"Dia bilang bunga adalah bahasa cinta. Tapi, dia bukan orang yang mahir memaknai setiap warna bunga."
Biru mengayuh sepedanya meninggalkan pekarangan rumah. Hari ini ia akan ke pantai, tak lupa bunga sudah duduk tenang di keranjang sepedanya. Jika saja bunga itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengatakan serahkan semua padaku, aku akan menyampaikan kegundahan hatimu pada laut sana. Jika kali ini aku gagal, tolong titip tugasku pada bunga lainnya.
Dres selutut nya melambai-lambai diterpa angin. Seperti biasa, ia akan selalu memakai dress sederhana yang ia padukan dengan sebuah jaket.
Biru menghentikan laju sepedanya. Ia turun dan menuntun sepedanya melewati pasir-pasir dipinggir pantai.
"Baiklah bunga, mari kembali bertaruh dengan laut." Biru menyimpan sepedanya dibawah pohon. Dan setelahnya ia berjalan menuju bibir pantai.
Dan ternyata air laut sedang surut. Biru terpaksa berjalan lebih jauh untuk mencapai kedalaman, agar dapat melepas bunganya tanpa kendala.
Dengan gerakan perlahan yang menuntut kepastian, Biru melepaskan bunga ditangannya. Ia menundukkan sedikit tubuhnya untuk mengusir jauh bunga itu.
Hingga bunga itu berlabuh jauh, barulah Biru memutar tubuhnya untuk kembali ke bibir pantai.
Hatinya begitu kuat. Kuat menunggu harapan, yang kepastiannya sangatlah abu-abu. Ia sedikit iri saat menengadahkan kepalanya menatap langit. Walaupun tak dapat memeluk, tapi langit selalu dapat melihat laut. Selalu tahu apa yang laut kerjakan. Sedangkan dirinya, tak dapat memeluk dan melihat Ali.
Biru bisa bebas melakukan apapun di pantai tersebut, karena suasana selalu sepi saat ia berkunjung ke pantai. Sedikit yang ia ketahui, bahwa pantai tersebut hanya di isi oleh kapal-kapal nelayan, dan tak ada pengunjung yang pernah datang ke pantai tersebut. Karena, pantai tersebut memang tidak dibuka untuk menjadi tempat liburan masyarakat.
"Tidak masalah Biru, sebentar lagi kau akan bertemu Ali." Semangatnya pada diri sendiri.
Biru kembali mengambil sepedanya. Hari ini tujuannya bukan hanya pantai, tapi ada hal lain yang ingin ia lakukan.
Kembali mengayuh sepedanya. Biru membawa arahnya kesebuah tempat pemakaman umum.
Biru berdiri didepan sebuah makam yang bertuliskan nama seseorang.
"Lihat Ali! Mereka pernah membodohiku dengan sebuah makam, yang namamu tertulis disana. Mereka bilang jasadmu sudah ditemukan. Mereka bilang kau telah mati. Tapi, Ali, aku tidak akan percaya. Tubuh yang berada dibalik batu nisan ini, bukanlah tubuhmu." Biru jongkok di samping batu nisan itu. "Mereka membodohiku, karena mereka pikir saat itu aku gila.
Lucu kan? Padahal hari itu aku hanya sedikit pusing. Aku kecewa pada bapak, pada ibu karena mereka telah berbohong. Tapi tenang saja, semuanya sudah membaik." Biru menghela napas lalu berdiri. "Entah makam milik siapa ini," gumamnya. "Maafkan aku, karena telah berbicara panjang lebar didepan makam mu."
Setelah mengucapkan itu. Biru kembali ketempat sepedanya terparkir. Ia sempat melihat sekeliling, rupanya disana tak ada siapa-siapa. Jadilah, Biru dengan buru-buru mengayuh sepedanya pergi dari sana.
—•—
Layaknya seorang penari yang bergerak sesuai irama. Begitu juga pensil ditangan Biru, bergerak membentuk sebuah pola, yang disetir langsung oleh Biru.
Tidak ragu menghapus jika ada kesalahan dalam coretan nya. Ya, memang semestinya begitu. Sama halnya dengan manusia, tidak takut untuk meminta maaf ketika ia memiliki kesalahan. Meski, tak jarang dijumpai jiwa-jiwa egoisme yang tinggi diantara mereka, yang membuatnya enggan meminta maaf dan memaafkan.
Kembali pada coretan nya. Kali ini, Biru tak nampak sedang menggambar wajah Ali. Ia menggambar sesuatu yang abstrak. Mungkin, Biru saat ini menumpahkan ke-abstrakan otaknya melalui sebuah pensil bertali buku.
"Biru... Biru..." terdengar suara pak Tama memanggilnya dari kejauhan. Biru tak mengindahkan panggilan tersebut. Bukan karena kurang ajar, tapi Biru tak mendengarkan suara bapaknya.
"Hey, Biru. Bapak panggil rupanya kau disini."
"Ada apa Pak?" tanya Biru menatap pak Tama.
Pak Tama memberikan Biru sebuah kertas yang sangat kusut. "Bantu bapak bacakan itu, orang-orang kok unik ya, cara menulisnya. Bapak sampai tidak bisa baca tulisannya," ujar pak Tama.
Biru menyambut kertas tersebut dan melihatnya. Jidatnya sedikit mengkerut. Ia meraba-raba meja dan menemukan kacamata, yang kemudian dipakainya.
"Kau rabun, Biru?" pak Tama menatap khawatir.
Biru terkekeh sedikit atas pertanyaan bapaknya. Lucu sekali bapaknya, hal kecil saja ia khawatirkan. "Bukan rabun, pak. Ini kacamata baca. Tapi, sama saja sih! Tidak ada gunanya hehe..." tawanya. "Ini isinya, belikan ibu telur, tepung terigu dan gula—" Biru berhenti membaca tulisan tersebut. Pantas saja tulisan itu tak asing baginya. Rupanya tulisan itu milik ibunya. "Bapak, ini catatan ibu. Mungkin untuk Biru, ibu kemana Pak?"
"Pergi sebentar untuk mencari bibit bunga, katanya."
"Oh, iya, ini biar Biru saja yang beli Pak." Biru menengadahkan tangannya, memberi kode untuk meminta uang.
Pak Tama dengan cepat mengerti. Ia merogoh saku kemejanya. "Ini, sekalian belikan jajan."
"Untuk bapak?"
Pak Tama mengacak rambut anaknya sambil tertawa. "Ya, untuk kaulah. Bapak sudah tua begini, masa masih jajan," kelakarnya. "Yasudah, kau sana pergilah. Hati-hati dan cepat pulang."
Biru mengangguk. Ia membereskan alat menggambarnya dan segera pergi. Karena terburu-buru, Biru sampai lupa melepaskan kacamatanya.
Ditengah perjalanan, hujan turun dengan tiba-tiba. Biru mengayuh cepat sepedanya, karena melihat tokoh yang akan ia tuju sudah dekat.
"Untung hujannya hanya air," gumamnya. Ia memarkirkan sepeda di samping tokoh, dan membiarkannya terkena hujan.
"Apa tadi, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Ia merogoh kantung jaketnya. "Oh, no! ternyata kertasnya anti air." Biru menatap kertas yang sudah sobek ditangannya. "Baiklah, tadi ibu menyuruh membeli teh dan gula." Biru melangkahkan kakinya menuju sebuah rak, mencari-cari apa yang akan ia beli.
"Permisi dek, mungkin bisa menunggu diluar saja, biar nanti kami yang memberikan apa yang adek ingin beli," tegur seorang wanita. Biru menoleh, ia mengikuti arah pandang wanita itu.
Lantai yang ia pijak ternyata kotor karena ulah sandalnya. Maklum, diluar hujan.
"Oh, iya." Biru melangkah hati-hati melewati wanita tersebut. Dan tidak lupa tampang tak berekspresi nya selalu setia menemani.
"Mukanya sombong, ya."
Biru masih sempat mendengar kata-kata wanita tadi. Ia menatap sinis kearah wanita tersebut. Si wanita dengan sigap memutar tubuhnya membelakangi Biru. Terdengar suara wanita itu yang menyuruh salah seorang untuk menghampiri Biru.
—•—
"Jadi sebenarnya apa yang ingin mbak beli?" pertanyaan kedua diberikan pada Biru.
"Sebentar." Biru kembali mengingat. Ia dengan jelas tadi menyebutkan tiga barang dan sekarang ia hanya mengingat dua. Belum tentu kedua barang itu benar.
Seseorang terlihat menghampiri kedua gadis yang sedang kebingungan. "Maaf, ada yang bisa saya bantu, saya lihat kalian sedang—eh Vena."
Biru menoleh sigap mendengar suara tak asing menyebut nama depannya. Pria itu Kafi, ia sudah berdiri didepan Biru dengan masing-masing tangannya memegang kantong besar. Ada banyak jenis belanjaan.
"Mbak, saya sudah ingat. Telur, terigu dan gula, ya mbak," ujar Biru. Ia tak sengaja melihat ada terigu dikantong belanjaan Kafi. Hal tersebut yang membuatnya mengingat.
Perempuan tadi akhirnya masuk mengambil pesanan Biru. Karena si pemilik tokoh masih tak mengizinkannya untuk masuk.
"Kenapa tidak masuk?" tanya Kafi.
"Kotor," jawabnya singkat.
Kafi berjalan melewati Biru. Biru pikir Kafi sudah akan pergi, ternyata Kafi hanya menyimpan barang belanjaannya di mobil, yang terparkir didekat sepeda Biru. Kafi kembali menghampiri Biru. Oh, sudah jelas Kafi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bertemu pujaan hatinya.
"Ku kira kau sudah mau pulang." Biru membuka percakapan lebih dulu. "Apa masih ada urusan?"
"Masih," ucapnya. "Menemanimu sampai barang-barang mu datang," sambungnya.
Mereka terjebak dalam keheningan untuk beberapa saat. Sampai perempuan tadi keluar memberikan Biru sebuah kantong kresek, dimana beberapa butir telur berada di kresek berbeda.
Biru memberikan uang pada perempuan tadi. Sambil menunggu kembalian, ia melihat-lihat apa semuanya sudah terbeli. Pergerakannya tak luput dari penglihatan Kafi.
"Masih hujan, apa kau tidak mau pulang denganku saja?" tanya Kafi.
Biru menggeleng. "Sepedaku tidak mempunyai remot control untuk pulang sendiri."
Benar saja. Kafi melihat sepeda Phoenix berkeranjang terparkir cantik di dekat mobilnya.
"Terima kasih untuk tawarannya. Biru pulang duluan, ya, sampai bertemu lagi, Kafi," pamit Biru setelah mengambil sisa uang dari belanjaannya.
"Kau ingin menerobos hujan?"
"Bapak berpesan untuk hati-hati dan segera pulang," katanya. Biru memasukkan belanjaannya di keranjang sepedanya. Dengan telur berada di tahta teratas.
Kafi ingin mencegah, namun Biru sudah mengayuh sepedanya membelah derasnya hujan.