Mpreg Birth Stories

By noughtees

675K 6.8K 535

Buku ini berisi kumpulan cerita mpreg (male pregnancy) birth yang mengandung kata-kata eksplisit, muatan dewa... More

Disclaimer
Guru Binal
The Pursuit
A Moment of Joy
Paying the Price
Ambil Peran
Request
Kado Burung Bangau
Urusan Negara
Bandel
Pembangkit Berahi
Pundak untuk Bersandar
Request 2
Rumah Baru
The Way He Loves
Bintang
Keberadaan yang Lain
Mencari Rumah
Pilihan Lain
Madu dan Peju
The Painful Joy
Pertama yang Kedua

Curug

15.4K 219 25
By noughtees

Bagi Andy yang sudah terbiasa menjelajah alam terbuka, proses kelahiran anaknya pun tak akan jauh dari kegemaran tersebut.

Tripod sudah berada di dalam ransel yang dibawa oleh Arif. Ia dengan berhati-hati meniti jalan setapak, mengikuti langkah Andy yang berjalan lebih dahulu. “Ndy, isih adoh, tah? (Ndy, masih jauhkah?)”

“Sabar, Mas,” jawab Andy. Ia menatap ke atas, melihat pepohonan yang tertiup angin sebelum kemudian melihat layar ponselnya dan berkata, “Isih jam wolu. Mengko yo isih adem. (Masih pukul 8. Nanti juga masih sejuk.)” Ia lalu berjalan lagi sembari memegangi perutnya yang besar. “Coba take video ning kene, Mas. (Coba ambil video di sini, Mas.)” Andy menyerahkan ponselnya pada Arif yang langsung diterima oleh Arif tanpa banyak bertanya.

Arif membuka kamera di ponsel Andy, lantas mengarahkan kamera gawai tersebut ke arah “Video portrait opo (apa) landscape?” Ia mengatur-atur posisi ponsel itu, masih sambil mengikuti Andy yang sudah kembali berjalan.

“Landscape wae, Mas, nggo ning YouTube. (Landscape saja, Mas, untuk di YouTube.)” Sebagai seorang pembuat konten, Andy gemar mengeksplorasi keindahan alam di daerah tempat tinggalnya, bahkan ketika sedang hamil besar seperti saat ini. Ia kini terus berjalan, mengetahui betul Arif akan merekam video sebanyak dan selama mungkin agar tidak ada momen yang terlewatkan. Itu pun akan memudahkan Andy sendiri ketika ia mengedit video nantinya. 

Sudah sekitar sepuluh menit keduanya berjalan. Suara aliran air sungai mulai tertangkap oleh indra pendengaran mereka.

Andy berhenti sejenak, berbalik badan untuk menghadap kamera. “Ini sudah mulai terdengar suara air sungainya, ya, Guys.” Ia mengusap perutnya sendiri, lalu refleks tertunduk saat perutnya terasa kencang. Tangannya yang berada di bagian bawah perut meremas pelan kaus yang sedang ia kenakan. “Perut Andy kerasa sedikit kenceng-kenceng. Mungkin dedeknya sudah nggak sabar, Guys.” Ia terkekeh.

Sementara itu, Arif yang sedang merekam video sedikit khawatir melihat keadaan Andy. “Lungguho sedhela, Ndy, (Duduklah sebentar, Ndy,)” katanya dengan dagu yang diarahkan ke sebuah batu besar, tak jauh dari jalan setapak yang mereka lalui.

Memahami kekhawatiran Arif, Andy pun duduk di batu tersebut dengan kaki yang dibuka lebar-lebar karena perut besarnya yang sudah tampak menggantung di bagian bawah membutuhkan ruang lebih.

Arif mulai mengeluarkan tripod, tetapi dicegah oleh Andy.

“Ojo (jangan), Mas. Cuma sebentar ini duduknya.”

“Wis, gak opo. Ben akeh footage-e mengko. (Sudah, enggak apa-apa. Biar banyak rekamannya nanti.)” Arif pun memasang ponsel Andy di tripod, lalu mengatur sudut yang tepat untuk mengambil video sebelum duduk di samping Andy. “Mas kepengin ngusapi wetengmu (Mas ingin mengusapi perutmu), Ndy.” Walau Andy belum menjawabnya, Arif langsung mengusap perut besar Andy. Senyum muncul di wajah Arif, mengekspos gigi taringnya yang gingsul ke depan. “Piye nek mengko Andy lahiran ning kene? (Bagaimana kalau nanti Andy melahirkan di sini?)”

“Ya, Mas Arif kene wae kancani Andy. (Ya, Mas Arif di sini saja temani Andy.)” Andy tertawa kecil sambil menoleh untuk bertatapan dengan Arif. Ia menikmati udara sejuk di sekitar, tangannya menggenggam milik Arif di atas perutnya sendiri. Andy mengernyit untuk sesaat. “Mas,” panggilnya.

“Nggih (iya), Ndy?”

“Wetengku senep, Mas. (Perutku mulas/tidak nyaman, Mas.)” Andy mengusap perutnya dengan gerakan memutar.

Arif yang sedikit khawatir pun kembali turut mengusap perut besar kekasihnya itu. “Senep piye, Ndy? Kepengin ngising, tah? (Mulas bagaimana, Ndy? Apa ingin buang air besar?)” tanyanya, memastikan keadaan Andy.

Andy sendiri yang tidak terlalu yakin hanya dapat menggelengkan kepala. “Gak ngerti (tidak tahu), Mas. Kita lanjut jalan dulu aja ke curug (air terjun).”

“Temenan lanjut, tah? (Benar mau lanjut saja?)” Arif beranjak, melihat keadaan sekitar sembari berniat membereskan ponsel dan tripod yang digunakan untuk merekam segala kegiatan mereka sejak duduk berdua di batu besar tadi.

“Iya, Mas,” jawab Andy yang masih terduduk, kali ini dengan posisi tubuh condong ke belakang. Satu tangannya mengusap perut, sedangkan tangannya yang lain bertugas untuk menopang beban tubuhnya. Sebelum Arif melepas ponselnya dari tripod, Andy menoleh ke arah kamera gawai miliknya tersebut. “Ini perut Andy sudah mulai mules-mules, Guys. Andy mungkin akan melahirkan di curug nanti,” jelasnya sambil menegakkan posisi duduknya kembali. “Kita lanjut aja. Ini sudah dekat.” Ia berdiri secara hati-hati dengan bantuan Arif.

Arif merangkul tubuh kekasihnya itu supaya dapat berdiri. “Alon-alon ae, Ndy. (Pelan-pelan saja, Ndy.)” Begitu Andy sudah berdiri sepenuhnya, ia bergegas mengambil dan membawa tripod beserta ponsel milik Andy, tidak memasukkanya ke ransel lagi.

“Ayok, Mas.” Andy yang lebih mengenal tempat mereka berkelana tentunya kembali memimpin jalan. Namun, langkahnya sekarang lebih lambat. 

Kedua pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak dengan Andy yang memimpin dan Arif yang sibuk merekam video di belakang. Air terjun yang menjadi tujuan mereka semestinya sudah tak jauh lagi, terbukti dengan suara aliran air yang terdengar makin jelas di telinga.

Langkah Andy terhenti secara tiba-tiba. Ia membungkuk dan memegangi perutnya, kemudian mendongak sembari melenguh sesaat.

Melihat hal tersebut, Arif langsung mendekati Andy dan mengusap pundaknya.

“Mas Arif… wetengku mules meneh. (Mas Arif … perutku mulas lagi.)”

“Iyo, iki Mas elus-elus, yo. Mules banget? Kepengin ngising sit? (Iya, ini Mas elus-elus, ya. Mulas sekali? Ingin buang air besar dahulu?)” Arif bertanya seraya mengusap-usap perut Andy.

“Ih, Mas! Ngising terus pikiranmu.” Andy memejamkan mata dan berusaha mengatur napasnya sendiri selagi Arif tertawa kecil mendengar perkataannya. Begitu dirasa mulasnya berkurang, ia meyakinkan Arif untuk terus berjalan.

Sekitar sepuluh menit keduanya habiskan untuk berjalan sampai tiba di tujuan: sebuah air terjun yang ujungnya dikelilingi bebatuan berukuran besar dan berbentuk datar. Arif sibuk menempatkan tripod di tempat yang cocok untuk mengambil gambar dan video sementara Andy mengistirahatkan diri dengan duduk di salah satu batu yang besar, mencelupkan kakinya ke aliran air sungai yang terhubung pada air terjun tersebut.

Begitu perutnya kembali mengalami kontraksi, Andy menggeser posisinya ke bagian tengah batu yang ia duduki. “Mas, wetengku (perutku), Mas.” Ia merintih pelan sambil mengelus perutnya sendiri.

Selesai mengurus tripod dan ponsel, Arif sudah memulai pengambilan video untuk yang kesekian kalinya dalam perjalanan mereka hari ini. “Andy pengin Mas piye, hm? (Andy mau Mas bagaimana, hm?)” tanya Arif sambil merangkul pundak Andy.

“Bantu copoten klambiku (lepas bajuku), Mas.” Andy mengangkat kedua tangannya saat Arif menarik bagian bawah kausnya agar dapat dengan lebih mudah terlepas. Perutnya masih terasa kencang, bahkan lebih kencang dari sebelum-sebelumnya. Ia makin yakin kalau bayinya akan terlahir pada hari ini.

Arif kemudian melipat rapi dan menaruh kaus Andy di sampingnya. Ia duduk di belakang Andy, memeluk lelaki itu dengan melingkarkan lengan di perut besarnya. Meski ia masih merasa cukup malu-malu untuk menunjukkan kemesraan dengan Andy di depan kamera, hari ini berbeda. Arif begitu senang melihat Andy yang sedang hamil besar dan tidak lama lagi akan melahirkan anak mereka.

Semilir angin lembah sejuk menyapa kulit tubuh Andy yang sudah terkespos, kontras dengan pelukan hangat Arif yang duduk di belakangnya. Perlahan kontraksinya kembali mereda dan nyerinya kembali berkurang. Ia bersandar pada tubuh Arif, berpegangan pada lengan sang kekasih.

“Wes enak, tah? Opo isih mules? (Sudah lebih enakkah? Apa masih mulas?)” Arif terus mengusap perut Andy, membiarkan Andy berpegangan pada lengannya. Melihat raut wajah Andy yang berubah menjadi lebih relaks, ia merasa dapat sedikit tenang meski hanya untuk sesaat.

Andy menghela napas sedikit lega. “Sekarang sudah enggak, Mas.”

“Yo wes, ngomong Mas nek mules maneh, yo. (Ya sudah, beri tahu Mas kalau mulas lagi, ya.)” Arif mengecup pundak kiri Andy.

Andy mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian teringat bahwa ia lupa mengisi daya ponselnya sebelum mereka berangkat. “Mas, anu, coloken power bank sek. Hapeku koyoke bakal lowbat. (Mas, anu, hubungkan power bank dahulu. Ponselku sepertinya akan habis daya.)”

“Awakmu ning kene ae, yo. (Kamu [tunggu] di sini saja, ya.)” Arif langsung bergegas mengambil sebuah power bank di tas dan menghubungkannya dengan ponsel Andy. Benar saja, indikator baterai di benda tersebut sudah berwarna merah. Setelah power bank terhubung, ia dan Andy pun dapat tenang karena tidak akan ada momen yang terlewatkan untuk direkam selama mereka menyambut kelahiran anak pertama mereka. Arif kembali memastikan bahwa sudut pengambilan video yang dilakukan sudah cukup baik. Ia tidak mempermasalahkan Andy yang berniat untuk mengunggah video proses kelahiran anak mereka ke YouTube. Yang terpenting, Andy dan bayi mereka baik-baik saja.

Selagi Arif mengatur ponsel yang digunakan untuk merekam video, Andy mengubah posisinya. Ia mencoba untuk berlutut, lalu berjongkok dengan kedua kaki dibuka lebar-lebar karena perutnya yang makin turun dan kencang di bagian bawah. “HMMMHHH,” lenguh Andy yang sedang berjongkok. Tekanan yang lebih kuat langsung terasa di dalam rahimnya, yang tentu terbantu untuk muncul akibat adanya gravitasi.

Mendengar lenguhan Andy, Arif menghampirinya dan merangkul bahu kekasihnya, menahan tubuhnya yang sedang berjongkok agar tidak terjatuh. “Nyapo (kenapa), Ndy?”

Andy tertunduk dan kakinya sedikit gemetar. “Mules banget wetengku, Mas. (Mulas sekali perutku, Mas.)” Perutnya kontraksi dengan tiap pergerakan janin yang terlihat jelas karena tubuh Andy dapat dikatakan cenderung kurus.

Satu tangan Arif terulur guna mengusap perut Andy.

“HUUUHHH MMMNHH,” Andy melenguh lagi, menahan mulas di perutnya.

“Ono sing iso tak bantu tah, Ndy? (Ada yang bisa kubantu, Ndy?)”

“Copoten celanaku, Mas. Lara banget iki wetengku. (Lepas celanaku, Mas. Sakit sekali ini perutku.)” Andy mulai kewalahan menghadapi kontraksi yang sedang ia alami.  Ia mengatur napas untuk sesaat, kemudian melihat ke arah kamera untuk melaporkan keadaannya sekarang yang akan tersampaikan kepada para subscriber kanal YouTube-nya melalui video nanti. “Aduh, Guys, sepertinya Andy akan melahirkan gak lama lagi.” Ia merintih, sibuk mengusap perut buncitnya yang mengencang akibat kontraksi.

“Ngadeg sedhela (berdiri sebentar), Ndy,” kata Arif. Setelah Andy berdiri, Arif mulai membantu Andy melepas celananya. Melihat Andy yang kesulitan dalam upayanya mengatur napas, Arif otomatis turut menahan napas. Ia melirik perut Andy, juga kelamin lelaki itu yang berada dalam keadaan ereksi. “Saiki wes mules maneh? (Sekarang sudah mulas lagi?)” tanyanya. Kemudian, ia melepaskan jaket serta kausnya sendiri. Jaketnya akan dijadikan bantal jika Andy ingin berbaring dan kausnya akan berfungsi sebagai kain alas sebagai tempat bayinya keluar nanti.

“Uwes (sudah), Mas.” Andy benar-benar kesakitan. Dengan kuat, tangannya secara refleks meremas lengan Arif sembari kembali ke posisi duduknya. Ia menyadari bahwa sensasi mulasnya bertahan lebih lama kali ini. Kedua kakinya lalu ditekuk dan dibuka lebar sementara sekujur tubuhnya merasakan nyeri yang tidak karuan.

Sebelum pergi dengan rencana syuting video dalam rangka menyambut kelahiran anaknya, Andy semula terpikir untuk mengadakan sesi siaran langsung di YouTube. Namun, melihat kondisinya saat ini, Andy tahu ia tidak akan dapat banyak berinteraksi dengan para penonton selama siaran langsung. Ia kesusahan, bahkan untuk menenangkan diri dan menghadapi rasa sakit yang kian intens di tubuh bagian bawahnya.

Arif sigap membantu Andy untuk duduk kembali, tidak lupa menjaga sang kekasih, memastikan tidak ada bagian tubuh Andy yang terbentur permukaan batu dengan kasar. Ia lantas merangkul Andy, membisikkan kata-kata penyemangat selagi Andy berurusan dengan gelombang kontraksi yang sedang menghampiri. Matanya secara bergantian memperhatikan raut wajah dan bagian bawah tubuh Andy. Fokus pandangan diarahkan pada perut besar Andy yang mengencang. Di saat yang bersamaan, tangannya diremas kuat-kuat oleh kekasihnya yang merupakan seorang YouTuber tersebut.

Semburan air yang keruh keluar dari lubang anal Andy.

“Aduh, ketubanku pecah, Mas!” seru Andy. Perutnya makin terasa mulas. Ia tidak tahan lagi. Pada saat ini, yang dilakukannya hanyalah menggenggam erat tangan Arif. Perlahan tubuhnya berubah posisi untuk berbaring.

Sedikitnya, Arif salah tingkah atas apa yang baru saja disaksikan oleh mata kepalanya sendiri. “Waduh, Ndy, akeh temen ketubane (banyak betul [air] ketubannya),” ujarnya sebagai reaksi. Ia menggeser posisi kausnya yang menjadi alas, juga memastikan jaketnya tergulung sedemikian rupa sehingga dapat digunakan oleh Andy dengan nyaman sebagai bantalan kepala.

Andy membuka kedua kakinya lebih lebar lagi. Tekanan dari dalam perutnya tidak dapat ditahan lagi sekuat apa pun ia berusaha. “Pengin ngeden rasane (rasanya), Mas.”

Lelaki yang kerap Andy panggil dengan sebutan Mas itu pun mengangguk paham dan berpindah posisi ke depan selangkangan Andy yang terekspos begitu saja di alam terbuka saat ini. “Jajalen ngeden, Ndy. (Cobalah mengejan, Ndy.)” Arif memegangi kedua lutut Andy untuk mencegah Andy merapatkannya. 

Dorongan di perutnya terasa benar-benar nyata. Andy harus menjaga fokusnya, terlebih ia dan Arif sedang berada di tempat yang asing dan jauh dari rumah. Ia menarik napas panjang, kemudian mulai mencoba mengejan, “HMMMMNHHHH!” Rahimnya terasa sesak. Ia lalu mengejan lagi sampai kedua kakinya gemetar.

“Yok, ngeden maneh (mengejan lagi).”

“EUMMNNNGHHH,” lenguh Andy sembari mengejan. “Mules banget wetengku, Mas. (Mulas sekali perutku, Mas.)”

“Mas ngerti, Ndy.” Arif tersenyum. Ia mengusap dan memijat pelan perut Andy dengan satu tangan, berharap itu dapat membantu Andy melewati mulasnya kontraksi. Sementara itu, tangannya yang lain mengelus area bibir lubang anal sang kekasih agar lebih relaks. “Ngeden maneh, ya. Mas ngerti iki lara, tapi Andy kudu ngeden kangge Mas. (Ngeden lagi, ya. Mas tahu ini sakit, tapi Andy harus mengejan untuk Mas.)”

Sakit betul yang Andy rasakan. Ia tidak pernah mengalami nyeri yang sedemikian hebatnya, terutama di sekitar perut dan punggung bawah seperti saat ini. Karena ini merupakan kelahiran anak mereka yang pertama juga, ia sudah merasa cukup lelah. Hanya kata-kata Arif yang dapat memberinya sedikit motivasi untuk tetap mengejan. “AAAAARGHHH!” erangnya kesakitan saat kontraksi yang kuat membuat tubuhnya otomatis mendorong kembali. “Mas,” panggil Andy sambil menarik kedua lututnya ke belakang, meremasnya kuat untuk melampiaskan rasa sakit.

“Ambekan, Ndy, aja lali ambekan. (Napas, Ndy, jangan lupa napas.)” Arif mengingatkan Andy untuk mengambil napas di antara tiap upayanya untuk mengejan. Ia tentu terbayang seberapa sulitnya situasi yang Andy hadapi sekarang, tetapi ia juga khawatir Andy tidak kuat atau kehabisan tenaga.

“HEUMMMMNNNGHHHH!”

Arif melihat ke arah lubang peranakan Andy sementara tangannya masih memijat dan mengusapi perut sang kekasih. “Durung ketok apa-apa iki. Ngeden alon-alon ae, yo. Rileks. (Belum kelihatan apa-apa. Mengejan pelan-pelan saja, ya. Rileks.)”

Mata Andy mulai berair, yang kemungkinan besar disebabkan oleh rasa sakitnya. Ia berusaha mengikuti arahan Arif dengan mengejan perlahan. “MMNNNH—” Ia melepaskan lenguhan saat ia dapat merasakan bayinya bergerak turun dari dalam rahim.

Perlahan, kepala bayi yang ada di dalam mulai turun menuju jalur lahir Andy, membuat sang calon bapak merasa penuh dan sesak di bawah sana.

Di waktu yang bersamaan, Arif terus memijat dan mengusap perut Andy. Ia ingin membantu Andy sebanyak yang ia bisa. Bahkan, ia ingin mengambil semua rasa sakit yang pacarnya itu rasakan jika memungkinkan. Arif menggigit bibir bawahnya karena khawatir saat Andy mengejan dengan sekuat tenaga. “Andy pasti iso, yok. Andy kuat, yo, kanggo anak dhewek. (Andy bisa, yok. Andy kuat, ya, buat anak kita.)”

“Andy iso, Mas, tapi lara banget iki. (Andy bisa, Mas, tapi sakit sekali ini.)” Belum lama Andy mengejan, tetapi ia sudah merasa lelah dan kian lelah tiap kali ia mengejan. Ia masih mencoba untuk mengejan, mengambil napas tiap kali ada kesempatan.

Darah mulai mengalir sedikit dari lubang Andy.

Perlahan tetapi pasti, Arif dapat melihat sesuatu tepat di lubang tersebut. “Kayake Mas iso ndelok kepalae, Ndy. (Sepertinya Mas bisa lihat kepalanya, Ndy.)” Ia memastikan dengan mengecek lagi bulatan hitam di lubang lahir Andy, lalu mengangguk sebagai tanda konfirmasi. “Ngeden maneh yo, tapi alon-alon ae, yo? (Mengejan lagi, tapi pelan-pelan saja, ya?)” kata Arif sembari mengusap bibir lubang Andy untuk membuatnya lebih relaks.

Andy kembali mencoba mengikuti kata-kata Arif, mengambil napas panjang tiap memungkinkan dan mendorong secara perlahan mungkin saat perutnya mengalami kontraksi. Kelelahan dan rasa sakit hanya membuat semuanya makin sulit bagi Andy. Ia mencoba mendorong dengan lebih kuat lagi, berharap proses kelahiran anaknya akan berlangsung lebih cepat. Kontraksi yang muncul kini terpaut hitungan detik, membuat Andy tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat di antara upayanya untuk mengejan. “Durung metu (belum keluar), Mas?” tanyanya dengan terengah-engah.

Arif menggeleng pelan. “Durung (belum), Ndy.” Ia mengulas senyum, berusaha menyemangati Andy. Kemudian, ia menggunakan dua jemari tangan kirinya untuk sedikit memperlebar lubang peranakan Andy.

Suara erangan lolos dari mulut Andy saat ia merasakan lubangnya diperlebar oleh Arif. Ia tidak terbiasa dengan sensasi yang ada, apalagi di tengah kontraksi seperti sekarang ini. Rasanya sangat tidak nyaman, tetapi ia tidak dapat memfokuskan diri pada sensasi tersebut. Ia harus mengejan ketika gelombang kontraksi datang.

Kepala bayi bergerak perlahan dan mulai menekan lubang Andy dari bagian dalam.

Pada saat itulah Arif mengeluarkan jemarinya dan memperhatikan proses tersebut baik-baik. Jemarinya yang ternodai oleh darah kini memijat area sekitar lubang lahir Andy. Ia tahu betul tahap ini akan menjadi bagian yang paling menyakitkan bagi Andy sehingga dalam hati, ia berdoa demi keselamatan Andy dan bayi mereka.

Andy mengerang kesakitan. Ia merasa tubuhnya akan terbelah oleh kepala bayi yang hendak keluar. Di titik ini, ia benar-benar kesulitan. Tiap kali mengejan, ia hanya mendapati rasa sakitnya bertambah parah. “MAS— AH AAHHH… metunen bayi e (keluarkan bayinya), Mas!” Ia berteriak seraya melengkungkan punggungnya dan membuka kakinya lebar-lebar.

“Mas ora iso narik bayi e, Ndy. (Mas nggak bisa tarik bayinya, Ndy.)” Arif menatap Andy khawatir. “Ngeden sing kuat, yo. Ora bakal nyapo, kok. (Mengejan yang kuat, ya. Enggak akan kenapa-napa, kok.)”

Tentu Andy mengetahui itu. Ia hanya tidak sanggup menghadapi sensasi perih di area intimnya saat ini. Ia mengejan lagi, berusaha mengabaikan sakit yang dirasakan. Lubangnya kian melebar karena kepala bayi yang mau keluar. Lendir yang bercampur dengan air ketuban dan darah mengalir membasahi kaus Arif yang menjadi alas. Ia memejamkan mata, berusaha mengatur napas selagi mengejan dengan sekuat-kuatnya. “Gak iso, Mas! Lara banget! (Tidak bisa, Mas! Sakit sekali!)”

“Iso (bisa), Ndy.” Arif memegangi kedua lutut Andy agar tetap terbuka lebar. “Ojo dipeksakno, yo. Tenang ae. (Jangan dipaksakan, ya. Tenang aja.)”

Andy mengerang lagi. Napasnya memberat kala kontraksi berikutnya muncul. Dengan bantuan kontraksi itu, tubuhnya secara otomatis mendorong kepala bayi agar makin keluar. Kepala bayi pun terdorong sampai keluar setengahnya, membuat lubang Andy terasa panas dan perih luar biasa. “AH AAKH AAAAHHH!”

Selagi kepala bayinya berusaha keluar, Arif dengan cekatan mendorong lutut Andy ke belakang agar panggul lelaki itu lebih mudah terbuka dan memberikan akomodasi bagi kepala bayinya.

“MMMNHHH—” Tubuh Andy mengejang saat kepala bayi akhirnya keluar. Dadanya naik-turun karena napasnya tak beraturan. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Setidaknya, ia tahu tak lama lagi bayinya akan dapat terlahir.

Selagi Andy menenangkan diri sesaat, Arif mengecek kondisi kepala bayi yang baru keluar dan memastikan tidak ada lilitan tali pusar di lehernya. Ia kemudian menatap Andy, tersenyum manis. “Sitik maneh, ya. (Sedikit lagi, ya.)”

Andy mengangguk lemah, tersenyum tipis membalas senyuman Arif. Selagi perutnya belum merasakan kontraksi lagi, ia menyempatkan diri untuk melihat ke arah kamera dan berkata, “Kepalanya sudah keluar, Guys.” Ia mengatur napas, lalu mulai merasakan perutnya mengencang kembali. “Aduh, mules lagi ini, Guys.” Ia menatap Arif sayu.

“Ngeden maneh (lagi), ya.” Arif memegang kepala bayinya dengan hati-hati selagi Andy mulai mengejan kembali.

“EUMMMMMHH!” Andy mendorong lagi, ingin semuanya segera berakhir. Ia sudah tidak sabar untuk menggendong bayinya. “HAAHH HAHHH—” desahnya saat Arif menarik bayinya perlahan, memaksa lubangnya melebar untuk mengakomodasi pundak si jabang bayi.

“Ayo, sing (yang) kuat.”

Andy menggeleng, tetapi tetap berusaha mengejan dengan segenap tenaganya yang tersisa. “HMMMMMMNGGHHHHH!”

Ketuban menyembur deras dari lubang lahirnya, membantu tubuh bayi untuk meluncur keluar dan langsung ditangkap oleh Arif agar tidak terbentur ke permukaan batu tempat mereka melakukan persalinan sekarang.

“Ndy, anak dhewek wes lahir (anak kita sudah lahir).”

Andy tersenyum. Lelahnya seakan-akan sirna begitu saja mendengar kata-kata tersebut, yang disahuti oleh tangisan bayi. Entah sudah berapa jam persisnya sejak mereka memulai perjalanan ke air terjun yang menjadi latar belakang video rekaman proses kelahiran anak mereka. Namun, yang jelas Andy lega, tentunya bahagia.

Continue Reading

You'll Also Like

26.1K 3.7K 29
Bagaimanakah bila di masa ini seorang ibu pengganti bukan lagi hanya untuk seorang wanita melainkan juga untuk seorang lelaki spesial. Kyungsoo si l...
163K 11.4K 73
Tiga pasang remaja yang di takdirkan menemukan bayi yang di takdirkan mengurus ke empat bayi karna suatu insiden dulunya bayi bayi itu di tempatkan...
Mpreg Story By hooyuhu55

General Fiction

335K 2.9K 11
haloo❗️❗️disini cerita pria bisa hamil dan melahirkan🫄🏼 ini ceritanya bener bener dari otak yg sangat gabut ini jadi kalo ada salah salah kata moho...
28.4K 2.2K 50
Cerita tentang kehidupan Seo Changbin dan para istrinya. 🔞🔞🔞 Bxb #gay #homo Tidak di anjurkan untuk Homophobic Jangan sampai salah lapak yaa... ...