsung disambut oleh seorang petugas keamanan.
Priyaduta mengulas senyuman, lantas memberikan kunci mobil kepada sang petugas yang bekerja di rumah itu sejak beberapa tahun silam.
Sementara Gayatri tampak mengamati rumah berdesain industrial itu.
Luas, estetik, dan mewah.
"Yuk, masuk."
Gayatri mengangguk, lalu melangkah memasuki rumah melalui pintu samping yang terletak di sisi sebelah kanan.
Menyusuri koridor menuju ruang utama, namun saat tungkai menjejaki ujung koridor, Gayatri terpaku untuk sesaat.
"Wah!" Selanjutnya seruan takjub mengudara.
Foto-foto bernuansa hitam putih tertata rapi di dinding berkonsep unfinished itu.
"Semua foto ini hasil bidikan Mas Duta?" Gayatri mengajukan tanya sambil memandangi foto seorang pemuda, Adhikari Gunadhya Prabukusumo, adik pria itu.
"Betul." Priyaduta menyahuti, ia mengikuti arah pandang gadis di sampingnya. Memandangi sosok pemuda yang teramat dirindukan.
Detik berikutnya, Gayatri mengulas senyum tatkala mendapati potret Gendis si kucing berbadan gemuk menatap lurus ke arah kamera sambil menjilati kakinya.
"Bagus-bagus banget fotonya, Mas. Estetik banget." Pujian terucap begitu tulus.
Selaku orang yang sangat menyukai fotografi sejak zaman sekolah dulu, hasil bidikan pria itu tak pernah mengecewakan.
"Suatu hari nanti, foto kamu pasti bakal terpajang di sini."
Aw!
"Foto kita berdua juga ya, Mas? Sambil pakai pakaian pengantin."
Buru-buru gadis itu berderap menjauh dari jangkauan Priyaduta. Pria itu tampak tersenyum sambil menggaruk dahinya yang tidak gatal sama sekali.
Lekas pria itu menyusul langkah kaki Gayatri. Di sepanjang melalui koridor, gadis itu tak bosan mengamati foto-foto yang tertata di dinding.
Hingga langkah gadis itu berhenti di ruangan semi outdoor bertabur pohon hias. Tanaman Monstera berukuran besar juga menghiasi sudut ruangan.
Ada pula kolam renang terbentang luas sekali.
Di tengah ruangan berlantai kayu berwarna cokelat gelap itu terletak empat buah kursi dan satu meja di tengahnya. Area yang biasanya menjadi tempat Priyaduta bersantai di pagi hari sebelum melakukan aktivitas.
"Nyaman banget rumahnya, Mas," tutur Gayatri sembari mengikuti langkah kaki Priyaduta menuju ruang tamu.
Senyuman mengembang dari bibir pria itu sebagai tanggapan atas pujian yang dituturkan Gayatri barusan.
Setelah itu, melalui pintu kaca keduanya memasuki ruang keluarga.
Netra Gayatri berbinar tatkala mendapati si kucing belang tiga mengeong menyambut mereka.
Gendis tampak duduk manis di atas sofa berukuran sangat panjang berwarna cokelat tua.
"Kangen banget sama Gendis."
Segera kaki Gayatri melangkah hendak mendekati si belang tiga, namun belum sampai beberapa langkah, pergelangan tangan Gayatri sudah lebih dulu digenggam oleh Priyaduta.
Kening gadis itu mengerut dalam. Melalui netra ia bertanya-tanya.
"Sebentar, ya. Jangan sentuh Gendis dulu."
Gayatri kian Kebingungan.
Priyaduta tak bersuara, pria itu melangkah mendekati meja sudut ruangan, mengambil sebuah apron berwarna cokelat.
"Untuk apa, Mas?"
"Kamu kan mau main sama Gendis, Mas takut ntar bulu Gendis nempel di baju kamu, kan Mama ada asma, takut nanti asmanya Mama kamu kambuh." Priyaduta menjelaskan dengan begitu lembut sembari mengalungkan apron yang cukup lebar di leher Gayatri.
"Kalau pakai ini bisa meminimalisir bulunya Gendis nempel di baju kamu."
"Makasih ya, Mas. Mas Duta pengertian banget." Bukan hal besar, namun entah mengapa mampu menjalari hangat di hati.
"Bukan apa-apa, Sayang."
Aduh!
"Lancar banget ya manggil sayangnya." sindir gadis itu, nadanya sewot dibuat-buat.
"Kamu gak suka?" Buru Priyaduta secepat kilat. Sungguh khawatir Gayatri tak menyukai panggilan itu.
"Kangen banget." Alih-alih langsung menyahuti pertanyaan Priyaduta, Gayatri malah mendekap si belang tiga.
"Emang boleh panggil sayang tapi belum jadian?" Gadis itu balik bertanya setelah memosisikan duduk di sofa berukuran panjang.
Priyaduta mendengkus senyum, detik berikutnya duduk menyebelahi Gayatri.
Gadis itu memusatkan fokus pada si gemuk Gendis sambil mengelusi perutnya.
"Forget it, Mas. Aku bercanda."
"Gak bercanda pun gak -"
Belum sempat pria itu menyelesaikan kata, telepon genggamnya menyela.
Berdering tanda panggilan masuk.
"Bentar, ya." Izin pria itu, lalu merogoh saku yang terdapat di sisi bagian dalam jas.
Mengeluarkan gawai dari saku, lalu membaca nama si penelepon.
Gayatri membatu di tempat ketika netranya tak sengaja melihat kontak nama penelepon.
Kasandra Devi is calling ....
Lama Priyaduta memandangi layar gawai. Menimbang, haruskah ia menjawab panggilan wanita itu? Atau sebaiknya tidak perlu?
Namun jika tak dijawab, maka wanita di seberang tiada henti menghubungi sampai panggilannya diterima.
"Kenapa enggak diangkat, Mas? Aku ganggu, ya? Kalo gitu aku ke belakang dulu." Gayatri gegas bangkit dari atas sofa, bersiap melangkah entah ke mana.
Melihat nama seorang perempuan di layar gawai, berhasil membuat Gayatri tertampar kenyataan.
Yang benar saja, pria seusia Priyaduta tak mungkin tidak memiliki seorang kekasih hati.
◇사랑하다◇