Warning!
Terdapat adegan kekerasan Seksual!
Byakta membopong tubuh Jani layaknya karung beras, melangkah dengan cepat melewati kediaman keluarga juga barak tempat berkumpulnya pasukan Rajawali menuju kediaman mereka.
Arangga sedang menikmati teh hangat buatan salah satu pelayan cantik yang menjadi incarannya, mengeluarkan senyum andalan serta tatapan lapar membuat pipi pelayan bersemu merah sambil menundukan kepalanya malu-malu.
Dari pintu masuk kediaman, Aranga melihat Byakta membopong jani, membuat laki-laki itu menghela nafasnya. "Dari wajah senopati kita itu, sepertinya aku tidak bisa mengganggunya kan Rima? Bagaimana jika aku mengganggu mu saja? Apa kau tidak masalah?"
Rima menggelengkan kepalanya dengan pipi bersemu. "Tidak masalah Raden." Cicit Rima, dengan segera Arangga menarik Rima untuk duduk di pangkuannya.
"Apakah sudah ada yang pernah menyentuhmu?" Bisik Arangga, yang mendapat anggukan.
"Mantan suami saya dulu sering menyentuh saya Raden, dia sudah meninggal."
"Malam ini datanglah ke barak. Aku menunggumu."
*****
Byakta melempar Jani keranjang, melepaskan kain Jarik yang dikenakan kemudian merobek kebaya yang membungkus istrinya ini.
Tubuh tegap Byakta melingkupi tubuh feminim Jani yang sudah polos, Dada jani yang membusung seakan menantangnya membuat Byakta memasukan payudara itu kemulutnya, menghisap dengan kuat hingga Jani meringis.
"Aku minta maaf kangmas, tolong pelan-pelan akhhh.." Byakta menulikan telinganya, ia membuka lebar paha istrinya sambil menatap wajah panik Jani.
Byakta meloloskan celana kain yang di kenakannya, dengan cepat menyatukan tubuh mereka, menghentak tubuhnya dengan cepat di dalam diri Jani.
Hentakan keras yang dilakukan Bykata membuat Jani melompat terkejut, Byakta dengan segera mencengkram paha Jani dengan kencang, enggan membuat penyatuan mereka terpisah sedikitpun.
Byakta tidak membuai tubuh Jani agar merasa nyaman dengan keberadaan dirinya seperti apa yang biasanya dilakukan, penis besar itu menerobos masuk begitu saja ketika Jani belum terlalu siap. Hentakan keras dan brutal membuat jani menjerit-jerit dengan kepala yang ikut terhentak-hentak tidak karuan.
"Kangmas...kangmas..tolong pelan-pelan." Byakta menulikan telinganya.
Byakta memandangi wajah kewalahan Jani dalam diam, pingulnya masih bergerak dengan cepat dan kokoh untuk membuat penisnya masuk lebih dalam.
Dengan susah payah Jani berusaha mengangkat tubuhnya, untuk menghentikan gerakan brutal yang diterimanya, baru saja tangannya hendak menyentuh bahu suaminya, Byakta sudah kembali mendorongnya hingga terbaring kembali di Ranjang.
"Diam! Aku sedang mencela dirimu! Mencela tubuhmu ini!" Byakta mencengkram buah dada Jani dengan kuat hingga meninggalkan kemerahan berupa cap tangannya.
Jani meneteskan air matanya, ia sama sekali tidak menikmati persetubuhan ini. Perasaan dilecehkan dan tidak dihargai membuat air mata Jani luruh.
"Kau bilang aku mencelamu, kau tidak mengetahui apa itu dicela bukan? Aku hanya sedang memberitahumu bagaimana jika aku mencelamu." Byakta mencabut miliknya, menarik Jani turun dari ranjang, membuatnya seketika terjatuh karena kakinya yang lemas.
Byakta menyodorkan miliknya ke bibir Jani. "Masukan ke dalam mulutmu! Seperti biasa yang kau lakukan." Jani menggelengkan kepalanya, menolak perintah Byakta.
"Baiklah jika mulutmu tidak mau, liang bawahmu pasti mau." Byakta menarik Jani bangun lalu menghempaskan tubuh lemas itu hingga membentur dinding, kembali memasukan miliknya lalu bergerak dengan cepat.
Byakta bergerak dengan liar tanpa mempedulikan tubuh serta kepala Jani yang ikut tersentak-sentak ke dinding. Dinding kayu yang memiliki serpihan tajam menggores kulit Jani.
Tepat dorongan terakhir yang akan dilakukan Byakta, Byakta mendorong miliknya dengan kuat memasuki Jani.
Tubuh tersentak kaget, dengan mata yang membola. "AKHHH sakittt." Teriak Jani dengan air mata yang mengalir, sebelum pandangannya menjadi gelap.
Kepala Jani yang terkulai di bahu Byakta membuat Byakta menyadari istrinya telah pingsan. Membuat Byakta dengan segera mencabut miliknya di dalam diri Jani.
Byakta membelakan matanya menyadari penisnya yang bukan terbenam di vagina Jani, melainkan terbenam dengan dalam di bagian belakang istrinya.
Byakta mencabut miliknya dengan perlahan, Byakta panik ketika ada darah yang keluar dari selangka istrinya. "PANGGILKAN TABIB CEPAT."
Byakta membopong tubuh Jani ke ranjang, Byakta dapat melihat memar-memar di sekujur tubuh Jani. "Sial apa yang kulakukan padamu."
*****
Seorang tabib wanita, usianya tidak jauh berbeda dengan nenek Arthala memeriksa secara menyeluruh Raden Ayu yang masih pingsan, mengoleskan salep luka di memar-memar yang ada.
Setelah selesai mengoleskan obat, sang tabib menatap Senopati dengan wajah kentara menghakimi. "Bisakah kita bicara berdua Senopati?" Byakta menganggukan kepalanya segera, sang tabib pun mengusir pelayannya keluar dari kamar itu.
Tabib itu menghela nafasnya. "Anda melakukannya dengan sangat kasar tanpa belas kasih Senopati. Anda telah melukai tubuh Raden ayu, alat kelaminnya, bahkan Janinnya." Byakta membeku mendengar kata Janin.
"Istriku mengandung anak kedua?" Tanpa sadar Byakta mendekatkan dirinya ke arah tabib itu.
Sang tabib menghela nafasnya. " ya benar Senopati, namun kekerasan yang anda lakukan, juga janinnya berusia masih muda menyebabkan pendarahan. Pelayanku akan membawa obat untuk menghentikan pendarahan, semoga saja pendarahannya berhenti esok hari. Jika pendarahannya tidak berhenti aku akan mengeluarkan Janinnya."
Byakta mencengram bahu Tabib itu. "Kumohon selamatkan anakku, bagaimana aku bisa menatap wajahnya setelah perlakuan kasarku yang menghilangkan bayinya."
Tabib itu mengagukan kepalanya. "Tentu saja itu yang harus aku lakukan. Seharusnya kau memang bertapa malam ini untuk mengusir mantra jahat dan energi buruk, juga kutukan dari banyak orang setelah penaklukan Senopati. Mengapa anda malah pergi ke Raden Ayu?"
Byakta menatap wajah damai Jani. "Aku sangat mengkhawatirkannya ketika ia pergi dari kediaman. Aku langsung mencarinya dan lupa dengan petapaan yang harus kulakukan."
"Seharusnya anda meminta Junta atau siapaun yang anda percayai untuk mencarinya. Kurasa ia tidak bermaksud kabur."
"Istriku hanya bermaksud menenangkan diri setelah mengetahui kematian bibinya." Ucap Byakta pelan.
"Raden Ayu tidak akan lari darimu Senopati, seperti kau yang menatapnya dengan binar cinta, aku juga bisa melihat Raden Ayu juga menatpmu dengan binar mata yang sama."
Sang tabib kembali menghela nafas. "Namun kau memperlalukannya seperti ini, dia akan lari segera dari pelukanmu." Sambung tabib itu, membuat Byakta dipenuhi dengan penyesalan.
"Anda harus segera pergi bertapa untuk membersihkan diri Senopati, walaupun energi gelap itu sudah sebagian menghilang karena pelampiasan yang anda lakukan pada Raden Ayu, namun masih tersisa."
"Baiklah aku akan pergi bertapa setelah melihatnya meminum obat." Tak lama pelayan yang menghantarkan obat datang dengan semangkuk cairan beraroma rempah.
Byakta dengan sigap mengambil mangkuk itu, mendekatui Jani lalu menopang kepala Jani dengan bantal lebih agar lebih tinggi.
Jani membuka matanya, matanya dan mata Byakta bersitatap. "Kau sudah siuman kasihku?" Byakta mengelus lembut rambut Jani yang tersebar di bantal.
Jani menatap takut Byakta dengan kepala yang menghindari elusan di rambutnya. "Jangan kangmas sakit." Jani berbicara dengan suara yang berbisik, matanya menyiratkan permohonan juga ketakutan yang berusaha disembunyikan. "Maaf, maafkan aku kangmas. Aku sudah mengetahi perbedaan dari kasih sayang dan celaan kangmas. Maafkan aku." Mata Jani kembali terpejam dengan air mata yang mengalir.
Byakta memberikan kecupan di tangan Jani. "Engaku tidak bersalah istriku, kangmas yang bersalah atas dirimu dan anak kita." Byakta bangkit, rasanya sangat menyesakan, seakan-akan nafasnya terhenti dengan jantung yang teremas kuat.
Rasa bersalah yang tidak pernah
Byakta dapatkan bahkan ketika ia menghabisi banyak nyawa dalam satu waktu, rasa bersalah ini membuat Byakta ingin membunuh dirinya sendiri.
"Raden ayu apakah anda merasa kesakitan di tubuh anda?" Tanya tabib wanita itu.
Jani menganggukan kepalanya dengan lemah dan suara paru. "Perutku sakit."
"Baiklah, aku telah menyiapkan ramuan agar perutmu tidak sakit lagi, mari aku bantu Raden Ayu." Tabib menyuapkan sendok demi sendok ramuan itu, ketika ada aliran obat yang menetes Byakta ingin sekali mengusapnya. Namun ia sadar betul akan rasa takut yang dimiliki Jani terhadapnya.
Byakta memilih pergi untuk sementara waktu, byakta dapat merasakan Janj yang menatapnya takut sekaligus merasa was-was. "Aku akan pergi sekarang, jaga istriku dengan baik aku akan kembali esok."
*****
Sebelum pergi bertapa, Byakta pergi ke barak. Byakta melihat pelayan kediamannya berada di barak di pagi buta, keluar dari rumah pendopo yang ditinggali oleh Arangga.
Byakta masuk kedalam pendopo tanpa permisi, wajahnya mengeras. Arangga yang denga melakukan ritual sehabis bercinta, dengan meminum tuak di kursi terkejut dengan kehadiran mendadak Byakta.
"Byakta, kau cepat sekali. Kukira kau akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan Raden Ayumu." Gerlingan jahil Arangga buyar karena Byakta menghajarnya hingga terjatuh dari kursi.
"Kau melihatku semalam Arangga, mengapa kau tidak menghentikannya?" Geram Byakta dengan wajah frustasinya.
"Kenapa aku harus menghentikan suami istri yang akan menghabiskan waktu bersama Byakta? Kau akan membunuhku jika aku menghalangi jalanmu semalam." Bela Arangga.
Arangga terdiam untuk sesaat, menyadari kedatangan Byakta ke pendopo, pasti ada hal yang salah dengan kejadian semalam. "Apa yang kau lakukan pada Raden Ayu?" Mata Arangga memincing, dengan segera ia bangkit, berdiri dengan mata yang menatap Byakta tajam.
"Jangan bilang kau memperkosanya semalam?" Arangga tertawa sesaat untuk tebakan ngawurnya, namun Byakta yang menganggukan kepala membuat Arangga mengeraskan wajah dan balik memukul Byakta.
"Apa kau tidak waras!?" Seru Arangga keras, Byakta hanya bisa terduduk, meraih guci tuak itu dan meminumnya.
"Byakta aku memang tidur dengan banyak wanita, namun aku tidak pernah menyakiti mereka. Kau! Bisa-bisanya kau melakukan hal seperti itu!" Arangga frustasi dengan apa yang di lakukan Byakta, rasanya dia bingung ingin mengatakan apa.
"Apa Raden Ayu baik-baik saja?" Arangga penasaran akan kondisi wanita yang pernah disukainya itu.
Byakta terdiam. "Aku melukainya, dia terluka. Aku membuatnya pendarahan, calon putriku bisa mati malam ini jika pendarahannya tidak berhenti sampai esok pagi." Arangga memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit.
Rasanya Arangga ingin sekali menghajar sahabatnya ini. "Aku tahu kau seharusnya bertapa untuk mengembalikan kewarasan juga memurinkan energi tubuhmu, aku tidak mengira membiarkanmu bersama Raden Ayu dan menunda petapaan akan membuatmu kehilangan akal sehat Byakta." Arangga meneguk arak satu guci dan menyirami dirinya dengan Arak tersebut. Ia berharap bangun dan ini hanya mimpi belaka.
Saat membuka matanya lagi Arangga benar-benar kesal karena semua yang terjadi bukan mimpi. "Brengsek kau Byakta!" Arangga menerjang Byakta, menghajar sahabatnya ini, Byakta menerimanya begitu saja tanpa perlawanan, seolah-olah ia datang memang untuk dipukuli.
_
_
_
_
_