Edelweiss.

By Elfrea

10.6K 1.6K 125

Dihadapkan pada dilema antara menyerah pada takdir atau mengejar kebahagiaan dalam pelanggaran norma. Aku me... More

Flora Shafiqia Agatha
Ferrelian Elvaro
01 • Pesta.
02 • Mungkin.
03 • Troublemaker.
04 • Terjebak.
05 • Gangguan.
06 • Bingung I
08 • Cara Bermain.
09 • Dalam Bayang.
10 • Menjadi Nyaman.
11 • Mengikuti Kata Hati.
12 • Tidak Sendiri Lagi.
13 • Pengakuan.
14 • Pagi.
15 • Penyelesaian.
16 • Berubah

07 • Bingung II

545 91 9
By Elfrea

''Hati-hati kepada siapa kamu membenci''
.
.
.
.

Yori sudah meminta Ferrel sebulan lalu untuk menonton pertunjukan tari bersama teman-teman sekelasnya. Ferrel selalu datang, bahkan termasuk saat pembagian rapor Yori. Duduk di antara ibu-ibu yang menunggu nama anak mereka dipanggil. Menggantikan Papanya yang tidak mungkin berada di sana. Ferrel tidak ingin Yori merasa jika Papanya kurang perhatian pada mereka. Meskipun benar, setidaknya bukan sekarang Yori menyadari kenyataan itu.

''Nah, sekarang kita ke mana?'' tanya Flora. Cewek itu sudah mengganti sepatunya dengan sendal selop ungu miliknya.

Mungkin keputusan Ferrel untuk membawa Flora ke pertunjukan Yori mungkin terkesan sedikit berlebihan. Pasalnya, dia belum pernah memperkenalkan seorang wanita pun kepada keluarganya. Meskipun sikap jutek Yori terhadap Flora bukanlah perkenalan yang sebenarnya, tinggal menunggu waktu sebelum Yori membicarakannya di rumah.

''Gue anter lo pulang.''

Flora menoleh. Menatap Ferrel tidak percaya. ''Kok, pulang!?'' Ia kemudian melihat jam di tangannya. ''Jangan cemen, ah.''

''Gue ada urusan. Lagian kita udah jalan.''

''Kita bahkan belum ke mana-mana.'' kata Flora sambil memutar tubuhnya sedikit agar menghadap Ferrel. ''Jangan bilang nonton pertunjukkan pentas anak SMP lo sebut nge-date?''

''Lo cuma minta jalan sama gue. Lo gak bilang secara spesifik ke mana tujuannya. So, itu udah bisa gue sebut 'jalan'.''

''Ih. Gak mau.'' rengek Flora menarik ujung kaus Ferrel. ''Gue gak mau pulang gitu aja. Kaki gue udah jadi korban gini, dan lo harus tanggung jawab!'' Flora semakin keras menarik baju Ferrel.

''Bisa bawel gini, yakin itu kaki beneran sakit?''

Flora menyentak tarikannya. ''Maksud lo gue boong gitu!? Lo liat gak, ini kaki udah merah gini! Terus jatohnya, duh mana ngga estetik lagi jatoh gue. Mana banyak orang. Harga diri gue masih ketinggalan di sana kayaknya. Terus lo bilang gue boong?'' Flora bersidekap. ''Dasar pacar jahat!''

Ferrel menghela nafas. ''Udah, deh, diem. Drama banget.''

''Belok kiri, Rel.'' Tunjuk Flora yang merupakan arah menuju club. Lalu, Ferrel membelokan mobil ke arah kanan.

''Yahhh....'' Flora menilik ke luar jendela. ''Ferrel, kesanaaa...'' tunjuk Flora ke luar jendela dengan bibir melengkung.

''Enggak.''

''Ada urusan apa sih, lo? Kaya pejabat aja lo.'' Sejenak Flora memincingkan matanya ke arah Ferrel, lalu menyeringai. ''Lo mau tanding tinju lagi?''

Ferrel menoleh cepat. ''Lo tau dari mana?''

Flora tersenyum semringah. ''Gue itu mendalami karakter. Karena kan gue cewek lo, jadi secara gak langsung kita udah sehati aja. Gimana? Keren, gak?''

''Najis.''

''Oke.'' Flora menangkup kedua tangannya di dada. ''Kalo gitu gue mau ikut lo aja.''

''Gak.''

''Tapi, Rel, gue mau liat lo mukulin orang lagi.'' Flora mencondongkan wajahnya dengan menampilkan mata binarnya. ''Ya? ya? ya?''

Ferrel memijat dahinya sembari menghela nafas. ''Lo-Gue-Antar-Pulang. Kanapa sih suka banget maksa. Lo kira lo siapa?''

''Gue, kan pa—emmm,'' kalimat terakhir Flora berhenti karena Ferrel terlebih dulu menutup mulutnya.

''Diem!''

''Ngakhmhau (nggak mau).'' Flora meggelengkan kepala lalu menarik tangan Ferrel untuk membebaskan mulutnya. ''Gue gak mau pulang. Ngapain coba jam segini gue di apartment sendirian. Gue udah batalin semua rencana hang out gue. Mending gue temenin lo aja, ya, kan. Gue gak bakal ganggu lo juga di sana.''

Flora kembali mencondongkan tubuhnya. ''Ya, ya, ya, ya, ya, boleh ya, ya!!??''

Ferrel meraup wajah Flora dengan satu tangan dan mendorong cewek itu untuk kembali ke tempat duduknya. Astaga, spesies apa sih ni cewek.

''Lo pulang. Gue gak mau direpotin sama cewek yang jalan aja pake ngaduh-ngaduh.''

''Gue bisa jalan sendiri.'' Flora memperhatikan kakinya. ''Udah gak kerasa sakit lagi malah.'' Cewek itu mengedip-ngedipkan matanya tampak meyakinkan. ''Lagian, bosen gue kalo sendirian di apartment, suka gabut gue.'' Lanjut Flora. ''Gue suka ngelakuin yang aneh-aneh tanpa sadar gitu. Kan gawat misalnya, gue pas nelepon temen-temen keceplosan ngomongin lo yang ternyata pemain tinju—,''

''Lo!'' tunjuk Ferrel penuh peringatan. Cewek itu baru saja mengancamnya dan sekarang menampilkan senyuman lebar untuk Ferrel.

''Iya?'' Flora menatap penuh antusias.

''Jangan ngeluarin sepatah kata pun.''

''Oke!!!'' sahut Flora penuh semangat.

''Jangan ngomong apa pun, bahkan kalo ada yang ngajak lo ngobrol.''

''Gampang.'' Flora mengangguk dan jempol kanan di angkat. ''Gue juga gak doyang ngomong.''

''Jangan ngerengek minta macem-macem sama gue.''

''Gue gak gitu, ya.'' Dengan dahi yang berkerut dan mata yang memicing.

''Dan jangan minta pulang!''

Flora menepuk dadanya bangga. ''Serahin sama gue. Oke kalo gitu. Berangkaaat.'' serunya.

Menyetujui keinginan cewek keras kepala di sebelahnya adalah pilihan yang terpaksa Ferrel ambil daripada harus terlambat dan mendengar omelan Gito.

''Eh, tapi Makan dulu, ya, Rel. Gue laper.'' Pinta Flora.

''Gak.''

''Tapi, gue laper ini...'' cewek itu mengusap perutnya. ''Beli drive thrue juga gak papa, deh.''

''Enggak. Punya kuping gak lo?!''

''Ishh...''

***

''Pake.'' Ferrel sambil menyerahkan jaket yang ada di bangku belakang mobil. Ferrel paham akan situasi di dalam nanti. Pakaian Flora yang terbuka bisa menarik perhatian banyak pria bertato di sana.

Flora hanya bisa menurut pada Ferrel. Saat mengenakan jaket, tanpa sadar senyuman muncul di wajahnya melihat Ferrel.

Keduanya disambut oleh suasana pengap dan gelap saat melangkah melewati pintu berpalang kayu di gedung tua itu. Satu-satunya penerangan datang dari lampu di tengah ring, cahayanya memancar ke seluruh ruangan. Ferrel menganggukkan kepala kepada Deon yang duduk di bangku kayu. Remaja berbaju garis-garis itu dengan sigap membukakan pintu untuk Ferrel.

''Nah, ini dia anaknya.'' Sambut Gito dengan senyuman lebar. ''Gue udah keburu was-was lo gak jadi dateng.''

''Gue selalu pegang omongan.''

''Bagus, bagus. Gue suka yang kaya gini, nih.'' Gito melirik ke arah belakang bahu Ferrel. ''Pacar?''

''Bukan.'' Jawab Ferrel meski Flora mengangguk di belakangnya.

''Terus, kenapa dia di sini?''

Hanya sekali lihat saja, Ferrel langsung menyadari bahwa Gito tertarik pada Flora. Ia kemudian mendorong bahu Gito perlahan untuk mengalihkan perhatiannya. ''Berapa menit lagi sebelum pertandingan?''

Seakan tersadar, Gito memeriksa jam di tangannya. ''Anjir, sebelas menit lagi.'' Gito kemudian berteriak kepada pesuruhnya di dalam ruangan itu untuk mempersiapkan arena dan juga peralatan lainnya.

''Berapa?'' tanya Ferrel menahan langkah Gito.

''Kaya biasa. Lo dapet 50%.''

''Gue mau 75.''

''75?'' Gito tampak berpikir. Seperti sedang menghitung di kepalanya. ''Oke, lima menit. Gue bakal naikin, tapi lo harus menang dalam waktu lima menit.''

''Deal.''

Gito tertawa, lalu merangkul Ferrel. ''Gue suka punya petinju kaya lo.''

Gito menepuk pundak Ferrel dua kali dan melemparkan kerlingan ke arah Flora sebelum keluar melalui pintu. Saat Ferrel berbalik, Flora tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan oleh telunjuk Ferrel yang teracung sebagai peringatan. "Gue bilang apa? Gak boleh ngomong."

Flora mencibik cemberut.

"Gue mau siap-siap. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Ngerti?"

Flora memperhatikan sekelilingnya. Tempat itu seperti sebuah kamar, namun tanpa benda apa pun selain meja kayu dan kursi berbusa hitam di sisi dindingnya. Warna cat luntur yang menghitam membuat suram suasana.

Menyadari raut tidak nyaman Flora, Ferrel lalu meletakkan bungkusan makanan yang dipegangnya ke atas meja. Mengeluarkan burger yang dibungkus kertas dan juga segelas besar air mineral dari plastik, dan beberapa jajanan manis.

"Gue bakal balik sebelum makanan lo abis."

Flora menatap makanan itu lalu memandang Ferrel, kemudian tersenyum. Ia mengangguk dan duduk di kursi. Mulai mengambil gigitan pertama. Ferrel memperhatikan Flora sesaat. Cewek itu terlihat senang hanya karena mendapatkan makanan biasa seperti burger. Rambut cewek itu terkuncir satu ke belakang dengan anak rambut jatuh di sisi wajah.

Menyadari apa yang hampir saja ingin dilakukannya, membuat Ferrel langsung berbalik kemudian menuju ruang ganti. Merutuki dirinya dalam diam karena tangannya ingin mengusap puncak kepala Flora.

Yang bener aja.

***

Kedua temannya, Ashel dan Kathrina sangat tergila-gila pada salah satu boyband korea yang bahkan tidak bisa diingat oleh Flora. Hal yang kadang ingin melempari kedua temannya itu dengan botol adalah karena mereka selalu mengikutsertakan Flora di dalamnya.

Flora hanya tidak suka jika harus berdiri tanpa alasan di suatu tempat ramai, melihat penyanyi yang biasanya hanya bisa dilihat sekilas dalam skala kecil, dan diiringi suara teriakan serta tangisan memekakkan telinga. Bagi Flora, menonton hal seperti itu membosankan. Ia bisa menguap puluhan kali karenanya.

Tapi sekarang, matanya bahkan tak rela berkedip untuk menonton. Suara benturan keras dari laki-laki bertubuh besar itu menyulut sorakan dari penonton di sekeliling ring semakin nyaring. Mereka mengangkat tangan seolah meminta lebih.

Tepat di depan matanya. Ferrel melayangkan pukulan dari samping dab mengenai tepat pada rahang lawan. Flora yakin, jika saja keadaan hening, maka ia bisa mendengar derak tulang yang bergeser karena pukulan Ferrel itu berhasil membuat lawannya jatuh dengan wajah terlebih dahulua.

Flora melebarkan matanya setiap serangan demi serangan dilayangkan oleh Ferrel. Tangan yang terbungkus sarung tinju berwarna hitam itu seakan tidak pernah puas memberi pukulan.

Laki-laki berkepala cepak—yang saat ini sebagian wajahnya sudah dipenuhi darah—bangun dengan susah payah. Tampak masih ingin melawan, dan dengan mudah dipatahkan karena Ferrel tidak memberi laki-laki itu kesempatan.

Sebuah pukulan yang diluncurkan menggunakan lengan kanan Ferrel memberi robekan lebih dalam pada bibir sang lawan. Kemudian, dengan lengan kirinya, Ferrel menghantam perut sang lawan, membuat lawannya tertunduk. Selanjutnya, pukulan keras dari tangan kanannya mengakhiri nasib laki-laki itu sehingga ia ambruk di bawah kaki Ferrel.

Sontak, seluruh orang di ruangan itu bersorak. Memberi tepuk tangan dan teriakan atas pertunjukan maut. Meski di sekitarnya begitu ribut, Flora sama sekali tidak bisa mengalihkan matanya dari Ferrel, yang kemudian dibalas oleh sorot mata tenang cowok itu.

Setelah melakukan hand raising sebagai penanda kemenangan Ferrel, Ferrel turun dari arena. Sempat, Flora melihat Gito merangkul Ferrel dengan penuh kegirangan. Menyombongkan Ferrel kepada orang-orang di sana.

Ferrel perlahan menjauh dari kerumunan dan berjalan menuju Flora. Cowok itu melepas sebelah sarung tangannya untuk meraih tangan Flora, berlalu meninggalkan arena.

Sedangkan Flora, ia masih saja terus terpaku.

***

"Masuk." Perintah Ferrel. Seperti kehilangan kemampuannya untuk membantah, Flora menurut dan duduk di bangku penumpang. Bukannya ikut masuk ke dalam mobil, cowok itu justru menuju mini market 24 jam dimana mobil Ferrel terparkir.

Flora sedang menelaah sesuatu. Begitu banyak hal yang sedang berputar di dalam kepalanya saat ini. Saling membentur dan juga saling berkaitan. Menatap ke arah mini market, Flora benar-benar tidak bisa menebak bagaimana seorang Ferrel itu sebenarnya.

Tidak salah lagi, Flora penasaran.

Ferrel keluar dari pintu kaca mini market. Cowo itu menuju pintu penumpang dan membukanya.

"Ngapain?" Flora yang terkejut langsung berpegangan pada kursi. "Lo mau ninggalin gue di sini? Gak mau. Gak mau. Gimana gue pulangnya coba."

"Apaan?"

"Lo pasti mau nyuruh gue buat pulang sendiri, ya, kan?" Flora menarik kembali pintu hingga tertutup. Dan membuka jendelanya sedikit. "Gue gak mau. Gue kan udah nurut apa kata lo, Rel. Kok gue malah mau ditinggal."

Ferrel membuka kembali pintu mobil, walau harus sedikit dengan paksaan, namun Flora bukanlah tandingannya. "Lo ngomong apaan sih. Apa karena tadi banyak diem terus saraf di kepala lo jadi rusak?"

"Gue ini tau isi kepala lo gimana."

Ferrel mendengus. Ia kemudian berjongkok dengan bertumpu pada lutut. Membuat cewek itu mengerutkan kening. "Eh—eh, ngapain?"

Mengindahkan pertanyaan Flora, Ferrel justru meraih kaki cewek itu dan membawanya ke atas pahanya. Membuat Flora sedikit memajukan posisi duduknya hingga kini kakinya menjulur ke luar. Ferrel melepas sendal selop ungunya dan diletakannya di tanah.

"Lo mati rasa apa gimana? Emang kaya gini gak sakit?" tanya Ferrel. Ia mengoleskan salep pada pergelangan kaki Flora yang ternyata membiru. Entah sudah berapa lama kakinya seperti itu, Flora sendiri tidak menyadarinya.

"Gue gak sadar. Gue tahan aja sakitnya. Gak tau deh jadi kayak gitu."

"Bego."

Flora cemberut dan memukul bahu Ferrel. "Gue kan gatau kalo bakal jadi bengkak!"

"Kaki siapa juga ini, gue tanya? Masa gak bisa ngerasain?"

Flora hanya bisa cemberut. Ia memperhatikan Ferrel yang tengah membalut kakinya dengan perban. Cowok itu lalu memasang kembali sendal selop Flora dan membantunya membenarkan posisi duduknya.

Cowok itu memutari mobil. Duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin.

"Rel..." panggil Flora. "Lain kali, bilang-bilang mau ke mana gitu. Biar gue gak salah kostum. Jadi gini, kan."

"Bawel."

Flora mendengus dengan nyaring. Berusaha menampakkan jika ia sedang kesal. Tiba-tiba saja Flora kembali memikirkan rasa penasaran yang sebelumnya datang.

Ferrel berbeda.

Flora tahu itu. Dalam satu hari, Flora mendapati banyak hal. Bagaimana bisa cowok yang begitu menyayangi adiknya bisa memukuli seseorang dengan begitu mengerikan di atas ring tinju. Bagaimana bisa cowok yang selalu ketus setiap kali bicara, masih mau membelikannya makan dan mengobati kakinya. Lalu, untuk apa dia menjadi petinju yang mendapat bayaran di setiap pertandingan, padahal dia punya mobil mewah.

Ferrel tidak harus seperti itu. Ferrel tidak harus mengambil tempat di dalam kepala Flora sebanyak itu. Dia cowok yang seharusnya Flora taklukkan. Mengalihkan pikirannya, Flora mengambil ponsel dari dalam tas. Tampak banyak notifikasi dari grup Line dan satu personal chat dari Kathrina.

Kathrina Ivanka : Gimana acara lo sama si Ferrel?

Kathrina Ivanka : Bales kek. Gue kepo nih.

"Ambil." uluran dari tangan cowok di sampingnya membuat Flora menoleh. "Malah bengong. Diambil."

Flora menerima salep itu. "Buat apaan?"

"Sampe rumah olesin lagi."

Flora terpaku beberapa saat, lalu memasukkan salep itu ke dalam tas. Ia memilih untuk membalas pesan dari Kathrina sebelumnya daripada harus memulai obrolan lagi dengan Ferrel.

Flora Shafiqia : B aja.



TBC

.
.
.
.

Liatin aja terus flo, wkwkwkw

Tandain dong kalo ada typo.

Ngetik di HP rawan banget typo nya yak

Do'a ken minggu depan bisa up lagi 🫶🏻

Continue Reading

You'll Also Like

6K 660 13
si ketos Kael & si berandalan Fanisha. Bagaimana jika keduanya dipaksa harus tinggal satu atap selama dua belas hari? peringkat paling mengesankan : ...
19.9K 2.6K 24
Bagaimana perasaan kalian kalau dijadikan bahan taruhan oleh pacar sendiri dan harus jatuh ke tangan pria yang sama sekali tidak kalian kenal?. Lalu...
2.2K 286 11
Update : Setiap Sabtu [Kalau Sabtu itu gak up, Sabtu depannya triple up] Start : 23/04/2024 End : 00/00/2024
663 26 14
Bangsa yang berbeda, Vampire dan Putri kerajaan ternyata bersatu di dalam perang yang cukup kejam. Tanpa disangka, persatuan keduanya membuat bangsa...