Menanti Lillah

By arnovelis

61.3K 6.1K 1.5K

Menanti Lillah darinya untukku. Perjuangan yang tidak pernah tersesali. Kamu ada sebab hijrahku. Kamu ada seb... More

๐Ÿ‚ Part 1 ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Florist Bakery?๐Ÿ‚
๐Ÿ‚At Home๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Keberuntungan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pertemuan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Jatuh Hati๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pujaan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Membekas๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Reunian๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Menginginkannya๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Murka Delia๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Wisuda๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kesempatan Untukku๐Ÿ‚
Pengenalan Cast
๐Ÿ‚Sosok Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Bersaing๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Teka-teki Receh๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Hotel Nawangsa๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Penolakan Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Keusilan Pak Wira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Ambisi๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Cemas๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Om Baru Albi๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Menjadi Teman๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Terkalahkan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Mengasuh Anak๐Ÿ˜Š๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Luluhnya Delia๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Ibu-ibu Komplek๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kotak Berpita๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Restu๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Persiapan Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Ultah Mama๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kesal Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Di Pengajian๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Teman Jadi Ipar?๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kehadiran Tamu๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Hari Yang Terencana๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Gagal๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Penolongku๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Keputusan Fauzan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pertemuan Keluarga๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Dia Dalam Ingatanku๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Lamunan Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Terima Atau Tolak!๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pergi?๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kehilangan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Rumah Teduh๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Satu Foto๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Keberadaan Fauzan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Tamu Pakde๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pulang Dan Restu Mama๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Assalamualaikum Calon Istriku๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pingit๐Ÿ‚
๐Ÿ‚The Wedding๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kehidupan Baru๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Kecupan Fauzan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Rumah Kita๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Pertama Bagi Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Mama Mertua๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Beri Aku Alasan๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Sentuhan Aira๐Ÿ‚
๐Ÿ‚Humairaku๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Keterpaksaan? ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Terjawab Sudah ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Tekad Fauzan ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Menjadi Asing ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Overthinking ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Ketakutan Aira ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Take Off ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Kalut ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Kejutan Untukku dan Untuknya ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Paginya ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Suami Tuaku ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Trip to Bogor ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Kegalauan Aira ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ I Just Want You ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Menyenangkan Hati Istri Part 2 ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Day 1 ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Day 2 ~ Kejahatan Mama
๐Ÿ‚ Pisah Ranjang? ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Wanita Angkuh ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Membuka Lembaran Lama ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Guru Pembimbing ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Cewek Cupu ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Ramuan Mama ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Manipulatif ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Tamu Tak Diharap ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Pejuang Garis Dua ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Berdamai dan Pisah ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Rindunya Aira ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Aku Bukan Jalang ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Masih Menunggu ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Rintihan Aira ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Bukan Mimpi ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Harap Restu Kedua ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Calon Bapak ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Mood Bumil ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Baby Bump (4 bulan) ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Pembalasan ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Kehadiran Parasit ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Bumil Baik Hatinya Fauzan ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Doa Restu Yang Diharap ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Luka Baru ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Penggoda Beraksi ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Umpan Clara ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Terwujud ๐Ÿ‚
๐Ÿ‚ Nakal ๐Ÿ‚

๐Ÿ‚ Tanpa Kabar ๐Ÿ‚

325 38 20
By arnovelis

"Mbak Aira kalau memang lagi gak fit, gak usah datang Mbak."
"Mbak kira bakal kuat. Ternyata, lama berdiri ngebuat mbak juga mau tumbang. Pusing banget Nia."

Urutan pada tengkuk dengan mengandalkan minyak angin olesnya. Nia menatap iba bosnya yang sedari tadi mengeluh pusing dan hampir saja tak sadarkan diri. Sesekali lenguhan dan sendawa dari mulut Aira malah melepas kekehan Nia.

"Kamu ini dari tadi ngeledekin mbak terus. Kalau rasa pusingnya pindah ke kamu baru tahu rasa."
"Hihihi.... Jangan dong Mbak! Kalau Nia juga sakit, siapa dong yang bakal ngebantu kerjaan mereka?" Seloroh Nia dalam seriusnya mengurut area tengkuk dan dahi Aira. Benar-benar merasa nyaman setelah ketelatenan Nia merawat lemah dirinya.

"Jangan-jangan mbak Aira hamil nih. Soalnya, kalau Bunda bunting dulu, juga seperti ini. Ngerasa pusing dan bawaannya capek muluk. Apa kita gak ke klinik aja Mbak? Siapa tahu beneran hamil mbak Aira nya."

Terkekeh sebentar. Merutuki diri yang terus mendapatkan celetukan asal para karyawan yang terus menilai salah kondisi tubuhnya.

"Kok malah ketawa sih Mbak? Kan ada benarnya juga yang Nia bilang. Mbak ini belum ngasih kabar ke kita kalau Mbak udah mengandung atau belum. Pernikahan Mbak juga udah bisa lah memikirkan soal anak. Pasti Mbak hamil nih. Udah Mbak cek belum sih? Biar Mbak bisa jaga-jaga. Takutnya, Mbak terlena dengan aktivitas Mbak. Terlalu capek, terlalu sibuk bisa menyebabkan hal buruk loh Mbak ke janin Mbak nanti."

"Huffftttt.... Udah ya Nia! Mbak udah capek dan stres duluan sebelum kamu menyarankan mbak untuk mengecek kondisi lemah mbak ini. Hasilnya tetap negatif. Mau berharap, tapi kalau memang belum dikasih, mau bagaimana?"
"Masa sih Mbak? Mbak ngeceknya cuma pakai testpack? Enggak langsung ke Bidan atau Dokter gitu Mbak?"
"Memang baru testpack aja sih."
"Kenapa gak langsung ke Bidan atau Dokter aja Mbak? Biar valid."

Memang sudah terbesit dari awalnya. Memang sudah inginnya segera mengecek kondisi ke Dokter Kandungan langsung. Tapi, tetap usulan Fauzan yang ingin ia tepati.

"Suami mbak masih super sibuk. Sampai sekarang aja belum pulang. Gimana mbak mau mengecek ke Dokter Kandungan? Pergi sendiri? Enggak mau lah. Nanti ada hal lain di tubuh mbak, mbak jadi down sendiri."

"Oh, iya juga ya Mbak. Support sistem dari suami itu yang Mbak perlukan. Biar sama-sama paham."
"Tuh, kamu tahu."

"Nanti, kalau sekiranya mbak Aira sudah mengandung, wahhh.... pasti rempong juga ya toko Mbak. Pasti Mbak harus bed rest terus. Kalau ada keperluan yang mendesak bagaimana ya Mbak?"

Pemikiran jauh Nia malah menyita perhatian Aira untuk terikut membayangkan ke depannya. Menjadi berkhayal dirinya yang akan repot mengurusi diri sendiri, kehamilannya, tokonya dan suaminya. Kikikan kecilnya pun terlepas.

"Gimana nih Mbak? Takut ada membludak nya pesanan."
"Doakan aja kalau sekiranya mbak udah hamil nanti, bakal aman-aman aja. Jangan sampai lemah. Biar mbak bisa tetap bantu kalian di sini."
"Dengan perut membuncit apa Mbak sanggup mengadon semua kue-kue Mbak? Kasihan baby nya Mbak."
"Makanya doakan mbak dong! Biar bumilnya sehat dan debay nya juga sehat. Kan seru. Dengan perut membuncit mbak, mbak masih bisa bolak-balik mengurus toko."

"Tapi mas Fauzan pasti gak ngizinin sih. Mana mungkin mau melepas istri yang lagi hamil besarnya masih banting tulang kerja. Ih, kehidupan mbak Ai ini tuh udah enak loh Mbak. Dapat suami seperti mas Fauzan kan gak perlu susah-susah kerja keras lagi Mbak. Seharusnya Mbak udah bisa tenang di rumah. Sudah menjadi Nyonya besar. Jadi buat Nia iri aja."

Menghentikan urutan tangan Nia yang ia rasa sudah cukup. Membalikkan posisi ingin lebih intens mengobrol hal lebih seriusnya.

"Apa yang sejak awal udah mbak rencanakan sampai Alhamdulillah seberhasil ini, gak akan pernah mau mbak tinggalkan. Banyak rasa capek yang mbak tuangkan semua di kerja keras mbak ini. Mau nanti mbak udah punya anak sekalipun, kalau dari mbak nya pandai mengatur waktu pasti tetap terhandle. Mbak kan juga punya kalian yang masih tetap mau bertahan kerja bareng mbak kan? Toko ini tetap harus buka dong. Kalau gak berlanjut, gimana kalian nya? Masing-masing dari kalian punya cerita tersendiri di memori mbak. Mengenal kalian ngebuat mbak senang. Sampai sekarang gak ada satupun yang berkhianat ke mbak. Bekerja ikhlas dan tulus. Terimakasih ya. Kamu dan lainnya udah memudahkan usaha mbak."

Anggukan dan senyum sumringah Nia benar mengakui hal-hal baik yang sudah panjangnya waktu mereka lewati. Buktinya dirinya sendiri. Lulus dari sekolah menengah atasnya, Nia langsung melamar bekerja di toko Aira yang waktu itu terbilang masih merintisnya. Masih awam tapi tetap mendapatkan pengajaran yang lembut dari bos baik seperti Aira. Lambat laun bertemu dengan rekan kerjanya yang lainnya yang juga memiliki cerita hampir sama dengan dirinya. Mereka bekerja dengan rasa nyaman yang Aira berikan. Tidak membiarkan para karyawannya menderita sedikitpun.

"Mbak bukan sekadar bos bagi Nia. Mbak bisa jadi kakak kita kalau kita lagi ada kesulitan walaupun itu urusan pribadi kita sendiri. Mbak juga pernah ikhlas.... banget memberikan gaji Nia double untuk menutupi tunggakan uang sekolah adik Nia. Mbak masih ingat kan? Kalau Nia mah masih ingat banget."

Angguk samar Aira. Semua hal yang sudah ia lewati tidak akan pernah terlupa.
"Kenapa jadi melow gini sih. Mood mbak sekarang gampang kepancing Nia. Jangan buat mbak mewek lagi. Nanti malu dilihat yang lain."
"Tapi Mbak benar-benar baik ke Nia. Ke yang lain juga. Padahal, bisa dibilang dulu itu mbak masih usaha keras banget ikut event-event buka gerai kue mbak ini. Ada mengalami kerugian juga beberapa kali. Tapi kalau kami ada masalah, mbak langsung cepat bantu. Hiksss.... Hiksss.... Enggak mau nangis tapi udah kepancing duluan."

Memeluk tubuh Nia yang dirinya pun juga sudah terikut berlinang air mata. Mudah menarik rasa simpati dan empati Aira kali ini. Hatinya sangat lembut. Mudah merasakan apa yang tengah orang-orang di sekitarnya rasakan.

"Kalau kalian udah merasa gak nyaman bekerja dengan mbak bilang ya! Biar mbak bisa introspeksi diri. Karena mbak gak mau kehilangan kalian kecuali kalau kalian udah punya alasan yang tepat. Mbak juga jadi merasa punya adik beneran. Hiksss.... Hiksss.... Lihat nih! Kamu juga mancing cengengnya mbak lagi kan? Nanti kepala mbak pusing lagi Nia....!"
Terisak dalam selingan kekehan mereka.

Masih dalam ruangan yang terkunci. Curhatan kedua wanita itu terganggu setelah ketukan dan seruan menyerukan namanya.
"Mbak! Mbak Aira! Ada teman Mbak yang datang."

"Siapa Mbak?"
"Mungkin mbak Namira. Terimakasih ya. Udah agak mendingan. Kamu bisa balik kerja lagi."
"Iya, Mbak. Sama-sama."

Membuka cepat pintu yang terkunci. Tepat di hadapannya. Kedua mata langsung tertuju pada satu pria yang ternyata itu Dafa. Bukan Namira seperti anggapannya.

"Da-fa? Ada perlu apa?"
Awal pembicaraan yang kelu.
"Hmm.... Ai, aku mau minta bantuan kamu."
Kerut dahinya mencari maksud bantuan seperti apa yang Dafa butuhkan.

"Bantuan apa Daf?"
"Hmm...."
"Ekhem! Permisi mas Dafa. Nia mau numpang lewat dulu. Mbak, jangan terlalu lama berdiri lagi. Nanti semakin pusing Mbak nya."

"Kamu sakit?" Tanya gusarnya.
"Cuma pusing mas Dafa. Calon bumil nih Mas. Hihihi...." Seloroh asal Nia.
"Nia! Jangan ngasal! Balik kerja sana!"
"Doa Nia berkedok canda Mbak. Siapa tahu sesuai dugaan Nia. Hihihi.... Permisi ya Mas."
Kembali berjalan keluar sebab merasa tak ingin mengganggu hal pribadi bosnya. Dari celetukan itu diam-diam malah kembali memuncak rasa kesal Dafa.

"Ada apa Daf?"
Berdiam sebentar. Meneliti wajah sedikit pucat pasi Aira. Dalam benaknya ia meringis. Meringis akan celetukan Nia. Benar pasti ada waktu dimana ia akan meraung gila sekiranya kabar bahagia itu terdengar.
'Bukan tidak mungkinnya Aira menjadi gadis selamanya. Membayangkan itu saja sudah membuatku sakit Ai.'

"Daf....! Ada perlu apa? Aku mau balik ke ruang Baking kalau memang gak ada yang diperlukan. Kamu bisa minta bantuan ke yang lain kalau mau pesan sesuatu." Meminta menyingkir posisi berdiri Dafa namun tak diberikan.

"Kak Lisa gak pulang lagi mungkin itu udah hal yang biasa. Tapi sekarang aku gak tahu apa yang terjadi dengan kak Lisa. Yang jelas, terakhir kak Lisa pulang, aku ngelihat ada hal yang janggal. Pulang-pulang dengan wajah sembab dan penuh lebam di sebagian tubuh kakakku. Semua bertanya cuma dijawab hanya pertengkaran kecil. Sekarang kak Lisa gak ada di rumah lagi Ai. Keluarga ku bingung. Aku bingung harus cari kemana. Mau lapor polisi, aku dan keluarga masih berharap kak Lisa keluar bersama temannya lagi seperti biasanya. Tapi melihat kondisi kak Lisa seperti itu, aku rasa ada yang aneh."

Aira yang menatap raut gusar dan mendengar penjelasan panjang lebar Dafa sangat tahu betul bagaimana kekacauan Lisa tempo hari. Hal yang ingin ia sampaikan juga ke Dafa namun terhalang larangan Fauzan dan Ibunya.

"Sebenarnya aku tahu Daf. Aku tahu kondisi mbak Lisa. Tapi intinya, mbak Lisa gak mau cerita apa yang Mbak Lisa alami secara jelas. 3 hari yang lalu, mbak Lisa datang ke sini. Dalam keadaan cemas, ketakutan. Aku juga tahu ada luka lebam dan luka robek pada bibir mbak Lisa. Aku mau tanya ke kamu, tapi.... aku rasa itu bukan urusanku. Mbak Lisa juga gak suka kalau aku kasih tahu apapun ke kamu. Sekarang semakin aneh ya?"

"Iya, Ai. Semua dibuat bingung dengan kelakuan kakakku. Jadi aku minta bantuan dari kamu. Bantuin aku cari kak Lisa ya. Berusaha cari sendiri malah ngebuat aku stres Ai."

"Tapi Daf.... Aku gak bisa ninggalin toko. Gimana dengan Mama dan Papa kamu? Kenapa gak cari bareng keluarga kamu yang lain?"
"Udah Ai. Semua memang lagi berusaha nyari kak Lisa. Kalau benar sampai nanti malam gak ketemu dan gak balik, keluarga ku akan melapor. Karena ngerasa aneh dengan keadaan kak Lisa."

Aira meringis bingung. Ia masih mengingat himbauan Fauzan agar tidak terlibat apapun urusan Lisa. Tapi, melihat cemasnya Dafa malah membuat dirinya merasa bersalah jika mengacuhkan. Sebab, dia tahu betul bagaimana kacaunya Lisa 3 hari silam.

"Hmm.... Tunggu sebentar ya. Aku mau izin dulu dengan mas Fauzan."
"Untuk apa?! Aku butuh waktu kamu sekarang Ai! Dia gak paham segenting apa keluarga ku sekarang. Ayo, Ai!"

Tercekat dengan tarikan paksa Dafa tanpa mau melepas genggamannya, tanpa mau memberikan waktu ia meminta izin terlebih dahulu. Satu hal yang ia takutkan. Dafa tidak sadar akan batasan yang seharusnya tidak ia lewati.

"Daf!"
"Apa Ai!" Kesalnya.
"Aku bisa jalan sendiri. Enggak baik kalau kamu menyentuhku. Kita bukan mahram nya. Dari dulu kamu tahu kan?"

Kalimat yang menusuk hatinya. Rasa kesal ia samarkan. Ia tetap harus fokus dengan jalan pikirannya.
"Ayo, masuk!"
Aira terdiam. Dafa membawa dirinya ke salah satu mobil yang terparkir. Yang ia tahu mobil itu bukanlah milik Dafa.

"Motor kamu?"
"CK, apa mobil ini harus ku jelaskan dulu? Aku berpikir nalar Ai. Kalau kita naik motor berdua apa gak mengundang pemikiran buruk orang-orang? Kamu pasti gak mau. Ini mobil Lisa yang dia tinggalkan. Aku manfaatkan sementara untuk mencari kakakku. Sekiranya kita ketemu dengan Lisa, bisa langsung kita paksa pulang. Ayo, Ai! Bantu aku ya!"

"Tapi Daf, mas Fauzan lagi gak ada di sini. Aku harus dapat izin dari mas Fauzan dulu ya? Sebentar aja."
Ingin kembali masuk namun pergerakan tangan Dafa lebih dulu mencekal dan memaksa Aira masuk pada mobilnya.
BAMMM!

Memutari cepat dan masuk dengan rasa geram dari sikap batasan Aira lakukan padanya.
"Aku cuma minta bantuan kamu mencari kak Lisa, gak lebih! Sibuk menyetir gak mungkin leluasa melihat setiap area jalanan. Kamu masih anggap aku teman kan?!"
Tercekat dengan amukan Dafa membentaknya. Sedikit takut tapi ia coba tenangkan.

"O-ok. Aku minta maaf. Y-ya udah, kita cari.... mbak Lisa nya sekarang Daf."
"Pakai safety belt kamu!"
Menurut saja.


Perjalanan awal, hanya diam seribu bahasanya mereka. Mobil yang sudah Dafa kendalikan semula berlaju kencang. Sampai Aira menatap bingung Dafa dan mencengkram kuat bagian jok yang ia duduki.

Yang Aira lihat hanyalah arahan kemudi Dafa yang melintasi beberapa jalanan secara asalnya. Ia masih meyakini Dafa tengah kebingungan mencari tempat tersembunyi nya Lisa. Mencari orang hilang tanpa pertanda apapun memanglah sangat sulit. Sesekali pandangan Dafa tertuju pada spion tengahnya yang ia pastikan masih ada satu motor mengikuti mereka.

"Daf, apa memang udah gak bisa dihubungi lagi mbak Lisa nya? Dari tadi kita udah mutar-mutar. Kamu juga nyetir nya terlalu kencang Daf. Gimana kita bisa mengecek setiap jalanan kalau kamu nya terlalu terburu-buru."

Tanpa memperdulikan ocehan Aira. Mengambil satu sisi jalanan yang ia rasa arah terbaik untuk menepi. Aira tampak bingung dan semakin mengeluarkan semua pertanyaannya.

"Kenapa Daf? Kenapa berhenti? Sekarang kita udah dimana?"
"Kamu tenang dulu!" Membuka safety belt nya.
Aira melihat gelagat Dafa serasa gelisah yang berulang kali menatap arah luar sembari terus menggaruk tengkuknya gusar.

Satu jalanan yang sedikit dilewati pengendara lainnya. Aira masih hanya bisa terdiam memandangi beberapa area yang masih terdapat pepohonan-pepohonan tingginya.

"Daf.... Enggak mungkin mbak Lisa ada di sini kan? Cari di tempat lain ya Daf. Ini terlalu sepi."
"Tunggu Ai. Jangan berisik kamu! Aku lagi pusing memikirkan kemana Lisa. Tolong turunin kaca mobilnya biar gak pengap!"

Gelisah Aira mendapatkan respon sedikit dingin dari Dafa. Bukan lagi Dafa yang tenang. Tapi ia anggap itu sebagai rasa gusarnya Dafa mencari keberadaan kakaknya, Lisa.

Ia merutuki kebodohannya yang tidak membawa sama sekali barang pentingnya. Handphone yang seharusnya bisa menemani rasa cemasnya malah tertinggal. Dan ia belum sama sekali mengabari Fauzan dimana dan kemana dirinya. Rasa nyeri pada kepala dan keringat dinginnya mengucur pada dahi. Dafa masih saja sibuk dengan keterdiamannya. Hingga satu pancingan obrolan menyentaknya.

"Aku masih belum rela melihat kamu bahagia Aira."
Menghentikan pemikiran kusutnya. Menatap serius arah pandang Dafa ke dirinya. Tersenyum miring dengan sorot mata yang begitu dalam. Kedua tangannya juga terkepal kuat seakan ada satu hal yang ia tahan.

"Sampai kapanpun aku gak bakal rela melepas kamu Aira. Seharusnya kita yang bahagia kan? Bukan kamu dengan pria lainnya. Kamu lihat aku kan? Sekarang aku kacau Ai. Aku terus murung, aku kehilangan semangatku, aku kehilangan wanita yang sangat aku cintai. Kamu bisa lihat kan? Aku serasa udah gila."

Menggeleng tak percaya akan pancingan obrolan tak berfaedah. Tidak sesuai situasi.
"Pembahasan kamu gak penting Daf. Kenapa malah ngebahas hal ini? Fokus kita sekarang hanya mencari mbak Lisa. Kita lanjut pencariannya Daf!"

Genggaman tangan Dafa menyentaknya. Sudah sangat berani menyentuh dirinya sesuka hati tanpa tahu batasan. Membuat ia refleks menepis kuat tangan Dafa yang ia rasa sudah cukup lancang.

"Cih! Sudah merasa jijik dengan ku? Padahal kamu tahu aku menginginkan kamu. Padahal kamu tahu aku seberusaha ini untuk kamu Ai. Kamu berkhianat Ai. Kamu mempermainkan aku. Kamu memilih pria lain yang memang sudah lebih mapan, sudah lebih hebat, sudah lebih menjamin hidup mewah kamu."
"Ini gak ada sangkut pautnya dengan kehidupanku Daf!! Kamu terus berpikiran picik? Kamu menilaiku rendah? Kamu pikir dengan kekayaan dan harta bisa membahagiakanku?! Aku menilai Daf. Aku menilai karakter seseorang. Menilai siapa yang pantas mendampingiku."

"Apa aku kurang pantas?! Aku bisa jadi imam kamu Aira. Aku bisa melakukan apapun sesuai harap kamu. Aku gak mau akhir hidup ku cuma memikirkan kamu terus terusan sampai aku mati tapi tetap bukan kamu untukku. Aku harus apa Ai? Aku benar-benar mau kamu. Aku benar-benar menginginkan kamu Ai. Kamu salah memilih dia Ai. Kamu salah memilihnya untuk jadi imam kamu."
"Cukup ikhlas kan aku Daf!! Kamu udah keterlaluan mengharapkan sesuatu yang bukan untukku kamu. Yang berhak atas takdir bukan kita. Seharusnya kamu paham."

"Aku paham!! Aku paham dengan takdir yang mempermainkan ku. Aku paham Ai.... Apa susahnya kamu menolak dia? Apa susahnya kamu menungguku Ai? Karena apa? Kamu kan gak ada perasaan apapun ke dia. Kenapa sekarang malah seperti ini?"

"Kamu udah gila Daf. Antar aku pulang sekarang!"
"Jawab aku Ai!!" Menarik paksa tangan Aira hingga rasa sakit yang Aira rasakan.

"Cinta bisa tumbuh setelahnya Daf!! Aku mencintai suamiku!! Dia cukup membuatku bahagia, dia baik, dia memperlakukan dengan baik Daf. Stop kamu menjelek-jelekkan suamiku!! Lepaskan aku Daf!!" Merintih sakit dengan cekalan yang semakin kuatnya. Tak memberi kebebasan untuknya.

"Aku beruntung dicintai Daf. Dia berhasil membimbingku. Semua pemikiran buruk kamu mengenai mas Fauzan itu salah. Aku melihat kesungguhannya Daf. Mas Fauzan cukup baik menjadi imam ku."

"Kamu harus tahu Daf. Berada di posisi mas Fauzan juga gak mudah. Mas Fauzan juga capek dengan sikap kerasku. Aku menerima mas Fauzan memang ada alasan. Dia penolong ku Daf. Kamu masih ingat rasa trauma ku dulu kan? Mas Fauzan yang menolong ku. Mas Fauzan juga yang menolong Ibuk ku bisa bercerai dengan Bapak ku Daf. Semua kehidupan bahagia dan aman ku sekarang ini berkat mas Fauzan."

"Aku benci kenyataan itu. Aku jadi merasa bersalah. Aku merasa bersalah sempat membenci suamiku sendiri. Aku juga sama seperti kamu. Punya pemikiran buruk akan niat baik suamiku sendiri. Aku menganggap mas Fauzan memanfaatkan kebaikannya. Dia memanfaatkan itu semua untuk mendapatkan perhatianku. Tapi salah. Semua dia simpan. Semua dia tutupi. Sampai terbongkar dengan sendirinya. Aku baru mengingatnya. Mbak Delia dan Ibuk yang menyadarkan ku juga. Pemikiran dangkalku, sikap burukku hampir menghancurkan hubungan rumah tanggaku."

Tersedu dengan kepingan alur dirinya dan Fauzan kembali terulang. Cekalan masih tak mau terlepas.
"Aku udah sangat menyakiti hati suamiku sendiri. Aku pernah bodoh menulis semua kesal hatiku dalam buku Diary. Semua rasa benciku mengenai mas Fauzan diam-diam tanpa sepengetahuan ku, dia baca Daf. Dan di buku itu juga ada kisah tentang kamu. Aku mengakui, aku pernah ada rasa kagum dengan kamu. Dan itu juga terbaca. Aku jahat Daf. Aku udah jahat mengacuhkan perasaan tulus mas Fauzan. Mas Fauzan lebih sakit dibanding kamu."

"Kamu bayangkan aja. Sudah berhasil menikahi aku tapi akunya masih mengagumi pria lain. Selama itu aku membatasi diriku, gak melayani suamiku, sering berkata kasar. Terang-terangan mas Fauzan tahu aku gak ada perasaan cinta ke dia Daf, terang-terangan mas Fauzan tahu aku mengagumi kamu. Tapi dia cuma diam. Dia sabar Daf. Sampai dia rela ingin membebaskan aku untuk menggugat cerai. Itu sudah fatal kan? Sampai seputus asa itu mas Fauzan dengan ku."

"Kamu harus bisa mengikhlaskan aku Daf. Bagaimana pun kita yang dulu, itu cuma masa lalu. Sekarang aku udah benar-benar bahagia dengan pilihan Tuhan untukku. Dia pria baik, suami terbaikku. Kamu jangan menilai nya buruk Daf. Itu malah menyakiti ku. Please, Daf.... Lepas Daf! Sakit...."

"Tapi aku cuma mau sama kamu. Aku cuma mau sama kamu Aira.... Aku harus gimana? Ikhlas? Aku gak tahu gimana caranya melupakan kamu. Aku gak tahu Aira.... Hiksss.... Hiksss.... Tolong ngertiin aku Ai...."

Gilanya Dafa sudah terlampau. Entah kenapa lambat laun Aira merasa takut dan terancam akan sikap aneh Dafa. Tangannya terus tercengkram kuat dengan Dafa yang tidak berhentinya meracau. Entah kemana akal sehat Dafa.

Berusaha melirik kesana kemari mencari seseorang yang ia harapkan bisa menolong dirinya lepas dari gilanya Dafa. Namun, memang tak ada satupun yang berlalu lalang melewati jalanan yang entah dimana ia berada pun ia tak tahu.

"Lepas Daf! Aku mau pulang!"
"Kamu harus sama aku Ai! Kita bisa pergi jauh. Kita menikah ya! Aku cuma mau sama kamu. Kita pasti bahagia Ai."

Lebih berusaha mendekati terduduknya Aira. Aira semakin terancam yang terus membuat ia berteriak sekencang-kencangnya. Namun kondisi jalanan yang jarang dilalui orang-orang cukup menyulitkannya. Dadanya sesak, denyutan kepala semakin menyiksa.

"Dafa!!" Terus mencoba mendorong Kungkungan Dafa. Satu tangan berusaha membuka safety belt yang menyulitkan ia bergerak. Dengan kakinya pun ia berusaha menolak pergerakan diri Dafa yang semakin ingin menyudutkan dirinya.

"Aku cuma mau sama kamu Aira!! Sampai kapanpun aku gak akan merelakan Fauzan miliki kamu!! Cuma aku Aira!!"
"Daf.... Hiksss.... Hiksss.... Tolong jangan gila Daf! Kita cuma berteman.... Aku cuma bisa anggap kamu teman. Please.... Lepasin aku Daf! Kepalaku semakin pusing. Aku mau pulang.... Hiksss.... Hiksss.... Tolong....!! Tolong....!!"

Semakin gilanya. Seperti bukan lagi Dafa yang Aira kenal. Pandangan Dafa menakutkan. Mencengkram kedua tangan Aira dengan paksa. Dengan nekatnya Dafa berusaha ingin menyentuh lebih dirinya.

"Daf.... Hiksss.... Hiksss.... Tanganku sakit Daf. Aku mau pulang! Hiksss.... hiksss.... Jangan seperti ini Daf. Hiksss.... Hiksss.... Tolong....!! Tolong....!!" Berusaha lebih brutalnya ia menolak paksaan tubuh Dafa yang terus ingin mendekati dirinya. Wajahnya terus menjauh dikala Dafa terus ingin mengambil kesempatan pada bibirnya.

"Tolong....!! Tolong....!!"
"Aku bisa menghancurkan kebahagiaan kalian!! Kamu menyakiti hatiku Aira!! Aku juga bisa menyakiti hati pria bajingan kamu itu!!!"
"Dafa!!!"
Sekuat tenaganya ia menarik lepas cengkraman tangan Dafa. Mendorong dan melayangkan satu tamparan keras pada pipinya.

PLAKKK!!!
Gemetaran tubuh Aira dan sesak napasnya. Ia menumpahkan segala tangisnya. Merasa ketakutan dan terancam. Diam nya Dafa ia jadikan sebagai kesempatan untuk membuka pintu yang ternyata masih terkuncinya.

"Buka Daf!!! Aku mau pulang!!! Buka Daf!!!"
Dafa sadar. Akan tetapi ia masih betah terdiam. Menyadari dirinya sudah sangat kalap. Terpengaruh akan dirinya yang tersulut rasa dendam penolakan Aira.

Ia melihat bagaimana tangis dan rasa takutnya Aira. Sebab dirinya.
"Aku mau pulang Daf!! Aku mau pulang!!! Hiksss.... Hiksss.... Tolong....!! Tolong....!! Tolong....!!"

Dari kejauhan Dafa mendapati satu orang telah mengacungi jempolnya atas apa yang sudah ia perbuat. Sebagai pertanda semua sudah selesai dan berhasil ia lakukan.

"Aku mau pulang....! Hiksss.... Hiksss.... Aku benci kamu Daf. Kamu jahat.... Hiksss.... Hiksss.... Aku mau pulang Daf. Aku mohon.... Hiksss.... Hiksss.... Tolong jangan berbuat macam-macam ke aku ya! Please....! Antar aku pulang Daf.... Hiksss.... Hiksss...."

Sikap memohon dengan masih ketakutannya. Dafa merasa menyesal dan menjadi linglung dengan yang sudah ia torehkan pada ketakutan Aira.

"Ai.... A-aku minta maaf. A-aku tadi...."
"Bawa aku pulang Daf. Please.... Jangan sakiti aku! Hiksss.... Hiksss.... Aku minta maaf. Aku minta maaf gak bisa ngebalas perasaan kamu. Seharusnya kamu paham. Ini bukan takdir kita Daf. Kamu harus ikhlas. Aku udah bahagia. Aku udah bahagia Daf.... Hiksss.... Hiksss.... Tolong jangan merusak kehidupanku. Aku mohon, bawa aku pulang Daf!" Meraung dalam terpojoknya Aira berusaha tak ingin tersentuh seinci pun.

Dafa menunduk. Mengutuki dan mencaci maki dirinya sendiri sudah berani mengikuti pemikiran gilanya. Aira tak berhenti menangis, tak berhenti meracau dan terus menyebut lirih nama pria yang sama sekali tak ingin ia dengar dari wanitanya.

'Aku benar-benar sudah tidak ada harapan lagi. Aira terus menyebut Fauzan. Bukan diriku yang Aira inginkan. Bukan aku yang kamu sebut Ai.... Aku benar-benar sakit Ai....'

Masih penuh rasa kesal, Dafa kembali melajukan mobil Lisa dengan kecepatan penuh. Ia jadikan ini sebagai pertemuan terakhirnya dengan Aira. Sudah cukup ia berharap lebih ke perasaan yang hanya dirinya menggila.

Tanpa ada sepatah katapun dari mulut mereka. Dafa masih merenungkan perbuatannya. Rasa emosi menyulut nalurinya.
BAMMM!
Aira marah dan lekas keluar. Masuk dan mengurung diri dalam ruangannya.

Dafa yang melihat itu kembali marah dengan diri sendiri. Menghantam kuat berulang kali setirnya sampai semua pengunjung dan karyawan Aira sedikit terusik.

"Ya ampun.... Rusuh banget! Siapa sih?"
"Mbak Aira kenapa lagi ya? Tadi kalian semua lihat kan? Mbak Aira kayak nangis gitu."
"Masih ngerasa kurang enak badan kali."
"Tapi aku takut mbak Aira kenapa-kenapa. Tadi keluarnya bareng mas Dafa kan? Apa ada sesuatu ya? Wahhh.... Apa ya?"
"Husttt! Udah deh, jangan beranggapan yang aneh-aneh. Mood mbak Aira yang sekarang memang lagi gak baik kan? Doakan aja yang baik-baik."

Mengambil handphone nya. Tangannya bergetar hebat untuk mencari satu nomor tujuannya. Pak Hamdan. Dirinya ingin cepat pulang. Mengurung dalam rumah salah satu situasi teramannya. Membayangkan perlakuan Dafa sangat menyakiti hatinya. Dafa ingin melecehkannya. Dafa ingin merusak kehidupan rumah tangganya. Ia menyesal. Menyesal terlalu baik dan membiarkan Dafa menguasai dirinya. Ia menyesal sudah melanggar larangan suaminya.

"Hallo, Buk."
"Pak.... Tolong jemput Aira sekarang ya! A-aira mau pulang sekarang Pak!"
"Oh, iya Buk. Tunggu sebentar ya Buk. Saya jalan sekarang."
"Cepat ya Pak! Saya mau pulang sekarang.... Hiksss.... Hiksss...."

Menyudahi panggilannya. Ia baru menyadari sudah banyaknya panggilan tak terjawab dari Fauzan. Beberapa pesan belum terbaca juga.
Menatap sendu satu nomor yang ingin ia jadikan sebagai pelampiasan rasa kesal dan takutnya. Mencoba kembali menelepon. Namun, tak terjawab. Fauzan tak menjawab panggilan darinya.

"Hiksss.... Hiksss.... Kapan Mas pulang....? Hiksss.... Hiksss.... A-aira takut Mas.... Kapan pulang.... Angkat dong....!"

Memeluk lutut dan tetap meraung sedih yang sudah ia alami. Dafa berhasil mengembalikan rasa trauma nya dulu. Mendapatkan perlakuan kasar dan paksaan. Dirinya hampir terlecehkan. Dirinya hampir rusak oleh temannya sendiri. Yang ia anggap bisa sangat menghargai. Yang ia anggap bisa sebagai penolongnya juga jika tak ada pertolongan dari orang terdekatnya. Malah terhina dan terzalimi dengan sikap memaksa Dafa.

Denyutan semakin menyiksa kepala. Sesak menahan luapan emosi yang coba ia tahan. Menunggu jawaban dari panggilannya pun tak ia dapatkan. Fauzan semakin melukai hatinya.

"Mbak Ai....! Pak Hamdan udah datang Mbak." Seruan Sonya.
Aira cepat mengemasi barang-barangnya. Melangkah cepat ingin pulang. Pintu terbuka dan menghebohkan semua karyawannya melihat kondisi lemah dirinya.

"Ya ampun Mbak, masih sakit?"
"Lebih baik ke Klinik dulu gak sih Mbak? Biar bisa terawat Mbak nya."
"Iya, Buk. Biar saya antar sekiranya Ibuk butuh bantuan."
"Enggak perlu Pak. Saya mau langsung pulang. Udah gak mau ada di sini. Bawa saya pulang ya Pak....!"

Sikap aneh Aira. Menangis pilu dengan memohon untuk dibawa pulang segera. Pada akhirnya, Nia yang paham kondisi awal Aira, memapah hingga sudah dengan nyamannya Aira bersandar pada kursi bagian belakang.

"Kalau sekiranya gak kuat, besok Mbak jangan ke sini dulu deh. Istirahat aja Mbak."
"Pak, cepat bawa saya pulang ya!"
"Baik, Buk."
"Hati-hati nyetir nya Pak. Mbak Ai memang lagi gak enak badan beberapa hari ini."
"Baik Nia. Bapak langsung pamit ya."

Tidak lama membawa majikannya pulang. Pak Hamdan mengecek kondisi Aira yang sudah tenang. Namun, dengan masih menatap kosong. Pemikiran yang kalut masih saja menginginkan panggilan teleponnya terhubung.

Hamdan lebih memilih keluar untuk menekan bel dan memanggil ibu Aira. Menjelaskan bagaimana keadaan Aira kali ini. Dengan cepat Hanum melihat dan menyadarkan lamunan Aira.

"Ya Allah, Nak.... Pusing lagi?"
"Atau kita bawa aja buk Aira ke Klinik Buk?"
"Aira mau ke dalam aja Buk!! Aira mau istirahat." Ingin kerasnya sebab sudah ingin merasa aman dalam rumah. Raungan tangisnya malah semakin membingungkan Hanum dan pak Hamdan. Memeluk Hanum dengan sesak tangisnya. Aira masih saja terpikir bagaimana jahatnya Dafa.

"Bagaimana Buk? Dari tadi buk Aira memang seperti ini. Saya takut buk Aira kenapa-kenapa. Biar saya bawa ke Rumah Sakit saja ya Buk?"
"Enggak mau!! Aira mau masuk aja Buk.... Hiksss.... Hiksss...."
"Enggak perlu Pak. Aira nya tetap gak mau."

Membantu Aira berjalan lunglai masuk ke dalam kamarnya. Ia terus terheran dengan kondisi Aira yang tetap saja melemah. Bolak balik mengeluh pusing, menangis, meraung kesal panggilan yang tak kunjung terespon. Bujukan darinya tak mempan. Aira tetap enggan untuk mau mengecek kondisi tubuhnya.

Sekarang ini, Aira sudah cukup tenang. Hanya memeluk. Memeluk Hanum dengan derai air mata sesekalinya masih berlinang.
"Apa ibuk boleh beranggapan kamu ini sekarang tengah mengandung? Soalnya, Aira ini terus mengeluh pusing. Kita bisa cek lebih dulu ke Dokter Kandungan Nak. Nanti biar Ibuk yang izinkan ke Fauzan."
"Enggak Buk. Aira gak mau. Emangnya mas Fauzan mau mengangkat telepon dari Ibuk? Dari tadi kan panggilan dari kita gak direspon. Mas Fauzan sekarang lagi sibuk banget. Sampai melupakan Aira."

"Iya, pasti lagi sibuk. Jadi kita bisa inisiatif sendiri mengecek langsung kondisi kamu. Dulu Ibuk juga pusing-pusing. Bahkan, lebih parah. Kayaknya kamu juga. Nanti kan bisa jadi kejutan untuk Fauzan nya."
"Aira gak mau. Aira mau nunggu mas Fauzan pulang. Aira cuma mau mas Fauzan pulang. Hiksss.... Hiksss.... Apa mas Fauzan marah Buk? Mungkin pas Aira pergi dengan Dafa tadi.... Mas Fauzan udah kesal panggilannya gak terangkat dengan Aira. Buk.... Mas Fauzan marah....? Hiksss.... Hiksss.... Aira udah melanggar aturan mas Fauzan. Dafa jahat Buk. Hiksss.... Hiksss...."

Kembali terisak kencangnya. Semua sudah Aira ungkapkan. Perlakuan kasar dan gila Dafa sudah Aira luapkan. Hanum melihat ketakutan lama Aira. Hal yang sama.

"Nak Dafa sudah keterlaluan memperlakukan anak ibuk seperti ini. Aira, nak Dafa dulunya juga pernah mendatangi Ibuk. Nak Dafa mengungkapkan semua kekecewaannya atas keputusan kamu menerima Fauzan. Dari situ ibuk sudah menilai kalau Dafa itu bukanlah laki-laki baik. Nak Dafa terlalu memaksa akan keinginannya. Nak Dafa tidak paham akan takdir. Semua sudah lebih dulu Allah yang menentukan. Nak Dafa terlalu terobsesi ke kamu. Itu gak baik. Kalau dia mencintai kamu, seharusnya dia bahagia juga dengan pilihan kamu. Tapi ini malah menjadi-jadi. Tapi Aira benar gak apa-apa kan? Kita bisa menindak lanjuti hal ini ke keluarganya Nak. Supaya mereka tahu sebagaimana terancamnya kamu."

"Enggak Buk. Aira gak mau. Aira gak mau ketemu Dafa lagi. Aira kesal Buk. Aira takut.... Hiksss.... Hiksss...."
"Iya, Aira. Istighfar ya! Lain kali harus pandai melihat situasi. Kalau Aira ada feeling yang gak baik dengan seseorang langsung menghindar aja. Jangan terlalu mudah percaya. Sekarang ibuk temani Aira tidur ya? Biar Aira bisa tenang."
"Tapi kalau mas Fauzan udah mau menghubungi Aira, bangunin Aira ya Buk. Hiksss.... Hiksss.... Aira gak bisa tenang kalau mas Fauzan gak merespon telepon Aira. Hiksss.... Hiksss.... Mas Fauzan marah Buk...."
"Iya, nanti Ibuk coba telepon lagi. Udah, tenang dulu ya!"

💐~💐

Gelak tawa Lisa memekakkan gendang telinga Dafa. Dafa hanya bisa terdiam masih merenungi lakon gilanya. Tapi itu semua sudah ia anggap setimpal dengan patah hatinya. Kini, Lisa puas tertawa sebab mereka berhasil menyulut emosi si Tuan pemilik hati wanita pujaannya. Dengan satu nomor asing yang Lisa gunakan untuk mengirim beberapa gambar dirinya dan Aira yang tengah dalam posisi tidak baiknya.

Tapi semua malah membuat Dafa sedikit menyesali. Aira benar akan tidak mau lagi bertegur sapa. Ia kehilangan paras manis Aira yang mungkin tidak akan Aira izinkan lagi bertatap muka dengannya.

'Ya Allah.... Aku udah kelewat batas? Aku gila Aira. Aku menggila. Iman ku benar-benar kalah akan egoku. Bisa-bisanya aku melecehkan kamu. Menerimaku untuk bersama kamu gak bisa. Sekarang aku malah memutuskan hubungan pertemanan kita. Aku bodoh. Aku udah bertingkah bodoh.'

"Kenapa gak sekalian Lo ambil kesempatan Daf? Lo punya kesempatan untuk menikmati cewek Lo. Yaaa.... Walaupun bukan Lo yang pertama, tapi ok juga lah. Si Fauzan pasti bakal langsung ngebuang Aira tanpa tahu hal sebenarnya."
"Keluar Kak! Stop, sampai di sini! Jangan racuni Dafa untuk melakukan hal bodoh yang kakak mau. Dafa udah nanggung dosanya kak. Dafa udah jahat melecehkan Aira. Dafa udah mengusik istri orang kak. Dafa udah dipandang hina dan jijik."
"Hahaha.... Cupu banget sih Lo! Lo itu sama aja kayak Papa. Sok suci."
"Keluar kak!!!"

Mendengus kesal dan melempari kasar handphone milik Dafa yang sudah ia pergunakan.
"Bodoh!!" Umpatnya.

💐~💐

Menatap angka-angka dalam selebaran kertas tebalnya. Ia hitung sudah berapa lama hari yang ia lewatkan tanpa kabar. Bukan lagi tak merespon. Malah sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomor tidak aktif, tidak ada hiburan konyol darinya.

"Aira! Makan dulu Nak!"
"Ibuk aja. Aira gak lapar."
"Makan Aira! Nanti semakin pusing kepala kamu. Dari kemarin kamu makannya telat muluk. Jadinya mual kan?"

Membenamkan kepala pada bantal sofa. Ingin memekik keras geramnya Aira melihat layar handphone yang sama sekali tidak ada pesan notif dari Fauzan. Merasa terlupakan.

"Aira.... Ayo, makan! Nanti Ibuk mau pulang dulu ke rumah. Besok balik lagi ke sini. Kalau Aira nya gak makan, kalau tiba-tiba pingsan, siapa yang bakal nolongin kamu?"
"Mas Fauzan masih gak hubungi Aira, Buk. Mas Fauzan udah lupain Aira. Hiksss.... Hiksss.... Mas Fauzan gak sayang Aira lagi."

"Huffftttt.... Tenang aja! Nanti kalau Fauzan sudah pulang, ibuk hajar habis-habisan. Bisa-bisanya melupakan anak ibuk. Kita tunggu kepulangan suami kamu itu ya. Udah, sekarang Aira makan dulu. Ini kan udah mau 2 Minggu. Aira harus kumpulin semua energi Aira dari makanan ini, biar kalau Fauzan sudah pulang, kamu langsung luapkan emosi kamu."
"Awas aja. Aira benar-benar bakal beri pelajaran ke mas Fauzan. Enggak perduli banget dengan istri sendiri. Hiksss.... Hiksss...."

Keseharian Aira selalu saja bolak-balik ke berbagai ruangan dengan lesunya. Ia ingin mencoba menghibur diri tapi tak tahu harus bagaimana. Dalam pikirannya hanya Fauzan dan Fauzan. Handphone tetap terus ia genggam berharap suatu waktu handphone berdering menampilkan satu nama yang ia harapkan.

"Aira........!! Kamu ada di rumah kan?"
Dentingan bel dan teriakan dari arah luar yang menyita perhatian Aira. Hanum yang tengah asik menonton pun bergegas keluar ingin melihat siapa yang bertamu.

"Aira.... Ini mama! Tolong buka pintu pagar nya Aira!!" Sembari terus menekan bel yang sedikit memekakkan pendengaran Hanum.
"Loh, buk Mayang?"
Tercengang dengan siapa yang menyambut.

"Siapa Buk?"
"Mamanya Fauzan. Mertua kamu, Nak." Santunnya Hanum menyambut sembari mengizinkan Mayang masuk. Padahal, dari pancingan obrolan itu sangat membuat Mayang risih.

Aira langsung saja mengecup punggung tangan mertuanya. Namun ia masih bingung kehadiran Mertua yang tak biasanya datang tanpa Papa Mertuanya juga.

"Ada.... Ibuk kamu juga di sini." Lontar Mayang sebagai basa-basi perjumpaannya.
"Iya, buk Mayang. Udah semingguan lebih saya menginap di sini. Menemani anak saya yang ditinggal pergi suaminya. Silahkan masuk buk Mayang." Seloroh Hanum dengan ramahnya.

'Wahhh.... Kurang seru banget kalau ada si induknya di sini.'
"Enggak bareng Papa, Ma?"
"Enggak. Oh, iya. Kebetulan Papa lagi ke Surabaya."
"Surabaya juga? Kemarin mas Fauzan juga ke Surabaya. Tapi kalau sekarang udah di Bogor Ma."

"Iya, mama tahu. Kemarin Fauzan juga sempat ngobrol bareng kita. Biasa lah. Selingan ngebahas bisnis sama Papa. Makanya mama jadi tahu kalau kamu pasti lagi sendirian di rumah. Senasib dengan mama yang ditinggal suami kerja. Kita bisa sama-sama curhat nih di sini. Tapi.... Ternyata sudah ada Ibu kamu. Mama jadi segan."

"Enggak lah buk Mayang. Kebetulan, hari ini saya mau izin meninggalkan Aira dulu. Mau mengecek rumah. Kalau lama-lama ditinggal, gak enak juga. Mau beberes dulu. Besok ke sini lagi."
"Oh, ok. Ada saya. Jadi, gak usah khawatir Buk."
'Seharusnya gak usah balik lagi.' Dengusnya hanya dalam batin.

"Aira siapkan minuman sama cemilan dulu ya Ma. Ngobrol dulu dengan Ibuk." Girangnya Aira mendapati Mama Mertuanya yang juga hadir. Serasa akan sangat dimanja dengan Mama Mertuanya yang kini sudah bisa ia dapatkan perhatian lebihnya. Dikala kabar suami yang tak kunjung menyapanya, malah terhibur akan kehadiran Mama Mertua yang masih dengan polosnya Aira anggap baik untuknya.

"Aira lagi gak enakan badan buk Mayang. Saya berharap sih, Aira mengandung. Biar kita sama-sama bisa cepat nimang cucu."
Keterkejutan Mayang sedari tadi dengan pembahasan yang cukup sensitif untuknya. Mengetahui kondisi kurang fit nya Aira malah membuat ia semakin risau penasarannya.

Aira sudah kembali dengan menaruh nampan berisi minuman teh hangat dan beberapa cemilan. Mayang langsung menarik tangan Aira untuk terduduk bersebelahan dengannya. Melihat seksama lebih dulu wajah sedikit letihnya Aira.

"Benar gak enakan badan?"
Aira mengangguk sebagai jawabannya.
"Enggak enakan badannya gimana? Kamu mual-mual?"
"Hmm.... Sempat sekali mual. Karena telat makan juga Ma. Tapi, kepala Aira pusing terus. Enggak bisa terlalu beraktivitas. Lama berdiri kerasa mau pingsan. Udah beberapa hari Aira gak ke Toko. Bawaannya pengin di kamar terus."
"Kamu masih terus cek kan? Terakhir kamu bilang, masih negatif hasilnya. Sekarang gimana?"

Mempertanyakan semua yang ia risaukan. Memastikan apa yang tengah menantunya ini alami.
'Kondisi yang lemah, pusing. Apa Aira benar hamil? Apa ramuan ku gak berhasil? Setahu ku.... Itu salah satu penyebab gagalnya janin. Kok bisa?'

"Hasil yang negatif dari testpack belum pasti juga Buk. Bisa saja hasil testpack itu tidak akurat. Lebih pastinya, kita harus cekkan ke Dokter Kandungan. Tapi Aira masih menginginkan Fauzan pulang dulu. Katanya pengin memastikan dengan suaminya Buk. Anak saya ini beberapa hari kelihatan terlalu manja. Itu salah satu kecurigaan saya kalau anak saya ini sudah mengandung calon cucu kita. Amin ya Nak."
"Iya Buk, amin. Aira selalu berdoa semoga keanehan Aira ini benar-benar tanda-tanda kehamilan Aira. Mas Fauzan pasti senang."

Lemas Mayang mendengarnya. Keinginannya sangat bertolak belakang dengan keinginan semua orang. Dirinya sangat tidak menerima ada anggota baru dari garis keturunan Aira.

"Silahkan, buk Mayang. Di minum dan dicemili kue buatan kita."
"Terimakasih."
Masih sesekali melirik ke arah Aira yang memang terlihat sedikit pucat dan sesekali mengurut tengkuk atau kepalanya.

Hingga menjelang sore pun, masih berada di ruang keluarga. Hanum terus membawa obrolan semakin panjangnya. Membahas hal-hal yang Mayang anggap sebagai angin lalu saja. Ia bosan tapi tetap ingin menjaga sikapnya.

"Fauzan itu memang sangat baik ke keluarga saya buk Mayang. Dulu sering main ke rumah. Teman akrab nya ya Arbani, menantu pertama saya."
"Iya, saya tahu. Saya mengenal juga dengan Arbani. Kemana-mana dulunya Fauzan memang selalu bareng anak itu."
"Saya gak menyangka, mereka berdua lah yang menjadi Menantu saya. Anak-anak yang baik. Menjaga kedua putri saya sampai sekarang."

Senyum kecilnya terpaksa ia tampilkan dengan geramnya berharap kapan besannya ini pulang.
'Sudah gatal rasanya aku berlama-lama menemani orang tua ini mengobrol. Dia sama bawelnya juga dengan Aira.'

"Hmm.... Nanti, kalau saya sudah pulang, saya titip anak saya ya Buk. Besok saya bakal balik lagi."
"Oh, gak apa-apa Buk. Buk Hanum istirahat saja di rumah. Sekarang di sini kan sudah ada saya. Saya yang menggantikan. Ibuk kan sudah beberapa hari menginap di sini. Sekarang giliran saya yang menemani Menantu saya Aira. Sampai kepulangan Fauzan."
"Hmm.... Tapi, ini juga sudah amanah dari Fauzan. Saya juga mau menemani Aira sampai kepulangan Fauzan, Buk. Kita bisa sama-sama menginap di sini."

"Enggak perlu lah buk Hanum! Ini kan rumah anak saya. Seharusnya saya yang lebih di amanahkan. Buk Hanum urus urusan Ibuk sendiri. Jangan khawatirin Aira! Aira juga sudah besar. Memang terlalu manja ya? Kalau di saya, punya anak yang terlalu manja itu gak baik. Apalagi kalau sudah berumah tangga. Takutnya malah menyusahkan."

Hanum mengalah. Ia rasa memang sudah cukup menemani putrinya. Sekarang sudah ada kehadiran mertua putrinya, tidak enak hati juga membatasi keakraban Aira bersama Mayang, besannya.

"Buk, ini pak Hamdan udah di depan." Potong Aira dengan langkah cepatnya membuka pintu dan mempersilahkan masuk terlebih dahulu.

"Permisi buk. Sudah mau berangkat sekarang?"
"Oh, iya. Hmm.... Pak Hamdan bisa tunggu saya sebentar ya! Mau beberes barang-barang saya dulu." Berjalan ke arah kamar yang sudah ia tempati beberapa hari.

Aira masih kebingungan dengan pengucapan Hanum. Pasalnya, Ibunya berkata akan datang lagi setelah mengecek kondisi rumah. Tapi ini malah merubah dari perencanaan sebelumnya. Membuntuti pergerakan Hanum.

"Buk, maksud Ibuk gimana? Kenapa sekaligus langsung Ibuk bawa semua barang-barang Ibuk? Ibuk kan bakal balik lagi."
"Enggak Aira. Sekarang kan udah ada Mama kamu. Menggantikan ibuk."
"Kok gitu? Ramai-ramai di sini kan juga gak apa-apa Buk."

Mendesah lelah atas sikap manja Aira yang benar-benar mengundang rasa gelinya. Terkekeh sebentar menanggapi meweknya Aira lagi.
"Kamu ini benar-benar manja ya. Nak, sikap manja kamu ini jangan terlalu kamu tampilkan di hadapan Mertua kamu ya! Yang boleh menerima sikap manja kamu ini cuma Ibuk sama suami kamu. Sepertinya Mama kamu itu akan sedikit risih dengan sikap manja kamu. Hihihi.... Udah ya, jangan nangis lagi! Ibuk juga gak enak hati kalau masih ada di sini. Buk Mayang mau menggantikan peran Ibuk. Mau menemani kamu. Nanti kalau Fauzan sudah pulang, kabari Ibuk. Ibuk bareng kakak kamu yang akan balik lagi menjenguk kalian. Sekalian, kalau perlu langsung kita ke Dokter Kandungan sama-sama. Ibuk juga penasaran dengan kondisi kamu ini. Semoga sekarang kamu benar sudah isi ya Nak. Sehat-sehat, jangan tangisi Fauzan lagi. Dia pasti masih sibuk. Assalamualaikum, Nak."

Terpaksa mengecup tangan dan memeluk Ibunya yang masih saja belum rela untuk ditinggalkan. Dirinya memang lebih leluasa bermanja dengan Ibu sendiri ketimbang dengan orang lain. Walau sudah mempunyai orang tua kedua dari sang suami, tetap Aira masih ada rasa segan dan kikuk nya.

"Pamit pulang ya buk Mayang. Saya titip anak saya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Usapan berulang kali pipi sembab Aira. Mayang merasa senang dan bebas. Kini, ia bisa dengan leluasanya bertingkah seperti apapun tanpa adanya suami, anak dan orang lain.

"Ekhem! Ayo, masuk Aira! Sudah mau Adzan."
"Iya Ma."
Memastikan pagar terkunci dan masuk ke dalam rumahnya yang kini hanya dirinya dan Mayang.

"Mama mau ke atas. Mau bersih-bersih dulu."
"Iya Ma. Aira juga mau ke atas. Mau mandi. Nanti kalau udah Adzan, kita salat bareng ya Ma. Di Mushola."
"Hum."

💐~💐


Dalam lamunan jauhnya. Masih berbalut sarung tengah terduduk beralaskan sajadah. Fauzan merenungi semua kegalauan dirinya. Rasa kecewa atas pengkhianatan Aira. Masih tidak habis pikirnya Aira akan membodohinya.

Nomor asing yang mengirimi dirinya beberapa foto yang ia yakini itu Aira dan Dafa.
'Dalam satu mobil dengan beraninya mereka.... Apa aku salah selama ini? Mana mungkin Aira bisa secepat itu melupakan cinta pertamanya. Mana mungkin bisa Aira merubah pikirannya.... Secepat itu untuk menerimaku. Sikap Aira selama ini apa hanya tipuan? Untuk apa Aira menipuku seperti ini? Selama ini Aira membodohiku? Tapi.... Kenapa Aira? Kamu masih bisa membela dia di depanku. Kamu juga masih bisa menganggap dia teman. Karena aku baru tahu, menghilangkan perasaan kamu ke dia pasti susah kan? Apa selama ini semuanya hanya sia-sia? Aku gak tahu selama ini aku tetap berjuang sendiri? Aku apa Aira? Kamu anggap aku apa?'

Menatap nanar cincin yang terlingkar pada jari manisnya. Pemikirannya sudah teracuni. Tanpa mau mencari tahu lebih dalam bagaimana yang sudah Aira lewati. Ia masih mengingat bagaimana foto-foto itu terabadikan dengan sangat menjijikkannya.

"Astaghfirullah.... Hiksss.... Hiksss.... Kamu kenapa jahat Aira?? Kamu menipu ku? Aira.... Kamu anggap aku apa? Hiksss.... Hiksss.... Aku udah sejauh ini berjuang untuk kamu. Aku berusaha jadi laki-laki yang terbaik. Semudah itu kamu melukaiku Aira."

Deringan dari handphone yang sudah tak tahu bagaimana bentuk rupa layarnya. Retak seperti hatinya. Ia banting sekerasnya dikala rasa sakit hati melihat semua beberapa gambaran tubuh sang istri terlalu intim dengan pria lain yang tampak jelas bahwa itu Dafa.

Ia membiarkan semua kesibukan benda pipihnya. Tak ada satupun yang ia gubris. Ingin fokus menyelesaikan semua urusan. Tapi tak mudah. Jalan pikirannya kusut. Beberapa kali tidak fokus dan hampir mengacaukan kesibukannya.

Tertawa sumbang dan berulang kali menangis. Memekik sekeras-kerasnya hanya cuma bisa melepas sementara beban pikiran. Kemudian hari, ia akan selalu teringat. Dan berulang sampai ia sendiri lupa akan kewarasannya.

Bersambung....
=======================================

Semoga suka Part ini ya
Tetap vote and comment ya
Terimakasih🙏


Continue Reading

You'll Also Like

43K 2.8K 34
Vanca Diptya Putri adalah sosok perempuan yang introvert, seorang pengacara, seorang adik semata wayang dari Rajif Diptyo Putra yang notabene adalah...
20.6K 1.7K 25
Beberapa orang datang dan pergi, tanpa tahu siapa yang akan menjadi pemilik hati. Sebanyak apapun Sakina memotret orang-orang yang pernah ditakdirkan...
2.3M 140K 46
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...
7.9K 547 12
Pertemuan yang tidak disengaja merubah keseluruhan alur cerita dari hidup keduanya dalam sekejap. Mampukah mereka menjalani takdir yang telah digaris...