Become A Papa||00Line

By bunanya_JeJu

25.4K 2.8K 200

pulang camping ketempelan setan ❌ pulang camping ketempelan bocil-bocil gemoy✅ Serba-serbi empat papa muda me... More

•Part 1: Camping
papa with bocil
•Part 2: Rumah dan keluarga
•part 3: Morning's moment daddy and son
•Part 4: Yuar & Papa__ Arsaka putra Araska
•part 5: Gindra & Ayah__ Abang oke, ayah!
•Part 6: Lio dan Papi__ Jangan buang Lio Papi
•Part 7: Nio dan Baba__ Nio disini Baba!
•part 8: "R" dan Setengah porsi bubur ayam
•Part 9: Cafe
•Part 10: Yuar & Papa__Bim dan masa lalu Yuar
•Part 11: GBK (Geng Bapak Kece)
•Part 13: Nio & Baba__Day with Mama
•Part 14 : Lio & Papi__Lio kesayangan Papi
•Part 15: Banyak bapak banyak rezeki
•Part 16: Gindra & Ayah__Calon bunda Gindra
•Part 17: Berkunjung ke panti
•Part 18 : KKN
•Part 19 : Hari pertama tanpa ...
•Part 20: Melepas rindu
•Part 21: Surprise yang gagal
•Part 22: Yuar & Papa__Ketika papa sakit
•Part 23: Lio & Papi__Lio ketemu Mama
•Part 24: Hewan peliharaan
•Part 25: Drama Senin pagi dan bento cake
•Part 26: Kado untuk Hari Ayah

•Part 12: Perkara nikah dan calon mama

779 101 23
By bunanya_JeJu

Happy reading
*
*
*
*

Sore hari yang cerah dengan suasana damai di rumah. Lantunan sholawat dari speaker bluetooth yang Anang pasang di dapur, setidaknya mampu mengurangi keheningan rumah mereka.

Hanya ada Anang dan Gilang di rumah. Anak-anak mereka tengah menjalani rutinitas sore hari, yaitu pergi mengaji ke TPQ. Untuk Bintang dan Lingga, keduanya tengah pergi keluar untuk membeli sesuatu. Anang yang baru saja menyelesaikan kegiatan memanggang kuenya, kini terlihat berjalan menuju ruang tengah dengan membawa sepiring brownies coklat.

Dia mendudukkan diri di samping Gilang yang sudah berada di sana sedari tadi. Pemuda itu nampak termenung dengan tatapan lurus pada layar TV yang gelap.

"Masih mikirin kejadian kemarin?" tanya Anang memecah lamunan Gilang.

Gilang mengangguk sambil bergumam. Tangannya bergerak mengambil satu potong brownies. "Iya, gue penasaran siapa yang sebar berita kaya gitu. Tapi pikiran gue langsung ngarah ke Anggita. Yah, you know lah. Dia 'kan nggak suka gue rawat Lio."

Setelah mengucapkan hal itu, Gilang mulai menyuapkan brownies bertoping keju itu ke mulutnya. Anang menatap lekat sang sahabat yang sibuk mengunyah dengan lesu. Nampaknya berita kemarin benar-benar mengganggu pikiran Gilang meskipun sudah reda.

"Jangan suudzon dulu, Lang. Kita belum tau kepastiannya gimana. Buat sekarang, kita cuma bisa nunggu Nolan dapet penjelasan dari admin base soal akun yang udah nyebarin fitnah itu," nasihat Anang.

Gilang menghela nafas lalu mengangguk. "Iya, Nang. Gue terlalu kebawa emosi sampe mikir kaya gitu. Tapi ..." Gilang menoleh pada Anang. "... nggak ada salahnya gue menduga 'kan? Siapa tau beneran Anggita yang udah sebar fitnah itu gara-gara nggak terima gue putusin."

Anang menatap datar sahabatnya. "Serah lo, deh, Lang. Lo mikir gitu seakan-akan lupa kalo dulu sampe bela-belain segalanya buat tu cewek. Yang sampe bilang cinta mati, lah. Apa, lah," sarkas Anang. Gilang dibuat kicep oleh omongan Anang itu. Mulutnya berdecak kesal lalu melahap sisa browniesnya sekaligus.

"Apasih," gumam Gilang sebal.

Anang hanya mengangkat bahunya acuh. Ia mengambil remote kemudian menyalakan TV yang langsung menayangkan sebuah kartun bis biru.

"ASSALAMUALAIKUM!"

Teriakan anak-anak terdengar dari pintu depan. Anang dan Gilang menjawab salam mereka. Tak lama, suara langkah kaki berderap terdengar menuju ruang tengah.

"Yeay!! Nio menang!" seru Nio semangat sambil melompat-lompat kecil. Peci yang dipakainya miring dengan celana sarung yang digulung sampai lutut.

"Ih, Nio culang. Kan tadi belum selesai hitungnya," protes Lio tak terima.

"Eh, udah benel, ya, tadi. Kan Kak Yual yang itung," bantah Nio. Kedua bocil itu saling melempar tatapan tajam yang terlihat menggemaskan.

"Sudah-sudah, kalian sama-sama menang. Kan tadi masuk rumahnya barengan," lerai Anang.

Mendengar hal itu, seketika Nio dan Lio membuang muka masing-masing. Mereka menyalami Gilang dan Anang terlebih dulu. Aura permusuhan masih terasa di antara kedua bocah itu. Namun lucunya, mereka justru kompak duduk di karpet menghadap layar TV dengan satu potong brownies di tangan masing-masing.

"Ih, napa, sih, Nio ikut-ikut Lio telus?" tanya Lio sebal.

"Sapa ikut Lio? Olang Nio dulu yang duduk kok, hump!" protes Nio sambil memalingkan wajahnya.

Gilang menghela nafas sabar. Entah kenapa melihat dua bocil itu seakan melihat kembali masa kecilnya yang suka sekali bertengkar dengan Lingga.

Tak berselang lama, Bintang dan Lingga pulang dengan masing-masing menenteng satu kresek belanjaan.

"Baru pulang, Kak?" tanya Bintang sembari duduk di samping Yuar.

"Iya. Papa dari mana?" tanya Yuar balik.

Bintang menepuk kantong di sampingnya. "Dari minimarket sama toko buku, ensiklopedia kamu udah Papa beliin."

Mendengar jawaban Bintang, Gindra dan Yuar langsung meminta izin untuk membuka kresek itu. Keduanya mengeluarkan semua isi kresek guna mencari barang yang mereka pesan tadi.

"Lho? Abang pake cincin?" tanya Anang saat melihat sebuah cincin plastik berwarna merah di jari tengah Gindra.

Gindra menghentikan kegiatannya sejenak lalu mengangkat tangannya, hendak menunjukkan cincin yang dimaksud sang ayah. "Iya, Ayah. Ini cincin nikahan Abang sama Sela."

Ucapan Gindra sukses membuat para papa muda itu terkejut. Bahkan Gilang sampai tersedak potongan brownies yang baru saja dimakannya. Lingga dengan ekspresi kaget dan heboh membantu membuka sebotol minuman untuk Gilang. Sedangkan Bintang menatap Gindra cengo. Mendadak otaknya terasa buntu mendengar ucapan putra Anang itu.

Sepertinya hanya Anang yang cukup tenang. Ia  menatap tak mengerti pada sang anak. "Maksudnya gimana?"

"Tadi waktu di TPQ, Kak Riku ajak salaman, Ayah. Terus Kak Riku bilang gini---" Gindra menjabat tangan Yuar. "'saya nikahkan Gindra dan Sela dibayar tunai'."

"Telus-telus, Kak Liku tanya gini---" Nio ikut menyahut dengan heboh. Ia berdiri hendak mempraktekkan apa yang ia alami tadi.

"Pala saksi sah?" tanya Nio sedikit keras.

"SAHHH!!" jawab Lio sambil berteriak.

"Telus semuanya tepuk tangan. Telus Bang Gindla disuluh cium pipi Kak Sela," lanjut Lio sambil bertepuk tangan heboh. Aksi ketiga bocah itu mengundang tawa para ayahnya.

"Gitu, Kak?" tanya Lingga pada Yuar disela tawanya.

"Iya, Baba. Katanya, Kak Riku lagi belajar biar kaya ayahnya. Terus coba dulu ke Gindra sama Sela," jawab Yuar.

"Owalah, anaknya Pak Hendra emang rada-rada." Gilang menggeleng sambil tertawa. Tak habis pikir dengan tingkah anak penghulu di komplek mereka.

"Berarti Abang udah nikah sama Sela 'kan, Ayah?" tanya Gindra sambil menatap polos sang ayah.

"Nggak gitu, sayang. Itu Kak Riku cuma bercanda. Ada syarat dan aturannya agar seseorang bisa menikah dengan sah. Abang 'kan masih kecil, belum sunat juga," jawab Anang sambil tersenyum. "Kamu aja belum punya bunda, Nak. Masa Ayah udah punya mantu?" lanjut Anang dalam hati.

"Terus kamu cium Sela beneran, Bang?" tanya Gilang sambil tersenyum menggoda.

Gindra menggeleng. "Sela nggak mau. Katanya malu, terus Kak Riku kasih ini buat tanda kalau Abang sama Sela udah nikah," jawab Gindra sambil mengangkat jari tengah, berniat menunjukkan cincinnya pada Gilang.

"Berasa diajak gelut gue sama anak Nanang," gumam Gilang sambil menekuk jari Gindra.

"Ngomong-ngomong ...."

Kini semua mengalihkan atensi pada Nio. Bocah lima tahun itu mengedarkan matanya, menatap satu persatu pemuda di depannya.

"Ayah, Baba, Papi, sama Papa kapan nikah?"

•••••(≧▽≦)•••••

Gara-gara pertanyaan Nio tadi sore, kini keempat papa muda itu mendadak jadi kepikiran. Mereka diam berpikir sambil menatap anak-anak yang sedang bermain lego. Tepatnya hanya Gindra, Nio, dan Lio saja yang bermain, karena Yuar sudah duduk diam mengeksekusi buku barunya. Bocah 7 tahun itu bahkan memakai sebuah kacamata meskipun tanpa lensa. Katanya pengen kaya papanya yang kalau baca buku suka pakai kacamata.

"Dek, emang kalian udah pengen punya mama, ya?" tanya Gilang memecah keheningan. 

Lio menoleh ke arah papinya. "Adek telselah Papi. Kan yang nyali Papi, bukan Adek," jawab Lio kemudian kembali fokus pada legonya.

"Ya, mana tau kamu pengen punya mami yang gimana gitu?" tanya Gilang lagi, mencoba mengorek pendapat sang anak.

Tanpa mengalihkan pandangannya, Lio menggeleng pelan. "Adek ndak tau."

Gilang mengangguk saja. Ia teringat akan kejadian terakhir kali sebelum putus dengan pacarnya. Sepertinya ia harus benar-benar teliti dalam menilai calon pasangan kelak. Terlebih putranya punya kenangan buruk tentang sosok ibu.

"Bang, kalau emang mau bunda, pengennya yang kaya gimana?" tanya Anang.

Gindra menghentikan kegiatannya sejenak untuk berpikir. "Yang kaya istri Nabi Muhammad boleh, Ayah?"

Anang cengo. "Beuh, minimalnya, lah, Bang. Itu mah maksimalnya. Udah susah nyari yang seperti itu."

Gindra berpikir kembali. "Kalau yang seperti Rabiah adawiyah?"

"Udah nggak ada yang kaya gitu. Beliau 'kan cintanya cuma sama Allah. Yang lain, lah, sekiranya bisa setara dengan Ayah yang cuma manusia biasa ini," tolak Anang sambil geleng-geleng. Bintang, Gilang, dan Lingga hanya menonton perdebatan random pasangan ayah anak itu sambil sesekali terkekeh.

Gindra yang awalnya merakit lego, kini justru sibuk mengabsen nama-nama wanita hebat dalam islam yang diingat sebagai kriteria bundanya. Anang sedikit kewalahan, namun cukup bangga karena sang anak mengingat dengan baik kisah-kisah islami yang selalu ia bacakan sebelum tidur.

Anang sempat salah membeli buku dari online. Harusnya buku yang datang tentang para sahabat Nabi. Tapi datangnya justru buku tentang wanita-wanita hebat dalam islam. Gindra yang penasaran pun mendesak Anang agar membacakan untuknya sebelum tidur. Tak sangka justru malah Gindra jadikan patokan untuk kriteria calon bundanya.

"Wah, Bang, kriteriamu di atas angin semua itu. Apa daya Ayahmu yang masih suka khilaf ini," celetuk Anang menyerah.

Gindra terdiam sejenak lalu kembali pada aktivitasnya merakit lego. "Ya udah, terserah Ayah aja. Yang kaya nenek juga ndak papa."

"Nah, kalau yang kaya gitu bisalah Ayah cariin," sahut Anang sambil manggut-manggut. Bintang dan yang lain terkekeh. Kini gantian Lingga yang hendak melontarkan pertanyaan pada sang anak.

"Baba, kalau besok Baba nikah sama onty cantik, Nio minta diundangin EXO, ya." Belum sempat Lingga bertanya, Nio sudah menyeletuk lebih dulu.

Lingga menjatuhkan rahangnya cengo. Detik berikutnya ia tersenyum jahil. "Boleh, besok Baba undang EXO buat kamu."

Nio yang mendengarnya langsung berbinar. Ia bangkit dari duduknya lalu menerjang sang baba yang duduk di sofa. Bocah itu memeluk kaki Lingga sambil menatap babanya berbinar.

"Benelan?" tanya Nio semangat.

Lingga mengangguk. "Iya, beneran. Tapi ada syaratnya."

"Apa syalatnya, Baba?" tanya Nio tak sabar.

"Syaratnya harus nunggu mereka tau kalau ada kita di dunia ini," jawab Lingga sambil tersenyum jahil. Kedua alisnya terangkat, menggoda sang anak yang kini terdiam. Tawa keras terdengar dari Anang dan Gilang, sedangkan Bintang hanya terkekeh.

"Ah, ya udah. Ndak jadi. Mending suluh Om Candla nyanyi dangdut aja," ucap Nio lalu kembali ke tempatnya semula. Lingga terkekeh melihat wajah lesu anaknya. Ia turun dari sofa lalu memeluk sang anak erat.

"Jangan sedih, besok kita beli album NCT, mau? Sama calon mamamu juga," hibur Lingga sambil melirik ketiga sahabatnya. Ia sengaja menekan ucapannya saat mengatakan 'calon mama' untuk mengejek ketiga papa muda yang lain. Bintang, Anang, dan Gilang yang paham akan maksud sahabatnya itu hanya memutar bola mata malas.

"Okey, Baba," balas Nio yang kembali bersemangat. Lingga tertawa puas, masih dengan tatapan mengejek ketiga sahabatnya. Nio yang melihat babanya tertawa sendiri pun merasa sedikit aneh. Ia menggunakan jari telunjuknya untuk membuat garis miring pada dahi.

"Agak miling kayaknya Baba," gumam Nio sambil meringsut menjauhi babanya.

Anang, Gilang, dan Lingga beralih menatap Bintang. Yang di tatap pun segera menunduk, melihat sang anak yang nyaman bersandar pada sofa sambil membaca buku.

"Kak," panggil Bintang.

Yuar mendongak menatap Bintang yang tepat di belakangnya. "Ya, Papa?"

"Kriteria mama yang cocok menurut kamu gimana?" tanya Bintang. Yuar terdiam, lalu menutup bukunya. Ia membalikkan badannya menghadap sang papa.

"Ndak tau, tapi yang penting mama harus sayang sama Papa. Kalo ndak sayang sama Papa, ya udah," jawab Yuar terdengar menggantung.

Bintang dan yang lain diam menunggu kelanjutan ucapan Yuar. Namun bocah itu tak kunjung kembali berucap, malah membuka bukunya lagi.

" 'ya udah' apa?" tanya Bintang tak sabar.

"Apa?" tanya Yuar balik dengan wajah bingung menoleh pada Bintang.

"Itu tadi omongan kamu itu. Kalau mama ndak sayang sama Papa," jawab Bintang.

"Ya udah, ndak usah jadi istrinya Papa," sahut Yuar lalu kembali pada bacaannya.

Bintang hanya diam, ia membalas ucapan anaknya dengan gumaman dan anggukan. Namun dalam pikirannya seketika ramai menggerutu akan jawaban singkat sang anak. Ketiga pemuda yang melihatnya hanya memutar bola mata malas.

"Apa yang kita harapkan dari dua orang itu?" gumam Lingga kecewa.

"Jangan harap bisa mendengar debat di antara mereka," sambung Gilang.

Anang yang duduk di antara keduanya hanya mengangguk, setuju dengan pendapat kedua sahabatnya yang lain.

•••••(≧▽≦)•••••

Up, segini dulu, ya.
Part ini banyak banget dialognya 😌
Jangan lupa vote dan komennya kalau kalian menyukai part ini

Lanjut??

See u 👋




























Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 11K 32
21+ Demi membayar biaya perawatan kekasihnya yang sedang Koma akibat kecelakaan, Bianca terjebak menjadi Maid di Rumah mewah milik keluarga Richard A...
81.3K 8.3K 47
Kisah Ellio yang sering di hantui banyak pertanyaan tentang dirinya sendiri. Mengapa dia bisa membaca pikiran orang lain? Mengapa dia mampu melihat...
2.2M 67K 65
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
387K 37.2K 20
Tentang Hachiko. Anak sebatang kara yang berjualan koran untuk sesuap nasi, namun siapa sangka hidupnya berubah sejak korannya di borong oleh paman...