Semua mimpi yang tampak jauh itu perlahan mulai mendekat. Sungguh, Kara tidak menyangka bahwa perjalanan hidup telah membawanya ke tempat berbeda. Dari mulai menjadi seorang aktris yang hanya dikenal satu dua orang sebab mendapatkan peran pendukung kini menjadi seseorang yang selalu dimintai tanda tangan atau sekadar foto tiap kali bertemu masyarakat.
Apakah ini pertanda bahwa mimpinya menjadi top aktris tahun ini akan segera terwujud? Entahlah, untuk bagian yang satu itu, sampai saat ini Kara pun tidak berani menjawab.
Perempuan berambut panjang itu tengah duduk di ruang tunggu bandara, menatap layar ponselnya dengan pandangan lelah. Selama dua bulan terakhir, hidupnya terasa seperti berputar dalam siklus tak berujung. Kakinya melangkah dari satu meet & greet ke meet & greet lainnya. Setiap kota yang dikunjunginya dipenuhi ribuan penggemar yang tak kenal lelah mengabadikan momen dengannya.
Meski mimpi Kara semakin mendekat, ternyata ada ketegangan yang membebani batinnya. Perasaan mengganjal terkait masa depan hubungannya mulai terasa. Hubungannya dengan sang pacar, Awan, semakin merenggang bak telur di ujung tanduk.
Setiap kali mereka bertemu, Kara merasa terjebak dalam kecanggungan dan kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Rasa cintanya semakin tawar. Namun, Kara tidak tahu apakah Awan menyadari semua ini atau malah menganggap bahwa Kara hanya lelah dengan rutinitasnya.
Di sisi lain, Kara menemukan kenyamanan dalam percakapan dengan Jehan. Mau bagaimana pun, mereka kembali bertemu dalam acara meet & greet. Mereka lantas berbincang tentang film mereka atau pun mengenai projek yang sekiranya akan Jehan ikuti kembali.
"Terus film apa yang kira-kira belom pernah kakak coba?" tanya Kara mencairkan suasana.
"Hm, maybe... horror. Saya belum pernah kebagian peran di dalam film horror, sih," jawab Jehan santai.
"Yaiyalah! Kakak nggak ada aura suram-suramnya."
"Eh, masa?" tanya balik Jehan.
"Kalau misal jadi hantu, nggak ada seremnya. Kalau jadi tokoh utama pun nggak ada aura suram ala orang stress gitu. Emang udah paling pantes Kak Jehan di film romance doang, sih," imbuh Kara lagi membuat Jehan mulai tertawa.
"Kamu mau jadi lawan mainnya lagi?" tanya Jehan.
"Hah? Nggak mungkinlah!"
"Lho, kenapa nggak mungkin. Kan saya abis ini udah mau masuk projek baru. Kemaren sutradara Sevy udah hubungin saya."
Dari sana juga Kara sadar, bahwa Jehan memang sangat sibuk dan mungkin tidak mengenal waktu istirahat. Jehan juga sedikit berbeda usai film mereka selesai, tetap nyaman dan ramah tetapi sepertinya tidak ada kedekatan berarti selain sebagai rekan kerja yang profesional.
"Tapi pemain perempuannya udah ada juga, kan?"
"Hm. Belum tahu kalo itu, cuma kalo kamu mau kan saya bisa rekomendasiin kamu. Mumpung film kita masih hot dan laris di pasaran, kayaknya nggak ada salahnya," ungkap Jehan.
Kara hanya tertawa santai, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Sebab Kara belum bisa memutuskan segala sesuatu sendiri, masih harus berkonsultasi dulu dengan manajernya, Dika. Terlebih, bagaimana dengan perasaan Kara yang bakal kembali berkecamuk kalau harus berhadapan dengan Jehan selama beberapa bulan ke depan lagi?
Entah ini sudah meet & greet yang ke sekian kalinya, Kara sangat lelah dan tubuhnya serasa ingin rontok. Namun, tidak sedikit pun perempuan itu tunjukkan wajah bete atau tidak suka sebab inilah impiannya. Setidaknya dengan ini, sang mama yang selalu memaksa kuliah itu bisa berpikir bahwa Kara memiliki sendiri jalannya.
"Oke, terima kasih semuanya!" Kara kembali melambai setelah para penggemar angkat kaki. Kemudian perempuan itu menutup pulpennya. Kru-kru meet & greet juga mulai undur diri, termasuk Jehan.
"Saya duluan ya, Kara. Selamat beristirahat," sapanya. Kara membalas dengan anggukan.
"Iya, Kak. Selamat beristirahat juga," balasnya. Perempuan itu lalu melangkah menuju pintu keluar hotel mewah Be The Sun. Kini, Kara terkesiap sebab melihat sosok tak asing tengah menunggu di luar pintu. Siapa lagi kalau bukan si chubby Awan!
Pria itu tengah memegang sebuket bunga putih cantik, menunggu kehadiran Kara. Yang bersangkutan pun keluar dari pintu hotel dengan senyum terpaksa di wajahnya.
"Boo," sapa Kara singkat, mencoba menjaga jarak. "Ngapain ke sini?"
"Apa kabar, Sayangku?" jawab Awan mengalihkan dengan senyuman manis, seolah tidak menyadari ketegangan di sekitar mereka.
"Baik," jawab Kara singkat sambil menerima buket bunga putih tersebut kemudian melengos begitu saja.
Awan mengikuti langkah demi langkah Kara dengan setia, mencoba tetap bersikap ramah. "Kamu udah makan? Aku bisa anterin kamu ke Lalali setelah meet & greet selesai, lho."
Kara menggeleng pelan. "Nggak perlu. Aku mau istirahat aja."
Awan mengernyitkan kening, perlahan-lahan mencoba memahami perubahan sikap Kara. "Kamu ... kamu ngehindarin aku kah? Aku ada salah?"
Diberikan pertanyaan yang langsung to the point itu membuat Kara panik. Perempuan itu menatap Awan dengan cepat, tidak ingin membahas hal semacam ini di tempat umum. "Kita bisa bicara nanti."
Awan mengangguk dengan sedikit kekecewaan. Dia mencoba memperbaiki suasana hati Kara sepanjang perjalanan ke kamar hotel, tapi senyuman Kara terasa semakin jauh.
Sesampainya di kamar hotel, Awan membiarkan Kara masuk ke dalam untuk merapikan diri. Entah sejak kapan suasana menjadi begitu canggung.
"Kara, kita bisa ngobrol sebentar?" pinta Awan dari luar dengan suara mencoba sopan.
"Aku ngantuk, Boo. Pulang aja sana!" teriak Kara dari dalam kamar. Namun, Awan tidak tinggal diam.
"Please, Kar. Aku mohon! Please."
Kara membuang napas kasar kemudian langsung membuka pintu kamar hotelnya. Tampak Awan dengan tatapan ingin menangis, rasanya seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Melihat Kara pada akhirnya berdiri di hadapannya, Awan tidak tahan untuk langsung menarik tubuh Kara dalam dekapannya.
Perempuan itu tersentak sebab sudah terasa sangat lama tidak merasakan sentuhan Awan. Ingin sekali Kara memberontak tapi harum parfum Awan menghipnotisnya untuk tetap diam.
"Aku ... aku merindukanmu, Kara," bisikan Awan menggema lembut di telinga Kara. Perempuan itu meneguk saliva dan menggigit bawah labiumnya. Jantungnya berdebar kencang sekarang. Setelah membisikinya kalimat barusan, Awan langsung mengecup lembut pipi Kara.
Seluruh tubuh Kara membeku, otaknya tidak bisa berpikir apa pun. Suasana di sekitar mereka terasa panas.
"Can I kiss you more?" Awan kembali berbisik. "Aku beneran rindu kamu, Kar."
Sebuah situasi yang membingungkan ini rasanya menghasilkan dilema tak berujung. Di sisi lain, bukankah perasaan cinta itu sudah menghilang? Namun, di sisi lain, sebagai seorang perempuan dewasa dengan kondisi lelah tak bisa melawan, Kara tidak bisa membohongi diri kalau parfum Awan menghipnotisnya sampai Kara tidak bisa bergerak barang seinci sedikit pun.
Lagipula, sejak kapan Awan seberani ini? Sial, sialan! Apa yang harus Kara lakukan?
"Kamar kamu kosong, kan? Boleh nggak malem ini aku nemenin kamu?"
A/N:
Holaa gimana hayokk kira2 apakah Kara akan kembali fallinluv with Boo? Ahahahaha🤡🤡🤡