Ratan memutuskan untuk menemui dokter Vemaz di rumah sakit tempatnya bekerja. Kebetulan sekali waktu istirahat sudah tiba saat Ratan datang.
"Ternyata Rania udah tahu semuanya Vem." Ucap Ratan pada dokter Vemaz sembari menyeruput kopinya.
"Gue udah bilang dari dulu ya, lo jangan pernah main main sama perasaan cewek. Apalagi yang lo mainin perasaan istri sendiri. Sekarang kalau udah gini mau gimana kedepannya?" Balas dokter Vemaz yang sedikit geram mendengar curhatan Ratan.
"Gue udah mengakhiri hubungan gue sama Jennifer.... Untuk sekarang." Ucap Ratan tanpa beban.
"Lo udah gila emang! Sini biar gue suntik mati sekalian lo!" Sentak dokter Vemaz sembari menggebrak pelan meja kerjanya.
Ratan pun terkejut dan reflek sedikit menjauh.
"Gue juga lagi tertarik sama seseorang, tapi akan gue tunda dulu. Demi Rania."
Ratan menatap ke arah dokter Vemaz untuk melihat reaksinya. Tetapi dokter Vemaz hanya menatapnya dengan tatapan tajam, seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya kapanpun.
"Gue menjalin hubungan sama Jennifer ya karena gue merasa bosan sama hubungan pernikahan gue. Tapi gue tetap sayang kok sama Rania." Jelas Ratan.
Dokter Vemaz terlihat mengambil nafas panjang.
"Tapi semua yang lo lakuin ini salah. Mau apapun alasan lo, selingkuh itu bukan jawaban yang tepat. Gue saranin lo harus berhenti sebelum semuanya terlambat. Itu aja pesan dari gue." Ucap dokter Vemaz mempertegas perkataannya.
-0o0-
Ratan pun pergi meninggalkan ruangan dokter Vemaz setelah jam istirahat berakhir. Saat Ratan berjalan santai di lorong rumah sakit, tak ada yang menyangka bahwa dia akan bertemu dengan teman lama.
"Ternyata lo sekarang disini?" Tanya Ratan pada Lino.
"Iya, gue udah balik dari New York. Lo sendiri lagi ngapain disini?" Tanya Lino santai.
Suasana diantara keduanya benar benar mencekam. Seperti dua musuh yang tidak sengaja bertemu.
"Bukan urusan lo." Jawab Ratan dengan ketus, lalu beranjak pergi.
"Emang pukulan gue sakit banget ya? Sampai lo berobat kesini."
Ucapan Lino membuat Ratan menghentikan langkahnya.
"Jangan kebiasaan ikut campur masalah orang lain." Ratan berbalik, menatap lurus ke arah Lino.
"Ini bukan tentang orang lain, Rania adalah teman berharga buat gue. Kalau lo berani menyakiti Rania, gue enggak akan tinggal diam. Pukulan gue di New York enggak akan jadi yang terakhir kali gue mukul lo." Ucap Lino dengan nada serius.
"Gue enggak mau dengar itu dari orang yang kalah. Jangan jangan lo lupa, kalau Rania adalah istri gue. Sedangkan lo cuma orang yang enggak akan dapat kesempatan di hati dia." Balas Ratan meremehkan.
"Seenggaknya kalau dia sama gue, gue enggak akan pernah makan malam sama wanita lain di New York. Apalagi makan malamnya mesra banget." Ucap Lino yang membuat Ratan terdiam seketika.
"Tapi nyatanya dia sama gue. Gue jadi takut bakal ada yang merusak rumah tangga gue sama Rania sekarang."
"Haha... Yang bakal merusak rumah tangga lo sama Rania itu diri lo sendiri." Lino tertawa kecil karena tidak menyangka dengan apa yang dia dengar.
Lino pun beranjak pergi meninggalkan Ratan di lorong itu. Dia memiliki banyak pasien yang harus diurus. Begitupun dengan Ratan, dia meninggalkan rumah sakit itu dengan perasaan yang kesal.
-0o0-
Aku terbangun di siang hari dan mendapati kamarku sudah tertata rapi. Tubuhku terlihat kurus dan wajahku terlihat pucat saat bercermin. Aku bahkan seperti tidak mempunyai selera untuk makan. Pertengkaran kali ini benar benar menguras seluruh energiku.
Aku berpikir untuk berjalan jalan sebentar di taman belakang rumahku. Aku dengar berjalan dan menghirup angin segar dapat meredakan pikiran yang kalut. Namun, dunia serasa miring saat aku berjalan menuruni tangga.
"Non?"
Aku melihat ke arah mbak Yah yang memanggilku dari tangga paling bawah.
"Sebentar non saya bantu." Mbak Yah menaruh sapu yang ada di tangannya, lalu menghampiriku.
Mbak Yah pun berjalan dengan memapahku hingga aku berhasil menuruni anak tangga terakhir.
"Terimakasih mbak." Ucapku dengan suara lemah.
"Nona kelihatan pucat pasi, pasti karena nona belum makan dari tadi. Nona makan ya? Saya sudah buat lauk yang banyak buat nona. Habis makan nona bisa minum obat biar sembuh." Jelas mbak Yah dengan penuh semangat, aku tahu dia berusaha menghiburku dengan semangatnya.
"Sedikit aja ya mbak." Aku pun menurutinya, sayang sekali jika usaha mbak Yah tidak kuhargai.
Mbak Yah segera menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan. Aku pun mengikuti mbak Yah dengan berjalan pelan di belakangnya.
"Loh! Non saya kaget lo! Saya kira tadi mau makan disana jadi saya mau bawain ini kesana." Mbak Yah terkejut karena melihatku duduk di meja makan di belakangnya.
"Enggak apa apa mbak, saya makan disini aja."
Mbak Yah pun menata hidangannya di depanku.
"Mbak Yah ikut makan ya? Aku enggak makan kalau mbak Yah enggak makan." Ucapku serius.
Mbak Yah terlihat sungkan dan ragu ragu, tapi akhirnya dia mau. Kami pun berakhir makan bersama.
"Oh iya non, nona Erina sakit apa?" Tanya mbak Yah polos.
"Erina siapa mbak?" Tanyaku kebingungan karena aku sama sekali tidak mengenal orang yang bernama Erina.
"Loh nona enggak kenal?" Mbak Yah ikut kebingungan.
Aku menggeleng pelan.
"Itu tadi saya lihat buket yang ada di rak pojok situ. Terus ada tulisannya semoga cepat sembuh Erina. Saya kira nona mau mbesuk temen tapi lupa, soalnya bunganya kelihatan sudah layu." Jelas mbak Yah.
Nafsu makanku seketika menghilang. Aku tidak percaya dengan apa yang mbak Yah katakan barusan.
"Non kenapa?" Tanya mbak Yah keheranan.
Aku berdiri dan beranjak mengambil buket itu. Ternyata ada kartu ucapan kecil yang terapit diantara bunga bunganya. Ternyata benar kata mbak Yah. Aku melihatnya dengan mataku sendiri.
Semoga cepat sembuh Erina.
Energi kemarahan dan kekecewaan perlahan merasuki tubuhku. Ini adalah buket yang dia berikan padaku saat kami makan malam bersama tempo hari. Aku benar benar lupa dengan keberadaan buket ini. Aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan urusanku.
Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?
-0o0-
Ratan memutuskan untuk mampir sebentar di sebuah kafe. Dia merasa membutuhkan suntikan tenaga dari segelas kopi. Mungkin, pertemuannya dengan Dekalino benar benar menguras energi.
Tetapi sebuah hal buruk terjadi setelah itu. Saat Ratan sedang meminum kopinya dipinggir jalan, tiba tiba ada seseorang yang menabraknya. Sehingga kopinya terjatuh dan mengenai kemejanya.
"Pencuri!! Pencuri!!" Teriak seorang wanita dengan nafas yang terengah engah.
Ratan memberikan kode kepada Kim untuk mengejar pencuri itu. Sebagai informasi, Kimberly yang bekerja sebagai sekretaris Ratan memiliki kemampuan bela diri dan kecepatan lari yang luar biasa. Sembari Kim mengejar pencuri itu, Ratan mencoba menenangkan wanita itu.
"Erina? Kamu enggak apa apa?" Ternyata Ratan mengenali wanita itu.
"Ratan? Kamu lagi apa disini? Tunggu, itu kemeja kamu kena tumpahan kopi." Erina mengeluarkan saputangan dari kantongnya lalu mencoba membersihkan noda kopi dari kemeja Ratan.
"Udah enggak usah, ini bukan masalah besar. Kita masuk dulu ya sambil nunggu tas kamu kembali."
Ratan pun mengajak Erina untuk masuk kedalam kafe tempat dimana dia membeli kopi tadi.
"Ratan maaf ya, aku banyak membebani kamu. Baju kamu juga jadi kotor gara gara aku." Ucap Erina merasa bersalah.
"Ini bukan salah kamu kok. Namanya juga musibah, enggak ada yang tahu." Balas Ratan mencoba menenangkan Erina.
"Cewek yang tadi asisten kamu?" Tanya Erina penasaran.
"Iya, dia mantan atlet taekwondo. Jadi jangan khawatir, tas kamu pasti kembali." Ratan meyakinkan Erina.
Erina mengangguk mengerti.
"Kapan kamu keluar dari rumah sakit? Kamu udah baik baik aja sekarang?"
"Kemarin siang. Keadaan aku semakin membaik setelah kamu datang menjenguk. Buket bunga tulip itu membawa suasana positif. Terimakasih ya, udah repot repot." Ucap Erina dengan senyuman manisnya.
"Syukurlah kalau kedatangan aku membawa kesembuhan buat kamu." Balas Ratan yang ikut tersenyum.
...
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kim kembali dengan membawa tas milik Erina. Pesanan kopi milik Erina dan Ratan juga kebetulan sudah habis saat Kim datang.
"Silahkan tas anda." Kim memberikan tas Erina dengan sopan.
"Terimakasih banyak. Kamu hebat sekali bisa mendapatkan tas ini kembali. Sekali lagi terimakasih banyak." Erina menunduk beberapa kali kepada Kim yang telah membantunya.
"Tidak apa apa, anda tidak perlu seperti ini. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan."
Ratan memberikan sekotak tisu yang berada di mejanya kepada Kim untuk mengusap keringat yang disebabkan oleh pencuri tas itu.
"Terimakasih tuan." Kim menerimanya dengan senang hati, lalu dengan segera mengusap keringatnya.
"Bagaimana dengan pencurinya?" Tanya Erina.
"Saya kebetulan bertemu polisi yang sedang berpatroli, jadi saya menyerahkannya pada mereka." Jelas Kim.
Erina mengangguk paham.
Pertemuan Ratan dan Erina berakhir dengan kembali ke urusan masing masing. Ratan sebenarnya bersi keras untuk mengantarkan Erina. Tetapi Erina menolak dan memilih untuk memanggil supir pribadinya. Kelihatannya dia tidak ingin merepotkan Ratan lagi.
-0o0-
Ratan kembali ke kantornya dan melanjutkan pekerjaannya.
Ratan seringkali kedapatan melamun dan tidak fokus saat rapat. Untung saja Kim bersedia untuk mengerjakan pekerjaan Ratan hari ini. Dia perlu memberikan sebuah dokumen kepada pemimpin perusahaan, yaitu pak Adam.
"Pak Ratan saya akan memberikan dokumen ini kepada pak Adam." Ucap Kim yang tiba tiba berdiri.
"Tunggu Kim! Biar saya aja." Ucap Ratan sembari mengambil dokumen itu dari tangan Kim lalu berjalan pergi meninggalkan ruangannya.
Ratan merasa tidak enak jika Kim yang mengantarkannya juga. Ratan benar benar berjalan mengitari bangunan perusahaan bersama dengan dokumen yang masih berada di tangannya. Ternyata dia benar benar lupa jika harus mengantarkan dokumen itu ke ruangan pak Adam.
Tepat saat dia berada di ruangan pak Adam, Ratan bertemu kembali dengan seseorang yang dia kenal.
"Ratan?" Ucap Erina memastikan.
"Erina?" Ratan ikut memastikan.
"Kalian saling kenal?" Tanya pak Adam yang keheranan.
"Dia orang yang baru aja aku sebut pa. Dia sama sekretarisnya yang udah menyelamatkan aku dari pencuri itu." Jelas Erina dengan antusias.
"Jadi begitu. Terimakasih banyak Ratan, sudah membantu putriku."
"Tidak masalah pak Adam. Saya juga hanya kebetulan lewat."
"Bagaimana pekerjaan kamu?" Tanya pak Adam basa basi.
"Semuanya berjalan baik pak. Saya kemari untuk menyerahkan dokumen ini." Ratan menyodorkan dokumen itu dengan sopan kepada pak Adam.
Pak Adam pun menerima dokumen itu dengan senang hati.
"Ratan, kami nanti mau adakan makan malam bersama. Kamu ikut ya. Ini undangan dari saya, sebagai ucapan terimakasih juga." Ucap pak Adam.
Erina mengangguk angguk, mengisyaratkan Ratan untuk menerima tawaran itu.
"Baik pak, saya akan datang." Ratan pun menerimanya setelah terdiam sebentar untuk berpikir.