🍁🍁
Saat istirahat pertama Geo membagikan paper bag pada teman-temannya, mengundang pujian dari Orlando. Pasalnya ia dan Raga diberikan jam tangan bermerek rolex.
"Yo, lo nggak salah?" tanya Raga, ia terlihat ragu itu menerimanya. Raga cukup asing dengan barang-barang branded, Geo memang senang berbagi terlebih di hari-hari pentingnya.
"Enggak, hari ini nyokap ulang tahun. Tahun-tahun sebelumnya gue kasih yang biasa aja karena tabungan gue belum cukup, tahun ini bisa ke beli ya walaupun sedikit di bantu Handry." ujar Geo terlihat santai.
"Handry bokap lo anjir," sahut Orlando.
Ia memperhatikan pergerakan Khanza dan Keisha yang tengah mencoba kalung liontin bola silver, perempuan itu juga ikut kecipratan sama dengan Keisha. Kalung Geo berikan pada mereka berdua perbedaannya hanya liontin, Geo memberi Keisha kalung moissanite.
"Suka nggak?" tanya Geo.
"Suka!" keduanya serempak menjawab.
"Kak Geo makasih, semoga Mamahnya Kak Geo sehat selalu ya, setiap langkahnya dilindungi oleh yang kuasa." ujar Khanza, sambil mengadahkan tangan.
"Gue doain apapun terbaik buat Mamah lo, semoga bisa di acc sama yang diatas." sambung Keisha.
Terpampang senyum diwajah Geo menatap satu persatu teman-temannya yang memberikan ucapan dan doa untuk Mamahnya dihari lahirnya.
"Thanks, karena kebetulan besok weekend jadi paginya gue ngundang lo semua untuk merayakan hari lahirnya nyokap, lokasinya di villa keluarga. Gue jemput kerumah masing-masing, kita berangkat bareng ke sana." kata Geo.
"Asik makan-makan!" Orlando berseru.
"Kenapa lo ngundang kita?" Raga protes, sebagai orang introver, ia merasa keberatan.
"Nyokap bilang dihari ulang tahunnya dia mau ngikutin kemauan gue, jadi ya gue minta untuk undang kalian ke besok--dan dia setuju."
"Tenang Ga, disana cuma ada adik nyokap gue sama suaminya. Sisanya ya kita-kita doang." lanjut Geo.
"Em--sorry guys kayaknya gue nggak bisa ikut besok. Gue pergi sama Damian. Nggak apa-apa kan Yo?" tukas Keisha.
"Lo izin sama Mami lo?" tanya Raga, matanya tak lepas mengintimidasi Keisha.
Keisha hanya diam tak membalas.
Geo mengendikkan bahunya. "Ya terserah sih."
"Yang jelas berarti, Raga, Orlando sama Khanza ikut." kata Geo mutlak.
"Khanza sama Orland aja." usul Raga bermaksud menghindar.
Geo menggeleng tegas. "Oh enggak bisa, pokoknya lo Ga, Orland, sama Khanza mesti ikut. Gue jemput besok pagi jam tujuh."
"Kalau gue sih ayo-ayo aja," sahut Khanza.
"Ayolah Ga, sekali ini aja ikut. Kalau malem kan kalian nggak bisa, ngajak lo sama Khanza itu udah kayak ngundang artis yang schedule nya padat." celetuk Geo.
Raga berdehem. "Ya, oke gue datang."
"Nah gitu dong bro!" Geo berdiri merangkul Raga.
🍁🍁
Esok harinya mobil Alphard yang Geo kemudikan itu sampai didepan rumah Raga, bunyi klakson yang ulang-ulang kali ia bunyikan untuk menjahili Raga yang tengah memakai sepatu di teras rumahnya.
Selesai memakai sepatunya, Raga berdiri menghampiri mobil Geo. Ia masuk ke kursi belakang, dengan kursi samping kemudi yang sudah diisi oleh Orlando.
"Wangi banget lo Ga, kemeja hitam. Raga tau banget rahasia bikin cewek meleleh, Khanza bisa tambah kepincut sih kalau lihat ini." komentar Orlando langsung heboh saat Raga masuk kedalam mobil, wangi musk yang menjadi ciri khas Raga.
"Iya lagi, parah Khanza mesti tutup mata sih ini." Geo ikut-ikutan, sebelum menjalankan mobilnya menuju kost Khanza.
Disana sudah ada Khanza yang menunggu di halte yang tak jauh dari area kostnya. Khanza masuk kedalam mobil Geo setelah pintunya bergeser saat dibuka oleh Geo. Khanza duduk disamping kiri Raga.
"Khanza," panggil Geo.
Khanza berdehem. "Apa Kak?" tanyanya yang tengah bercermin menggunakan kamera handphonenya.
Geo menatap Khanza dari spion mobil dalam. "Lo tambah cantik pake kalung itu."
Khanza menyentuh lehernya kalung liontin bola silver yang melingkar dilehernya tampak cocok dipakai Khanza, ditambah dengan Khanza menggunakan jeans putih dengan atasan biru langit.
"Beneran Kak? Gue sempat nggak pede tadinya," ujar Khanza.
Orlando ikut melirik kebelakang. "Darimana letak nggak pedenya Za?" tanya Orlando menyayangkan.
"Takutnya ada yang bilang gue sok cantik," kata Khanza terang-terangan menyindir Raga yang disampingnya.
Laki-laki itu menoleh, memutar bola matanya. "Emang."
"Dih emang cantik, mana tuh yang bilang kayak gitu?" Geo menyahut, ia tidak terlalu fokus dengan balasan Raga tadi.
"Orang ganteng sih sayangnya," ujar Khanza, nada bicaranya melemah ketika menyadari ketampanan Raga hari ini yang berkali-kali lipat.
Dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, maksudnya apa coba?
Wanginya yang selalu membuat Khanza ingin memeluk laki-laki itu erat-erat, namun sayangnya Khanza masih mencoba menjaga sikap.
Perjalanan mereka menuju villa keluarga Geo memakan waktu sekitar satu jam lebih sampai akhirnya tiba ditempat itu, Geo lebih dulu memarkirkan mobilnya bersama dengan dua mobil lainnya yang sudah berada ditempat.
Villa bernuansa serba biru dengan pemandangan hijau sekitar villa itu memanjakan mata mereka yang baru saja sampai.
"Wah Yo, lo punya villa sebagus ini nggak pernah ngajak kita-kita." pungkas Orlando.
"Namanya juga villa keluarga," timpal Khanza.
Geo tertawa. "Bener, gue aja jarang kesini selain ada acara-acara penting."
"Memangnya disini sering ada acara apa?" tanya Raga.
"Anniversary perusahaan, pernikahan, pertunangan." jawab Geo.
"Berarti lo kalau tunangan sama nikah disini dong Yo?"
Geo mengangguk. "Iya, gue kalau nikah sama Khanza disini." celetuk Geo.
"Eh kok gue? Gue mau nikahnya sama Kak Raga," Khanza langsung menggandeng tangan Raga, sambil mendongak menatapnya.
Raga diam saja tak protes, ia menyeringai kecil pada Geo seolah mengatakan pada laki-laki itu ia sudah menang tanpa harus bertanding.
"Yaelah bercanda, muka lo juga biasa aja dong Ga." kata Geo protes.
"Selain lo siapa lagi yang mau nikah disini Yo?" tanya Orlando lagi, ia seperti tidak kehabisan penasaran untuk bertanya-tanya tentang siapa saja yang akan melangsungkan pernikahan di villa mewah ini.
Geo jengah namun tetap menjawab. "Sepupu gue, tuh baru datang."
Mereka semua mengikuti arah pandang Geo pada mobil sepupunya yang baru saja datang, mobil Mercedes yang baru saja memasuki area villa.
"Kok kayak kenal mobilnya?" gumam Khanza.
Orlando menoleh kearah Geo, ia memincingkan matanya. "Yo, perasaan lo nggak pernah bilang kalau punya sepupu."
Geo tampak diam saja, dengan wajah tak berekspresi.
"Hah?!"
Mereka kompak memekik saat yang turun dari mobil itu adalah Damian yang disusul oleh Keisha, Damian dan Keisha juga terkejut.
Damian dengan langkah lebarnya menghampiri Geo dan teman-temannya, dibelakangnya Keisha menyesuaikan langkah kakinya.
"Geo sialan, ngapain temen-temen lo ada disini?!" tukas Damian dengan napasnya tak teratur, ia menatap satu persatu Geo dan teman-temannya. Ia berhenti menatap Raga dengan tajam.
"Lo ajak si idiot ini?" cibir Damian telunjuknya mengarah pada dada Raga.
Geo menepis tangannya. "Turunin tangan lo yang kurang ajar itu," ujar Geo. "Ini ulang tahunnya nyokap gue. Nyokap gue yang punya acara, jadi gue berhak undang siapapun yang gue mau." lanjutnya.
"Geo lo--arghhh!" Damian menggeram.
Ia menarik tangan Keisha. "Kita pergi dari sini--"
"Iya hallo om?"
"Ini Geo sama teman-teman udah didepan, ada Damian juga sama pacarnya juga disini tapi kayaknya dia mau pergi lagi--oh suruh kedalam ya, oke om kita kesana sekarang." Geo menempelkan handphonenya ditelinga terhubung dengan Tommy diseberang sana.
Damian berbalik. "Fuck!" umpat Damian sebelum akhirnya berjalan bersama Keisha mendahului Geo dan yang lainnya.
Orlando dan Khanza masih shock ditempat, mereka berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
"Geo, jelasin yang sebenarnya!" tukas Raga.
"Yo maksudnya apa? Lo sama Damian itu sepupu?" tanya Orlando.
"Kak, jadi selama ini lo punya hubungan darah sama pangeran berkuda Mercedes itu?" tambah Khanza.
Geo memijit pelipisnya, bingung harus menjelaskan darimana. "Nyokap gue udah nunggu di halaman belakang, jadi kita langsung ke sana aja. Oke?"
"Geo anjing lo, lo pikir enak penasaran gini?" maki Orlando pada temannya itu. Geo malah berjalan santai masuk kedalam.
Geo membawa mereka ke halaman belakang, dipinggir kolam renang yang menghadap langsung ke hutan. Disana sudah ada orang tua Geo, orang tuanya Damian dan sudah ada Damian yang mengenalkan Keisha pada keluarganya.
"Nah itu anaknya baru datang," ujar wanita berambut sebahu dengan sedikit kerutan pada wajahnya.
Geo maju untuk memeluk Mamahnya. "Happy birthday love," katanya nyaris berbisik.
"Makasi sayang, udah deh semalam juga udah ngucapin berapa kali." ujar Amara menepuk kepala putranya dengan sayang.
"Iya, kalau Papah yang ulang tahun kamu nggak ada tuh ngucapin apa-apa." sahut Handry yang duduk dengan pria sebaya dengannya.
"Tuh Papah kamu iri,"
"Handry emang gitu, iri dengki." ujar Geo tertawa.
"Papah, bukan Handry!" tegur Mamahnya.
"Ngomong-ngomong Geo, mana pacar kamu. Ini Damian sudah bawa pacarnya dikenalin sama om dan tante." ujar Tommy--papahnya Damian yang duduk disamping Handry.
Geo menanggapinya dengan tertawa. "Lagi diminta sama Tuhan om," katanya.
"Ohiya, kini teman-teman Geo. Mah ini Orlando," Geo sedikit mendorong Orlando untuk maju didepan Mamahnya.
"Mamah kenal ini mah, cuma udah jarang ketemu aja. Apa kabar Orlando, yang waktu itu langsung ngenalin diri sebagai anak Tuhan dan punya darah keturunan dari China dan Manado." ujar Amara menirukan ucapan Orlando waktu itu.
"Hehehe tante masih ingat aja, selamat ulang tahun Tante Orlando bawa kado gelang buatan Mami. Semoga suka ya." Orlando menyerahkan kotak kecil berisikan gelang buatan Maminya.
"Aduh makasih Orlando,"
Selanjutnya Raga maju untuk menyalami tangan Amara. "Selamat ulang tahun tante, segala doa yang baik untuk tante. Maaf nggak sempat nyiapin kado,"
Amara tertawa, ia menggeleng pelan."Nggak apa-apa, Raga ya? Udah lama nggak lihat soalnya, tante dengar-dengar kamu kerja di coffe shop?"
"Iya Tante untuk nambah-nambah uang jajan,"
Amara memberi elusan di kepalanya. "Bagus itu,"
Selanjutnya ada Khanza yang meremas jari-jarinya, ia juga tidak enak tidak membawa sesuatu untuk Mamahnya Geo dihari ulang tahunya.
"Ini Khanza Mah," kata Geo memperkenalkan Khanza.
Khanza tersenyum tipis, pada Amara.
Wanita itu meraih kedua bahu Khanza, lalu ia bergantian menatap Geo. "Geo ini," Amara tertegun sejenak melihat Khanza.
Geo tersenyum simpul mengangguk.
Tanpa diduga Amara memeluk Khanza erat-erat layaknya orang yang sudah lama tidak bertemu. "Glory,"
"Khanza Mah, bukan Glory." potong Geo, tak ingin Mamahnya berpikir jauh.
Khanza mencoba membalas pelukan Amara, walaupun ia sendiri masih kaget mendengar Mamahnya Geo menyebutnya dengan nama Glory.
Handry ikut menghampiri istrinya yang masih memeluk Khanza.
"Mah, lepas. Kasihan itu anaknya kebingungan." katanya.
Amara melerai pelukannya dengan Khanza, walaupun masih sangat ingin memeluk perempuan itu terbukti ia masih memegang bahu Khanza dengan erat.
"Enggak apa-apa kok Tante," ujar Khanza mengijinkan Amara untuk memeluknya lebih lama.
Amara menangis lagi dan kembali memeluk Khanza.
"Kamu mirip banget sama Glory," lirih Amara, setelahnya ia benar-benar melepas pelukannya dan Khanza.
"Kamu nggak perlu bawa kado, Tante udah merasa terobati dengan kedatangan kamu. Terimakasih sudah datang ya Khanza," ujar Amara.
Khanza mengangguk cepat, ia juga senang bisa bermanfaat sedikit untuk orang lain walaupun ia tidak tahu siapa itu Glory.
"Glory itu adiknya Geo yang beda setahun dengannya, anak kami yang meninggal tiga tahun yang lalu." Handry menjelaskan yang menjadi pertanyaan Khanza.
"Halah drama!" sahut Damian dari sana yang menemani Keisha tengah berbincang dengan Almira, Mamahnya.
"Damian!" tegur Tommy.
Geo mengambil ancang-ancang untuk menghampiri Damian, namun langsung ditahan oleh Handry.
"Jangan rusak acara Mamah!" peringatnya.
Tommy ikut melerai Damian sebelum berlanjut konflik antara sepupu itu, ia merangkul putranya untuk menghampiri Geo dan yang lainnya, diikuti dengan Almira dan Keisha.
"Om ini teman-teman Geo, ini Raga." ujar Geo beralih memperkenalkan teman-temannya, dimulai dari Raga.
"Ohiya, saya Tommy. Ayahnya Damian, salam kenal ya." pria itu menjabat tangan Raga secara gentle.
Raga membalas uluran tangan Tommy, sambil tersenyum tipis. "Raga,"
"Tante ini Raga," kata Geo beralih mengenalkan Raga pada Almira.
"Raga yang--"
"Kenapa Tante?" tanya Raga, alisnya tersentak bersama-sama.
"Ada apa?" tanya Tommy ikut penasaran dengan keterkejutan istrinya.
"Iya Tante, ini Raga. Ga, ini Tante Almira nyokapnya Damian." Geo menyela.
"Bukan nyokap gue, nyokap gue udah lama mati." sahut Damian, mendapat protes dari banyak orang.
Khanza yang menyaksikan semua itu tak menyangka jika keluarga Geo penuh dengan drama keluarga.
🍁🍁
Hari itu makan siang di pinggir kolam renang sedang berlangsung, kolam renang yang menghadap langsung ke hutan dengan pepohonan hijau memanjakan mata. Siang ini cuacanya agak mendung dengan semilir angin menyapa kulit.
"Khanza nggak mau nambah lagi?" tanya Amara, wanita itu sejak tadi selalu memberikan perhatian lebih untuk Khanza.
Khanza menggeleng pelan. "Enggak makasih tante, Khanza nggak bisa makan banyak, bisa cepat kenyang."
Amara menatapnya dengan sendu. "Loh asam lambung kamu naik ya sayang, padahal porsi makan kamu normal."
Khanza mengangguk pelan, ia memang sering merasakan hal ini.
Setelah menyelesaikan makan siang dipinggir kolam renang, berlanjut dengan mengobrol ringan.
"Berarti Keisha, Geo, Raga, Orlando dan Khanza. Kalian semua satu sekolah ya?" tanya Tommy ditengah-tengah obrolan.
"Iya kita berempat satu angkatan, Khanza adik kelas kita." jawab Geo.
"Kalau Glory masih ada, pasti Glory juga udah seumuran Khanza." kata Amara kembali membuka luka lama.
"Mbak," tegur Almira pada kakaknya agar tidak terus-terusan mengungkit persoalan Glory.
"Aku hanya membayangkan saja, coba saja kalau waktu itu aku dan Mas Handry lebih bisa kasih perhatian untuk Glory mungkin anak kami nggak akan merasakan kesepian." sesal Amara.
"Mah, udah ya?" pinta Geo.
"Kalau nggak karena lo juga Yo, mungkin Glory masih sama-sama kita sekarang." tuntut Damian yang ikut-ikutan.
"Damian, diam!" Tommy bersuara untuk menengahi.
"Ngomong-ngomong waktu itu saya bertemu dengan Erina--ibunya Keisha, di seminar bisnis. Sempat ngobrol-ngobrol sebentar," ujar Tommy mengalihkan pembicaraan.
Hal itu sontak membuat ke-lima remaja itu terdiam, bahkan Keisha gelagapan sempat kesulitan menelan salivahnya sendiri. Berbeda dengan Damian, laki-laki itu justru terlihat santai dengan memainkan rambut Keisha yang terurai.
"Om ngomong apa aja ke Mami?" tanya Keisha was-was.
"Ya ngobrol seputar tentang bisnis, apalagi. Kalau tahu Damian punya hubungan sama kamu mungkin saya sudah membahas tentang masalah kedepannya anak-anak kita?" celetuk Tommy.
Jawaban Papahnya Damian membuat Keisha dapat bernapas lega.
"Kenapa sayang, kenapa kamu kelihatan panik?" bisik Damian ditelinga Keisha.
🍁🍁
Didalam villa keluarga itu juga difasilitasi dengan tempat gym, dan lapangan tenis meja yang diberi atap, sehingga terkesan kalau ruangannya tertutup, namun tetap memperlihatkan pemandangan pepohonan hijau sekitar.
Hari itu mereka juga berganti bermain tenis meja, dari mulai Tommy, Handry, hingga anak muda, Geo, Raga, Orlando, Damian. Kapan lagi coba lihat mereka akur begitu walaupun ada saja pertengkaran di sela-sela kegiatan itu.
"Raga, ngajak berantem lo? Sengaja mukul bolanya yang keras biar kena ke muka gue?!" hardik Damian memegangi pipinya yang terkena bola dari arah Raga.
"Eh bilang aja lo nggak bisa main ya anjing, dari tadi lo juga mainnya nggak bener," sembur Orlando berdiri disamping Damian.
"Udah deh kalau baperan mending lo out aja." usir Geo pada Damian.
Damian menggerutu, tidak ada yang berpihak padanya. Mereka seakan menyerang Damian bersamaan, bahkan Geo sendiri yang berstatus sepupunya ikut mencibir.
"Sepupu lo tuh emang ngeselin," tambah Raga menaruh raketnya dengan kesal.
"What happened boys?" Tommy datang bersedekap dada setelah mengambil minum untuk mereka, menghampiri sekumpulan anak-anak laki-laki yang sejak tadi tidak pernah berhenti berdebat dengan hal kecil.
Ia memberikan mereka satu persatu air mineral yang langsung diambil oleh mereka. Keempat laki-laki itu mendudukkan diri bergabung dengan Tommy dilapangan tertutup.
"Keisha dimana Pah?" tanya Damian menyeka keringatnya.
"Di kolam renang sama Mamahmu, Tante, dan Khanza. Kamu jangan kesana dulu mereka lagi berenang, bisa-bisa kamu di gebukin karena ketahuan ngintip para putri duyung." kelakar Tommy.
Mereka ikut tertawa mendengarnya.
"Yang di paper bag itu apa?" tanya Damian melirik Papahnya paper bag yang berada disamping Tommy.
"Kamu nggak perlu tahu, kata istri Papah begitu." timpal Tommy.
"Ngomong-ngomong Papahnya Geo kemana Om?" tanya Geo melirik sekitar, Handry sudah tidak lagi terlihat.
"Udah pergi, klien minta bertemu mendadak." jawab Tommy.
Geo menghela napas berat. "Kebiasaan, nggak bisa sekali aja nikmatin waktu sebentar aja."
Orlando menepuk pundak Geo. "Waktu adalah uang Yo,"
"Mending kita main ulang lah yok!" Orlando berdiri lebih dulu.
"Kalian main aja, gue masih mau duduk." kata Raga, ia masih duduk dengan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
"Raga?" panggil Tommy yang masih duduk disamping Raga.
Raga menoleh dengan satu alisnya terangkat. "Kenapa om?"
"Saya hanya memberi ini untuk kamu." ujar Tommy menyarahkan sebuah paper bag, berisikan kue brownies kukus.
Raga terdiam sebentar. "Kenapa untuk saya?"
"Ambil, brownies ini di buat istri saya, saya juga tidak tahu apa tujuannya saya pikir ini untuk Mamahnya Geo yang sedang berulang tahun, ini juga permintaan istri saya untuk mengajak kamu mengobrol karena saya lihat juga kamu kesulitan untuk bersosialisasi." ujar Tommy.
Terdengar aneh untuk Raga, terlebih Mamahnya Damian itu tahu kegemarannya pada kue brownies kukus yang tak jarang orang yang tahu dia menyukai itu, hanya Bunda, Geo dan Orlando. Tidak mungkin Geo kurang kerjaan menceritakan hal itu.
"Terimakasih Om," ujar Raga.
"Ya, sama-sama."
Mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Tommy kembali buka suara "Kamu juga tidak pandai membuka topik obrolan lebih dulu ya?" tebak Tommy, karena ia juga merasakan hal yanf yang sama. Kalau bukan karena permintaan istrinya, ia juga tidak akan mau mengajak mengobrol orang asing lebih dulu, kecuali kolega bisnis.
"Iya," jawab Raga.
"Om sendiri kenapa mau disuruh Tante Almira untuk ajak saya ngobrol?" tanya Raga cukup penasaran.
Tommy tersenyum simpul. "Saya selalu menuruti permintaan Almira, apapun itu yang menjadi permintaan Mamahnya Damian saya turuti, selagi saya sanggup."
Raga mengangguk pelan, sepetinya Tommy sangat menyayangi ibu dari Damian itu. Tapi yang menjadi pertanyaan Raga dalam kepalanya kenapa Damian menjadi anak yang pembangkangan padahal ia lahir dari orang tua yang saling mengasihi.
"Kamu tidak mau tahu alasannya?" tanya Tommy.
"Sebenarnya saya tidak pernah mau menceritakan ini pada orang asing, tapi sepertinya kamu bisa diajak berkomunikasi dengan baik." lanjutnya.
Entah kenapa Raga tertarik untuk tahu. "Kenapa om?" tanyanya.
"Saya pernah melakukan kesalahan besar, sangat besar. Saya selalu menuruti kemauan Almira itu sebagai bentuk penebusan dosa saya yang sepertinya walaupun saya memperlakukan Almira sebaik mungkin dosa itu sulit terhapuskan, bentuk syukur saya Almira masih bertahan sampai detik ini dengan saya."
"Tentunya kesalahan itu saya tidak akan bilang sama kamu, Damian saja tidak tahu hal itu. Anak itu tidak bisa diajak komunikasi dengan benar, ia bisa langsung meledak-ledak. Ya walaupun saya mengakui itu adalah cerminan dari saya sendiri, tapi saya harap anak itu tidak akan mengulangi hal yang sama dengan yang saya perbuat." ujar Tommy panjang lebar.
Raga mendengarkan dengan seksama penjabaran Tommy, ia jadi penasaran dengan kesalahan fatal apa yang pernah dilakukan Papahnya Damian, namun Raga tidak mungkin melampaui batas untuk bertanya-tanya lebih.
"Om, walaupun saya tidak tahu kesalahan apa yang Om perbuat. Jangan diulangi lagi, saya punya Bunda di rumah saya nggak suka ada yang memperlakukan beliau dengan buruk." kata Raga.
Tommy mengangguk. "Kamu anak siapa-maksudnya siapa tahu saya kenal orang tua mu."
"Bunda saya orang biasa tapi punya peran yang luar biasa dihidup saya,"
Tommy cukup kagum dengan jawaban Raga. "Oh ya, kalau ayah kamu?" tanyanya, ia tidak sabar mendengar jawaban Raga tentang siapa pria hebat yang ikut serta mendidik anak ini.
Raga terdiam sejenak, raut wajahnya langsung berubah, rahangnya mengeras. "Saya tidak punya seseorang yang namanya 'ayah' itu."
Tommy gelagapan, rupanya ia salah bertanya seperti itu pada Raga. "Saya minta maaf Raga, saya tidak bermaksud untuk menyinggung."
Raga mengangguk mengerti, banyak kata-kata yang lebih menyinggung dari itu yang pernah ia terima dengan sengaja, menurut Raga hal itu tidak ada apa-apanya dibandingkan cemoohan yang pernah ia terima sejak kecil.
🍁🍁
Geo mengajak Raga, Orlando, dan Khanza, ke salah satu ruangan yang banyak sekali koleksi foto-foto keluarga. Dari mulai mendiang kakek neneknya Geo dari Mamahnya, foto pernikahan orang tua Geo dan Damian, lalu ada foto-foto Geo dan Damian sewaktu kecil.
"Geo kecilnya bantet!" ejek Orlando menunjuk pada salah satu foto Geo kecil yang menunjuk deretan giginya dan memperlihatkan pipi chubby, Orlando tertawa dibuatnya.
"Tapi gemes loh," Khanza ikut berkomentar.
"Nah, Khanza doang yang waras." ujar Geo.
Khanza mengalihkan pandangannya pada pigura foto disamping foto kecil Geo. "Damian kecilnya kayak orang bener, gedenya ngeselin ya."
"Ya, hidup mana ada yang tahu Za kedepannya gimana. Beberapa orang punya alasan tersendiri bagaimana karakternya terbentuk." timpal Geo, terkekeh kecil.
"Ada beberapa orang yang dibenturkan beberapa kali dulu baru terbentuk ya?" sambung Orlando, Geo mengangguk.
"Cie belaian sepupunya," celetuk Khanza.
"Gue masih nggak nyangka lo sama Damian sepupuan," sahut Raga, berdiri tak jauh dari mereka sejak tadi diam namun tetap pasang telinga dengan percakapan mereka sambil mengamati foto-foto yang lainnnya.
Ia tampak serius dengan matanya terus fokus mengamati foto-foto yang terpajang diruangan itu, dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana.
Geo tertawa menanggapinya, ia mendekat kearah Raga diikuti Orlando dan Khanza.
"Kita nggak saling mengakui kalau sepupuan, gue sama Damian sering berseteru. Ada beberapa hal yang gue nggak suka di dia, dan begitupun sebaliknya. Gue rasa juga nggak penting kan, buat menyuarakan ke semua orang kalau gue sama dia sepupuan." jelas Geo.
Raga manggut-manggut saja, ia mendongak keatas. Foto Geo dan seorang perempuan berumur lima belas tahun itu cukup menyita perhatiannya.
"Itu Glory,"
"Gue nggak lupa." balas Raga.
Ia sempat melihat beberapa kali Glory adiknya Geo itu membuntuti kakaknya namun karena egonya Geo yang amat besar saat itu, beberapa kali Geo memberi penolakan.
"Buat Khanza, dia pasti bertanya tentang Glory setelah tadi nyokap gue nyebut dia dengan nama adik gue. Nyokap rindu sekaligus menyesal karena udah pernah sia-siakan Glory yang masih butuh dia waktu itu, semuanya mengabaikan Glory." tutur Geo terus memandang foto Glory.
"Termasuk gue sendiri, karena kita disitu mikirin diri sendiri tanpa sadar kita acuhin Glory yang lebih butuh kasih sayang. Handy sempat khilaf sama sekretarisnya, Mamah masih berusaha pertahankan pernikahan mereka. Gue butuh Papah dan Mamah, dan Glory ternyata lebih butuh kita semua." lanjut Geo.
"Glory nggak dapat kasih sayang dari kita, gue berusaha nyibukin diri sama dunia gue sendiri. Sementara Glory ternyata dia sendiri, dia butuh teman cerita tapi malah salah tempat. Adik gue berakhir ditangan cowok nggak benar, di umurnya yang masih belia nasibnya udah buruk." Geo berkata lirih, suaranya sempat tertahan oleh sesuatu yang mengganjal.
"Kak," Khanza berjinjit mencoba menyentuh pundak Geo.
Laki-laki itu menunduk memijit pelipisnya, bayangan tiga tahun lalu saat Geo menemukan adiknya yang terkapar tak bernyawa dengan bersimbah darah di kamarnya.
Dengan meninggalkan secarik kertas yang ditulis dengan tinta hitam, tak banyak kata terangkai disana.
'Kak Geo, aku udah rusak. Maaf.'
"Adik gue minum sesuatu buat penggugur kandungannya, dia juga ikut meregang nyawa. Cowok itu entah kemana larinya," gumam Geo.
"Gue sempat tahu dia punya pacar tapi gue nggak coba untuk jaga dia Za, gue abai sama adik gue sendiri." racau Geo.
Khanza yang tengah memegangi lengan Geo, mengamati beberapa pigura foto Glory. Mata besar bulatnya sangat mirip dengan Khanza, bedanya Khanza memiliki tahi lalat di dekat mata kirinya.
"Cantik ya Glory," puji Khanza, ia tak berbohong adiknya Geo itu memiliki wajah yang manis.
"Iya, sayang banget adek lo udah nggak ada Yo. Kan nanti bisa sama gue, biar gue bisa jadi adek ipar lo." kelakar Orlando memecahkan suasana.
Geo mendengus. "Kalau seandainya Glory masih ada, gue nggak akan biarin Glory jatuh ke cowok buaya macem lo."
Orlando menurunkan kedua bahunya. "Yah, terus sama siapa dong? Tenang aja Yo nanti nggak bakalan gue ajak susah,"
Geo melirik Raga. "Sama Raga, Raga pasti nggak bisa nolak adik gue."
"Ih lo tega ya Kak, kalau Kak Raga sama Glory gue sama siapa coba?" Khanza merajuk, sambil bersedekap dada.
Geo menaik turunkan alisnya. "Sama gue kan bisa." godanya sambil mengejek.
"Kayak Raga mau aja sama lo Za, orang Raganya aja kejebak sama Keisha." ejek Orlando pada Khanza.
Berakhir Orlando dipukuli oleh Khanza karena fakta yang barusan ia lontarkan, ruangan itu yang tadinya suasananya sedih berubah menjadi tawa dalam seketika karena keributan Khanza dan Orlando.
🍁🍁
Raga seketika mundur kembali bersembunyi dibalik tembok saat baru saja memergoki Damian dan Keisha yang baru saja ciuman di dekat kolam renang yang sudah dikosongkan beberapa jam yang lalu, yang lainnya berpindah ke ruang tengah untuk kembali berbincang. Dengan yang lainnya memasak bersama didapur.
"Bibir kamu manis,"
"Thank you!"
"Yeah dear,"
"Aku gimana?"
"Gimana apanya Damian?"
"Punya aku, manis nggak?"
Raga memejamkan matanya mendengarkan samar-samar beberapa potongan percakapan Damian dan Keisha, sedikit menjauh agar tak semakin mendengar percakapan yang membuatnya semakin sakit.
Tadinya Raga penasaran dengan keberadaan Damian dan Keisha yang belum terlihat, sehabis bermain tenis meja ia lihat Damian langsung pergi menghampiri Keisha yang sudah selesai berenang dengan yang lainnya, setelah itu sudah tidak lagi terlihat.
"Mau coba?"
Raga tersentak, kedua matanya otomatis terbuka. Keberadaan Khanza yang tiba-tiba berdiri dihadapannya itu sukses membuatnya kaget bukan main, apalagi tawaran gila perempuan itu.
"Gila," satu kata yang dapat dilontarkan Raga untuk Khanza saat itu juga.
Khanza tertawa pelan, ia menengok kebelakang Raga. "Omg mereka mau--"
"Diam!" Raga menarik Khanza menghimpitnya pada tembok, dengan satu tangannya menyumpal mulut perempuan itu.
Khanza hanya bisa melebarkan matanya bergerak tak nyaman karena kedua tangannya ditahan Raga dan mulutnya dibekap.
"Lo pikir bagus kayak tadi?" Raga menyoroti Khanza dengan dingin.
"Kayak gimana? Ciuman?" cicit Khanza setelah mulutnya tak lagi dibekap.
Raga berdecak sebal, Khanza memang selalu terang-terangan dalam mengucapkan sesuatu.
"Lo lihat yang tadi?" tanya Raga memastikan.
Khanza mengangguk dengan polosnya, membuat Raga lagi-lagi berdecak kesal.
"Kenapa? Lo juga kan lihat tadi," cibir Khanza.
"Nggak sengaja," cetus Raga, rasa sakitnya masih terasa saat melihat Keisha sejauh itu dengan Damian.
Khanza memunculkan sedikit kepalanya untuk menengok kembali ke arah kolam renang, disana ada Damian dan Keisha yang duduk di tepi dengan membiarkan kaki mereka menjuntai menyentuh air.
Khanza memicingkan matanya. "Gimana rasanya lihat seseorang yang kita sayang, ciuman sama pacarnya?" tanya Khanza, terdengar mengejek ditelinga Raga.
"Sakit lah," Raga tak tanggung-tanggung melontarkan sesuatu yang ia rasakan.
Khanza menatap Raga. "Sakit banget?"
Raga tak ragu untuk mengangguk layaknya orang yang lugu, Khanza maju untuk lebih dekat dengan Raga.
"Di bagian mana yang sakit Kak?" tanya Khanza kayaknya dokter yang memeriksa pasiennya.
Raga membawa tangan Khanza menyentuh atas disebelah kiri perut, letaknya hati. "Disini, tapi nggak terlihat,"
Kedua bola mata besar dan bulat milik Khanza itu bersitatap dengan sepasang mata teduh milik Raga.
⊹⊹⊹
Haiii haii, aku update lagi guys!
Part ini cukup nggak buat kalian salthhvczomgds?
Jangan lupa vote and comment ya, bisa juga mampir di Instagram aku @Dela Bahtiar dan @wattpaddel