Another Place
Dalam bayang samar-samar aku melihat titik cahaya berputar-putar diatas kepalaku. Masih berdenyut dan pusing. Tubuhku juga masih lemas sekali, aku seperti sehabis bangun tidur yang baru beres bekerja seharian tanpa istirahat. Aku mencoba membuka mataku sedikit. Pantulan cahaya dari atas menyorot tajam kearahku. Silau.
Mulutku berdecak-decak untuk merasakan sesuatu yang menempel didalam mulutku. Pahit.
Sedikit aku menggerakan kepala ku kesamping—demi membangunkan kesadaranku lagi.
"Kuroko?"
Ada yang memanggil ku?
"Emm.... Siapa?"
Suaranya seperti terendam oleh lautan yang dalam, namun menggema di telingaku sampai jantungku seperti dikagetkan oleh sengatan listrik begitu mendengarnya.
Apa tadi aku berbicara, bahkan aku tidak mendengar suaraku sedikit pun. Tapi jelas sekali aku mendengar namaku disebut, suaranya tak jauh dari sini.
"Hey Kuroko?"
Nada baritonnya menggema di kedua telingaku. Aku sedikit bisa melihat profil wajahnya walau masih bayang-bayang—dia berambut merah, wajahnya tampak kokoh, rahangnya besar dan....
"Kagami-kun?"
Mataku membelalak seketika melihat Kagami-kun ikut berada disini juga. Tidak perlu dikagetkan atau dibangunkan oleh siraman air mataku sudah kembali segar. Sebelum aku sempat menyahutnya, sesuatu yang dingin dan berat melilit leherku. Bahkan kepalaku berkali-kali lebih berat dari biasanya semenjak gelang ini melingkari leherku.
Rupanya Akashi-kun masih belum juga melepaskan belenggu ini.
"Kenapa Kagami-kun bisa ada disini? Mereka menangkapmu?" Suaraku sepertinya teramat pelan sekali. Aku mencoba mengayunkan tanganku yang teras pegal.
Tak disangka aku kembali kedalam sangkar yang sama.
"Ya. Mereka membantai habis keluarga kita, Kuroko."
Aku mendongak kepalaku. Heran.
Bualan apalagi yang dilontarkan dari bibir manis mu Kagami-kun, aku tidak sedang bercanda saat ini. Moodku sedang tidak bersahabat bila kau ajak bermain denganku, tapi kenapa raut wajahnya seolah-olah meyakinkanku untuk percaya. Katakan tidak bila yang tadi dikatakannya memang benar cuma lelucon—maksudku, aku sangat mengharapkannya. Irish scarlet merah merona yang bersinar dalam sorotan lampu berpaling padaku dengan tatapan naas yang sama sekali tidak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata. Hanya saja dalam matanya seakan-akan sedang berbicara padaku untuk menyampaikan deretan kalimat yang tak mampu diucapkannya.
Sedikit aku merasakan bulir-bulir air bergenang disudut mataku. Please, kumohon jangan menangis ditempat ini. Sungguh memalukan.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Kagami-kun?"
Rambut merahnya menari dengan liar ketika wajahnya kembali berpaling padaku. Dia duduk bersandar di dinding dekat westafel. Kedua kakinya direnggangkan kedepan dan sedikit gerak-gerik kegelisahan—mungkin tempat ini membuatnya tidak nyaman. "Entahlah. Aku juga tidak tau pasti. Aku terbangun dari tidurku dan semua orang sudah tergeletak dilantai dengan keadaan bersimbah darah."
Kali ini raut mukanya yang biasa kulihat tampak bersemangat sekarang tidak jauh berbeda dengan boneka Teddy malang yang dihabisi oleh segerombolan anak-anak yang memperebutkannya. Bahkan sepatah katapun tak terucap dariku hanya demi menanyakannya kenapa aku melihat kedua matanya telah berlinang airmata seperti itu. Wajahnya terkantuk—merunduk hendak dia menyadari kalau aku telah menyadarinya.
"Maksud Kagami-kun apa?"
Pertanyaan bodoh apa yang barusan keluar dari mulutku. Astaga, menangis bukanlah jawaban yang aku inginkan saat ini. Tidak biasanya Kagami-kun yang kukenal tampak kuat sekarang malah terlihat seperti mahluk rapuh.
"Seharusnya aku tidak berbicara hal ini padamu. Aku hanya tidak kuat saja membayangkan kejadian kemarin, sampai aku beranggapan kalau diriku ini memang mahluk yang lemah. Aku tidak bisa melindungi semuanya. Maafkan aku Kuroko." Sedikit tawa walau terkesan pilu, mungkin dia sedang tidak mau menunjukan eksperi cengengnya padaku. Menangis masih saja berusaha untuk tertawa.
"Kagami-pun tidak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Aku sudah meninggalkan kalian, bahkan aku tidak bisa pulang kembali kesana. Aku tidak bisa membawakan sesuatu yang memuaskan," kali ini aku angkat bicara.
Tangannya mengusap airmata yang mengalir dipipinya. Aku tertegun sejenak atas apa yang telah kulihat didepanku sekarang. Semua tampak terlihat menyedihkan. Tempat ini tidak jauh berbeda dengan ruangan penjagalan disebelah—tempat dimana para vampire akan diekskusi mati dengan tidak manusiawinya. Warga desa disini juga diberikan akses tontonan gratis setiap minggunya, menyaksikan kematian mereka dengan tawa hina dan menunjukan sosok angkuh melihat tawanan mengenaskan seperti kami tergeletak tanpa kepala dan terjatuh tepat di semua kaki jahanam orang-orang.
Tidak ada yang lebih buruk dari julukan 'hewan ternak' dua rentetan kalimat itu sudah cukup membuat kami tertohok ngilu mendengarnya. Kami para tahanan yang menikmati sisa-sisa hidup didalam sel naas ini hanya bisa pasrah dan menunggu giliran untuk dipanggil keruang eksekusi.
Kami para vampire adalah mahluk yang rapuh dan tidak lebih dari kata menyedihkan. Serendah itukah kaum kami didepan mereka yang sama sekali tidak punya hati nurani?
Sel yang kami tempati juga tidak layak disebut sel, hanya ada satu kasur yang tersedia untuk kami dua orang saja dan disisinya westafel yang jauh dari kata bersih terpajang tepat disebelah tempat kami tidur. Warna coklat dekil kehitaman adalah warna yang pantas untuk dinding sel ini, menggambarkan kesan kemuraman dan kesengsaraan bagi kaum terintimidasi yang menempatinya. Bau karat meruak indra penciumanku tiap kali aku menghirup udara disini yang entah sudah tercampur oleh bau keringat atau unsur kandungan lainnya yang berada disepanjang area sel-sedikit membuatku mual dan bertahan beberapa detik untuk tidak bernapas.
Lampu yang terpasang disini juga terbatas sekali itupun lampu yang kami dapat sudah remang-remang tidak karuan hanya tinggal menunggu ajalnya saja.
Tempat ini jauh dari kata terang—gelap seperti mati lampu. Deru napas terasa sesak tiap kali harus berdiam disel ini terlalu lama. Cahaya matahari juga tidak mau menerangi ruang kecil kami-percuma bagi vampire karena cahaya itu akan membakarnya.
Dan setiap malam sel ini terus menjerit kesakitan-meraung-raung bagaikan binatag jalang yang ditelantarkan oleh sang majikan—kami semua disini tidak jauh berbeda dengan peliharaan. Makanan yang diberikan pun tidak pantas dikatakan makanan, karena hanya sepiring nasi basi yang diberi potongan daging babi goreng dan segelas air putih. Wajar saja para vampire menolaknya karena memang bukan makannya, namun mau tidak mau, suka tidak suka dan sungguh terpaksa makanan menjijikan yang bakal menyakiti tubuh mereka harus tertelan demi tidak kelaparan.
Aku hanya minum air putih saja, entah segelas pun sudah cukup membuatku kenyang, walau perutku meminta lebih, tapi bila kami menolak maka kami akan mendapatkan 2 cambukan rotan dipunggung.
Aku bahkan sangat takut sekali dengan kehadiran Akashi bila dia sudah mendapat giliran untuk menjaga sel ini. Dia datang untuk menyiksa semua vampire didalam sini—dan tentu satu pelanggaran itu adalahh bagian tugasnya memberi hukuman.
"Kagami-kun, apa kita bisa lolos dari sini?"
"Aku tidak tau, Kuroko. Tapi sepertinya tidak akan bisa. Lagi pula di setiap gerbang ada penjaga yang menjaga dengan ketat dan disel ini juga ada 3 penjaga."
"Apa Kagami-kun bisa berubah jadi kekelawar? Kalau bisa aku minta tolong Kagami-pun ambil kuncinya disaat penjaga semua tertidur."
"Huh?" Alisnya bertaut sebelah,"Kau pikir ini film apa, jelas aku tidak bisa melakukannya. Kau ini ada-ada aja."
Sosok ringkih itupun tertawa, aku juga tidak tau apa pertanyaanku tadi mengandung unsur leluco, bahkan aku juga tidak tertawa. Namun, walau kini wajahnya terlihat seperti sedang memelas belas kasihan, setidaknya itu sudah cukup membuat perasaan ku membaik.
"Aku sangat senang Kagami-kun tersenyum lagi." Kataku. Aku mendekat kearah Kagami-kun dan duduk disebelahnya sambil menyandarkan kepalaku dibahunya. Sekejap aku merasa nyaman dengan tubuh Kagami-kun yang hangat ini.
Tanpa kusadari aku menangkap suara kecil desahan Kagami yang membuatku kembali harus bertanya padanya, "Ada apa Kagami-kun?"
"Aku bukan tembok, jadi kalau mau menyender jangan kepadaku." Katanya terkekeh-kekeh.
"Tubuh Kagami-kun hangat, apa tidak keberatan kalau nanti aku tidur memelukmu?" Tanyaku
"Kau pikir aku ini guling apa. Justru tubuhmu itu yang hangat, tubuhku ini dingin tau." Mulutnya cemberut, tangannya mengacak-acak rambutku.
Aku tertawa kecil.
"Pasangan menjijikan."
Suara bernada otoritas mengejutkan adrelinanku dalam sekejap. Sebuah aksen kata yang begitu familiar ditelingaku mengundang hawa mencekam sampai menjalar keseluruh tubuhku. Lantas tanpa kusadari sosok itu sudah bertengger didinding sel.
"Akashi-kun?" Lirihku disela-sela kesunyian.
Mata heterochromaticnya yang menyala dalam gelap bagaikan kembang api yang diledakan dengan bongkahan api meratapi kami berdua oleh tatapan dinginnya. Seolah timbul pertanyaan besar yang melayang-layang diatas kepalanya saat menyadari kami berdua sedang asyik bercanda-ditempat naas ini.
Aku menundukan kepalaku-tak kuasa mataku ini mencoba berpaling kearahnya. Kulirik Kagami-kun-dia juga ikut menunduk. Satu hal yang kami rasakan bersama adalah 'kami takut'.
"Reo Mibuchi, bawa rambut merah itu kedalam lab." Nada otoriternya memanggil seseorang. Begitu angkuh sosok dia ini memerintah bawahannya.
Seorang pemuda jangkung berambut hitam klimis berseragam senada dengan Akashi-kun muncul dari koridor. Dia berjalan dengan tubuh tegap lurus, kakinya yang panjang melangkah sedikit demi sedikit sampai menimbulkan hentakan kasar diatas lantai, tidak lupa juga dengan kedua mata abunya yang meninggalkan kesan tegas dan keras hendak saat bertatapan dengan para penghuni sel 3 ini.
"Sudah kau siapkan gelang peraknya, Eikicci Nebuya?" Tanyanya pada sosok pemuda gagah bertubuh besar, berambut mohak dan berkulit hitam.
Si empunya nama mengangguk—sebagai bentuk respon atas perintahnya.
Apa yang mereka lakukan? Terlintas dipikiranku bertanya-tanya. Aku tidak akan pernah mau membiarkan Kagami-kun berada ditangan-tangan kotor mereka. Tidak akan pernah kubiarkan kau menyentuh keluargaku sedikitpun. Apa kalian tidak cukup puas menyakiti semua rekan-rekanku dengan semua alat-alat siksamu.
Tatapan itu sungguh menyakitkan.
Aku menggenggam erat-erat tangan Kagami-kun. Aku tidak mau tangan milikku terlepas jauh dariku.
Suara derit pintu sel terdengar begitu kecil, namun suara itu sudah cukup membuat telingaku sakit mendengarnya. Aku berdiam dalam sunyi tanpa kata yang terucap dari bibirku. Mataku tak mampu berpaling pada sosok-sosok jangkung yang sedang tengah berdiri menyaksikan keadaan naas kami berdua.
Hingga kudengar sedikit bunyi sepatu pantofel mendekat kearah kami—refelks aku semakin kuat menggenggam tangan Kagami-kun.
"Menjauhlah bocah!"
Tangan kekarnya menjambak rambutku dengan kasar. Aku menahan nyeri. Seberapa kalipun kalian menatap kami dengan tatapan hina, seberapa kalipun kalian mencoba menghajarku dengan amarahmu, aku akan tetap berpaling pada keinginanku.
Kini yang kurasakan hanya hawa dingin yang membaluti seluruh ragaku. Logikapun tak mampu berpikir kembali. Bunyi tetesan air paralon mewakili suara detak jantungku yang bahkan mungkin tak bisa kudengar lagi.
Semua terlihat tampak gelap dan tidak memiliki warna yang indah.
"Lepaskan sialan!"
Si pria bertubuh besar terus menghujamkanku dengan tendangan kasar yang telak mengenai punggungku.
Perutku tiba-tiba sakit.
"Lepaskan Tetsuya."
Kali ini nada dingin itupun terdengar kembali, rasanya begitu menusuk kali walau aku sungguh tidak mengerti makna sebenarnya. Seolah semua perintah yang diucapkannya itu adalah mutlak.
Tapi jangan berharap untuk yang satu ini aku tunduk dengan ucapanmu, Akashi-kun. Semua kata-katamu sekarang sudah tidak tercantum lagi didalam kamus kehidupanku. Kalau boleh jujur aku ini adalah mahluk yang rapuh. Sekali sentakan yang kudapatkan pasti akan cepat meruntuhkan harapanku dalam sekejap, karena ini aku akan tetap teguh pada keinginanku.
"Tidak akan kulepaskan." Aku menggeram kesal, walau kusadari bahwa suaraku telah tenggelam, namun aku bisa menebak mereka pasti mendengarnya dengan jelas.
Setelah itu aku mendengar hembusan napas berat yang mungkin bisa diartikan ia tidak menyukai dengan tingkahku kali ini.
Aku menundukan kepala, tak kuasa kedua mataku mencoba menatap pada sosok mata yang sangat kubenci. Tubuhku dan mulutku masih bergeming. Tidak ada sepatah katapun yang mampu kuucapkan hanya untuk mencegah mereka mengambil Kagami-kun.
Dan aku menangkap sedikit suara getir yang terngiang-ngiang sampai ditelingaku. Oh tidak Kagami-kun. Kau tidak boleh menangis dihadapan mereka. Sungguh ekspresi wajahmu kali ini membuat mentalku semakin hancur.
Dalam isakan tangis ia berbisik, "Tak apa Kuroko. Aku baik-baik saja."
"Jangan mengarang Kagami-kun. Aku tidak mau mereka menyakitimu."
"Brengsek! Jangan lama-lamain pekerjaanku bodoh. Kali ini kau sudah membuat kesabaranku meledak."
Suaranya menggelegar bagaikan sambaran petir yang sedang mengamuk-ngamuk dilangit.
Aku cepat merapatkan kedua mataku. Bisa kutebak kalau tangan kekar itu sudah bersiap-siap menghajarku. Tepat didepan wajahku.
Aku membisu. Aku siap dengan segala siksaan berikutnya.
"Nebuya! Jangan sakiti buruanku."
Suaranya memberhentikan cepat orang ini. Jelas saat kedua mataku membuka kembali tangan besar itu sudah sedikit lagi akan mengenai wajahku.
"Akashi," panggilnya
"Biarkan aku yang urus." Katanya tegas.
Mataku mengekori kemana kakinya melangkah. Dia masuk kedalam sel ini dengan membawa satu alat cambukan.
Oh tidak—demi hidupku jangan siksa aku didepan Kagami-kun. Tidak. Aku tidak mau Kagami-kun melihatnya.
—kumohon, Akashi-kun.
Aku ingin sekali menjerit, tapi tenggorokanku terasa begitu sakit sekali.
"Tontonan menyedihkan," Seorang pemuda berambut putih ikut mencibir.
"Bawalah aku cepat." Tukas Kagami-kun sambil merangkul tubuhku. Aku bisa merasakan getaran hangat yang mengalir ditubuhnya. Nyaman—tidak. "Kumohon, jangan sakiti dia."
Begitu katanya saat sosok pemimpin yang disegani itu telah berdiri tepat didepan kami berdua—jaraknya sejajar dengan pria bertubuh besar. Salah satu dekannya.
Tanpa kusadari kedua mataku menoleh pada pemilik mata dwiwarna yang warnanya indah bagiku. Warna merah yang senada dengan rambutnya adalah salah satu warna favoriteku.
"Tentu tidak," ucapnya sambil menyeringai, "Tapi satu hal yang paling kubenci, aku tidak suka orang lain menganggu pekerjaanku. Kau paham maksudku?"
Aku mendongakkan kepalaku, menatapnya, "...."
Satu gamparan telak mengenai pipiku. Tubuhku sampai terjungkal balik dan mencium lantai. Aku menahan nyeri sejenak sesaat kepalaku terbentur oleh benda keras—pusing sekali.
Hingga tangan hangat yang kugenggam tadi pun terlepas lagi.
"Kuroko!" Seru Kagami
"Bawa dia cepat. Anak ini akan kuberi pelajaran sedikit." Begitu kata-katanya terlalu mengiang-ngiang ditelingaku.
"Kagami-kun!" Aku berteriak histeris. Aku mencoba melangkahkan kedua tangan dan lututku sebagai kaki untuk berjalan merangkak kearahnya.
Suraian rambut merah padam itu mulai menjauh dari jangkauanku. Kedua dekan itu menahan Kagami-kun dengan memasangkan gelang perak yang sama dengan ku itu dipasangkan dileher.
Satu dekannya lagi mencambuk Kagami-kun dengan sabuk hendak Kagami-kun memberontak. Aku meringgis melihatnya—menyakitkan sekali.
"Jangan sakiti dia, kumohon. Bawa aku saja. Biarkan aku yang menggantikan Kagami-kun." Aku berseru sambil berjalan mendekat kearahnya.
Namun tendangan kasar mengenai wajahku, aku terpukul lagi hingga kepalaku berbenturan lagi dengan dinding.
Akashi-kun menendang wajahku.
"Jangan sentuh keluargaku dengan tangan busukmu! Kalian manusia semua biadab!" Geramku kesal. Aku yakin suaraku tadi begitu bising sekali sampai pada akhirnya raut kemurkaan itu menampak diwajah pucatnya.
Tatapan dinginnya menguburi semua emosiku yang sudah meluap-luap. Tatapan yang paling kubenci, sikap kasarnya dan semua cacian yang terucap dari kedua belah sudut bibirnya untukku.
Sudah begitu lama aku menahan rasa sakit yang selama ini ia lakukan padaku. Begitu banyak luka yang membekas disekujur ragaku dan memoriku. Satu hal yang tak mampu kulakukan adalah melupakan semua itu.
Mahluk rapuh.
Perlahan-lahan bisikan yang kurindukan mulai menjauh dariku. Kedua dekan itu sukses membekap Kagami-kun—aku menyadari sepenuhnya kalau ternyata memang benar aku adalah mahluk rapuh—tidak mampu melindungi orang-orang yang kucintai.
Sosoknya menghilang ditelan gelap. Kini didalam sel hanya aku dan Akashi-kun saja—kami saling membisu tanpa ucapan dan salam.
Walau matanya bersinar dalam gelap, tapi itu tak cukup menerangi ruangan tanpa warna ini. Aku bisa mendengar suara kecil detakan jantung, tapi tak bisa kutebak suara detak jantung siapa itu—mungkin aku. Suaranya semakin terdengar jelas ketika sunyi membaluti ruangan ini.
Suaranya seirama dengan suara dentingan tetesan air paralon.
Aku masih bergeming. Membukam kuat-kuat mulutku dan menundukan kepalaku darinya—yang bisa kulihat hanyalah kedua kakinya yang terbungkus sepatu pantofel hitam mengkilat tepat berdiri didepanku.
Dalam samar-samar aku merasakan tetesan air mengalir kepipiku lalu turun dan membasahi tanganku.
Apa aku menangis?
Aku tidak mau menunjukan wajah bodoh ini kepadanya. Aku tidak mau Akashi-kun menindasku terlalu jauh lagi. Sudah cukup.
"Tetsuya?" Panggilnya dengan nada otoriternya.
Aku tetap bergeming—menundukan kepalaku.
"Lihatlah kedua mataku, Tetsuya."
"Tidak Akashi-kun. Aku tidak mampu." Suaraku terkesan berbisik dan bercampur oleh isakan tangis yang tertahan.
"Sudah 3 kali kau membuat kesalahan hari ini. Kau tau hukumannya?"
"Ya."
"Begitu?" Lirihnya menghela napas berat. "Siapkan dirimu baik-baik."
.
.
.
Next Chapter III
AN: Terimakasih sudah mengikuti cerita Eden, dan maaf bila penggunaan bahasanya dan EYD kurang baik. Sekali lagi akan saya usahakan untuk membuatnya lebih baik. Segala komentar dan votesnya saya sangat menantinya.
Sekali lagi terimakasih atas kunjungannya. Followku juga ya @kourohan13 dan pasti akan ku followback *promosi*plak//
⊙﹏⊙