Penting untuk dibaca!
Unggahan bersifat promosi.
Unggahan promosi akan menayangkan beberapa chapter season 2 judul ini.
Judul lain cerita ini adalah Pff! Kampret Dosen is My Husband! (Season1), Bisa dibaca terpisah di Karyakarsa atau baca Dosen Kampret itu Suamiku!! langsung di GoodNovel.
Season 1 juga dapat dibaca di dreame dengan judul Dosen Kampret tapi Ganteng itu Suamiku!
Season-2 hanya tayang eksklusif di GoodNovel.
**
"Bosen," keluh Anya.
Wanita yang memposisikan diri disamping anak kembarnya itu merasa bosan. Rutinas yang hanya itu-itu saja mulai terasa monoton baginya. Anya membutuhkan penyegaran disela-sela aktivitasnya sebagai seorang ibu anyaran.
Tiga setengah bulan telah berlalu sejak Anya melahirkan. Anak-anak kini tak sesulit ketika keduanya baru dilahirkan. Josephin dan Kamasea jauh lebih manusiawi. Mereka tak lagi menangis setiap kali membuka mata.
Perkembangan positif itu membuat Kamarudin kembali menekuri tanggungjawabnya sebagai pengganti papa Anya di perusahaan. Dunia Anya yang semula berisikan empat orang, harus berkurang satu personil pada jam kerja.
"Cil, Mama juga pengen keluar tauk. Kalian juga nggak sih?" tanya Anya, berinteraksi dengan kedua anaknya.
Anya iri pada Kamarudin. Suaminya itu bisa kesana kemari. Meski Kamarudin keluar rumah untuk urusan pekerjaan, setidaknya dia meninggalkan kediaman dan melihat-lihat sekitar. Selain ingin cuci mata, Anya juga ingin menghirup polusi Jakarta yang lama tak dirasakannya.
"Kita ajak aunty Flo sama Angel ngemall yuk? Mau nggak?"
Teng-Teng!
Tidak ada sahutan. Si kembar hanya memandangi wajah Anya dengan kerjapan matanya.
"Kalian nggak mau?" tanya Anya sekali lagi usai mengasumsikan penolakan si kembar, yang tampak dari respon keduanya.
"Seru loh! Tenang aja, semua yang kalian pegang, pasti Mama beli. Duit Mama banyak loh," rayu Anya sembari memamerkan hartanya.
"Udah sinting temen lo, Ngel," bisik Flora ditelinga Angel. Telunjuk tangan kanan gadis itu membentuk garis miring di depan dahinya, mengomentari seberapa gilanya sahabat mereka.
"Kayaknya efek kamar-taman, kamar-taman deh, Flo. Bau-baunya, bentar lagi ada yang nyusul Tante Soraya."
"Sembarangan aja lo berdua!" sungut Anya. Ibu dua anak itu bangkit dan mendudukan dirinya dengan gaya bersila.
"Kedengeran ternyata, Flo." Kekeh Angel. Sahabat Anya itu sengaja mengeraskan volume suaranya.
"Lo berdua ke sini tuh fungsinya apa sih? Ngehibur nggak, yang ada malah ngabisin stok makanan gue!"
Flora dan Angel cengengesan. Mereka hendak berkilah, tapi bukti perkataan Anya sedang mereka santap.
"Kita niatnya nengokin si kembar kok. Iya nggak, Ngel?" Flora menyiku lengan Angel. Pada momen seperti ini, mereka harus berada di tim yang sama. Perpecahan kapal hanya akan membuat mereka mendapatkan omelan ibu-ibu beranak dua.
"Nggak ada sejarahnya orang nengok, tapi nggak bawa buah tangan. Lo orang dari negara mana?!"
"Bertamu tuh beliin sesuatu. Buah kek, jananan juga bisa! ini nggak!"
"Kata Mbak Surti juga stok cemilan gue buat sebulan udah tinggal seminggu!"
"Sumpah ya lo berdua! Perasaan duit lo pada juga nggak berseri!"
Dan bla-bla-bla... Masih banyak lagi unek-unek yang Anya keluarkan.
Ketahuilah, Anya yang sekarang, bukanlah Anya yang dulu lagi. Predikat penguasa dunia kini sudah melekat di dalam dirinya. Julukan tersebut berkembang seiring dengan tumbuhnya si kembar.
Anya 100% seperti emak-emak sungguhan. Hobi terbarunya adalah menyerocos layaknya laju gerbong kereta api.
Panjang sekali, sampai-sampai Flora dan Angel menutup kedua lubang telinga mereka. Parah! Mereka seolah melihat sosok sang mama pada diri Anya.
"Sekarang buat gantiin makanan gue, anterin gue shopping! Gue sekalian mau ngisi kulkas yang kosong!"
"No! Nggak berani gue, Nyet!"
Anya mendelik. Matanya menatap tajam Flora. "Nggak boleh ngomong kasar depan anak gue!" tegurnya karena Flora selalu saja melupakan pesannya.
"Twins belom ngerti kali, Nya!" beo Flora membela diri. Kalau dipikir-pikir lagi, ia tidak mengumpati Anya. Ia pun tidak berkata kasar. Ia hanya merubah panggilan Anya dengan hewan berbulu saja.
"Lo kali yang kasar! Anak sendiri mau lo masukin panti asuhan!"
"Eh, gue ngancem doang ya! Nggak seriusan!"
"Yee! Tetep aja, Maemunah!" sembur Angel ikut meramaikan suasana, "itu kalau mereka udah paham artinya, dikiranya lo mau buang mereka!"
"Gue sih kalau jadi si kembar sakit hati," sosor Flora, menyambung ucapan Angel. Kapan lagi melihat Anya yang maha benar mati kutu seperti sekarang ini. Hitung-hitung balas dendam karena Anya membuatnya bertunangan dengan kakak ipar wanita itu.
"Hais, Bacot!"
"Nah, kan! Liatin Ngel! Dia nyuruh kita ngomong yang baek-baek, tapi dia sendirinya ngasih contoh jelek." Flora menggeleng-gelengkan kepalanya agar terlihat dramatis.
"Balik aja, Flo. Nggak bisa banget gue temenan sama orang, yang nggak jaga omongan!"
"Loh! Loh! Kalian mau kemana?" pekik Anya ketika Angel dan Flora mengangkat pantat mereka dari sofa.
"Rencana keluar gue? Shopping gue?" berondong Anya. Tubuhnya tertelungkup ke atas ranjang dengan kedua tangan sebagai penyangga.
"Floraaa! Angeeel!!" panggil Anya setengah menjerit. Jika kedua sahabatnya pulang, tidak akan ada lagi manusia yang membantunya untuk menjaga si kembar. Ia tak mungkin berbelanja dengan membawa-bawa dua anak.
"Oeeek!!"
Anya tersentak. Suara kerasnya membuat Josephin dan Kamasea menangis. Kedua anak it sepertinya kaget.
"Utuk-utuk, sayang-sayangnya Mama. Mianhae. Mama minta maaf. Mama nggak marah ke kalian kok. Mama cuman..."
"Kesel aja dikit! Iya, bener. Abisnya Mama bosen di rumah," tuturnya setelah mendapatkan kalimat yang tepat untuk dijadikan alasan.
'Weekend masih lama ya? Kalau ada Bapaknya, kan lumayan bisa jalan-jalan kita,' batin Anya memupuk harapan tinggi dengan liburnya Kamarudin.
*
"Assalamualaikum! Jo! Sea! Papa pulang!"
Anya meremas ponsel dalam genggamannya. Kapan tepatnya ia merasakan kecemburuan terhadap sesama manusia?!
Sepertinya, sepanjang dirinya bernapas dan hidup di dunia, Anya sama sekali tak pernah mencemburui seseorang.
Naasnya, ketika saat itu tiba, kenapa harus kepada anak-anaknya sendiri?! Kedua bayi yang belum memiliki dosa itu membuatnya sangat cemburu. Mereka mengambil terlalu banyak perhatian Kamarudin dan menyisakan hanya sedikit untuknya.
Si kembar dan si kembar! Entah ketika terbangun dipagi hari, sewaktu Kamarudin meneleponnya atau bahkan saat pria itu pulang dari kantor— orang pertama yang Kamarudin cari adalah anak-anaknya.
Menyebalkan!
Pria itu baru akan bermanja-manja padanya ketika butuh belaian.
"Babe, anak-anak mana? Di kamar?"
"Rumah Ibu," paparnya. Anya mencoba mengendalikan dirinya. Ia tak boleh berbuat keji dengan mencemburui anak sendiri.
Wajar jika Kamarudin memprioritaskan anak-anak. Seharusnya ia merasa senang akan hal itu. Josephin dan Kamasea merupakan buah cinta pertama mereka, sudah pasti Kamarudin menjadi papa yang bucin terhadap si kembar. Ia harus memakluminya. Toh setelah si kembar, perhatian Kamarudin mengarah pun padanya.
"Muka kamu keliatan capek banget. Anak-anak rewel ya tadi?"
Anya memulas senyum di wajahnya. Betapa mengerikannya rasa cemburu jika terus dipertahankan. Bisa-bisa ia akan benar-benar memasukkan kedua anaknya ke panti asuhan. Padahal ia tahu benar, saat mereka tidak ada, Kamarudin menjadi miliknya secara utuh.
"Anak-anak anteng, Din. Nangis bentar gara-gara Angel sama Flo," ujar Anya, mengkambing hitamkan para sahabatnya.
"Kalau berat ngurus mereka sendiri, aku nggak apa-apa loh kita pake jasa babysitter, Babe." Kamarudin memeluk setengah tubuh Anya. Posisi sang istri yang terduduk membuat tangannya hanya mampu merengkuh kepala istrinya.
Kamarudin takut Anya menahan diri karena ucapannya dulu. Ia pernah meminta Anya agar menjadi wanita mandiri yang serba bisa. Ia terlalu terpaku dengan kemanjaan istrinya yang tidak dapat melakukan apa pun.
"Belum perlu, Din. Kalau mereka udah agak gedean lagi aja," pada waktunya nanti, ia memang membutuhkan seorang suster yang terlatih. Masih terlalu dini untuk merekrut babysitter.
Usia si kembar pun belum memungkinkan untuknya melanjutkan perkuliahan yang tertunda. Selagi keduanya tak bisa berjauhan dalam kurun waktu yang lama, ia akan menunda studinya pada batas yang tidak ditentukan.
"Maybe pas aku ambil mata kuliah skripsi."
Secara naluri, nyatanya bukan hanya Kamarudin yang mendahulukan kepentingan si kembar. Tanpa disadari olehnya, Anya pun berlaku demikian.
Keduanya berproses, menuju puncak pendewasaannya masing-masing.