Shella menjatuhkan tubuhnya, Jidan dengan cepat menangkap tubuhnya, agar tak terjatuh ke atas tanah.
"Shella!" Jidan begitu shock melihat sebuah pisau tajam itu menancap pada perut istrinya.
Ohok-ohok!
"Darah," lontar Jidan melihat dari mulut Shella mengeluarkan darah.
"Jidan, sakit..." lirih Shella dengan suara yang lemah.
Jidan menoleh ke arah pisau yang sedang menancap itu, segera ia cabut dan ia lemparkan ke sembarang arah.
Shella menggenggam tangan Jidan dengan erat, menahan sakit yang begitu hebat di perutnya.
Gadis itu menatap wajah Jidan yang terlihat begitu khawatir dan panik melihat keadaannya. Ia tersenyum melihat Jidan yang begitu khawatir dengannya.
Ia mengangkat tangannya, mencoba menyentuh pipi Jidan. Tetapi, belum sempat ia sentuh pipi itu, Malaikat sudah lebih dulu mengambil nyawanya. Tangan itu langsung terjatuh ke atas tanah.
"Shella, bangun Sayang... jangan tinggalin aku." Jidan mengguncangkan kepala Shella, agar gadis itu tersadar.
"Sialan lo!" hardik Jidan pada seseorang yang sudah tega membunuh istrinya itu. Kini, ia kehilangan semua sumber kebahagiaannya.
Jidan menyatukan wajahnya dengan wajah Shella, "Sayang, bangun... aku janji bakalan nyatain cinta aku ke kamu setiap hari, kalo kamu bangun."
Air mata terus berjatuhan mengenai wajah gadis itu. Belum sempat ia balas perasaannya, kini dia sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
"Jangan tinggalin gue, jangan tinggalin gue... gue masih butuh lo di samping gue."
Jidan mencium keningnya sambil menangis, hanya itulah yang bisa ia lakukan sekarang.
Ia memeluk wajahnya dan terus menangis. Jidan kembali mengingat masa-masa bahagianya bersama Shella. Kini, ia menyesal telah mengabaikan istrinya itu dan selalu membuatnya kecewa dan sakit hati saat masih hidup. Sekarang ia benar-benar kehilangan sosok yang selalu memberikan dirinya kekuatan dan selalu mendukungnya.
"Jidan, sakit banget..." rintih Shella berhasil membuat Jidan tersadar. Ternyata itu tadi hanyalah khayalannya saja, Shella tak benar-benar meninggalkannya.
"Lo tahan bentar, kita ke rumah sakit sekarang." Jidan mengangkat tubuh Shella. Ia segera berlari menuju rumah sakit, di sekitar sana betul-betul tak ada taxi sama sekali, mengharuskannya untuk berlari sambil membawa Shella.
Darah terus bercucuran dari perut Shella mengenai lengan Jidan.
***
Kini mereka sudah sampai di rumah sakit. Shella segera dibawa oleh para suster dan dimasukan ke ruangan UGD.
"Mohon maaf, Mas. Mas harus tunggu di luar, biar dokter yang menanganinya," larang suster mencegah Jidan untuk ikut masuk.
"Tapi, dia bakalan baik-baik aja 'kan?"
"Kami akan berusaha. Mas, berdoa aja, biar Mbaknya selamat," jawab suster.
Suster itu langsung masuk. Jidan mengusap kasar rambutnya, ia gelisah takut Shella terjadi kenapa-kenapa.
"Kenapa tadi gue bisa kepikiran kayak tadi? Apa ini pertanda buat gue?" gumam Jidan.
Jidan terus saja overthinking, mengapa ia bisa berkhayal seperti itu tentang Shella?
Setelah menunggu beberapa menit, Dokter datang. Jidan segera bangkit dan menanyakannya kondisi Shella sekarang.
"Anda ini keluarga pasien, atau..."
"Saya suaminya," jawab Jidan dengan cepat.
"Kondisinya baik-baik saja, ia hanya saja butuh banyak istirahat yang banyak, agar cepat pulih."
"Syukurlah," lega Jidan.
"Tapi... jangan biarkan dia bergerak banyak dulu, karena luka jahitannya masih belum kering," pesan Dokter.
Jidan segera masuk ke dalam ruang rawat Shella. Shella terlihat sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, dengan infusan di tangannya.
"Shella," panggil Jidan. Gadis itu bisa mendengar suara itu, perlahan ia membuka matanya.
Gadis itu tersenyum, karena orang pertama yang ia lihat adalah Jidan, bukan orang lain.
Jidan duduk di kursi di samping Shella, "Gimana keadaan lo sekarang?"
"Baik, baik banget," jawab Shella dengan suara yang seperti berbisik.
"Gue minta maaf, ya. Gara-gara gue, lo jadi luka kayak gini dan perut lo sampe-sampe harus dijahit," ucap Jidan dengan penuh permohonan maaf.
"Kamu gak salah, tapi orang jahat itu yang salah. Orang itu udah berani, celakain kamu," bela Shella, ia meraih tangan Jidan.
"Lo gak perlu–"
"Aku gak bisa diem aja, liat kamu dalam bahaya. Waktu aku liat orang itu di belakang kamu, aku gak mikirin apa-apa lagi," papar Shella.
"Makasih ya."
"Sama-sama."
"Tadi, kamu jatuh dari motor, kamu gak papa 'kan? Ada yang luka nggak?" tanya Shella teringat dengan kejadian tadi di sirkuit.
"Gue gak papa. Cuman... pusing aja sih dikit," jawab Jidan.
"Mau aku pijitin nggak, kepala kamu?" tawar Shella.
"Emang bisa?" remeh Jidan.
"Jangan salah, gini-gini juga aku bisa kalo pijit kepala. Dulu, Mama sering aku pijitin kepalanya kalo lagi pusing," ungkap Shella dengan tertawa.
"Boleh."
"Naik," pinta Shella membuat Jidan kebingungan.
"Naik?"
"Iya, naik. Kamu naik ke sini, biar aku pijit kepala kamu," jawab Shella.
Shella bergeser sedikit agar Jidan kebagian tempat untuk ikut berbaring di sampingnya.
Jidan merasa canggung saat Shella menyuruhnya untuk berbaring di sampingnya dengan jarak yang begitu dekat.
"Tunggu apa lagi? Katanya mau aku pijit kepalanya, aku gak bisa pijit kamu kalo kamu di sana," kata Shella.
Dengan perasaan yang sedikit canggung, Jidan pun akhirnya berbaring di samping Shella.
Tangan Shella mulai memijit pelipisnya Jidan. Benar saja, kepalanya kini sudah membaik karena pijatannya.
Ceklek!
Bruk!
Shella refleks mendorong tubuh Jidan, membuatnya terjatuh ke atas lantai.
"Anj!"
Dokter yang baru saja masuk, merasa terkejut dengan Jidan yang terjatuh dari atas ranjang.
"Pantat gue..." ringis Jidan.
"Mas gak papa?" tanya Dokter yang melihat Jidan meringis kesakitan dibagian pantatnya.
"Gak papa, Dok, gak papa," jawab Jidan berusaha untuk bangun lalu melempar senyum.
Shella tertawa kecil melihat Jidan yang kesakitan karenanya.
"Mbak Shella, gimana sekarang?" tanya Dokter.
"Saya gak papa. Cuman dibagian perut masih sedikit sakit," jawab Shella.
"Syukurlah jika begitu. Jika kondisinya semakin pulih, besok juga bisa dibawa pulang ke rumah," ujar Dokter.
"Emangnya gak papa kalo dibawa pulang? Takutnya nanti ada gejala lain," sahut Jidan.
"Tidak papa. Asal, lukanya harus diobati dengan baik dan dibersihkan secara teratur," jawab Dokter.
"Baiklah, jika begitu saya permisi dulu." Dokter itu keluar dari ruangan Shella.
"Sakit ya?" tanya Shella pada Jidan, karena lelaki itu terus memegangi bokongnya.
"Ya sakit lah, pantat gue kayak remuk jir, kebentur ke lantai," jawab Jidan.
"Lebay deh."
"Lebay lo bilang?" Shella mengangguk.
"Lo mau gue jatuhin juga? Biar sama kayak gue, hah?"
"Kamu berani lakuin itu sama aku?" timpal Shella.
"Enggak sih."
"Ya udah."
"Tapi, sakit," kata Jidan.
"Maaf, tadi aku refleks, kaget liat ada yang dateng."
Jidan menarik kursi dan duduk di sana.
Tinggalkan jejak, makasih!
Jangan lupa vote dan follow juga ya 😊